Rabu, 19 November 2008

KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN (Sajogyo)

Dari: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_14/artikel_5.htm

Suatu diskusi panel bertopik “Isyu dan Agenda Kebijakan Publik dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan” telah diadakan di Bogor, tanggal 13 Februari 2003 lalu, atas kerjasama UNSFIR, Jakarta (United Nations Support Facility for Indonesia Recovery) dan Pusat Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Panel itu menampilkan dua orang ekonom, Dr. Hermanto Siregar dari Fak. Pertanian dan Prof. Dr. Tridoyo dari Fak. Perikanan/Kelautan, dan seorang pakar Hama/Penyakit Pertanian, Dr. Damayanti Buchori yang punya pengalaman dalam bekerjasama dengan LSM dalam mendampingi petani.

Isyu yang dibahas oleh ekonom tersebut pertama adalah hal “nilai tukar pertanian” berdasar data BPS dalam masa 1981-2000 disimpulkan bahwa nilai tukar pertanian (secara keseluruhan) menunjukkan garis menurun. Sempat dirujuk data yang membanding Indonesia bagian Barat (menurun) dibanding dengan Indonesia bagian Timur (khususnya Sulawesi dan Kalimantan) yang mengalami peningkatan, dimana diduga petani punya akses ekspor yang sedang membaik. Dalam pada itu nilai tukar “net barter” bagi petani (proxy pengukur tingkat kesejahteraan petani) umumnya tak menunjukkan perkembangan negatif. Agenda yang dianjurkan: perlu suatu program pembangunan sistematis, tak cukup suatu program “bantuan darurat” jangka pendek. Dari model yang dipakai, jelas bahwa ekspor pertanian Indonesia ditentukan oleh “supply”, dimana upaya mengatasi kendala dalam “supply” itu (mencakup peningkatan tehnologi) yang dapat menurunkan biaya produksi mesti diusahakan. Ada lagi suatu pengamatan bahwa nilai tukar nyata (real) Rupiah yang cenderung stabil lebih berpengaruh “baik” bagi kesejahteraan petani; sebaliknya jika terjadi depresiasi dalam nilai Rupiah itu.

Analisa data berdasar model yang dipilih mengisi sebagian besar makalah, tapi ada rujukan singkat yang menarik data dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia (SNSE atau SAM “social accounting matriks” merujuk terbitan BPS, data tahun 1995 dibanding 1999) karena mengandung pengertian lebih mendalam untuk pembaca yang mengartikan “kesejahteraan” petani dan lain golongan penduduk, mencakup hal sebaliknya yaitu “ke-tidak-sejahteraan” atau “kemiskinan”! Apa lagi membanding SNSE tahun 1995 dan 1999 berarti membanding kondisi “sebelum” dan “sesudah” Krismon! SNSE adalah suatu “konstruk” yang dibuat ekonom untuk meneropong perkembangan pola pencarian nafkah antar golongan (satuan rumahtangga) yaitu:

(a) dalam pertanian dibedakan antara buruhtani, petani gurem (kurang 0,5 ha), petani (0,5-1,0 ha) dan petani lebih 1,0 ha.

(b) di luar pertanian dibedakan antara rumahtangga pedesaan (dibagi atas “penghasilan rendah”, penghasilan “tinggi” dan “bukan pencari nafkah” (‘non-labor force”). Rumahtangga kota dibagi atas tiga sub-golongan serupa. (Catatan: dalam acuan yang lebih rinci, golongan “luar pertanian” dibagi sesuai sistematika golongan “pencari nafkah”, mengikuti model rujukan PBB).

Apa yang terungkap dari membanding data SNSE tahun 1995 dan 1999? Kami kutip saja dari makalah Dr. H. Siregar, mencakup satu tabel.

The negative trend in the terms of trade after the crisis may manifest in changes in distribution of the number of farm households by land ownerships. As can be seen from Teble 2, the number of landless farm households increased from around 5.1 million in 1995 to 7.1 million in 1999. In terms of percentage to the total number of households, this means an increase from 11,1% to 14,1% during those years. Likewise, the number of farm households with less than 0,5 ha of land went up from 8.0 million (17.6%) to 10.1 million (20.0% of the total number of households) through the same years.

The increases in the figures above may originate from: (a) natural growth (i.e. new households emerge from within the class), on which no data are available, (b) farm downsizing, as implied by the decreases in the number of farm households owning 0.5-1.0 ha of land from around 3.1 million in 1995 to 2.9 million in 1999, and (c) flow back of some of the-crisis-induced unemployment from urban to rural areas. Although there is no published data on unemployment, figures in Teble 2 may support this conjecture. The numbers of households classified as farm labourer and as those owning<0.5>11,12 Each of these is much higher than the respective figure for the total number of households, i.e. 10.6%, which may be grossly assumed as the natural growth. There is a possibility that the unemployment entered non-agricultural activities in rural areas. This possibility is, however, quite small because the number of households involved in these activites, especially those earning low income, only increased by 6.8% (i.e.from 6.8 million in 1995 to 7.3 million in 1999). This may provide evidence that, with regard to the Asian crisis, agriculture has served as an employment sink for the economy.

ii The growth is not of annual but total between 1995 and 1999.

12 The total number of wealthier farm households (own 0.5-1.0 and >1.0 ha of land) tended to be unchanged, i.e. around 5.3 million (Table 2). In 1999, these households gained average annual per capita disposable income of between Rp 2.65 and Rp 3.42 millions, which are considerably higher than those earned by tha labourers and the households with less than 0.5 ha farm land (i.e. between Rp 1.63 and 1.68 millions). The closeness of the latter pair of figures is more than proportional to the corresponding figures in 1995, i.e.Rp 0.62 and Rp 0.93 millions. This may occur because, among the farm labourers in 1999, the new entrants use their saving that was obtained from working in urban sectors.

(Catatan ini dilengkapi juga lampiran 4 tabel, appendix pada makalah tersebut: sajian “tantangan” bagi pembaca berupa angka-nagka dalam tabel. Silahkan bertanya pada rekan ekonom yang biasa membaca isi SNSE, terbitan BPS lima tahun sekali, sambil menguji sampai mana SNSE mampu menyoroti kondisi ekonomi rakyat dengan baik).

Apa yang terungkap dari membanding data SNSE tahun 1995 dan 1999? Kami kutip saja dari makalah Dr. H. Siregar, mencakup satu tabel.

Makalah kedua juga dari seorang ekonom (Prof. Dr. Trodoyo) yang mendambakan kita mampu membuat suatu “blueprint” Kebijakan Nasional Kelautan (“Ocean Policy”) dalam pembangunan ekonomi Indonesia.

Indonesia merupakan negara kepulauan (arsipel) terbesar di dunia: 75% luas Indonesia adalah lautan. Arti pentingnya sektor kelautan di dalam perekonomian Indonesia meningkat dan merupakan dasar bagi pertumbuhan dan pengembangan sektor-sektor terkait kelautan (perikanan, pariwisata lingkungan, pertambangan (a.l. minyak dan gas), serta industri transportasi, konstruksi dan jasa-jasa kelautan. Sektor seluas itu menyumbang 20.06% (tahun 1998) GDP Indonesia dan diramalkan dapat mencapai 24.18% GDP. Masalahnya: kebijakan untuk menata dan mengembangkan perekonomian berbasis kelautan kita tidak mendapat perhatian dan dukungan yang kuat. Tidak ada “payung” berupa suatu kebijakan nasional kelautan (ocean policy); koordinasi sektoral dan antar-sektor dan masalah manajemen telah menghasilkan tumpang-tindih jurisdiksi, konflik antar beragam jenis pemanfaatan SDA, duplikasi tindakan, pembangunan strategi tak-berfokus sedangkan dijumpai permasalahan lingkungan yang berat dalam ekosistem pantai dan laut kita.

Penting kita membangun kebijakan kelautan yang kuat dalam pemulihan perekonomian Indonesia, serta memperbaiki kesejahteraan masyarakat pedesaan pantai dalam beragam pola pembangunan berkelanjutan di wilayah itu.

Makalah itu diakhiri dengan seruan: “Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia harus memiliki Ocean Policy yang kuat yang dijabarkan dalam visi Ocean Economics (“Oceanomics”) dan dilaksanakan dengan Ocean Governance yang baik dan diharapkan dapat bersinergi dalam pembangunan dunia guna mencapai kesejahteraan ummat manusia, khususnya bangsa Indonesia”.

Ilmu ekonomi memang punya potensi untuk “memimpin” dalam membantu menyiapkan “blueprint” pembangunan potensi lingkungan kelautan kita, yang termasuk kedaulatan nasional. Pakar yang memperjuangkan segi-segi hukum dalam memperoleh pengakuan internasional atas kedaulatan kita atas wilayah kelautan itu (Prof. Muchtar Kusumaatmadja) sudah kita akui jasa-jasanya. Tapi mengisi “kedaulatan rakyat” atas wilayah dan lingkungan dan sumberdaya kelautan itu, mengapa dari segi politik ekonomi masih belum juga terjangkau? Tak lain itu cerminan daya LPG (liberalisasi, privatisasi dalam globalisasi) dimana kelembagaan permodalan besar yang mampu mempersiapkan kakitangan bisnis yang tak kenal batas-batas sesuatu negara. Misal: dibanding dengan ikatan dalam Uni Eropa yang mampu mengatur kepentingan bersama (atas sepakat) diantara negara-negara anggotanya, di lingkungan ASEAN terjadi perebutan bebas atas potensi sumberdaya lingkungan, baik di lautan maupun di daratan (contoh: kekayaan hutan tropik kita). Dalam kasus potensi SDA (hutan alami) bukankah negara juga yang membuka pintu bagi perusahaan dan modal asing? (sejak 1967: undang-undang kehutanan).

Jika selama ini mitra di IPB (salah satu contoh mitra kampus) sudah lama pusing dalam upaya mempertemukan para pembuat kebijakan di tataran Pertanian/Perkebunan/Perhutanan/Perikanan, penghasil pangan dan bahan baku industri. Tantangan keterkaitan saling-dukung sekian banyak mitra-punya-kepentingan berbeda (“stakeholders”) pemain di wilayah kelautan, yang diharapkan sudi bergotong-royong oleh Prof. Tridoyo demi kebijakan kelautan untuk sebesar kemakmuran rakyat kita lebih berat lagi tantangannya.

Di pihak birokrasi pemerintahan, misalnya, di dalam satu Kabinet Presiden bagaimana para menteri mencapai sepakat atas kebijakan sama? Tambahan pula di zaman Otonomi Daerah, ada tatanan baru dalam membagi tanggungjawab antara Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota dan terakhir (tak kalah penting:) satuan komunitas Desa. Mitra-kepentingan di pihak modal-dan-bisnis punya jajaran yang kokoh, termasuk jajaran mitra di negara lain. Sama halnya negara punya sumber pinjaman modal (bagi budget negara) dan berupa bantuan tahniknya, tak bebas dari LPG itu. Dalam keadaan struktur “kekuasaan/pengaruh” global-antara-negara/antara swasta sampai mana ada tempat bagi pencari nafkah lapisan bawah mayoritas di pedesaan kita?

Panelis ketiga, Dr. Damayanti memperkenalkan pendekatan baru mengenai proses pembuatan kebijakan publik (dalam pembangunan pertanian dan pedesaan) yang dikaitkan dengan upaya menjamin keberlanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya alam. (“Sustainable intensification”): pakar yang punya pengalaman dalam mengatasi ekses revolusi hijau (padi sawah khususnya, di satu pihak menghadapi tantangan lingkungan alam yang direkayasa orang (demi produksi dan pangan) dan dilain pihak dalam upaya membuka peluang bagi petani untuk ikut berupaya mengelola usaha budidaya padi sawah, atas dasar belajar bersama petani lain. (“Sekolah Lapangan” PHT). Sebagai contoh cerminan peluang partisipasi petani dirujuk olehnya laporan dari Andhra Pradesh di India: satu eksperimen yang melibatkan wakil-wakil petani dari lapisan miskin (termasuk petani wanita) di dalam menilai mana “skenario” pembangunan pertanian lokal yang sebaik-baiknya bagi masa depan mereka, berdasar pengalaman mereka di masa lalu.

Dari tiga “skenario” yang dinilai (dibuat oleh pihak-pihak dari “luar desa”) kelompok penilai (“jury”) petani kecil itu terbukti mampu menyatakan pola pilihan mereka sendiri, sebaliknya tak setuju atas 2 visi lain yang dibuat “Orang Luar”. Inilah kutipan berupa satu Box dari makalah itu,

Box.1. Prajateerpu : Masa Depan Pangan di (negara bagian) Andhra Pradesh, India

Prajateerpu adalah bahasa India yang berarti putusan rakyat, adalah sebuah proses citizen jury untuk menentukan skenario pangan dan pertanian masa depan di negara Andhra Pradesh (AP). Proses ini merupakan sebuah experimen demokrasi deliberatif yang melibatkan petani miskin dan marginal dari daerah di AP. Citizen Jury dipilih dari perwakilan petani miskin dan marginal, pedagang kecil, pemilik mesin pengolah pertanian dan konsumen. Jury dipilih oleh tim independen, dengan syarat merupakan masyarakat miskin dan marginal, dan tidak ada keterkaitan dengan pemerintah, NGO atau partai politik. Prajateerpu dilakukan atas kerjasama International Institute for Enviroment and Development (IIRD) bekerjasama dengan AP Coalition in Defence of Diversity, University of Hyderabad dan India National Biodiversity Strategy and Action Plan. Jury juga melibatkan masyarakat tradisional Adivasi dan wanita. Kepada Jury melalui video dipresentasikan tiga skenario pangan dan pertanian masa depan yang berbeda, dilengkapi dengan penjelasan logis hal-hal dibalik skenario tersebut. Beberapa saksi terlibat untuk menjaga akuntabilitas proses, dari perwakilan akademisi, perusahaan transnasional (Syngeta), pemerintah daerah, NGO dan organisasi masyarakat. Mereka menjadi saksi bahwa proses benar-benar fair, tidak ada prasangka buruk dan memiliki akuntabilitas.

Jury diminta memilih satu dari tiga skenario pangan dan pertanian 2020, yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan sumber-sumber penghidupan, ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan.

Skenario tersebut adalah:

Vision 1. Vision 2020. Skenario ini merupakan program pemerintah Andhra Pradesh yang didukung oleh Bank Dunia. Skenario ini mengusulkan konsolidasi lahan petani kecil dan mendorong peningkatan mekanisasi dan modernisasi pertanian. Produksi akan dipacu dengan penggunaan rekayasa genetika (GMO) untuk produksi dan pengolahan pangan dan mengurangi jumlah tenaga kerja pertanian dari 70% menjadi 49% pada tahun 2020.

Vision 2. An export-based cash crop model of organic production. Visi ini berbasis pada proposal dari Internasional Forum for Organic Agriculture (IFO-AM) dan International Trade Centre (UNCTAD/WTO) untuk pengembangan pertanian berwawasan lingkungan pada skala nasional dan internasional. Visi ini menekankan pada respon atas tingginya permintaan dari supermarket di pasaran negara-negara Utara untuk mendapatkan supply produk organik dengan harga murah dan dilengkapi dengan standard ecolabeling.

Visi 3. Localised Food System. Skenario masa depan yang berdasarkan pada swasembada masyarakat pedesaan, pertanian dengan input luar rendah, reorientasi menuju sistem pangan, pasar dan ekonomi lokal, dimana perdagangan barang keluar dilakukan hanya jika ada surplus atau tidak diproduksi lokal.

Kesimpulan yang didapatkan oleh Jury (-visi dari Jury-) adalah mereka setuju:

  • Pangan dan pertanian untuk swasembada/keswadayaan dan kontrol masyarakat atas semua sumberdaya yang ada.
  • Memelihara kesuburan tanah, keragaman tanaman, pohon dan ternak, dan membangun indegenous knowledge, ketrampilan praktis dan institusi lokal

Mereka tidak setuju dengan:

  • Tujuan untuk mengurangi tenaga kerja pertanian yang membuat mereka bisa hidup, dari 70% menjadi 40% pada sampai tahun 2020
  • Konsolidasi lahan dan pemarginalan masyarakat pedesaan
  • Kontrak farming
  • Penggantian tenaga menusia menjadi mekanisasi
  • GM Crops-termasuk padi dengan Vitamin A dan kapas Bt
  • Kehilangan kontrol terhadap tanaman obat termasuk eksportnya

Prajateerpu menunjukkan bahwa masyarakat miskin dan marginal dapat terlibat dalam perumusan kebijakan. Hasil dari Jury tersebut merupakan bentuk partisipasi publik dalam pembangunan pertanian dan landasan bagi kebijakan pangan dan pertanian di Andhra Pradesh, sebagai faktor penting menuju democratic and participatory governance. (Sumber: Pimbert, M.P and Wakeford, T (2002) : Prajateerpu: A Citizen Jury/Scenario Workshop on Food and Farming Futures for Andhra Pradesh, India., IIED, London, Sussex)

Sebagai eksperimen, jika itu dinilai berhasil (“ternyata rakyat lebih tahu apa yang baik bagi dirinya”), memang mengandung satu pelajaran penting bagi kita yang condong memihak pada rakyat banyak. Tapi bagaimana di dalam “kondisi pedesaan kita, peluang itu terbuka dalam praktek demokrasi kita jika pemuka lokal (umumnya dari lapisan atas, 30% penduduk di aras lokal itu) yang lebih menentukan.

Dalam rangka ini membantu agar orang/rumahtangga di lapisan bawah (termasuk golongan perempuan) mampu berjuang bersama dalam kelompok masing-masing (belajar berorganisasi) bertujuan agar golongan itu tak mudah diabaikan dalam politik lokal (desa/antar-Desa). Catatan ini dimaksud sebagai peringatan agar kita (“Orang Luar” yang bermaksud membantu dalam proses pemberdayaan diri “orang kecil” tidak mengabaikan adanya kontradiksi internal di desa. Yang ideal adalah jika kita berhasil meyakinkan golongan lapisan atas (Pemuka) di desa, bahwa membantu penduduk miskin, akan lebih menguntungkan bagi mereka dalam jangka panjang.

Karena pola budaya lokal di pedesaan Indonesia beragam, maka peluang reformasi di aras lokal desa juga beragam. Diperlukan sumbangan pemikiran dari para ilmuwan politik/sosiologi/antropologi/hukum (dan juga pemikir kebudayaan) dalam hal ini. Majalah JER terbuka untuk diskusi itu!

UNSFIR, Jakarta (sponsor seminar tanggal 13 Februari 2003 di Bogor) mengajak untuk bergabung dalam lingkaran diskusi yang disebut JAJAKI (Jaringan Kerjasama Kebijakan Publik Indonesia). Pihak tuan rumah, PSP-IPB, Bogor, pada penutup seminar juga berjanji akan mengajak lain-lain pusat kajian di berbagai kampus, agar proses pematangan pemikiran hal kebijakan publik lebih jauh berkembang.

catatan: beberapa tabel missing.

******

Selasa, 18 November 2008

SMP Tjondronegoro: Negara Agraris yang Mengingkari Agraria

(dari:

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/12/00153849/negara.agraris.yang.mengingkar i.agraria)

"Saya kehabisan istilah untuk mengucapkan terima kasih dan bersyukur," kata Prof Dr Sediono Mommy Poerwodo Tjondronegoro (80), Sabtu (10/5) siang di Auditorium Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu, Bogor.

Terbata-bata guru besar sosiologi pedesaan IPB itu menyayangkan ketidakhadiran Prof Sayogyo, sesama koleganya, yang saat itu sedang sakit dan pamit secara tertulis.

Setelah menyebutkan nama-nama dan latar belakang yang hadir, seperti bekas menteri, bekas rektor, budayawan Rendra, dan aktivis LSM, Sediono tampil gagah sebagai sosok ilmuwan yang punya keberpihakan pada kemandirian petani.

Komitmennya terlihat ketika mengomentari atraksi seni Komunitas Terminal Kuman. Mengenai pentas sketsa kehidupan pedesaan sebagai salah satu mata acara, Sediono mengatakan, ”Itulah realitas pedesaan kita. Tanah terambil dan tidak ada makanan, sampai warga desa makan batu.”

Pidatonya singkat. Padahal, hadirin mengharapkan komentar atas Manifesto Agraria yang dibacakan sebelumnya, pada pidato budaya Rendra, atau keterpurukan masyarakat pedesaan saat ini. Hadirin harus puas oleh komentar bekas murid-muridnya seperti Satyawan Sunito, Endriatmo Sutarto, Noer Fauzi, dan Gunawan Wiradi.

Tiga buku sekaligus

Hadirin lalu dipuaskan dengan tiga buku yang sekaligus diluncurkan. Ketiga buku itu adalah Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan, yang kedua Negara Agraris Ingkari Agraria, dan ketiga, Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua, Otobiografi Prof Dr MP Tjondronegoro. Selain buku ketiga, dua buku lainnya tak seluruhnya naskah baru.

Mengenai biografinya, Sediono menulis, ”yang meminta saya menulis biografi itu Pak Sayogyo.” Naskah biografi selesai setelah ditulis dalam rentang waktu Desember 2007 sampai Februari 2008, dan diterbitkan Sayogyo Institute.

Otobiografi itu memuat periode 1928-2008 (sejak lahir 4 April 1928 di Purwodadi sampai sekarang) dan periode 1950-2007 (saat studi di universitas di beberapa negara Barat, serta masa bekerja di dalam dan luar negeri).

Buku ini memotret sosok Tjondronegoro yang keturunan bangsawan, bekas pejuang, dan akhirnya ilmuwan sosiologi pedesaan dengan fokus agraria, lingkungan, dan energi. Kemandirian petani dan penduduk desa menjadi impian Sediono. Selama tidak mandiri, mereka terjebak sebagai tenaga kerja di luar negeri yang nyaris dipekerjakan sebagai budak.

Menikah dengan Dr Puspa Dewi Natalia (meninggal tahun 2000), Sediono dianugerahi dua putra: Myrza dan Irvan.

Menurut Sediono—gelar doktor bidang sosiologi dari UI tahun 1977—”Saya punya kesan generasi muda sekarang tidak mengenal pertanian, bahkan pedesaan. Mereka mengenal dusun, dukuh, desa, dan kecamatan dari buku saja dan tidak dari pengalaman.”

Kekecewaan hadirin yang memenuhi ruang auditorium, seperti Sarifuddin Baharsyah, Bungaran Saragih, Emil Salim, dan Sjamso’oed Sadjad, terobati lewat ketiga buku Sediono dengan benang merah seloroh: Indonesia, negara agraris yang mengingkari agraria.

*******



Penerapan Perspektif Masyarakat Desa dalam Pembangunan Desa

Oleh: Syahyuti

Abstrak

Tanpa disadari sesungguhnya konsep pembangunan desa yang selama ini diterapkan bias kepada cara pandang kota, karena menggunakan pendekatan pembangunan kota, dan juga diukur berdasarkan indikator-indikator kemajuan ekonomi kota. Sosial budaya masyarakat desa tidak dipandang khas, namun direndahkan atau dianggap belum sempurna, berdasarkan ukuran relatif sosial budaya masyarakat kota. Tulisan ini bertujuan memberi kesadaran terhadap kekeliruan paradigma tersebut. Saat ini, dengan timbulnya konsep pembangunan pertanian yang berbasiskan kepada desa, membutuhkan perubahan paradigma pembangunan itu sendiri, yaitu dengan meninggalkan pembangunan desa dengan cara pandang kota karena tidak akan pernah melihat desa sebagai entitas sosial ekonomi dan budaya yang khas. Desa harus didekati dan disentuh dengan pendekatan yang spesifik agar seluruh potensi dapat dikembangkan secara optimal.


Pendahuluan

Dalam konsep pembangunan yang dikembangkan selama ini, dikotomi antara kota dan desa tidak dapat terhindarkan. Dalam teori dan pelaksanaan pembangunan, pada umumnya kegiatan pertanian dianggap identik dengan desa, sedangkan industri identik dengan kota. Dikotomi yang cenderung hitam putih ini membawa implikasi yang banyak menimbulkan masalah dalam implementasinya, misalnya adalah pencapaian tujuan pembangunan yang tidak optimal atau menetapkan indikator pembangunan yang cenderung lebih tinggi bagi kemajuan pembangunan desa.

Di negara berkembang umumnya, pembangunan yang lebih banyak difokuskan di perkotaan dengan penekanan pada pembangunan industri dibandingan di pedesaan menyebabkan terjadinya “bias pada perkotaan’” yang mencerminkan alokasi sumberdaya yang lebih berpihak pada kota sedangkan sektor pertanian diabaikan. Sebaliknya, pembangunan pedesaan (rural-led development) didesain dengan cenderung mengabaikan perkotaan dan mendefinisikan wilayah perdesaan dari aktifitas pertaniannya belaka (Suparlan, 2007). Padahal, selain khas dan bahwa desa tidak sama dengan kota, karakteristik sosial ekonomi penduduk pedesaan dan sumberdaya alam yang medukungnya pun sangat beragam antar belahan dunia.

Pembangunan nasional yang bias ke kota menyebabkan pembangunan pada kota-kota besar di Indonesia memunculkan permasalahan seperti urbanisasi dan sektor informal yang tidak terkontrol. Sebagai contoh, tiap tahun jumlah urbanisasi di Surabaya mencapai 3-4 persen dari total jumlah penduduk yang saat ini mencapai 2 juta jiwa (Akhmad, 2007). Hal ini ironis dengan kenyataan bahwa di Surabaya saat ini terdapat sekitar 111.000 warga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara dampak terhadap lapangan pekerjaan, menurut Rachbini (2006), jumlah pekerja informal pada tahun 2005 mencapai 61 juta orang atau 64 persen dari seluruh penduduk yang bekerja. Angka tersebut meningkat dari waktu ke waktu karena penyerapan tenaga kerja di sektor formal tidak cukup signifikan.

Di lain pihak, pada wilayah pedesaan terjadi tekanan terhadap penduduk terhadap sumber daya alam, timbulnya kemiskinan, degradasi lingkungan, serta merenggangnya hubungan sosial yang ada. Perbandingan tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat pembangunan wilayah, menunjukkan bahwa kawasan perdesaan masih relatif tertinggal jika dibandingkan dengan perkotaan. Di Indonesia, jumlah penduduk miskin di perdesaan pada tahun 2004 mencapai 24,6 juta jiwa, dua kali lipat lebih lebih tinggi dibanding di perkotaan, yaitu 11,5 juta jiwa. Dalam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), pembangunan pedesaan dijadikan sebagai salah satu program tersendiri dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) 2005-2009. Namun, agar tidak terjadi lagi pembangunan pedesaan yang “urban bias” perlu perumusan-perumusan baru baik dalam konsep maupun strategi, pendekatan, dan indikator keberhasilan.

Jika ditelusuri perkembangan dari sisi keilmuan dan paradigma pembangunan, konsep tentang pembangunan desa tidak muncul begitu saja. Ia lahir sebagai sebuah reaksi dari ketidakpuasan dari paradigma yang dianut selama ini, dimana desa dilihat dengan kacamata orang kota. Douglass (1998) menyatakan: “…. Most analyses of growth centers in rural development assume the perspective of the city looking outward to its hinterland”.

Bertolak dari permasalahan ini, maka pembangunan desa perlu dipandang secara terpisah, karena selain 80 persen penduduk bumi hidup di wilayah desa, masyarakat pedesaan memiliki karakteristik sendiri yang khas. Desa bukanlah “kota yang belum jadi” atau “hinterland kota”. Selain khas, desa juga bersifat mandiri, atau berpotensi untuk mandiri. Tulisan ini berupaya mengupas kenapa pembangunan desa dengan menggunakan perspektif masyarakat desa penting untuk dibicarakan dan dipahami. Materi berasal dari berbagai pendapat tentang konsep-konsep pembangunan desa, serta ditambah berbagai kondisi riel yang terjadi selama ini terutama di Indonesia.


Kekeliruan Paradigma Menimbulkan Konsep Pembangunan Desa
yang Bias Kota


Secara definisi, “paradigma” adalah konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran tertentu (lihat misalnya dalam http://www.thefreedictionary.com/paradigm). Dalam paradigma termuat apa yang dilihat, bagaimana cara melihat sesuatu, apa yang dianggap masalah, masalah mana yang dirasa bermanfaat untuk dipecahkan, serta apa metoda yang digunakan untuk memahaminya dan berbuat. Paradigma juga bermakna pilihan, sehingga menjadi tegas apa yang ingin dilihat, serta yang tidak ingin dilihat atau tidak ingin diketahui. Lebih jauh, paradigma yang dipegang akan menentukan apa yang disebut baik dan buruk, serta adil dan tidak adil.

Paradigma yang dianut baik oleh kalangan ahli maupun praktisi tentang pembangunan desa berimplikasi kepada praktik dan desain kebijakan pemerintah terhadap pembangunan desa, sebagai objek ekonomi, sosial maupun politik. Ada dua paradigma yang tanpa sadar menjadi pegangan para pengambil kebijakan selama ini, yaitu bahwa desa dipersepsikan sebagai suatu yang “agung” dari sisi sistem sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya, dan paradigma bahwa desa harus mencapai kemajuan sebagaimana kota. Desa yang disebut maju, atau sering disebut dengan “desa modern”, adalah desa yang secara visual menampakkan ciri-ciri kota baik lingkungannya maupun manusianya. Contoh hal ini adalah pada konsep pembangunan desa dengan konsep agribisnis, yang mengharapkan aktivitas ekonomi masyarakat desa dijalankan dengan pendekatan dan strategi bisnis belaka.

Sekelompok ahli yang disebut dengan kaum romantisme desa misalnya, melihat bahwa desa adalah sebuah tempat yang penuh dengan keindahan dan kedamaian, serta subur dan makmur. Nordholt (1987) misalnya menggambarkan struktur politik pedesaan yang dikonstruksi oleh semangat kekeluargaan yang kental, tanpa pamrih, dan penuh pengabdian. Desa digambarkan sebagai suatu kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan, dimana mereka saling mengenal dengan baik. Corak kehidupan mereka relatif homogen, dan masih banyak tergantung pada alam.

Selain hanya melihat sisi eksotis desa, desa juga dipersepsikan sebagai objek yang statis. Paradigma lain melihat desa sebagai sebuah objek fisik, baik rumah maupun teritorinya. Hal ini misalnya terlihat dalam definisi “village” sebagai “a small community or group of house in a rural area usually smaller than a town and sometimes incorporated as a municipality”. Jelas tampak bahwa definisi ini memandang desa sebagai sebuah teritori dalam konteks dikotomis rural-urban, bukan pada karakter-karakter sosial-budaya dan sikap-sikap hidup masyarakat desa yang sesungguhnya khas (Hermansyah, 2007).

Paradigma yang tidak tepat tersebut muncul karena lemahnya pemahaman terhadap desa. Akibatnya, “orang kota” yang membangun desa akan jatuh dalam berbagai perangkap prasangka. Menurut Chambers (1987), ada enam prasangka yang menjadi perangkap bagi agen program pembangunan desa selama ini, yakni: (1) prasangka keruangan (spasial), di mana pembangunan selalu diarahkan kepada kota, terminal, dan jalan raya; (2) prasangka proyek, dimana pembangunan selalu diwujudkan dalam bentuk pemusatan proyek-proyek di daerah yang sudah ada proyek; (3) prasangka kelompok sasaran, dengan cara mendahulukan kelompok laki-laki ketimbang perempuan, pelanggan pelayanan pemerintah dan penyerap teknologi baru ketimbang yang tetap bertahan hidup dengan cara lama, serta mereka yang aktif dan rajin hadir dalam pertemuan yang diselenggarakan pemerintah ketimbang mereka yang sebaliknya; (4) prasangka musim, dimana perencana menghindari berkunjung pada musim paceklik atau musim hujan; (5) prasangka diplomatis, karena perencana tidak mau mendekati golongan miskin dengan alasan takut menyinggung; dan (6) prasangka profesional, dimana sebagian perencana tidak bersedia melihat permasalahan secara komprehensif dengan alasan tidak sesuai dengan bidang keahliannya.

Sebagai implikasi dari prasangka-prasangka tersebut, desa yang semula sangat kuat dalam hal solidaritas sosial, seiring dengan invansi kapitalisme ke desa, maka daya dukung solidaritas tersebut makin melemah. Ditambah dengan masuknya modernisasi, maka secara perlahan pula terjadi peluruhan karakter masyarakat desa. Homogenitas melemah dan terjadi pelapisan sosial yang semakin tajam, bahkan menjadi polarisasi yang sangat merugikan kalangan miskin desa.

Salah satu bentuk “pemaksaan” yang dilakukan dalam pembangunan pedesaan adalah dengan menginvansi konsep “agribisnis”. Agribisnis adalah “agriculture regarded as a bussiness”, dengan kata kuncinya adalah untung dan efisien. Sebagai sebuah aktivitas bisnis, maka skala menjadi penting, dimana agribisnis adalah “Farming engaged in as a large-scale business operation embracing the production, processing, and distribution of agricultural products and the manufacture of farm machinery, equipment, and supplies”. Jadi, agribisnis adalah aktivitas pertanian dengan skala besar, bukan skala kecil sebagaimana pertanian subsisten (small family farms).

Agribisnis, baik konsep maupun implementasinya, cukup banyak dikritik. Konotasi negatif ini datang dari filosofi konsep "business" dan "corporation" yang dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang khas dari cara berpikir kapitalisme dan korporatisme. Agribisnis juga dikritik karena dirasa tidak sesuai dengan petani di Indonesia. Menurut Mubyarto dan Santosa (2003), bertani bagi sebagian besar petani di Indonesia selain untuk memperoleh pendapatan, adalah juga sebuah cara hidup (way of life atau livehood). Karena itu, petani selain sebagai homo economicus, juga harus dilihat sebagai homo socius dan homo religius. Konsekuensi pandangan ini adalah, harus dikaitkannya unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem pertanian.

Lebih jauh, menurut Mubyarto dan Santosa (2003), perubahan dari pertanian dalam arti “agriculture” menjadi agribisnis sejalan dengan perubahan ilmu ekonomi menjadi ideologi, bahkan telah menjelma menjadi semacam agama. Ini terjadi dalam iklim, dimana model pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian.

Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun sesungguhnya perlu beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma tersebut, karena paradigma tersebut bukanlah hasil dari konsepsi dan persepsi para petani kita (Mubyarto dan Santosa, 2003). Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka sendiri. Mereka adalah petani-petani dengan luas tanah sangat kecil, petani gurem, penyakap, dan buruh tani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita kepada mereka, yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Adalah tidak tepat jika hanya menghitung untung-rugi dan efisiensinya, namun sama sekali tidak memikirkan keadilan dan moralitasnya. Jadi, mungkin agribisnis memang sudah sepantasnya untuk usaha-usaha pertanian yang berskala besar, misalnya perkebunan swasta; namun tidak untuk semua petani.

Pendekatan alternatif sebagai solusi misalnya sebagaimana ditawarkan dengan menggunakan pendekatan “pembangunan desa secara partisipastif“ (Adisasmita, 2006). Dalam pendekatan ini, penyusunan program pembangunan dilakukan melalui analisis permasalahan, analisis potensi, dan analisis kepentingan kelompok dalam masyarakat, dengan menggunakan kriteria yang terukur, sehingga menghasilkan rumusan program pembangunan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Pendekatan ini dapat dipandang sebagai bentuk respon dari kekeliaruan pendekatan selama ini. Dengan adanya ruang untuk berpartisipasi, dimana anggota masyarakat dapat menyampaikan permasalahan dan kebutuhannya, maka bias perencanaan pembangunan desa selama ini karena menggunakan kacamata “orang luar” dapat diminimalkan.

Merumuskan Konsep Tentang “Desa”


Meskipun sudah menjadi kosakata yang sangat umum, namun perlu dipahami dulu apa itu “desa”? Ini penting karena pembangunan pedesaan dirumuskan dari makna dan perspektif yang dikembangkan tentang “desa”. Jika ditelusuri secara cermat, kita akan menemukan berbagai batasan dan makna, yang satu sama lain tidaklah sama. Namun demikian, sebagian besar batasan selalu melihat “desa” dalam hubungannya dengan “kota”.

Prasad (2003) menyatakan bahwa desa sangat berbeda dengan kota. Ia menarasikan desa dan kota sebagai berikut bahwa: “The village has traditionally been contrasted with the city; the village is the home of rural occupations and tied to the cycle of agricultural life, while the inhabitants of the city practice many trades, and its economy is founded on commerce and industry, the village is an intimate association of families, while the city is the locus of a mass population; the culture of the village is simple and traditional, while the city is the centre of the arts and sciences and of a complex cultural development. The village and the city offer even sharper contrasts as political communities”. Pengertian ini dominan didasarkan atas sisi pandang kehidupan sosial ekonomi dan politik masyarakatnya.

Jika ditelusuri secara mendalam, istilah “rural” dan “rurality” merupakan pendekatan geografis yang mendefinisikan lokasi dalam hubungannya dengan jarak secara fisik yang jauh dari pusat keramaian, yaitu kota. Jarak fisik menyebabkan timbulnya jarak untuk lalu lintas barang dan jasa, serta kesempatan untuk melakukan interaksi sosial. Rural merupakan suatu wilayah yang dihuni oleh masyarakat yang heterogen, dan berbeda-beda dalam berbagai dimensinya, mulai dari aspek demografi, kemampuan ekonomi, pola pasar tenaga kerja, jasa-jasa yang disediakan, kesehatan lingkungan, dan berbagai pengukuran subjektif lain, seperti kesejahteraan (community wellbeing) dan keterkaitannya (connectedness) secara internal maupun eksternal.

Dalam mempelajari desa, kalangan sosiologi khususnya akan memfokuskan kepada bagaimana karakter sosial ekonomi di desa, serta perilaku, sikap, dan persepsi orang dalam wilayah tersebut yang akan menentukan aksesibilitasnya untuk pelayanan. Desa umumnya diasosiasikan sebagai wilayah dengan karakter pertanian, meskipun beberapa desa berbasiskan kegiatan penebangan kayu di hutan, pertambangan, eksplorasi minyak dan gas, dan bahkan turisme.

Sebagai contoh, Scott (1994) memandang bahwa masyarakat desa, terutama masyarakat yang bercirikan “pra kapitalis”, bersifat rasionalitas sosial dengan lebih mementingkan kebersamaan ketimbang persaingan. Prinsip moral lebih dominan dijadikan dasar berperilaku daripada rasionalitas ekonomi. Hal ini menyebabkan pendekatan ekonomi sulit bekerja, dan penetrasi kelembagaan dan teknologi dari luar dikahawatirkan akan menimbulkan resistensi. Inilah yang disebut Scott dengan “moral ekonomi petani”.

Selain memandang desa secara sempit sebagai wilayah pertanian, di sisi lain, terutama di negara maju, desa dipandang sebagai “hinterland” atau “daerah pedalaman” yang perannya adalah sebagai pendukung kehidupan perkotaan. Artinya, kehidupan di perkotaan adalah yang utama, sebagaimana keberadaan Negara Kota di Eropa tempo dulu sebelum lahirnya negara dalam bentuk yang modern seperti ini (Negara Bangsa). Namun di Indonesia, tampaknya desa diposisikan lebih tinggi dibandingkan pandangan tersebut. Semenjak dahulu, desa dengan kegiatan agrarisnya merupakan sumberdaya utama kehidupan kerajaan-kerajaan, dan desa merupakan unit sosial yang mandiri.

Pada tahun 1965 kita mengenal Undang-undang Nomor 19 Tentang Desapraja, yang memayungi desa dengan berbagai bentuk institusi dengan ciri khasnya yang mengakar pada masyarakat. Namun, tahun 1967 pemerintah Orde Baru “membekukan” UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah dan mengganti dengan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Institusi pemerintahan terkecil (Desapraja) yang ada di daerah harus diganti dan diseragamkan menjadi ”desa”. Institusi-institusi seperti Nagari di Sumatera Barat, Pekon di Lampung, Marga di Sumatera Selatan, Banua di Kalimantan Barat, Huta atau Kuta di Sumatera Utara atau Kampong di sejumlah daerah Kalimantan; selanjutnya dihapuskan dan ditata ulang dengan menggunakan sebutan ”desa”. Desa kemudian didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.

Hal ini semakin ditegaskan dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di mana “desa” atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk teknis operasionalnya, pemerintah kemudian mengaturnya lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang Desa.

Untuk mendefinisikan desa dapat pula dengan mempelajari bagaimana konsep “kota” didefinisikan. Topik yang hangat belakangan ini adalah tentang konsep kota megapolitan atau metropolitan misalnya. Menurut Suparlan (2007), megapolitan atau metropolitan menuntut adanya daerah-daerah penyangga yang secara administratif diatur dan didominasi oleh pemerintah kota. Hal ini akan melahirkan berbagai permasalahan baru yang muncul karena hubungan daerah penyangga dengan kota yang disangga sebagai pusatnya. Daerah penyangga yang dimaksud disini adalah kota-kota yang lebih kecil, pedesaan, dan lingkungan fisik dan alam yang tercakup dalam wilayah administrasinya. Hal ini berbeda dengan konsep “megalopolis” di zaman Yunani kuno sebagai sebuah kota besar yang dihasilkan dengan penyatuan desa-desa dan kota-kota kecil. Pandangan ini juga berbeda dengan Megalopolis modern yang ada di Amerika Serikat yang terbentuk oleh perpaduan bertahap dari daerah-daerah Metropolitan yang besar dan yang masing-masing berdiri sendiri.

Berbagai Konsep tentang Pembangunan Desa

Julius Nyerere (2000) mendifinisikan pembangunan pedesaan (rural development) sebagai “ … the participation of people in a mutual learning experience involving themselves, their local resources, external change agents, and outside resources. Pembangunan desa bertolak dari proposisi bahwa penduduk desa tidak dapat membangun dirinya sendiri, dan mereka hanya akan berkembang bila mau berpartisipasi dalam aktifitas yang akan mempengaruhi kesejahteraan mereka sendiri. Namun, penduduk tak akan berkembang bila hanya digembalakan seperti layaknya “binatang” ke padang rumput yang baru.

Sebagian kalangan melihat bahwa apa yang dilakukan dalam pembangunan pedesaan sama luasnya apa yang dimaksud dalam kosep “community development”. Membicarakan pembangunan pedesaan akan sampai kepada seluruh masalah yang berada di desa mulai dari masalah kemiskinan, pengembangan pertanian dengan memproduksi berbagai komoditas, pembangunan subsektor, kehutanan, gender, keagrariaan, dan permasalahan sumberdaya air (water resources).

Pembangunan desa adakalanya menjadi mata kuliah tersendiri yang dipelajari di perguruan tinggi. Dalam konsep pembangunan masyarakat desa, dipelajari berbagai tantangan dan strategi pembangunan masyarakat desa, pendekatan dalam pembangunan masyarakat desa, prinsip-prinsip pembangunan masyarakat desa, dinamika dan gerak perubahan masyarakat, perubahan berencana, kekuatan sosial dalam masyarakat dan lembaga-lembaga dalam pembangunan masyarakat desa.

Secara teoritis, setidaknya ada empat strategi pembangunan pedesaan yang dapat diterapkan yaitu strategi modernisasi pertanian, strategi anti kemiskinan, strategi pola baru pertumbuhan dan strategi land-reform (Hagul, 1985). Namun, kemudian digulirkan pula konsep pembangunan desa yang baru dengan pendekatan terbalik dibandingkan dengan yang sudah lazim dilakukan selama ini. Hal-hal yang ditempatkan diurutan terakhir, justru didahulukan, atau “memulai dari belakang” (Chambers, 1987).

Pada tahun 1970-an, program anti kemiskinan dengan menerapkan strategi kebutuhan pokok, menggulirkan konsep “Integrated Rural Development” (IRD), dengan aktifitas utama pada pertanian ditambah sektor sosial (pendidikan, kesehatan, dan air bersih). Namun pada era 1980-an, timbul kritik terhadap IRD karena dinilai tidak matang, kaku dalam perencanaan, pemecahan masalah yang tak tepat guna, lemah dalam pemecahan kemiskinan, dan tidak kompatibel dengan manajemen negara berkembang. Atas kritik tersebut, mulai 1990-an, IMF masuk dengan structural adjustment-nya, dimana negara harus mundur dari jasa dan sektor pertanian, dan mengagung-agungkan liberalisasi pasar. Namun, program inipun dikritik, karena terlalu percaya pasar, sehingga perlu koreksi terhadap fenomena “price bias”, dan juga perlu perbaikan struktur pertanian dan inovasi pertanian. Kebijakan yang income bias perlu dirubah ke stabilisasi yang basic subsistence, sekaligus perlu mengkoreksi kebijakan yang male bias dari pendekatan tersebut.

Pembangunan pedesaan, menurut sebagian ahli merupakan bagian dari ilmu “Pembangunan Wilayah”. Pembangunan wilayah adalah usaha untuk mengembangkan dan meningkatkan hubungan inter-dependensi dan interaksi antara sistem ekonomi (economic system), manusia (social system) dan lingkungan hidup serta sumber daya alamnya (ecosystem). Hal ini diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pembangunan ekonomi, sosial, politik, budaya maupun pertahanan keamanan yang seharusnya berada dalam konteks keseimbangan, keselarasan, dan kesesuaian. Konsepsi pembangunan regional, selain menjamin keserasian pembangunan antar-daerah, bertujuan pula untuk menjembatani hubungan rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah.

Dari berbagai studi kasus yang didalaminya, Uphoff et al. (1998) mendapatkan bahwa ada empat jenis pembangunan pedesaan, yaitu yang berdasarkan kepada potensi pertanian, multi sektoral, memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan, serta yang mengandalkan kepada pelayanan jasa-jasa sosial berupa kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Keempat pendekatan ini, meskipun beragam, namun belum mempertimbangkan perspektif masyarakat desa secara memuaskan.

Pada hakekatnya, pembangunan pedesaan berdiri di atas paradigma untuk mengurangi kesenjangan dan kemiskinan. Tujuannya adalah untuk kesejahteraan berupa peningkatan pendapatan atau pengeluaran riel rumah tangga maupun per kaipta. Ada lima tahap untuk pembangunan ekonomi pedesaan, secara berurutan adalah (Tambunan, 1995): (1) pelajari kondisi atau karakteristik dasarnya berkenaan dengan sumberdaya alam, pasar, pendapatan, dan politik yang eksis; (2) identifikasi teknologi apa yang sudah dimiliki mereka; (3) komdoitas atau sektor apa yang berpotensi dikembangkan; (4) identifikasi sifat dan mekanisme keterkaitan ekonomi antar sektor ekonomi atau jenis kegiatan; serta terakhir (5) pelajari kelembagaan masyarakat yang ada dan berpotensi dikembangkan.

Di Indonesia, pembangunan pedesaan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yaitu untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang mandiri, maju, sejahtera, dan berkeadilan (Adisasmita, 2006). Dalam struktur pemerintahan Indonesia dikenal Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa (PMD). Lembaga ini diawali tahun 1955 ketika dalam rapat kerja gubernur disepakati bahwa tugas pembangunan masyarakat desa memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dan perlu ditangani satu instansi tersendiri. Berdasarkan PP No. 2 tahun 1957, Biro PMD dibentuk di bawah Perdana Menteri. Lalu, lembaga ini berganti nama dan kedudukan, dan sejak 1968 menjadi satu Dirjend di bawah Depdagri. Semenjak 1975 sampai 1992, PMD berorientasi kepada peningkatan kualitas masyarakat, kemampuan produksi, lingkungan wilayah, dan kelembagaan.

Pembangunan pedesaan adakalanya bertolak dari tujuan untuk menghalangi urbanisasi. Dengan kata lain, desa dibangun agar tidak “menganggu” kota. Dalam konteks ini, lahir konsep “industri pedesaan” (rural industries) terutama berupa kerajinan (handicrafts), dengan harapan dapat menciptakan lapangan kerja, peningkatan perdapatan, dan mencegah migrasi ke kota. Industri pedesaan, jelas bukanlah industri sebagaimana di perkotaan. Ciri utama industri pedesaan adalah perkembangannya yang sangat bergantung kepada usahatani, manufaktur, penambangan, dan juga bergantung kepada pemerintahan lokal setempat.

Menyusun Strategi dan Pendekatan Pembangunan Desa

Di Indonesia, kita juga cenderung melakukan perencanaan yang terpisah antara kota dan desa. Hal ini merupakan kekeliruan yang umum dijumpai dalam perencanaan pembangunan di negara-negara berkembang, meskipun upaya-upaya untuk menggabungkan kota dan desa juga sudah lama dilakukan.

Debat tentang sifat relasi desa kota (rural-urban relations) merupakan topik yang hangat dalam konsep teori dan perencanaan pembangunan. Pada era 1950-an, yang menjadi pertanyaan dalam debat-debat para ahli adalah apakah kota berperan sebagai parasit (parasitic) atau pendorong (generative) dalam hubungannya dengan desa hinterland-nya (Douglass, 1998). Lalu, pada 1970-an timbul sikap bahwa bagaimanapun kota telah menjadi solusi dari permasalahan desa, meskipun tetap diakui bahwa fenomena “urban bias” memang terjadi dalam pembangunan desa.

Bertolak dari ketidakpuasan tersebut, mulai era 1970-an sampai 1980-an diupayakan menemukan formula “urban functions in rural development”, yang lalu melahirkan konsep pembangunan desa secara terintegrasi (Integrated Rural Development/IRD) (Douglass, 1998). Disini diakui peran penting pembangunan desa, dan disepakati pula bahwa pembangunan desa mesti dilihat secara multi-faceted yang mencakup tidak hanya aktifitas pertanian namun juga non pertanian yang berkaitan secara langsung maupun tidak (off-farm dan non-farm).

Pada era 1970-an sesungguhnya sudah pula digali peran kota dalam pembangunan desa, yaitu bagaimana mengoptimalkan peran “kota kecil” (rural towns) yang diyakini berpotensi untuk menjembatani kesenjangan antara kota besar dengan desa (Douglass, 1998). Pembangunan kota kecil dimaksud adalah untuk mengoptimalkan "urban functions in rural development approach" (UFRD), dimana perlu disusun peran pembangunan desa terhadap kota kecil maupun kota besar. Hal ini merupakan perencanaan yang disusun dari sisi pandang desa terhadap peran kota.

Salah satu konsep yang lahir dari pemikiran ini adalah konsep “agropolitan” (Friedmann and Douglass, 1975). Dalam agropolitan, diajukan pemikiran bahwa pembangunan pedesaan terbaik akan dicapai dengan membangun keterkaitan desa dengan pembangunan kota pada level lokal. Ini membutuhkan tiga hal yaitu akses terhadap lahan dan air, penguatan otoritas politik dan administrasi pada level lokal, dan perubahan kebijakan nasional dalam mendukung diversifikasi produksi pertanian.

Program pengembangm kawasan agropolitan di Indonesia melibatkan sekaligus beberapa departemen, terutama Departemen PU untuk penyediaan prasarana dan Departemen Pertanian untuk aktivitas ekonominya. Program agropolitan di Selupu Rejang (Bengkulu) misalnya, yang dipadukan dengan kawasan agrowisata, dilaporkan telah mampu memberikan nilai tambah bagi pendapatan masyarakat (Departemen PU, 2007). Program ini telah berhasil menarik wisatawan baik domestik maupun mancanegara untuk berkunjung dan berbelanja sayuran secara Iangsung.

Lebih luas, Boraine (2005) mengingatkan bahwa dalam upaya menyusun kebijakan nasional yang mengintegrasikan pembangunan kota dan desa dibutuhkan perspektif tentang pembangunan kota, desa, dan regional sebagai bagian dari kebijakan ekonomi dan sosial nasional. Bersamaan dengan itu, sikap yang embivalen harus diganti dengan sikap yang sensitif terhadap kespesifikan kota dan desa, serta dengan memahami keterkaitan antara aspek ekonomi dengan demografi, dukungan untuk apa yang disebut dengan “cities” (kota besar) and “towns” (kota kecil).

Dari sisi kota, membangun keterkaitan desa-kota dalam strategi pembangunan kota membutuhkan perluasan dari konsep dari wilayah kota (city-region), pengembangan dimensi desa terhadap pembangunan wilayah kota, pembangunan pinggiran kota (peri-urban), dan peran intermediasi dengan kota kecil. Di sisi lain, para pengambil kebijakan perlu terus menyadari bahwa pada hakekatnya keterkaitan (linkages), sistem dan jaringan (networks) bukanlah suatu batas yang statis. Karena itu, strategi yang dikembangkan juga harus dinamis dan terbuka untuk dibicarakan.

Sebaliknya, dari sisi desa, sebagaimana dituangkan misalnya dalam konsep Integrated Rural and Regional Development (IRRD), yaitu upaya mengintegrasikan desa dengan pembangunan wilayah. Pembangunan pedesaan (rural development) adalah sebuah proses, dimana banyak pelaku dari berbagasi sektor terlibat. Kita tidak dapat hanya menggunakan pendekatan sector-specific models, misalnya berupa pendekatan demografis, ekonomi, politik, ekologi, dan bio-geofisik secara terpisah-pisah. Namun, memadukan pendekatan-pendekatan tunggal juga tidak akan memadai. Salah satu opsi adalah dengan menggunakan pendekatan multi-sector analysis and planning of rural development. Alat ini mencakup berbagai displin, dimana data dan informasi diorganisasikan, sehingga para ahli dari berbagai latar belakang dapat menganalisisnya (ERD, 2007).

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Dari uraian di atas terlihat bahwa, untuk dapat merumuskan sebuah konsep pembangunan desa, atau pembangunan pertanian yang berbasiskan desa, maka para ahli perlu merubah paradigmanya terhadap pembangunan desa yang selama ini cenderung bias kepada sosial ekonomi kota. Kalangan perencana maupun praktisi pembangunan perlu merubah persepsi bahwa desa bukanlah kota yang belum jadi, atau bukan pula embryo kota. Penggunaan strategi dan indikator pembangunan kota terhadap desa adalah sebuah kekeliruan yang harus diperbaiki.

Pembangunan desa semestinya menurut perspektif sosial ekonomi dan budaya masyarakat desa yang khas. Karena itu, pendekatan partisipatif dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan semestinya menjadi pendekatan yang tepat digunakan. Hal ini diyakini akan memberi hasil yang lebih sesuai dan memuaskan, karena masyarakat desa diposisikan sebagai subyek pembangunan.

Meskipun demikian, pembangunan desa juga tidak dapat dilakukan dengan mengabaikan kota. Desa dan kota memiliki potensi yang berbeda, sehingga dengan memadukannya akan diperoleh keuntungan satu sama lain. Perkembangan terakhir memperlihatkan bahwa berbagai upaya telah dilakukan untuk merumuskan pembangunan desa yang terintegrasi dengan kota, baik pada tataran pemikiran maupun program di lapangan.

Daftar Pustaka

Adisasmita, Rahardjo. 2006. Membangun Desa Partisipatif, Graha Ilmu. Yogyakarta.

Akhmad, Chairul .2007. Urbanisasi Pasca Mudik. http://chairulakhmad.wordpress.com/

Boraine, Andrew. 2005. Urban Linkages: A View from the City. Minister for Provincial and Local Government, South Africa Integrating Rural Development and Small Urban Centers: An Evolving Framework for Effective Regional and Local Economic Development, 18-19 March, World Bank, Washington. http://www.worldbank.org/urban/ urbanruralseminar/pres/boraine.pdf

Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES.

Departemen PU. 2007. “KAWASAN AGROPOLITAN KABUPATEN REJANG LEBONG”. Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa Agropolitan. http://www.pu.go.id/ditjen_mukim/agro/profil_kws/PROFIL%20BENGKULU.PDF.

Douglass, Mike. 1998. A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural-Urban Linkages: An Agenda for Policy Research with Reference to Indonesia. Third World Planning Review, Vol 20, No. 1, 1998. http://wbln0018.worldbank.org.

ERD. 2007. RAPS - Rural Analysis & Planning System European Rural Development (ERD). www.iiasa.ac.at/Research/ERD/raps/mod_1.htm

Friedman, John dan Mike Douglass. 1975. Agropolitan Development: Toward New Strategy for Regional Planning in Asia. UNCRD. Nagoya.

Hermansah, Tantan. 2007. Ilusi Negara Rakyat: Desa Vs Negara Sebuah Pandangan Tentang Kebijakan Agraria di Indonesia. Makalah dipresentasikan dalam Forum Interseksi, 7-9 Juli 2007, Bandung. http://interseksi.org/publications/essays/articles/ilusi_negara.htmlNordholt, Nico Schulte. 1987. Ojo Dumeh: Kepemimpinan Lokal dalam Pembangunan. Pustakan Sinar Harapan: Jakarta, 1987.

Mubyarto dan Awan Santosa. 2003. “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan: Kritik terhadap Paradigma Agribisnis”. Artikel dalam Majalah Ekonomi Rakyat Th. II No. 3, Mei 2003. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_15/artikel_7.htm., 9 Mei 2005).

Nordholt , Nico Schulte. 1987. Ojo Dumen: Kepemimpinan Lokal dalam Pembangunan. Pustakan Sinar Harapan. Jakarta.

Nyerere, Julius. 2000. Rural Development. http://www.ibe.unesco.org/International/Publications/ Thinkers/ThinkersPdf/nyereree.pdf, 10 Agustus 2005.

Prasad, B.K. 2003. Rural Development: Concept, Approach and Strategy. New Delhi, Sarup & Sons. x, 450 p. ISBN 81-7625-350-2. https://www.vedamsbooks.com/no32076.htm

Rachbini, Didik J.. 2006.. Ekonomi Informal di Tengah Kegagalan Negara. Kompas 15 April 2006

Suparlan, Parusdi. 2007. Megalopolis: Sebuah Peluang vs Ancaman Bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat. Seminar sehari dengan tema "Why Megalopolis", 5 mei 2007. http://www.ui.edu/indonesia/main.php?hlm= berita&id=2006-04-11%2016:45:36

Scott, James C. 1994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES, Jakarta.

Tambunan, Tulus. 1995. Pola Pembangunan Ekonomi di Pedesaan. Majalah Prisma No. 8 Agustus 1995. Hal 3 – 18.

Uphoff, Norman; M. Esman; dan A. Krishna. eds. 1998. Reasons for Success: Learning From Instructive Experiences in Rural Development, West Hartford: Kumarian Press, 1998. United Nations Development Programme.

*****

1