Jumat, 30 Maret 2012

IKATAN GENEALOGIS DAN STRUKTUR AGRARIA


 


IKATAN GENEALOGIS DAN  PEMBENTUKAN  STRUKTUR  AGRARIA:


 Kasus pada Masyarakat Pinggiran Hutan di Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah




(Diterbitkan dalam majalah ilmiah Jurnal Agro Ekonomi Vol. 20 No. 1 Mei 2002.

Oleh: Syahyuti

(Staf peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian)



Abstract

Indonesia government facing the forest problems especially out of Java, those are deforestation, resources destabilization, and some conflicts between forest resources stakeholders. This problem needs some study for example sociological analysis on the forest margin community to uncover and get good solution. The purpose of this research are to study formation agrarian structure historically and the sustainability of socioeconomic of forest margin community. This research use qualitative approach with case study in two villages. Interview does in community level, government, as well as the non-government organization; as well as quantitative data from 61 respondent sample. The research result shows that the community composed by ethnic group as based formation communities. The genealogy sentiment is the main factor to agrarian structure process. Land grabbing doing by the native ethnic, due to absent of local welfare institution or weak of socioeconomic security.

Key words: agrarian, socioeconomic security, the forest margin community, ethnic relationship, ecosystem sustainability.



Abstrak



Indonesia menghadapi berbagai permasalahan dalam pengelolaan kehutanan berupa kerusakan sumber daya hutan dan konflik antar kelompok kepentingan yang menyangkut masyarakat yang hidup di pinggiran kawasan hutan. Untuk memahami hal ini perlu dipelajari aspek agraria dalam bingkai sosiologi masyarakat pedesaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dengan menerapkan strategi studi kasus dan multi metode pengumpulan data berupa wawancara, pengamatan langsung, serta studi dokumen. Lokasi penelitian dipilih pada kawasan yang berbatasan dengan wilayah hutan. Wawancara kualitatif dilakukan dengan berbagai pihak dan informan kunci, serta 61 orang responden. Kedua desa penelitian merupakan desa bentukan melalui migrasi swakarsa semenjak tahun 1960-an. Cara perolehan tanah sangat dipengaruhi oleh faktor suku, yang menjadi dasar pembentukan struktur agraria masyarakatnya. Hal ini disebabkan keterjaminan keamanan sosial ekonomi masyarakat mengandalkan organisasi kekerabatan, karena masyarakatnya dikonstruksi atas dasar ikatan genealogis suku. Struktur agraria yang cenderung timpang antar suku ini pada gilirannya berperan dalam ekspansi penggunaan lahan di kawasan hutan, dan keberlangsungan ekosistem setempat.



Kata Kunci: agraria, keterjaminan sosial ekonomi, masyarakat pinggir hutan, hubungan antar-etnik, keberlangsungan ekosistem.





PENDAHULUAN


 


          Interaksi manusia dan sumber daya alam pada satu kawasan akan melahirkan suatu pola organisasi agraria tertentu tergantung kondisi spesifik agroekosisem dan sistem sosialnya. Pada organisasi tadi dapat terlihat struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria. Sebagai suatu sistem, hubungan antara alam dan manusia pada areal tertentu bersifat timbal balik (coherent system), sehingga kelestarian sumber-sumber agraria tergantung kepada struktur agraria masyarakat setempat.

Permasalahan masyarakat yang hidup di pinggiran hutan membutuhkan kajian sosiologis, khususnya berkenaan dengan aspek sosioagrarianya. Pemahaman terhadap masyarakat pinggiran hutan perlu dilakukan karena salah satu  kesalahan selama ini disebabkan oleh sistem pengelolan hutan yang tidak berakar pada pengembangan kelembagaan setempat (Wibowo, 1993: 26). Dukungan kelembagaan lokal sangat dibutuhkan untuk pengelolaan kehutanan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan, yang mencakup aspek-aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Untuk menjamin keberlanjutan (sustainability) sumberdaya kehutanan di masa datang, diperlukan kesadaran untuk mengembangkan kapasitas komunitas lokal, termasuk perubahan paradigma dengan menempatkan manusia sebagai bagian integral di dalamnya. Untuk merancang kelembagaan yang dibangun berdasarkan paradigma tersebut, diperlukan pengetahuan yang cukup mendalam terhadap bangun organisasi sosioagraria setempat. Berkaitan dengan itu perlu dilakukan studi untuk memetakan persoalan agraria tersebut, terutama di luar Jawa yang memiliki sejarah dan dinamika politik agraria yang berbeda dengan di pulau Jawa (Ngo, 1989: 73).

Masyarakat yang mendiami wilayah pinggiran hutan saat ini ada yang merupakan masyarakat bentukan baru karena migrasi berbagai etnis pendatang dari luar. Kekayaan sumberdaya agraria dan terbukanya peluang akses bagi pendatang merupakan faktor penarik migrasi masuk ke wilayah tersebut. Pada kasus ini diperkirakan akan dijumpai dinamika sosioagraria yang khas, dimana proses pembentukan struktur agraria serta keterjaminan sosial ekonomi pada masyarakat tersebut menjadi dasar bagaimana keberlanjutan sumber-sumber agraria yang dimilikinya.

          Keterjaminan sosial merupakan konsep utama dalam kehidupan sosial, yang berkenaan dengan dua hal, yaitu: bagaimana output didistribusikan dan akses terhadap sumber daya diatur. Ikatan genealogis merupakan dasar untuk memperoleh keterjaminan, yang pada gilirannya menentukan struktur ekonomi dan politik masyarakatnya. Sandaran keterjaminan pada masyarakat sesuku adalah keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family) sedangkan pada masyarakat multisuku (pluralis) adalah  kesamaan suku. Pemikiran ini menjadi dasar pembentukan proposisi penelitian, bahwa ikatan genealogis (tali darah), khususnya faktor kerabat dan identitas sesuku, menjadi faktor penentu dalam pembentukan struktur agraria pada masyarakat pluralis.

          Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang pengaruh hubungan genealogis dalam proses pembentukan struktur agraria pada masyarakat pinggiran hutan yang merupakan masyarakat bentukan baru. Berkaitan dengan itu, penelitian juga mempelajari prospek stabilitas ekosistem setempat berdasarkan proses sosioagraria yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat bersangkutan.

 


METODE PENELITIAN

 


Kerangka Pemikiran


Mobilitas penduduk antar wilayah yang tinggi karena perbedaan tekanan penduduk dan kesempatan ekonomi melahirkan kelompok-kelompok masyarakat yang pluralis sampai ke tingkat desa. Kecenderungan pola migrasi saat ini adalah: angkatan muda di dataran tinggi bermigrasi ke kota, sebaliknya banyak penduduk dataran rendah yang mencari kehidupan ke wilayah dataran tinggi karena lebih terbukanya peluang akses terhadap sumber-sumber agraria di sana (FAO dan IIRR, 1995: 11).

          Kawasan yang disebut dengan pinggiran hutan (forest margin) adalah wilayah yang pada satu atau lebih sisinya berbatasan langsung dengan wilayah kehutanan. Pada wilayah demikian umumnya terdapat areal pertanian dengan segenap infrastruktur pendukungnya yang menjadi basis sosial ekonomi kehidupan masyarakatnya. Satu hal yang khas pada mereka adalah, selain hidup dari budidaya pertanian, mereka juga hidup dengan mengeksploitasi sumber-sumber agraria yang berada di kawasan hutan (Kartasubrata et.al, 1995: 84).

Bagi masyarakat yang sudah terbiasa hidup dalam ekosistem hutan, khususnya masyarakat adat, yang menjadikan hutan sebagai sumber berbagai macam kebutuhan subsistensi, mereka membagi wilayah hutan untuk masing-masing keperluan dengan pertimbangan kebutuhan dan kemampuan kawasan hutan dengan dilandasi prinsip-prinsip kelestariannya yaitu: untuk pertanian intensif, pertanian ekstensif, pemukiman, sebagai hutan produksi yang diambil hasilnya,  serta hutan yang tidak diambil hasilnya bahkan terlarang untuk dimasuki (Devung, 1999: 238; Ruwiatuti et. al, 1998: 50-1). Munculnya kesepakatan penggunaan sumber daya hutan tersebut hanya mungkin jika dalam masyarakat telah berbentuk “komunitas”. Menurut Soekanto (1982: 162-3: dan 1983: 92), komunitas (community) atau dapat disebut dengan “masyarakat setempat” adalah kelompok yang hidup bersama dengan kriteria tingginya interaksi sosial (social interaction) di antara mereka. Mereka bertempat tinggal di satu wilayah (secara geografis) dengan batas teritorial yang jelas.

Setiap kelompok sosial sebagai suatu sistem akan mengembangkan kelembagaan dengan seperangkat aturan bersama yang bisa dijadikan pedoman untuk menjamin kehidupan anggotanya. Hal ini merupakan fungsi pokok yang dimiliki oleh satu kelompok sosial. Terbangunnya kelembagaan ini memerlukan prasyarat pokok, yaitu apabila kelompok masyarakat tersebut memiliki ikatan genealogis ataupun ikatan teritorial dalam bentuk “komunitas”.

          Dalam kelompok berdasarkan ikatan genealogis berupa sistem kekerabatan, keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family) merupakan dua level organisasi sosial yang memiliki fungsi langsung dalam urusan mata pencaharian anggotanya. Dalam kedua kelompok ini, terutama dalam keluarga inti, setiap individu dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya untuk terpenuhinya dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan keamanan hidupnya (Koentjaraningrat, 1974: 106). Secara umum, dalam suatu kelompok kekerabatan, mereka terikat oleh suatu sistem hak dan kewajiban bagi para individunya terhadap sejumlah harta produktif , harta konsumtif, atau harta pusaka tertentu. Hak dan kewajiban tersebut lebih terasa dalam kelompok kekerabatan berkorporasi (corporate kin groups), yaitu pada keluarga inti.

Terbangunnya kelembagaan dengan peraturan seperti ini juga dapat ditemui pada masyarakat yang dibentuk oleh ikatan teritorial, sebagaimana ditemukan dalam penelitian Scott (1981:5-7) pada masyarakat prakapitalis di Asia Tenggara, dimana desa menjamin kehidupan minimum warganya melalui berbagai pengaturan  yang mengedepankan prinsip mendahulukan selamat (safety first), meskipun tanggung jawab tersebut secara individual ada pada patron-patron yang ditekan oleh lembaga desa sebagai pengawasnya. Kondisi seperti ini juga terdapat di Jawa ketika masih berbentuk “desa komunal” (Temple, 1976: 19-20), yang menciptakan jaminan kehidupan minimum bagi seluruh warganya dengan jaminan semua anggota desa bisa mengambil bagian dalam proses produksi.

          Bagi penduduk yang tersusun oleh berbagai kelompok yang berbeda, misalnya kelompok suku, maka pembauran sosial (asimilasi) menuju terbentuknya suatu kolektivitas tidak terjadi secara serta-merta. Ketika pembauran tersebut belum terbentuk, masyarakat hanya mencapai tahap integrasi, dimana masing-masing hidup dengan identitasnya sendiri, namun hubungan kedua pihak dapat dilakukan dengan baik, saling menguntungkan dan saling isi (Soemardjan, 1988: 5). Dalam kondisi seperti ini institusi penjamin keamanan sosial ekonomi berada pada pundak kelompok-kelompok kekerabatan berdasarkan ikatan genealogis.

          Ketiadaan institusi penjamin yang menyebabkan terancamnya keamanan sosial ekonomi dapat melahirkan suatu perilaku sosial yang cenderung merusak. Penurunan jaminan keamanan sosial ekonomi karena krisis ekonomi misalnya terbukti menjadi faktor mendorong meningkatnya aktivitas pencurian kayu di masyarakat pinggiran hutan di Sumatera Selatan (Ginoga dan Erwidodo, 2001: 15-30). Di sisi lain, terancamnya keamanan sosial ekonomi juga dapat disebabkan oleh tingginya tekanan penduduk dibandingkan sumber-sumber agraria yang tersedia, sehingga melahirkan rumah-rumah tangga yang berkategori miskin. Penelitian di empat desa di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat menemukan bahwa pada desa yang penduduknya miskin maka kerusakan hutanya juga lebih besar (Mukhtar, 1986: 9).

Konsep keberlanjutan (sustainability) ekosistem berada dalam konteks saling keterkaitan antara manusia dan alam. Kata kunci dari konsep keberlanjutan ini adalah kondisi yang tetap (stabil) dari ekosistem, jika tidak bisa lebih baik. Keberlanjutan ekosistem tergantung kepada apakah ekosistem tersebut dalam status yang tetap (stabilisasi) atau semakin menurun (destabilisasi). Dalam konsep keberlanjutan ekosistem secara keseluruhan yang mencakup lingkungan fisik, biologi, dan sosial, maka perlu mempertimbangkan tiga kriteria keberlanjutan, yaitu: keberlanjutan  ekologi atau lingkungan, keberlanjutan secara sosial, dan keberlanjutan secara ekonomi (economic sustainability) (CIFOR, 1997: 7).

          Pada masyarakat pedesaan yang didominasi usaha pertanian, secara umum struktur agraria mendasari struktur sosialnya. Namun demikian, tampaknya kedua hal ini bisa bersifat saling timbal balik, khususnya pada masyarakat bentukan baru, dimana struktur sosial akan terbentuk bersamaan dengan struktur agraria. Pada masyarakat ini, ketika ikatan teritorial belum terbentuk, mereka cenderung berkelompok berdasarkan ikatan genealogis. Dengan demikian, aliran sumber daya ekonomi (terutama tanah) juga akan mengikuti struktur sosial berdasarkan ikatan genealogis tersebut.

Secara teoritis tiap kelompok masyarakat berbentuk komunitas akan mengembangkan seperangkat aturan yang akan menjamin kehidupan warganya. Namun, terbangunnya institusi ini membutuhkan syarat kuatnya struktur komunitas, yang sulit ditemukan dalam kelompok masyarakat bentukan karena migrasi. Jika jaminan sosial ekonomi tersebut tidak diperoleh, maka yang lahir adalah sikap eksploitatif individualis dari warganya. Pada tahap selanjutnya perilaku ini akan menyebabkan destabilisasi sumber-sumber agraria sehingga akan mengancam keberlangsungan ekosistem tersebut (biofisik dan sosial). Dalam keadaan kurang terjaminnya kemanan sosial ekonomi, sementara ada peluang akses kepada kehutanan, maka ekspansi ke kawasan hutan diperkirakan akan berlangsung tanpa kearifan kelestarian yang memadai.



Pemilihan Lokasi dan Responden Contoh


          Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif menggunakan strategi studi kasus dengan menerapkan multi-metode triangulasi dalam pengumpulan data berupa wawancara, pengamatan langsung, dan studi dokumen (Yin, 1997). Kata “kualitatif” menekankan kepada proses dan makna dengan menganalisis dan memahami pola dan proses sosial masyarakat, yang diakui tidak akan dapat diukur dan diuji secara tepat (rigorously examined) dalam konteks kuantitas, jumlah, intensitas, dan frekwensi (Denzin dan Lincoln, 1994: 4-6).

Penelitian dilakukan pada pertengahan tahun 2001, pada dua desa di Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah,  yang merupakan kawasan yang berbatasan dengan wilayah hutan. Kedua desa tersebut adalah Desa Sintuwu yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Lore Lindu dan Desa Berdikari yang berbatasan langsung dengan kawasan Hutan Produksi Terbatas milik negara.

Data utama penelitian ini adalah data kualitatif yang diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap informan, baik informan kunci maupun bukan, mulai dari penduduk desa, pemerintah, swasta, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat.  Penelitian ini juga didukung oleh data kuantitatif tentang pemilikan tanah, cara perolehannya, serta perubahan penggunaannya yang diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur terhadap 61 orang responden yang dipilih secara acak mewakili suku. Jumlah responden di Desa Sintuwu adalah 31 orang dan di Desa Berdikari 30 orang.

Pengumpulan data menggunakan metode pengamatan (observation) dan wawancara mendalam (indepth interview). Untuk mendapatkan informasi sosiobudaya serta proses kedatangan masing-masing etnis dilakukan wawancara terhadap informan kunci yang terlibat langsung sebagai pelakunya. Selain itu juga dilakukan studi literatur berkenaan dengan berbagai data demografi dan administrasi pertanahan, terutama yang terdapat pada pemerintahan desa.



Metode Analisis

Sebagai penelitian kualitatif, penelitian ini mengetengahkan data secara deskriptif terhadap gejala-gejala yang dipelajari dalam konteksnya yang alami (natural setting) (Denzin dan Lincoln, 1994: 4). Selain itu, juga dilakukan analisis untuk mengidentifikasi kaitan sebab akibat dari gejala yang diamati serta mengambil kesimpulan yang menjadi dasar deduktif dan prediktif terhadap berbagai persitiwa di masa mendatang (Kartono, 1986: 24).

Data kualitatif dianalisis dengan prinsip “analisis data kualitatif” yang terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data (Miles dan Huberman, 1992: 15-21). Reduksi data merupakan pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis lapangan; sementara penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memungkinkan penarikan kesimpulan. Data kuantitatif dianalisis secara deskriptif dengan pengkategorian jawaban dan ditampilkan dalam tabel analisis. 

Dalam penelitian ini dimuat uraian secara prosesual dengan saling menghubungkan fakta antar waktu dan menggambarkan perubahan-perubahan keberadaan sumber-sumber agraria dan organisasi pemanfaatannya yang melibatkan perubahan-perubahan pada hak milik dan penetapan-penetapan perjanjian. Secara terbatas juga dicakup kasus-kasus sengketa dengan mempelajari bentuk konflik, siapa yang terlibat, penyebab, serta penyelesaiannya. Kajian sengketa dapat menjadi data untuk analisa kekuasaan dan politik dalam masyarakat bersangkutan melibatkan perubahan-perubahan pada hak milik dan penetapan-penetapan perjanjian. Secara terbatas juga dicakup kasus-kasus sengketa dengan mempelajari bentuk konflik, siapa yang terlibat, penyebab, serta penyelesaiannya. Kajian sengketa dapat menjadi data untuk analisa kekuasaan dan politik dalam masyarakat bersangkutan.

 


HASIL DAN PEMBAHASAN


 


Proses Pembentukan Desa  dan  Struktur  Masyarakat


          Sejarah pembentukan desa dan pola pemukiman merupakan latar penjelas penting untuk menerangkan bagaimana terjadinya struktur agraria dan proses pembentukannya. Kedua desa merupakan desa bentukan yang baru, mulai  didiami penduduk tahun 1961 yang datang sebagai migrasi swakarsa. Sebelumnya daerah ini merupakan tanah kosong berupa hutan primer yang belum pernah dibuka.  Secara umum, kedua desa banyak memiliki kesamaan, baik sejarah pembentukannya maupun struktur sosialnya saat ini.

Migran pertama yang datang ke Desa Sintuwu tahun 1961 adalah lima keluarga suku Kaili Taa dari Desa Bakubakulu, yang kemudian diikuti oleh beberapa keluarga Kaili Taa dari Desa Bunga. Suku Bugis datang tahun 1968,  yang sebelumnya sudah lama berdomisili di kota Palu. Sepanjang era 1970-an mereka seluruhnya berasal dari  para perantau di kota Palu, lalu diikuti oleh perantau langsung dari daera asal di Sulawesi Selatan. Dengan bekal sosial budaya sebagai suku yang biasa bermigrasi dan memiliki kemampuan di bidang usaha pertanian yang lebih baik, maka mereka tampak lebih berhasil secara ekonomi dibandingkan suku-suku lain saat ini.

Kelompok suku yang terakhir datang adalah Suku Kaili Ledo dari Kecamatan Biromaru, Kaili Tara dari Desa Lasoanne Kecamatan Palu Barat, serta Suku Kulawi dari Kecamatan Kulawi. Kaili Ledo datang hampir bersamaan dengan Kaili Tara pada awal tahun 1980. Mereka diizinkan tinggal di dusun 3 sebagai dusun terakhir yang dibuka, dimana setiap pendatang diberikan tanah pekarangan oleh kepala desa di sepanjang “jalan Jepang” masing-masing 0,25 hektar. Mereka tertarik datang karena tanah-tanah di sini masih banyak yang kosong dan cukup dengan izin kepala desa. Migran Kaili Tara terpaksa bermigrasi ke sini karena wilayahnya yang di pinggir kota Palu terdesak oleh alih fungsi menjadi perumahan dan perluasan lapangan terbang.

Suku Kulawi datang di desa ini pada akhir tahun 1980-an. Sama seperti Suku Kaili Ledo dan Kaili Tara, pertama datang mereka juga memohon izin tinggal langsung kepada kepala desa. Karena saat itu sudah tak ada lagi tanah kosong di dalam desa, maka mereka hanya memperoleh sedikit pekarangan di sepanjang jalan Jepang di wilayah Katopi Atas. Mereka saling memiliki hubungan keluarga satu sama lain, dan saling mengajak kerabat ketika mau migrasi ke desa ini.

          Masyarakat Desa Berdikari juga merupakan masyarakat multietnik, yang seluruhnya merupakan kaum pendatang. Di desa ini pemukiman penduduk juga mengelompok berdasarkan suku dan daerah asal. Pada 1961 datang 3 keluarga suku Kulawi, yaitu Bapak Rou Lologau beserta adik dan kerabatnya, ketika belum ada satupun penduduk disini. Desa ini dibuka dari barat ke timur secara berangsur-angsur. Proporsi penduduk terbanyak setelah Suku Kulawi adalah Suku Bugis. Kadatangan Suku Bugis dimulai tahun 1970-an dengan kuantitas yang sama sampai dengan akhir 1980-an. Disini juga berlaku pola umum, dimana pendatang Bugis pertama bermukin lebih di barat dan pendatang selanjutnya lebih ke timur.

Pola migrasi Suku Bugis sama dengan yang terjadi di desa Sintuwu. Para migran Bugis dekade 1970-an dan 1980-an sebelumnya sudah lama menetap di kota Palu, sedangkan migran pendatang terakhir (1990-an) umumnya langsung dari daerah asal di Sulawesi Selatan. Migran yang tergolong pasca perintis (second wave migrant) umumnya memiliki modal usaha yang lebih kuat.

          Penduduk Desa Berdikari didominasi oleh Suku Kulawi dan Bugis, yang berjumlah hampir 80 persen dari seluruh penduduknya. Suku-suku lain yang berjumlah lebih sedikit adalah Suku Toraja dan Manado. Waktu kedatangan serta alasan migran Suku Toraja dan Manado ke Desa Berdikari memiliki banyak persamaan. Mereka tergolong pendatang paling akhir dari kelompok suku (mulai tahun 1970-an), karena itulah pemukiman mereka saat ini lebih banyak terdapat di dusun 3.

          Migran perintis Toraja adalah para pegawai di kantor-kantor pemerintahan di kota Palu atau guru-guru sekolah di Kecamatan Palolo. Mereka membeli tanah di desa Berdikari ketika harga tanah masih sangat murah. Aliran pendatang terbanyak terjadi pada era 1990-an, yaitu di tanah milik instansi TNI Korem 132 Sulawesi Tengah. Mereka yang menjadi buruh dengan gaji bulanan atau menyakap bagi hasil tanah-tanah Korem tersebut adalah yang memiliki hubungan keluarga dengan pemilik tanah. Selanjutnya mereka mengajak keluarga Toraja yang lain menjadi petani penyakap pada tanah Korem lain meskipun tidak memiliki hubungan keluarga.



Masyarakat yang Menjadikan Ikatan Kekerabatan[1] sebagai Dasar Strukturnya (sosiogenealogis)



          Penggunaan kekerabatan sebagai jalur migrasi selanjutnya mengkristal dalam strukur masyarakat yang terbentuk saat ini. Berdasarkan struktur pemukiman penduduknya, wilayah desa terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok suku, karena kecenderungan bermukim menurut suku yang sama. Pola pemukiman demikian terbentuk berdasarkan waktu kedatangan dan karena ikatan kekerabatan. Setiap kelompok pemukiman merupakan satu kerabat karena saling memiliki hubungan tali darah, sesuku dan masih dalam satu keluarga luas (extended family). Hal ini disebabkan karena migrasi mereka ke desa ini menggunakan jaringan sosial (social network) kerabat dan bersifat migrasi berantai (chain migration). Kedatangan para migran perintis setiap suku dilakukan secara berombongan dan memilih suatu tempat, yang kemudian mengajak kerabatnya ke tempat tersebut.

Selain secara fisik mereka berkelompok berdasarkan suku, dalam struktur sistem sosial pun mereka terkotak-kotak dalam kelompok-kelompok suku. Tabel 1 memperlihatkan bahwa di Desa Sintuwu, suku Kulawi hanya ada di dusun 1, sedangkan suku Kaili Tara dan Ledo hanya bermukim di dusun 3. Interaksi sosial dengan sesama anggota suku lebih intensif dibandingkan dengan suku di luarnya, baik dalam hubungan produksi pertanian maupun aktivitas sosial budaya. Hal ini menimbulkan sikap etnosentrisme dan lambatnya proses akulturasi.

Struktur masyarakat yang terkotak-kotak dalam kelompok ikatan genealogis dan kesukuan menyebabkan ikatan teritorial masyarakat sedesa lemah. Hal ini misalnya tampak dari sulitnya membangun kelembagaan pemerintahan desa yang kuat. Masing-masing suku tinggal berdampingan dengan areal pertanian yang dikuasainya, baik areal kebun maupun sawah. Tiap kompleks sawah dikuasai suku tertentu.

          Di Desa Berdikari, dengan mencermati pola pemukiman penduduk pada Tabel 2, terlihat bahwa Suku Kulawi sangat dominan di Dusun 1, karena hanya merekalah pendatang ke desa ini sepanjang tahun 1960-an, sedangkan suku Kulawi di Dusun 2 dan 3  merupakan pendatang gelombang berikutnya ditambah dengan turunan Suku Kulawi dari Dusun 1. Artinya, kedatangan  Suku Kulawi dalam jumlah relatif banyak pada dua dasawarsa pertama (1960-an dan 1970-an), dan semakin berkurang pada dua dasawarsa berikutnya (1980-an dan 1990-an).  Sebaliknya Suku Bugis, yang pemukimannya lebih menyebar, menandakan  bahwa tahun kedatangannya terjadi dalam kurun yang panjang, dan lebih banyak pada pada era 1980-an. Suku Bugis dan Toraja paling banyak berada di Dusun 3, yang menandakan bahwa merekalah migran terbanyak pada era 1980-an dan 1990-an dibandingkan suku-suku lain.



Tabel 1.  Sebaran penduduk beradasarkan dusun dan suku di Desa Sintuwu, 2001.

Suku dan sub suku
Jumlah rumah tangga
Dusun 1
Dusun 2
Dusun 3
Total

%

1.      Kaili Taa
2.      Kaili Tara
3.      Kaili Ledo
4.      Bugis
5.      Kulawi
6.      Kaili Ija, Kaili Unde, Kaili Rai, Toraja, Sunda Dan Bali


30
0
0
42
30
10

65
0
0
51
0
10

3
60
25
2
0
0

98
60
25
95
30 
20 


29,9
18,3
7,6
29,0
9,1
6,1

T o t a l
112
126
90
328
(1205  jiwa)
100

Sumber:  Data Profil Desa Sintuwu tahun 2000 digabungkan dengan catatan sekretaris desa dan wawancara dengan informan kunci.



Tabel 2.   Sebaran penduduk beradasarkan dusun dan suku di Desa Berdikari, 2001.

Suku dan sub suku
Jumlah rumah tangga
Dsn 1
Dsn 2
Dsn 3
Total

%

1.      Kulawi
2.      Bugis
3.      Toraja
4.      Manado
5.      Poso, Jawa, Kaili, dan Sunda

175
22
11
3
8

63
21
13
2
6

5
67
36
6
6

243
110
60
11
20

54,7
24,8
13,5
2,5
4,5

219
105
120
444
(1782 jiwa)
100,0

Sumber: Data Profil Desa Berdikari tahun 2000 digabungkan dengan catatan sekretaris desa dan wawancara dengan informan kunci.



Secara umum, tampak bahwa lokasi pemukiman berkaitan erat dengan cara memperoleh tanah. Suku Bugis sedikit di Dusun 2 karena tanah dominan adalah sawah yang jarang dijual, padahal orang Bugis umumnya memperoleh tanah dengan membeli. Suku Kulawi yang terbiasa membuka tanah sendiri terhalang masuk ke Dusun 3 karena tanah bebas sudah tak ada.  Sebaliknya orang Toraja banyak dijumpai di Dusun 3 karena mereka memperoleh tanah dengan cara menyakap.

          Sebagaimana di Desa Sintuwu, faktor suku juga menjadi sentimen yang memberi kerangka struktur sosial penduduk Desa Berdikari. Hal ini secara fisik terlihat dari pemukiman yang sesungguhnya berkelompok berdasarkan kerabat dekat. Kuatnya ikatan sosial sesuku juga terlihat dari pelaksanaan peristiwa-peristiwa  budaya, khususnya dalam prosesi kematian dan perkawinan. Setiap orang akan mengundang warga sesukunya khususnya yang berasal dari desa asal yang sama.

Dari uraian di atas terlihat bahwa pada kedua desa belum berhasil dibangun suatu organisasi sedesa yang cukup kuat, baik dengan dasar ikatan teritorial maupun genealogis. Dengan demikian, mereka belum dapat dikatakan sebagai sebuah “komunitas”, namun lebih merupakan masyarakat multietnik yang dikonstruksi melalui ikatan genelaogis suku dan kerabat dekat, atau disebut sebagai “masyarakat yang bercirikan hubungan sosiogenealogis”.



Peranan Sosiogenealogis dalam Pembentukan Struktur Agraria (Cara Memperoleh Tanah)




          Ikatan kekerabatan (sosiogenealogis) dapat disebut sebagai faktor esensial dalam menjelaskan terbentuknya struktur agraria masyarakat. Stuktur penguasaan lahan dalam konfigurasi antarsuku, pada gilirannya membentuk struktur ekonomi dan kekuasaan dalam masyarakat.  Indikator kunci untuk menerangkan hubungan ini adalah faktor cara seseorang memperoleh tanah yang saat ini dikuasainya.



A. Desa Sintuwu


Seluruh penduduk di Desa Sintuwu menguasai tanah kering baik dengan status milik sendiri atau menyakap. Hanya sedikit penduduk yang memiliki sawah.   Sebagian penduduk hanya memiliki tanah pekarangan sedangkan kebunnya berada di areal Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Secara agregat penguasaan tanah oleh Suku Bugis terluas dibandingkan suku-suku lain.

Secara umum, ditemukan perubahan pola cara perolehan tanah dari waktu ke waktu. Pada era 1960-an setiap pendatang dapat mengambil tanah seluas yang ia mampu garap dengan seizin kepala desa. Semenjak tahun 1980-an, ketika tanah dalam desa sudah habis terbagi, mulai banyak jual beli tanah, sehingga pendatang baru hanya bisa memperoleh tanah dengan cara membeli.

Cara memperoleh tanah garapan ditentukan oleh dua faktor, yaitu waktu kedatangan pertama kali atau waktu ia menginginkan tanah, serta identitas suku. Meskipun tiap pendatang pada dua dasawarsa pertama berkesempatan membuka tanah secara langsung, suku Bugis lebih suka membeli tanah yang sudah dibuka. Tabel 3 berikut menjabarkan cara responden berbagai suku memperoleh tanah yang saat ini dikuasainya.

Suku Kaili Taa sebagai pendatang pertama dulunya merupakan pemilik tanah yang terluas, namun kemudian banyak menjual tanah-tanahnya. Pendatang Kaili Taa lain adakalanya diberi tanah oleh keluarganya yang datang lebih dahulu. Hal ini banyak terjadi ketika tanah masih sangat murah. Memberi tanah kepada kerabat lain juga merupakan strategi untuk menarik penduduk yang lebih banyak ke desa ini ketika penduduk masih jarang. Setelah periode ini, kerabat baru yang datang biasanya menyakap atau membeli tanah dari kerabat sendiri[2].

Dari Tabel 3 terlihat, dari 43 kasus persil tanah, cara perolehan tanah oleh suku Kaili yang terbanyak adalah dengan membeli dari kerabat (32,5%) dan diberi oleh kepala desa atau kerabat (30,2%). Responden yang menjawab "diberi" dalam hal ini berarti ia memperoleh tanah tersebut karena diberikan oleh keluarganya, terutama orang tua. Fenomena "diberi oleh keluarga" merupakan pola kedua setelah sebelumnya dibuka oleh anggota keluarga tersebut. Dalam kategori "membeli" kebanyakan adalah membeli dari sesama Kaili. Tidak ditemukan satupun kasus dari suku Kaili yang membeli dari suku Bugis, namun banyak yang mengaku membeli dari kepala desa.

Suku Kaili Ledo dan Kaili Tara yang datang relatif terlambat (tahun 1980-an) diberi tanah oleh kepala desa di Dusun 3 yang hanya cukup untuk pekarangan. Ketidakcukupan uang untuk membeli tanah yang harganya sudah mulai tinggi menyebabkan mereka berkebun di dalam areal taman nasional[3].



Tabel 3.  Cara prolehan tanah berdasarkan suku di Desa Sintuwu, 2001 (menurut jumlah persil).

Jumlah responden dan cara perolehan tanah
Suku
Kaili
Bugis
Kulawi
Total

Jumlah responden (orang)

Cara perolehan tanah (persil)
a.      Diberi
b.      Membeli
c.       Sakap dan sewa
d.      Ambil di TNLL


18


13
14
8
8


8


7
16
4
0



5


4
8
1
2


31


24
38
13
10

    T o t a l
43
27
15
85

Sumber: data primer, 2001.



Seperti migran yang lain, suku Bugis juga tidak memiliki modal uang yang cukup ketika pertama pindah ke desa Sintuwu. Karena itulah mereka yang datang pertama apabila tak mampu membeli tanah ada yang “bapetak”[4] di sawah orang lain atau menyewa, baru kemudian membeli.           Dari Tabel 3 terlihat, sebagian besar responden Suku Bugis mendapatkan tanah melalui membeli (59,2%), dan hanya 26 % yang diberi. Dalam kasus diberi, seluruhnya diperoleh oleh pemberian kerabat sendiri baik dari orang tua (warisan) maupun saudara. Memberi tanah antar kerabat banyak terjadi ketika harga tanah masih rendah pada tahun 1970-an.       Tidak seorangpun Suku Bugis yang memiliki kebun dalam areal taman nasional. Sikap mematuhi hukum dan pencapaian keberhasilan Suku Bugis secara ekonomi dilandasi oleh nilai-nilai budaya siri’, pacce, dan sipakatan yang direalisasikan dalam bentuk kerja keras serta saling bantu sesama kerabat[5].

Dibandingkan dengan Suku Kaili dan Bugis, Suku Kulawi memiliki tanah di dalam desa yang paling sempit, karena mereka datang akhir tahun 1980-an, ketika sudah tidak tersedia lagi tanah kosong di dalam desa. Selain berkebun di pekarangan, mereka  juga berkebun dalam areal taman nasional. Penduduk Suku Kulawi jarang melakukan transaksi tanah, baik menjual ataupun membeli. Untuk menjual tanahnya sempit, sedangkan untuk membeli mereka tidak mampu.

          Secara ringkas terlihat bahwa tanah dalam desa diperoleh melalui dua cara, yaitu dengan jalan membuka sendiri dengan izin kepala desa atau membeli dari kepala desa. Tanah yang diberikan ini kemudian diperjualbelikan lagi kepada sesama suku namun banyak yang berpindah tangan ke orang Bugis. Suku Kaili Ledo, Kaili  Tara dan  Kulawi juga memperoleh pembagian tanah dari kepala desa meskipun lebih sempit. Selanjutnya, tanah dalam desa yang dijual kepala desa banyak dibeli oleh Suku Bugis dan sedikit oleh Suku Kaili. Bagi Suku Bugis transaksi selanjutnya hanya kepada kerabat sendiri, namun tanah-tanah yang dimiliki Kaili Taa kemudian banyak juga yang dijual lagi ke orang Bugis.



B. Desa Berdikari


          Di desa Berdikari, penguasaan tanah pada Suku Bugis saat ini paling luas dibandingkan suku lain, meskipun Suku Kulawi dahulu adalah pemilik tanah terluas. Tabel 4 berikut memperlihatkan bahwa dari 30 orang responden atau 100 persil tanah, terlihat pola cara perolehan tanah yang cukup berbeda. Responden Suku Kulawi memperoleh tanah dengan membeli (38,5 %) dan diberi (35,9%), yang keduanya berasal dari keluarga atau kerabat sendiri. Sebaliknya Suku Bugis sangat dominan memperoleh tanah dengan cara membeli (60%), baik diperoleh dari Suku Kulawi maupun dari sesama Bugis, sementara Suku Toraja sebagian besar menyakap.



Tabel 4. Cara prolehan tanah berdasarkan Suku di Berdikari, 2001 (berdasarkan jumlah persil).

Jumlah responden dan cara perolehan tanah
Suku
Kulawi
Bugis
Toraja/Ma
nado, dll
Total

Jumlah responden (orang)

Cara perolehan tanah (persil)
a.      Diberi
b.      Membeli
c.       Sakap dan sewa
d.      Ambil di hutan negara


12


14
15
0
10


9


6
21
8
0


9


1
12
13
0


30


21
48
21
10

      T o t a l
39
35
26
100

Sumber: data primer, 2001.



          Tahun kedatangan seorang migran ikut menentukan bagaimana cara perolehan tanahnya, selain strategi ekonomi masing-masing suku, khususnya antara dua suku besar: Suku Kulawi dan Bugis. Suku Kulawi adalah pendatang pertama ketika di daerah ini belum ada penduduk satupun. Tabel 7 memperlihatkan bahwa dari 39 persil sampel tanah, 18 persil diperoleh dengan membuka sendiri tanpa membeli (8 persil membuka di wilayah  desa karena diberi kepala desa dan 10 di wilayah kehutanan). Dari kasus yang membuka di dalam desa, 6 kasus diberi oleh orang tua sendiri. Dalam kategori membuka sendiri berarti mereka membuka secara langsung tanah hutan yang belum ada pemiliknya dibawah otoritas kepala desa yang menentukan luas dan lokasinya. Rata-rata luas kebun orang Kulawi di dalam areal hutan adalah 1,5 ha, lebih  luas dibandingkan penguasaan karena diberi dan membeli.

     Membuka lahan bagi Suku Kulawi adalah kebiasaan dari dulu sampai sekarang. Jika dahulu membuka langsung hutan dalam kawasan desa, namun semenjak tahun 1980-an mereka sudah membuka dalam kawasan hutan negara. Dari 15 kasus perolehan dengan cara membeli, 12 kasus (80%) diantaranya adalah membeli dari sesama Kulawi dan umumnya dari kerabat sendiri. Saling menjual tanah sesama kerabat merupakan kebiasaan yang umum, bahkan ke anaknya sendiri maupun ke cucunya. Sikap ini merupakan bukti masih kuatnya fungsi ikatan kekerabatan, agar sumber daya ekonomi (tanah) tidak jatuh ke tangan orang atau suku lain.

Dalam kasus "diberi",  umumnya seseorang mendapatkan tanah karena warisan dari orang tua. Biasanya tanah dibagikan tidak lama setelah seorang anak berumah tangga, baik kepada anak laki-laki maupun perempuan. Setelah dibagi-bagikan masih tersisa tanah untuk persiapan biaya kematian bagi dirinya sendiri yang biasanya dijual ketika ia meninggal dunia. Dalam memilih pembeli mereka akan mengutamakan kepada lingkar keluarganya dulu. Mengingat kematian sering datang mendadak dan selamatannya harus segera dilakukan, maka pihak keluarga belum siap dengan uang tunai, sehingga biasanya tanah dijual ke Suku Bugis yang memiliki uang. Alasan lain menjual tanah adalah untuk biaya pesta perkawinan, selamatan kematian, membangun rumah, atau biaya berobat.

Berbeda dengan Suku Kulawi, orang Bugis umumnya memperoleh tanah dengan membeli (sebagaimana di Desa Sintuwu). Dari 35 persil sampel, kasus membeli dijumpai 21 kasus (60%), terutama membeli dari Suku Kulawi. Pembelian tanah dari sesama Bugis terjadi antar sesama kerabat juga. Membuka hutan secara langsung tidak umum bagi migran Bugis, karena selain membutuhkan tenaga, juga kepastian hukum (secured tenure) tampaknya merupakan hal penting bagi mereka. Suku Bugis umumnya dulu bersawah sebagai jalan untuk mencari modal, dan baru beralih berkebun semenjak harga kakao mulai meningkat.

          Suku Manado dan Toraja tergolong sebagai pendatang terakhir. Pendatang pertama datang secara sendiri-sendiri, sedangkan pendatang terbanyak tahun 1990-an merupakan pensiunan tentara Korem dan Kantor Bendahara Negara (KBN) yang mendapat tanah dari instansinya tersebut. Sebagian besar pemilik menyakapkan tanahnya kepada kerabatnya sendiri sesama suku Toraja yang kemudian mengajak keluarganya yang lain untuk menjadi petani penyakap pada tanah lain. Dari Tabel 4 terlihat, bahwa 9 dari 15 persil sampel tanah yang dikuasai suku Toraja adalah tanah sakapan, sebagai tenaga kerja yang menerima  gaji bulanan, atau “hak pakai” dari tanah-tanah milik Korem. Hanya ada 6 kasus yang yang memperoleh tanahnya dengan membeli, baik dibeli dari sesama Toraja ataupun dari Suku Kulawi.

          Dari uraian di atas dapat diringkaskan suatu skema umum transaksi tanah di desa Berdikari. Sumber agraria dapat dibedakan menjadi tanah dalam desa, tanah milik instansi (yang diperoleh dengan izin Bupati Donggala tahun 1970-an), dan tanah-tanah kehutanan. Bagi tanah dalam desa, eksekusi tanah dilakukan dalam dua bentuk: diberikan secara gratis atau dijual oleh kepala desa. Suku Kulawi yang lebih dahulu datang paling banyak diberi tanah. Penjualan tanah dalam desa oleh Kepala desa dahulu hanya dilakukan kepada orang dari Suku Bugis.

          Jual beli tanah sangat marak di desa ini mulai di era 1970-an sampai awal 1990-an. Harga tanah tergantung kepada sifat kebutuhan apakah si penjual yang butuh uang atau si pembeli[6], lokasi tanah (dipinggir jalan atau bukan), serta apakah pembelinya masih satu kerabat atau bukan, jarak hubungan kekerabatannya.

         

Faktor Sosiogenealogis sebagai Pembentuk terjadinya Ketimpangan Stuktur Agraria (Penguasaan Lahan, Ekonomi dan Kekuasaan)



          Pembentukan struktur agraria merupakan proses yang terjadi bersamaan dengan keterjaminan keamanan sosial ekonomi. Pada masyarakat yang memiliki usaha ekonomi yang seragam (usahatani kakao) dimana hampir seluruh penduduknya menggantungkan hidup kepada pertanian berbasiskan lahan (land based agricultural), struktur sosial masyarakat yang terbentuk juga merupakan gambaran dari struktur agraria dan keterjaminan keamanan sosial ekonomi dimaksud. Pemilikan tanah yang lebih luas, pada sebagian besar orang Bugis, menempatkannya pada posisi yang lebih terjamin keamanan sosial ekonominya. Dengan kata lain penguasaan lahan menentukan posisi level ekonomi seseorang dan keluarga, yang selanjutnya menentukan posisi dalam struktur kekuasaan di tingkat desa.

Penguasaan lahan yang semakin sempit pada Suku Kaili di Desa Sintuwu dan Suku Kulawi di Desa Berdikari, menempatkan mereka pada kelas ekonomi yang lebih rendah. Bentuk kekuasaan yang mengandalkan kekerasan, khususnya semenjak era reformasi, mendorong penyerobotan tanah di kawasan hutan yang terlarang. Penguasaan lahan yang sempit ini juga terkait dengan institusi penjamin keamanan sosial ekonominya yang lemah. Ikatan sesuku sebagai organisasi penjamin bagi orang Kulawi misalnya berada dalam kondisi relatif lebih lemah, karena sesama mereka memiliki struktur ekonomi rumah tangga yang hampir sama pula. Jauhnya jarak ke desa asal memaksa mereka menjadikan kerabat yang di Sintuwu saja sebagai penjamin keamanan sosial ekonominya. Sebaliknya, orang Bugis memiliki jaringan organisasi penjamin keamanan sosial ekonomi yang relatif lebih luas, mencakup sampai kepada kerabatnya di kota Palu.

Berbeda dengan penyakapan “bagi tanah”[7], penyakapan dengan bentuk “bagi hasil” umumnya terjadi antara mereka yang memiliki hubungan kerabat, misalnya antara sesama Bugis dan sesama Kaili Ledo di Sintuwu, serta sesama Toraja di Berdikari. Penyakapan jenis ini merupakan gejala yang relatif baru, dimana pihak penggarap umumnya adalah pendatang baru ke desa yang membutuhkan lahan garapan. Permintaan tanah garapan dihadapkan dengan kelebihan tanah pada para pemilik tanah luas, atau karena si pemilik tanah tidak lagi tinggal di dalam desa dan mempunyai usaha lain di kota.

Cara perolehan tanah juga menunjukkan struktur kekuasaan dan perubahannya dari waktu ke waktu. Perolehan tanah yang lebih luas dahulu pada suku Kaili di Sintuwu dan Suku Kulawi di Berdikari, disebabkan karena mereka merupakan pendatang pertama dan merasa sebagai “suku asli”.  Mereka membuka hutan dengan bebas dan memiliki wewenang untuk mendistribusikan tanah kepada migran yang datang kemudian melalui otoritas kepala desa yang juga dari suku yang sama. Kepala desa yang berwenang mutlak sebagai pemberi tanah kepada migran yang baru datang, lebih banyak memberikan kepada yang sesuku dengannya. Perilaku ini menunjukkan bahwa ia lebih menempatkan dirinya sebagai “pemimpin suku” daripada seorang kepala desa yang mestinya bersikap sama terhadap pendatang dari suku lain. Ia lebih mementingkan membangun ikatan genealogis sesuku daripada ikatan teritorial sedesa.

Gejala polarisasi penguasaan tanah saat ini,  khususnya untuk tanah dalam desa, mengarah kepada Suku Bugis. Proses ini  terjadi melalui mekanisme pasar, bukan kekuasaan berlandaskan nilai-nilai tradisional.  Perbedaan strategi usaha tani dan struktur ekonomi rumah tangga antar suku sangat memungkinkan hal ini terjadi.  Suku Kaili dan Kulawi dibebani oleh kewajiban prosesi budaya yang membutuhkan biaya yang besar untuk pesta perkawinan dan selamatan kematian. Ketimpangan struktur ekonomi rumah tangga telah mendorong terjadinya ketimpangan akses terhadap tanah, yang pada gilirannya akan lebih memperburuk kondisi ekonomi mereka di masa depan.

Struktur akses terhadap sumber-sumber agraria dan keterjaminan keamanan sosial ekonomi pada gilirannya menentukan bagaimana tiap orang memperlakukan tanahnya sebagai sumber ekonomi terpenting. Mereka yang menguasai tanah lebih sempit dan keamanan sosial ekonomi kurang terjamin menyulitkan dalam menanam tanaman kakao yang masa panen awalnya perlu waktu lama (4-5 tahun). Hal ini banyak ditemukan pada Suku Kaili Taa di Sintuwu yang sampai sekarang sulit untuk mengkonversi sawahnya menjadi kebun kakao karena sawah yang dikuasainya terbatas hanya untuk memenuhi konsumsi sendiri. Apabila sebagian sawah dijadikan kebun kakao, maka mereka khawatir sawah yang tersisa tidak mencukupi untuk kebutuhan beras mereka. Pada saat bersamaan anggota kerabat yang lain juga tidak dapat lagi diandalkan untuk mendapatkan tanah yang baru, karena masing-masing juga telah banyak yang menjual tanah-tanahnya sehingga sisa tanah yang dikuasainya hanya cukup untuk kebutuhan mereka masing-masing.

Ketidakcukupan atau ketimpangan struktur akses terhadap tanah di dalam kawasan desa telah menyebabkan ekspansi ilegal penduduk ke kawasan hutan. Sebaliknya, rusaknya ekosistem hutan, khususnya sistem hidrologinya terbukti telah memperkecil debit serta fluktuatifnya aliran air sungai. Kondisi ini mulai dirasakan mengancam kesuburan tanah dalam desa. Sebagian sawah di Desa Sintuwu telah dikonversi menjadi kebun kakao karena kurang terjaminnya pasokan air irigasi akhir-akhir ini.

          Pada sisi lain, keutuhan sistem sosial mendapat tantangan yang berat di masa depan karena dihadapkan kepada struktur kekuasaan yang selain masih terkotak-kotak dalam suku per suku (masyarakat yang multisuku namun tidak pluralis), juga karena ketimpangan ekonomi yang cenderung melahirkan struktur kekuasaan yang  juga akan timpang. Kohesivitas sosial sedesa sulit terwujud. Akibatnya, selain hal itu akan menimbulkan ketegangan sosial yang tinggi, juga  memperlemah posisi tawar terhadap “kekuasaan atas” dalam pemanfaatan sumber daya.



KESIMPULAN

Pada daerah bentukan baru terdapat indikasi bahwa pembentukan struktur agraria bersamaan dengan pembentukan struktur sosial masyarakatnya. Sebagai daerah yang didominasi oleh usaha pertanian, tanah merupakan sumber daya agraria terpenting bagi penduduk setempat. Masyarakat kedua desa adalah masyarakat pinggiran hutan yang belum lama terbentuk melalui migrasi swakarsa, dan masih hidup dalam kelompok-kelompok yang secara visual terlihat dari pola pemukiman berdasarkan suku. Sentimen genealogis menjadi penentu dalam pembentukan struktur agraria, dimana faktor sekerabat dan sesuku dijadikan preferensi utama dalam memberikan maupun dalam menjual tanah. Hal ini berimplikasi kepada semakin menguatnya ikatan sosial berdasarkan suku, dimana tanah menjadi objek perebutan antar suku.

Faktor antara yang menghubungkan kuatnya kaitan antara hubungan genealogis dengan sturktur agraria adalah keterjaminan sosial ekonomi. Pembentukan keterjaminan sosial ekonomi masyarakat menunjukkan pola yang berbeda berdasarkan kelompok suku. Hubungan-hubungan sosial dalam produksi yang berlandaskan sentimen genealogis dalam satu kerabat dan suku, menjadi salah satu institusi penjamin keamanan sosial ekonomi (socioeconomy security) ketika ikatan komunitas sedesa belum terbentuk sampai saat ini. Terdapat gradasi level organiasi sebagai penjamin beragam kebutuhan sosial ekonomi. Untuk mendapatkan tanah garapan misalnya, seseorang akan  lebih mengandalkan ikatan keluarga inti, diikuti oleh ikatan keluarga luas, satu tampat asal (desa sampai kabupaten) dalam satu suku, dan terakhir ikatan satu suku.

Kestabilan lansekap fisik ekosistem tampak mengalami degradasi karena perilaku eksploitasi yang tidak mengikuti prinsip-prinsip konservasi khususnya pada kawasan hutan.       Keberlanjutan kehidupan masyarakat, baik secara ekonomi maupun budaya, secara umum berada dalam kondisi terancam. Hal ini disebabkan menurunnya status kestabilan sumber-sumber agraria yang mereka miliki, serta struktur ekonomi dan kekuasaan yang kurang kondusif untuk membangun institusi sedesa yang kuat. Dalam kondisi seperti ini, pemberdayaan masyarakat setempat misalnya jangan memandang desa sebagai satu unit institusi sosial yang kohesif dan pemimpin formal desa sebagai representasinya, namun harus melakukan pendekatan kepada pemimpin-pemimpin pada satuan suku yang berbeda sebagai pemimpin yang realistis fungsional.




Daftar Pustaka

CIFOR. 1997. Hierarchical Framework for the Formulation of Sustainable Forest Management Standards: Principles, Criteria, and Indicators. Center for International Forestry Research, Bogor.

Denzin, Norman K. dan Y. S. Licoln. 1994. Introduction: Entering the Field of Qualitative Research (bab I). Dalam: Norman K Denzin dan Yvonn S. Lincoln (ed). 1994. Handbook of Qualitative Research. SAGE Publication.

Devung, G. S. 1999. Pranata Tradisional serta Praktek Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Masyarakat Kenyah di Wilayah Hulu Sungai Bahau (hal. 237-252). Dalam: Cristina Eghenter dan Bernard Sellato (editor). 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Jakarta: PHPA, The Ford foundatioan, dan WWF.

FAO dan IIRR. 1995. Resource Management for Upland Areas in Southeast Asia: an Information Kit. Farm Field Document 2. Silang, Cavite, Philippines.

Ginoga, K. dan Erwidodo. 2001. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Kondisi Hutan dan Masyarakat Sekitar Hutan. Jurnal Sosial Ekonomi, Puslitbang Sosial Budaya dan Ekonomi Hutan. Vol. 2 No.1 (hal 15-30)

Kartasubrata, Y.; S. Sunito.; dan D. Suhardjito. 1995. Social Forestry Programme in Java: a State of the Art Report. Perum Perhutani, PSP-IPB, Dan The Ford Foundation.

Kartono, K. 1986. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Penerbit Alumni, Bandung

Koetjaraningrat. 1974. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Penerbit Dian Rakyat.

Mattulada, H.A. 1985. Latoa: Satu Lukisan  Analisis Terhadap Antroplogi Politik Orang Bugis. Hasanudin University Press, Ujung Pandang.

Mattulada, H.A. 1990. Sejarah Kebudayaan “To Kaili” (orang Kaili). Badan Penerbit Universitas Tadulako. Palu.

Miles, M. B. dan A. M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. UI Press,  Jakarta (491 hal)

Muchtar, A. S. 1986. Pola Pemenfaatan Lahan di Daerah Penyangga serta Pengaruhnya terhadap Kelestarian TN Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Buletin Penelitian Kehutanan No. 483. Puslitbang Kehutanan, Bogor.

Ngo, THG M. 1989.  (Laporan Khusus) Antara Pemilik dan Pemanfaat: Kisah Penguasaan Lahan Orang Kayan di Kaimantan Barat. Majalah Prisma No. 4, 1989.

Ruwiatuti, M. R.; N. Fauzi; dan D. Bachriadi. 1998. Penghancuran Hak Masyarakat Adat atas Tanah: Sistem Penguasaan Tanah, Sengketa, dan Politik Hukum Agraria. KPA dan INPI-Pact. Xvi, 128 hal.

Scott, J. 1981. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3ES.

Soekanto, S. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, S. 1983. Kamus Sosiologi. CV Rajawali, Jakarta.

Soemardjan, S. 1988. Streotipe Etnik, Asimilasi, dan Integrasi Sosial. Yayasan Ilmu-Ilmu sosial.

Syafar, A. W. 1998. Nilai-Nilai Budaya dan Kebutuhan Berprestasi Perspektif Budaya Bugis-Makassar (hal. 33-52). Majalah Mimbar Sosek Vol. 11 No. 1 April 1998. Jurusan Sosek Pertanian, IPB.

Temple, G.P. 1976. memudarnya Involusi Pertanian: Migrasi, Tenaga Kerja, dan Pembagian Pendapatan di Pedesaan Jawa. Jakarta: Majalah Prisma No. 3, 1976.

Wibowo, A.P.P. 1993. Pilihan Kelembagaan dalam Pembangunan Hutan yang Berkelanjutan (hal 27-38). Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial No. 4 tahun 1993. PAU Ilmu-Ilmu Sosial UI dan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Yin, R. K. 1997. Studi Kasus: Desain dan Metode. PT Raja Grafindo Persada, Edisi 1. Cet. 2. Jakarta.





****





[1] Istilah kekerabatan yang dugunakan disini mengacu kepada hubungan kekeluargaan yang masih relatif dekat, misalnya beberapa tingkat hubungan sepupu, dimana orang Bugis menyebutnya “sepupu satu kali” untuk hubungan jika orang tuanya yang bersaudara, dan “sepupu dua kali” jika kakek-neneknya yang bersaudara; serta hubungan lain. Sedangkan istilah genealogis merupakan sebutan yang bermakna jauh lebih luas dari itu.
[2] Memperoleh tanah dengan cara membeli dari sesama kerabat menjadi pola yang sangat umum pada Suku Kaili Taa. Hal ini berakar dari prinsip "mempajagai harta memomoilinta tona" yang bermakna agar harta tidak berpindah kepada orang lain  yang menjadi pegangan secara adat (Mattulada, 1990: 90).

[3] Dari 18 orang responden suku Kaili  ditemukan 8 kasus yang saat ini berkebun kakao dalam kawasan taman nasional, dengan luas bervariasi antara 0,17 sampai 2 ha.

[4] “Bapetak” merupakan bentuk hubungan landtenure seperti halnya “ceblokan” di Jawa.
[5] Nilai siri’ menjadi daya pendorong untuk membanting tulang, bekerja sungguh-sungguh demi suatu pekerjaan, nilai  pacce menjadi daya dorong yang dapat menimbulkan solidaritas yang kokoh, sedangkan nilai sipakatan merupakan konsep keterbukaan yang dalam hubungan bisnis berarti saling menghidupi melalui kegiatan usaha yang saling menguntungkan (Syafar, 1998: 34-38; Mattulada, 1985: 62)
[6] Dikenal dengan istilah: “tanah cari uang” ataukah “uang yang cari tanah”.
[7] Pola “bagi tanah” terjadi pada tanah pensiunan pegwai pengadilan di Sintuwu dan tanah pensiunan tentara Korem di Berdikari. Karena pemiliknya tinggal di Palu, maka warga setempat dibolehkan membuka lahan untuk menanaminya dengan kakao. Setelah kakao berproduksi, maka seluruh lahan dibagi dua, masing-masing setengah untuk pemilik dan penggarap. Pola ini banyak ditemukan pada periode 1980-an.