Rabu, 20 November 2013

PERTANIAN JUGA MENJADI KORBAN DARI UUPA


“Pertanian juga menjadi korban dari UUPA:
tanggapan terhadap UUPA (dan amandemen  UUPA yang diajukan BPN)”
Oleh: Syahyuti @ 2005

            Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan” dan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”. Hal ini misalnya terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam Tap MPR  No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang menyebutkan bahwa: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”.       Aspek “penguasaan/pemilikan” jelas berbeda dengan aspek “penggunaan/pemanfaatan”, karena yang pertama berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua membicarakan bagaimana tanah (dan sumberdaya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan.
            UUPA No. 5 tahun 1960 (maupun amandemennya dari BPN), menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari aspek penggunaan. Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus (Bab II) dan mendominasi seluruh isi UUPA, yaitu dari pasal 16  sampai dengan pasal 51. Padahal batang tubuh UUPA hanya berisi 58 pasal.
            Selain jumlah yang lebih dominan, juga terbaca dengan mudah bahwa “aspek penggunaan” tanah diatur setelah hak penguasaan dimiliki (seseorang, pemerintah, ataupun badan swasta). Hal ini dapat dilihat pada  pasal 2 ayat 2, pasal 2A (amandemen), pasal 4 ayat 2, pasal 14 ayat 1, dan pasal 16 ayat 1A (amandemen). Artinya (mungkin), bahwa aspek kedua berada dalam aspek pertama, atau aspek kedua hanyalah bagian dari aspek pertama. Hal ini dapat dimengerti karena UUPA lahir di saat permasalahan penguasaan tanah menjadi sangat penting, yaitu bagaimana “merebut” tanah-tanah yang dikuasi pengusaha asing dan pemerintahan kolonial.
            Dengan pola pikir UUPA (dan amandemennya) yang seperti ini dapat dikatakan bahwa peraturan ini tidak melindungi kegiatan pertanian. Karena, terbaca dengan jelas, bahwa seseorang bebas untuk mengolah, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya; setelah relasi hukumnya dengan tanah tersebut jelas.

            Beberapa akibat (dan implikasi) yang terlihat selama ini dari paradigma berpikir UUPA tersebut adalah:

(1)   Pemerintah tidak dapat mengontrol konversi lahan-lahan pertanian ke non pertanian. Itulah kenapa Inpres dan berbagai Perda tidak bergigi. Bahkan mungkin dapat dikatakan bahwa, Inpres dan Perda tersebut tidak konsisten dengan UUPA.
(2)   Implikasinya, kebijakan pencadangan lahan abadi pertanian yang dicetuskan dalam RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan), yaitu 15 juta ha lahan basah ditambah 15 juta ha lahan kering, sesungguhnya tidak akan dapat direalisasikan. Peraturan yang ada tidak cukup menjamin kebijakan tersebut.
(3)   Lemahnya pengaturan dalam “aspek penggunaan“ tersebut, secara tidak langsung juga berdampak terhadap lemahnya pengaturan tata ruang dan kelangsungan ekosistem secara keseluruhan. Sebidang lahan yang sesungguhnya harus berupa hutan, dapat saja diolah menjadi lahan pertanian intensif, karena hak si penguasa tersebut dijamin dalam UUPA.

            Khusus untuk Departemen Pertanian, wewenangnya terbatas “hanya” pada aspek kedua, yaitu bagaimana sepetak tanah sebaiknya diolah, ditanami, dipupuk, dan dipelihara tanamannya; sehingga menghasilkan produksi pertanian. Itulah dalam organisasi Deptan terlihat ada bagian yang mengurusi teknologi pertanian, menyediakan modal, menyediakan prasarana, memikirkan pemasarannya, dan lain-lain. Itulah kenapa banyak pihak sering meledek bahwa Deptan hanyalah “Departemen bercocok tanam”.
            Artinya, dengan wewenang Deptan yang hanya terbatas pada aspek kedua (penggunaan dan pemanfaatan tanah),  sedangkan hal ini tidak dijamin cukup kuat secara hukum, terutama peraturan dasarnya (yaitu UUPA); maka dapat dikatakan bahwa memang kegiatan pertanian tidak cukup dijamin dan dihargai di negeri ini. Menyerahkan kegiatan pertanian, produksi pertanian,  dan ketahanan pangan, hanya kepada mekanisme pasar terbukti telah menyebabkan pertanian sebagai sektor yang kalah. Nilai ekonomi lahan (dan juga air) yang digunakan untuk kegiatan pertanian seringkali kalah jika lahan (dan air) tersebut digunakan untuk kepentingan lain misalnya untuk rumah, industri, pariwisata, dan lain-lain.
            Penulis tidak mengerti hukum, namun penulis berharap bagaimana istilah-istilah misalnya “produksi pertanian”, “ketahanan pangan”, dan “skala usaha ekonomis-minimal” dapat masuk ke dalam amandemen UUPA. Intinya adalah bagaimana “aspek penggunaan” dibuat lebih sejajar dengan “aspek penguasaan”, karena jika kita bicara reforma agraria keduanya harus dijalankan secara bersamaan. Revolusi hijau yang hanya memperhatikan “aspek penggunaan tanah” terbukti tidak berhasil optimal. Di sisi lain, betapa banyak petani yang melepaskan tanahnya ke pihak lain, karena mereka tidak cukup menguasai modal untuk mengolah tanahnya sendiri secara baik. Tanah yang sudah dikuasainya (aspek pertama) tidak bermakna ketika ia tidak mampu mengolahnya sendiri (aspek kedua).

(Syahyuti, peneliti bidang sosiologi pada PSE-KP Bogor).

******