DINAMIKA HUKUM AGRARIA DAN EFEKTIVITS LANDREFORM UNTUK MENINGKATKAN AKSES PETANI KEPADA LAHAN
Oleh: Syahyuti
(Peneliti Madya pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Paper disampaikan pada workshop “Penguasaan dan Fragmentasi Lahan Pertanian di Indonesia dan Dukungan Penelitian dalam Pelaksanaan UU No 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan..”, Cisarua 29 September – 1 Oktober 2011. Telah dimuat dalam Buku: Membangun Kemampuan Pengelolaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. IPB Press dan Badan Litbang Pertanian, 2011)
Abstrak
Pembangunan pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani selalu menghadapi kendala, karena pelaksanaan landreform di Indonesia yang tidak pernah efektif. Kajian terhadap berbagai aturan menunjukkan bahwa, meskipun tidak berhasil menjalankan landreform secara massal dan serentak, pemerintah selalu berupaya meningkatkan akses petani terhadap lahan melalui berbagai kebijakan. Perebutan hak penguasaan lahan dan bahkan konflik memperburuk akses petani terhadap lahan. Tulisan ini merupakan review terhadap berbagai kebijakan dihadapkan dengan dinamika penguasaan lahan oleh petani dalam setiap kurun pemerintahan. Analisis menunjukkan bahwa akses petani terutama petani kecil terhadap lahan cenderung semakin rendah. Dalam kondisi landreform yang tidak berjalan, beberapa program yang diimplementasikan adalah konsolidasi lahan, trasmigrasi, dan perbaikan sistem bagi hasil. Memasuki abad ke-21, dibawah kondisi ekonomi yang cenderung neo-liberal, landreform masih tetap menjadi agenda di beberapa negara, dan di Indonesia masih diakui sebagai sebuah program pemerintah secara resmi, meskipun kemajuannya sangat lambat.
Kata kunci: landreform, reforma agraria, akses lahan, petani
PENDAHULUAN
Reforma agraria terdiri atas dua aspek yakni aspek landreform dan aspek non-landreform (lihat Wiradi, 1984; Fauzi, 2002; Syahyuti; 2007). Landreform merupakan penataan ulang penguasaan lahan terhadap petani, sedangkan aspek non landreform berupa berbagai hal untuk mendukungnya misalnya dukungan prasarana, kredit, teknologi serta pendampingan dan pengembangan organisasi petani. Penataan kembali hubungan sewa dan atau bagi hasil yang dapat memberikan kepastian penguasaan garapan bagi penggarapnya juga termasuk dalam cakupan pengertian reforma agraria.
Landreform merupakan ide lama. Namun, meskipun tidak pernah berjalan efektif, secara resmi ia masih menjadi kebijakan pemerintah sampai saat ini. Sementara landreform tidak berjalan, ironisnya, saat ini terus berlangsung proses de-landreformisasi setiap hari. Petani secara berangsur-angsur terus menjual lahannya secara sadar dan legal. Jika tidak dijual, juga berlangsung fragmentasi lahan sehingga menjadi tidak lagi layak secara ekonomis untuk digarap.
Kenyataan lain, landreform yang terbatas tersebut tidak diikuti dengan dukungan aspek “non landreform”, sehingga penggunaan lahan tidak optimal, bahkan kembali di lepas ke pasar (Kasus di Sukabumi dan Cirebon). Bagi sebagian kalangan, landreform merupakan satu-satunya cara untuk meningkatkan akses dan penguatan hak petani terhadap lahan.
Paper ini memaparkan bagaimana hak penguasaan lahan untuk petani meski telah diakui namun belum berhasil ditegakkan. Hal ini terkait erat dengan perkembangan legislasi dan implementasinya, penegakan dan konflik, serta komitmen pemerintah. Selain memaparkan perkembangan upaya pengakuan dan penegakan hukum berkenaan dengan pemenuhan hak penguasaan lahan untuk petani di Indonesia, dilakukan analisis faktor-faktor penyebab berlangsungnya kondisi tersebut. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan beberapa saran kebijakan untuk penguatan pengakuan dan penegakan hukum lahan bagi petani di masa mendatang.
PENSTRUKTURAN KONSEP “PEMBARUAN AGRARIA” YANG LEBIH OPERASIONAL
Dalam Pasal 2 Tap MPR IX/2001, Pembaruan Agraria didefnisikan sebagai “Suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfatan sumber daya agraria ...”. Terlihat bahwa, dari empat point tersebut, pembaruan agraria terdiri atas dua sisi saja, yaitu: (1) sisi penguasaan dan pemilikan, dan (2) sisi penggunaan dan pemanfaatan. Kedua sisi ini jelas berbeda. Yang pertama berbicara tentang hubungan hukum antara manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua tentang bagaimana tanah dimanfaatkan secara fisik. Dengan kata lain, reforma agraria terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring. Namun sayangnya, sebagian besar pihak hanya tertarik kepada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan pemilikan”.
Dari berbagai literatur, maka sisi pertama saya sebut dengan “aspek landreform” dan sisi kedua menjadi “aspek non-landreform”. “Landreform” adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, “non-landreform” adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah, introduksi teknologi baru, perbaikan infrastruktur, bantuan kredit, dukungan penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain. Jadi, reforma agraria tidaklah semata-mata landreform, namun landreform yang dilengkapi dengan berbagai hal lain sehingga penataan dan pendistribusian tanah tersebut menjadi lebih bermanfaat, yaitu dengan bantuan bagaimana penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut sebaik-baiknya. Kesimpulannya, pembaruan agraria atau reforma agraria sama dengan “aspek landreform” ditambah “aspek non lendreform”.
Penstrukturan terhadap konsep ini ini sangat penting, karena Kementerian Pertanian misalnya hanya memiliki otoritas pada aspek non-landreform. Ketika landreform masih tinggal menjadi wacana, Kemtan sulit untuk dituntut melakukan pembaruan agraria secara utuh. Artinya, Kemtan hanya mampu mewujudkan “Pembaruan Agraria tanpa Landreform”. Sebaliknya, ketika landreform berhasil diimplementasikan, maka aspek-aspek non-landreform pun harus disiapkan. Distribusi tanah akan menjadi program yang sia-sia jika infrastruktur dan kelembagaan pendukung pertanian tidak disediakan. Hal ini penulis temukan di Sukabumi, dimana banyak petani yang memperoleh lahan dari kebun-kebun swasta yang sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar, malah menjualnya kepada orang kota karena mereka tidak mampu mengusahakannya; baik karena infrastruktur yang lemah, ketiadaan modal, maupun karena mental berusahatani yang lemah (Sumaryanto et al., 2002).
“Aspek landreform” dapat dimaknai sebagai penataan ulang penguasaan dan pemilikan tanah, dimana faktor pembentuknya adalah masalah hukum (negara dan adat), tekanan demografis, serta struktur ekonomi setempat misalnya ketersediaan lapangan kerja non-pertanian. Masalah yang dihadapi pada aspek ini adalah konflik penguasaan/pemilikan secara vertikal dan horizontal, inkosistensi hukum (misalnya antara UUPA dan “turunannya”), ketimpangan penguasaan dan pemilikan, penguasaan yang sempit oleh petani sehingga tidak ekonomis, serta ketidaklengkapan dan inkosistensi data. Aktifitas reforma agraria yang relevan pada aspek landreform ini misalnya adalah penetapan objek tanah landreform, penetapan petani penerima, penetapan harga tanah dan cara pembayaran, pendistribusian tanah kepada penerima, perbaikan penguasaan (misalnya perbaikan sistem penyakapan), serta penertiban tanah guntay (absentee).
Sementara pada “aspek non-landreform” yang didefinisikan sebagai penataan ulang penggunaan dan pemanfaatan tanah, faktor-faktor pembentuknya adalah faktor geografi, topografi tanah, kesuburan tanah, ketersediaan infrastruktur, kondisi ekonomi lokal dan global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan modal usahatani, serta insentif dari usaha pertanian. Permasalahan yang dihadapi sekarang dari sisi aspek ini di antaranya adalah kesuburan lahan yang rendah, degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebihan atau karena ketidaktepatan secara teknis, dan konflik penggunaan/pemanfaatan secara vertikal dan horizontal. Aktifitas pembaruan agrarian yang relevan adalah berbagai bentuk pengelolaan dan pengusahaan tanah secara tepat dan efisien, pembangunan infrastruktur, peningkatan produktifitas tanah dengan penerapan teknologi, perbaikan sistem pajak tanah, pemberian kredit usahatani, penyuluhan, penyediaan pasar komoditas pertanian, serta pengembangan keorganisasian petani.
Tabel 1. Rekonseptualisasi pembaruan agraria, struktur permasalahan, serta apa yang dapat dilakukan pada masing-masing aspek
DINAMIKA AKSES PETANI TERHADAP SUMBER DAYA LAHAN PADA BERBAGAI ERA
Penelusuran secara historik menunjukkan bahwa akses petani terhadap lahan tidak pernah menggembirakan. Berikut dipaparkan berbagai bentuk perubahan kebijakan tentang agraria dari masa ke masa.
Kepemilikan semu petani pada pada Masa Feodalisme
Pada era kerajaan, secara prinsip tanah (dan rakyat) adalah “milik raja”. Karena itu, setiap hasil dari tanah mesti disisihkan untuk raja, yang nilainya tergantung kepada luas dan hasil yang diperoleh (Fauzi, 1999). Akibatnya, petani kurang terdorong untuk mengoptimalkan surplus produksi, karena surplus tersebut tidak dapat dinikmati petani secara penuh, namun mengalir ke keluarga raja dan birokrasi keraton.
Struktur penguasaan tanah yang berlangsung merepresentasikan struktur sosial masyarakat di pedesaan. Pada masa abad 18 dan awal 19, secara umum di Jawa dikenal 3 kelas penguasaan tanah , yaitu: (1) Kelompok petani tuna-kisma yang kadangkala berlindung pada keluarga-keluarga petani yang memiliki tanah, namun juga sering merupakan tenaga kerja musiman yang tidak terikat dan cukup mobil. (2) Kelompok petani (sikep atau kuli) yang memiliki hak atas tanah, dan untuk hak tersebut berkewajiban membayar pajak dan upeti yang besar jumlahnya kepada pihak kerajaan. (3) Kelas pamong desa yang selain menguasai tanah pribadi, juga berhak menguasai sejumlah besar tanah desa sebagai upah mereka dalam mengatur pemerintahan (lungguh dan tanah bengkok), ditambah lagi hak memperkejakan sikep atau kuli untuk mengarap tanah mereka tersebut tanpa harus membayar upah.
Penelitian Breman (1986) di Cirebon menemukan struktur yang hampir serupa, dimana ada empat lapisan dalam masyarakat desa, yaitu: penguasa desa dan orang-orang penting lokal yang tidak pernah menggarap tanah secara langsung namun mendapat hak apanage atau lungguh dari raja, masyarakat tani (sikep) sebagai bagian inti masyarakat, para wuwungan (=penumpang) atau tuna kisma yang hidup sebagai buruh tani dan membangun rumah di pekarangan sikep karena tidak punya tanah sendiri, serta para bujang yaitu mereka yang belum keluarga.
Pada masa itu konsep kepemilikan menurut konsep Barat (property atau eigendom) memang tidak dikenal (Wiradi, 2000). Karena itu tanah-tanah tersebut bukannya dimiliki pejabat-pejabat atau penguasa, melainkan bahwa para penguasa itu dalam artian politik mempunyai hak jurisdiksi atas tanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka pertahankan, dan secara teroitis punya hak untuk menguasai, menggunakan, ataupun menjual hasil-hasil buminya sesuai dengan adat yang berlaku.
Tentang pola penguasaan tanah pada saat ini, ada perdebatan, apakah pemilikan tanah berbentuk hak komunal atau individual. Namun menurut van de Kroef (1984), terdapat beragam bentuk penguasaan antar daerah di Jawa, dimana penguasan individual dan juga kolektif ada pada satu daerah secara bersamaan. Pola penguasaan tanah cenderung berada di antara dua kutub yang berlawanan, yaitu pemilikan komunal yang kuat atau hak ulayat, dan pemilikan perorangan dengan beberapa hak istimewa komunal. Disamping itu, juga ada tanah “individual”, yaitu sebidang tanah yang dapat dikuasai selama-lamanya oleh satu keluarga, dapat melimpahkan ke ahli warisnya, walau pengalihan ke luar desa tidak diperbolehkan.
Bentuk tradisional yang paling umum adalah hak penguasaan secara komunal semua tanah, baik yang dapat ditanami maupun sebagai cadangan, yang seluruhnya berada di bawah pengawasan desa, dimana petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa. Hal ini sama kondisinya dengan pengaturan penggunaan pemakaian tanah adat oleh dewan “doumtuatua” di Bima (Brewer, 1985).
Petani Menyewa ”Tanah Pemerintah” pada era Pemerintahan Kolonial
Dua kebijakan pokok yang dirasakan sangat berpengaruh besar - bahkan hingga saat ini - pada masa pemerintahan kolonial, adalah pengenaan pajak tanah dan mulai berlakunya sistem penyewaan tanah dalam jangka panjang (25 –30 tahun) yang dikenal dengan erfpacht atau tanah dengan Hak Guna Usaha (HGU). Pemerintah kolonial bekerjasama dengan golongan elit feodal (para bupati). Pajak tanah dimulai ketika masa Gubernur Jenderal Raffles. Saat itu, seluruh tanah dianggap sebagai tanah desa, sehingga pemerintah desa menarik pajak tanah berupa natura dari penduduk.
Lalu, pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agararia tahun 1870 (Agrarische Wet). Peraturan ini bersifat dualistis, dimana bagi orang asing berlaku hukum Barat, sedangkan bagi rakyat Indonesia berlaku hukum adat. UU ini menjamin kepemilikan pribumi atas hak-hak adat, serta memungkinkan penduduk untuk mendapatkan hak pribadi. Mulai saat itu, dimungkinkan untuk memiliki mutlak (hak eigendom) termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak lain. Tujuan untuk melindungi dan memperkuat hak atas tanah bagi bangsa Indonesia asli, ternyata jauh dari harapan (Wiradi, 2000). Apalagi ditambah sikap para raja dan sultan baik di Jawa maupun di Luar Jawa yang lebih tergiur untuk memberikan konsesi kepada para penguasa swasta asing, dibanding memberikannya ke warga sendiri. Konflik pertanahan antara pihak swasta yang didukung pemerintah dengan masyarakat sudah mulai terjadi.
Era berikutnya, dengan asumsi bahwa tanah adalah milik Belanda, pemerintah melakukan kebijakan sistem sewa tanah kepada petani (Fauzi, 1999: 28). Sistem sewa ini pada dasarnya agar dapat memberikan kebebasan dan kepastian hukum serta merangsang untuk menanam tanaman dagang kepada petani, bukan benar-benar memberikan penguasaan lahan yang riel kepada petani.
Jadi, dengan pola penguasaan disewa atau dengan pajak, masih bersifat sepihak yaitu untuk kepentingan diri Belanda belaka. Di era kerajaan maupun Belanda, kondisinya masih sama, petani tetaplah seorang penggarap dengan kewajiban menyerahkan sebagian hasilnya kepada pihak penguasa.
Secara ringkas, sebagaimana dikatakan Husken (1998), pemilik tanah yang jumlahnya sedikit namun menguasai tanah sangat luas dan berkuasa mengatur proses produksi. Mereka memiliki akses kuat ke dunia politik dan menguasai tanah sawah dan pengatur tenaga kerja, sementara para petani sesungguhnya, yang mengolah tanah, memelihara tanaman, mengatur air, dan memanennya; hanyalah pengikut yang powerless. Saat ini masih dapat dijumpai di Jawa beberapa orang dalam satu jaringan keluarga besar yang memiliki tanah sawah luas, terutama pada lokasi basis tebu di Jawa Tengah dan Timur.
Landreform terbatas pada era Orde Lama
Masa Orde Lama, yaitu mulai dari kemerdekaan sampai dengan tahun 1966, merupakan masa tumbuhnya kebijakan agraria yang idealis. Pada masa ini berhasil dihasilkan suatu produk hukum yang sangat fundamental yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) no. 5 tahun 1960. Selain itu juga berhasil disusun dan diundangkan UU no. 56 tahun 1960 tentang landreform, serta UU no. 2 tahun 1960 tentang Bagi Hasil untuk pertanian dan UU 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil pada usaha perikanan laut. Dengan lahirnya UUPA, artinya pemerintah memberi perhatian serius terhadap pentingnya permasalahan agraria sebagai landasan pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan.
Kegiatan landreform yang ideal pernah berjalan setelah kelahiran UUPA ini, namun kemudian gagal karena ditunggangi oleh muatan politik (Partai Komunis Indonesia). Landreform, dalam arti redistribusi tanah, mulai dilaksanakan sekitar tahun 1961, dan marak sampai tahun 1965. Setelah itu, landreform tetap berjalan namun dalam kecepatan dan luas yang sangat lambat. Meskipun demikian, sampai dengan tahun 2000, setidak-tidaknya sebanyak 840.227 hektar tanah obyek landreform sudah didistribusikan kepada 1,328 juta lebih keluarga petani yang tersebar di seluruh Indonesia . Pelaksanaan landreform di Indonesia mengalami stagnasi, tersendat-sendat, dan tidak tuntas. Hambatan utama pelaksanaan landreform adalah lemahnya kemauan politik dari pemerintahan Orde Baru yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Program landreform dimulai setelah keluarnya seperangkat peraturan perundang-undangan landreform, seperti Undang-Undang No 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir, UU No 2/1960 tentang Bagi Hasil, UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No 56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, Peraturan Pemerintah (PP) No 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, serta perangkat peraturan lainnya. Penyebab utama kegagalan landreform adalah karena rendahnya kemauan dan dukungan politik, tidak tersedianya biaya, data dan informasi, serta lain sebagainya.
Pada periode 1945—1960 tumbuh semangat untuk menata-ulang masalah pemilikan, penguasaaan dan penggunaan tanah. Dilaksanakan uji coba landreform dengan skala terbatas. Berdasar UU No. 13/1946, dilangsungkan landreform di daerah Banyumas, serta UU Darurat No. 13/1948 untuk landreform di daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta. Pada periode ini dihadapi situasi yang dilematis. Di satu pihak, gagasan awalnya bahwa proyek utama reform itu adalah tanah-tanah perkebunan dengan hak erfpacht , tanah-tanah absentee, bekas tanah-tanah partikelir, dan tanah-tanah terlantar. Tapi, sesuai perjanjian KMB, rakyat harus dikeluarkan dari tanah-tanah perkebunan milik modal swasta Belanda. Tahun 1957 akhirnya Indonesia membatalkan perjanjian KMB, dan tahun 1958 dilangsungkan proses nasionalisasi perkebunan-perkebunan besar milik asing, serta melalui UU No. 1/1958 menghapuskan tanah-tanah partikelir.
Pada periode demokrasi terpimpin (1960—1965), tidak banyak kemajuan. Sukarno menerapkan kebijakan agraria (neo) populis, dimana land reform dijalankan melalui ”Paket UU Landreform”. Dalam operasionalisasinya digunakan PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Distribusi dan Ganti Rugi Tanah, PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah, serta UU No.21/1964 Pengadilan Landreform.
Reforma agraria tanpa Landreform pada Era Revolusi Hijau Orde Baru
Sepanjang pemerintahan Orde Baru, yaitu selama tiga dasawarsa, dapat dikatakan landreform tidak dilaksanakan sama sekali. Meskipun demikian, usaha privatisasi tanah tetap diusahakan pemerintah Orde Baru melalui program sertifikasi tanah meskipun kurang memuaskan. Sejak tahun 1960, telah diterbitkan 23,6 juta sertifikat tanah. Dari jumlah itu, sebanyak 66 persen merupakan hasil pendaftaran secara sporadis (inisiatif pemilik tanah). Sisanya 34 persen adalah hasil kegiatan secara sistematik (inisiatif pemerintah). Harus diingat, sertifikat yang diterbitkan itu baru mencakup sebagian kecil dari total tanah di Indonesia yang seharusnya dilegalisasi.
Pemerintah hanya mengejar industrialisasi pertanian, tidak memperhatikan sama sekali aspek struktur penguasaan tanah. Pemerintah meneruskan program pembangunan perkebunan-perkebunan berskala besar dengan tanah-tanah yang luas, namun kurang memperdulikan semakin banyaknya jumlah petani yang tidak bertanah dan sangat membutuhkannya. Pembangunan pertanian Revolusi Hijau tanpa landreform, tanpa sadar telah meminggirkan petani kecil. Program revolusi hijau dipercaya telah menimbulkan polarisasi sosial ekonomi, atau setidak-tidaknya penegasan stratifikasi, dan terusirya kelompok petani landless dari pedesaan (Tjondronegoro, 1999). Permasalahan lainnya adalah penyusutan lahan pertanian, akibat alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri, perumahan, dan kegiatan komersial lainnya terutama di Pulau Jawa. Penyempitan lahan pertanian itu secara langsung meningkatkan jumlah petani gurem.
Mulai tahun 1981 dimulai program PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria) untuk mempercepat program registrasi tanah. Berikutnya, tahun 1988 berdiri Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Keppres no. 26 tahun 1988, namun peranannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Selanjutnya, tahun 1999 keluar Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat. Disini diberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendaftarkan tanah yang merupakan tanah adat atau tanah ulayat dalam format kepemilikan komunal.
Revolusi hijau yang mengabaikan persoalan agraria, memberikan dampak buruk kepada masyarakat. Ini karena struktur penguasaan terhadap tanah adalah basis kesejahteraaan suatu masyarakat. Apabila strukturnya timpang dan tidak adil, maka segala upaya yang dijalankan pada sisi non-landrerform tidak akan mampu memperbaiki keadaan ini.
Tarik Ulur Pusat dan Daerah pada Era Reformasi
Masa reformasi, yakni di jaman Presiden Abdurahman Wahid, akibat pernyataannya bahwa 40 persen dari tanah-tanah perkebunan itu seharusnya didistribusikan kepada rakyat, maka berbondong-bondongnya rakyat menduduki tanah-tanah yang dibiarkan terbengkalai oleh pemiliknya. Salah satu produk hukum penting yang dihasilkan oleh pemerintahan Reformasi dalam konteks Reforma Agraria, adalah keluarnya Tap MPR No IX/MPR/2001. Secara tegas, Tap ini memberi mandat untuk melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan. Bersamaan dengan itu, terjadi perubahan penataan struktur administrasi birokrasi, yaitu berlakunya otonomi daerah. Permasalahan agraria termasuk salah satu kebijakan yang diserahkan ke pemerintah daerah. Dengan otonomisasi daerah saat ini, sesungguhnya ada peluang untuk melakukan reforma agraria secara “lokal”. Persoalannya adalah bagaimana pemerintah daerah masing-masing memaknai dan memahami reforma agraria.
Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 11 ayat 1 dan 2, disebutkan bahwa tugas pertanahan merupakan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota. Artinya, pertanahan bersama-sama dengan banyak kewenangan pusat lain telah diserahkan ke pemerintah daerah. Aturan ini merupakan implementasi dari Pasal 2 UUPA No. 5 tahun 1960 yaitu “hak menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat”. Namun demikian, aturan ini belum secara tegas menjelaskan batasan sejauh mana kewenangan daerah dalam urusan pertanahan yang berada di wilayahnya.
Dalam GBHN 1999-2004 sebagai misal, kondisi yang ingin dicapai dari kebijakan ini di antaranya adalah makin kuatnya jaminan kepastian dan perlindungan hukum, keberpihakan dan perlindungan hukum kepada golongan ekonomi lemah, serta terciptanya iklim investasi yang semakin kondusif. Di tengah kegembiraan pemerintah daerah dengan pelimpahan kewenangan tersebut, lahir Keppres No. 103 tahun 2001 yang menyatakan bahwa masalah pertanahan masih menjadi kewenangan pemerintahan pusat. Ini merupakan suatu “sikap yang berhati-hati”. Pemberian kewenangan secara bertahap merupakan langkah terbaik karena pertanahan memiliki muatan politis yang sangat besar.
Namun demikian, telah terjadi perubahan dalam otoritas pusat dan daerah dalam beberapa segi agraria. Kegiatan pelayanan pertanahan untuk kepentingan masyarakat sebagian besar telah dapat dilaksanakan di kota/kabupaten dan propinsi.
Kewenangan daerah kabupaten/kota, meliputi: Izin Lokasi, Pengaturan Persediaan dan Peruntukan Tanah; Penyelesaian masalah sengketa tanah garapan di atas tanah negara; Penguasaan pendudukan tanah tanpa ijin dari pihak yang berwenang oleh pihak yang tidak berhak/kuasanya; Penyelesaian ganti rugi dan santunan dalam pengadaan tanah; Penyelesaian dan penetapan hak ulayat masyarakat hukum adat; Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar; Penyelesaian dan pemanfaatan sementara tanah kosong; Pengaturan tanah reklamasi dan tanah timbul; Rekomendasi obyek, subyek, redistribusi tanah obyek landreform; Penetapan penyelenggaraan bagi hasil (tanah pertanian); Penetapan harga dasar tanah; Penetapan kawasan siap bangun (Kasiba).
Tahun 2007 pemerintah melansir “Program Pembaruan Agraria Nasional” dengan target mendistribusikan tanah 8-9 juta ha lahan pemerintah kepada masyarakat. Tahun 2010, pemerintah melakukan penertiban tanah terlantar yang jumlahnya mencapai lebih dari 7 juta ha. Pemerintah sedang menyiapkan RUU Pertanahan dan PP Reforma Agraria yang direncanakan selesai pada Desember 2010. RUU Pertanahan juga mencakup sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundangan terkait tanah, seperti UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Perkebunan, serta UU Pertambangan, Mineral, dan Batubara. Aspek-aspek hukum adat juga ditata ke dalam sistem keagrariaan nasional.
Program pemanfaatan tanah terlantar didukung dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Dalam aturan ini, jika tanah yang dimiliki pemegang hak tidak digunakan selama tiga tahun, pemerintah akan menertibkan haknya. Namun, PP Nomor 11 Tahun 2010 belum memiliki perangkat di bawah yang bisa menjalankan dengan kuat. Belum ada landasan pemaksa pemerintah daerah, atau bahkan instansi-instansi terkait untuk menjalankannya.
Dari uraian di atas terlihat, bahwa semenjak bergulirnya reformasi dan otonomi daerah, perdebatan yang ramai baru sebatas permasalahan tarik ulur administrasi pertanahan. Landreform belum menjadi perhatian yang serius oleh instansi-instansi pemerintah, meskipun LSM dan berbagai organisasi petani telah beberapa kali melakukan demonstrasi menuntut dilaksanakannya reforma agraria.
Pada dekade terakhir, Presiden SBY tiga kali menyampaikan pidato penting mengenai agraria, yaitu tahun 2007, lalu 15 Januari 2010, dan terakir pidato di Istana Bogor 21 Oktober 2010. Dalam jumlah yang sangat terbatas, presiden membagi-bagikan sertifikat tanah kepada petani yang dilakukan secara simbolik di Istana Bogor, 21 Oktober 2010. Secara nasional, total tanah milik negara yang hak kepemilikannya diserahkan kepada petani mencapai 142.159 hektar yang dilakukan serempak pada 389 desa di 21 propinsi. Sebagai contoh, redistribusi lahan di lapangan Desa Kutasari, Cipari, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, 23 oktober 2010; ada sebanyak 291 hektar lahan dibagikan kepada 5.141 petani. Tiap petani mendapat masing-masing 500 meter persegi. Di Batang, melalui pendampingan pegiat landreform Omah Tani Kabupaten dan BPN, berlangsung distribusi tanah 32,7 ha kepada 144 keluarga di Desa Kuripan, Kecamatan Subah.
Namun, ini bukan sebuah reforma agraria, tapi bentuk menyelesaikan “masalah biasa” yang sudah ada di depan meja BPN karena ada pengaduan dari masyarakat. Tanah yang diredistribusikan kepada petani itu tanah negara yang digarap masyarakat dan disertifikatkan BPN. Tanah yang dibagi ini adalah tanah sisa dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah seluas 1,6 juta hektare.
Pada bulan Agustus 2010, BPN menyatakan akan membagi-bagikan 6 juta hektar tanah ke masyarakat. Namun, program ini masih menunggu selesainya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Reforma Agraria. Dengan RPP Reforma Agraria, nantinya diharapkan luas tanah yang dibagikan berkisar 2,8-3,5 juta hektare dan ditargetkan selesai pada 2025. Sepanjang tahun 2010, dapat dikatakan belum ada komitmen politik yang kuat dari pemerintah untuk menjalankan landreform. Sebaliknya, lahir sejumlah kebijakan yang dinilai anti-pembaruan agraria.
KONFLIK PERTANAHAN DAN LEMAHNYA PENGAKUAN DAN PENEGAKAN HUKUM LAHAN UNTUK PETANI
Berdasarkan data BPN, saat ini sedikitnya ada 7.491 kasus konflik tanah, terdiri dari 4.581 sengketa tanah dan 858 konflik konflik antara petani dan pihak swasta yang mengelola tanah. Sementara, berdasarkan data kasus KPA, hingga 2010 ini tercatat ada 2.163 konflik agraria. Lalu, sengketa tanah yang tercatat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) sampai Januari 2010 adalah sebanyak ada 9.471 kasus konflik, dimana 4.578 kasus di antaranya telah terselesaikan. Data KPA 2001 menunjukkan jumlah kasus mencapai angka 2834 kasus yang pernah dilaporkan kepada berbagai LSM oleh masyarakat sejak jaman Orde Baru. Inventarisasi BPN yang dilaporkan ke Komisi II (18 September 2007) menyebut angka 7468 kasus.
Sepanjang tahun 2010 telah berlangsung 106 konflik agraria di berbagai wilayah, dimana luas lahan yang disengketakan mencapai 535,197 hektare dengan melibatkan 517,159 KK yang berkonflik. Jenisnya adalah sengketa atas lahan perkebunan besar (45 kasus), kemudian diikuti dengan pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (41 kasus), kehutanan (13 kasus), pertambangan (3 kasus), pertambakan (1 kasus), perairan (1 kasus), dan lain-lain (2 kasus).
Akar permasalahan hukumnya adalah tumpang-tindihnya peraturan yang disebabkan sektoralisme peraturan perundang-undangan. Satu sama lain saling bertolak belakang, bahkan bertentangan dengan UUD 45, UUPA dan UU lain. Hal ini diperparah egoisme sektor-sektor birokrasi, sehingga satu sama lain tidak sinergis, bahkan sabotase terhadap program sektor lain. Hambatan di tingkat bawah, misalnya dari elite desa, partai di tingkat lokal, dan makelar tanah; juga ikut berpotensi menyabotase penyelenggaraan landreform.
Hasil penelitian Dr. Wolf Ladejinsky (mantan Atase Pertanian Amerika di Jepang, yang membantu Jenderal Mac Arthur sewaktu melaksanakan landrefom di Jepang), menympukan bahwa akar konflik adalah karena antara gagasan dan tindakan pelaksanaan tidak konsisten, dimana pelaksanaannya rumit dan birokrasi yang berbelit-belit; serta model redistribusi tidak sesuai dengan kondisi obyektif yang ada. Batas minimum 2 hektar yang akan diberlakukan secara menyeluruh dianggap tidak realistis.
Menurut Mc Auslan, hambatan pokok landreform dekade 1960-an di luar konstelasi politik dan sosial adalah hambatan ilmiah. Meskipun UUPA 1960 merupakan produk hukum terbaik selama sejarah RI, kerangka, format dan rumusannya “modern”, memiliki kepekaan “gender”; dan mempunyai idealisme menghapuskan eksploitasi ; namun dalam hal hukum adat, kaitan dan penempatannya dalam UUPA 1960 belum terlalu jelas, program landreform-nya juga dianggap belum terlalu jelas, dan kurang mengantisipasi kemungkinan akan terjadinya berbagai hambatan. Hambatan lain, walaupun sudah terlalu banyak pembahasan “hukum agraria”, adalah lemahnya dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan politik, bahkan juga hankam berkenaan dengan keagrariaan nasional.
Pola Asal-Usul Petani Menguasai Tanah
Dalam kondisi yang demikian, dapat dirumuskan pola bagaimana petani dapat memperoleh lahan. Hal ini dapat memperjelas mengapa petani rendah aksesnya terhadap lahan sampai saat ini. Di pedesaan Jawa, perolehan lahan dapat dibagi dalam empat bentuk yang antar lokasi mempunyai sebutan yang berbeda.
Pertama, tanah pemberian raja atau Pemerintah Hindia Belanda.Tanah ini di Jawa Barat disebut dengan “tanah cacah” atau “tanah sikep”, di Klaten disebut “tanah sanggan”, dan di Jawa Timur disebut “tanah gogolan”. Di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur ada yang menyebutnya “tanah norowito”. Tanah jenis ini adalah tanah pemberian dari raja atau Pemerintah Hindia Belanda kepada warga masyarakat yang memiliki tenaga kerja laki-laki dengan kewajiban melaksanakan lakon gawe (Jawa Barat) atau songgo gawe (Klaten dan daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur), seperti gotong-royong, piket desa, menjaga keamanan desa (meronda), membayar pajak yang lebih besar dan berbagai iuran desa dan keagamaan.
Dua, tanah hasil pembukaan hutan oleh nenek moyang, atau oleh suatu komunitas dan keluarga. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut sebagai “tanah yasan”, sedangkan di Jawa Barat disebut “tanah iyasa”.
Tiga, tanah titisara (bondo desa), yaitu tanah yang menjadi kekayaan atau kas desa yang biasanya digarapkan pada anggota warga masyarakat yang kurang mampu dan sebagian penghasilannya masuk sebagai kas desa. Pelaksanaan akhir-akhir ini di pedesaan Jawa dilaksanakan dengan cara dilelang, siapa yang berani menyewa dengan harga tertinggi merekalah yang berhak menggarap.
Terakhir, empat, Tanah bengkok atau lungguh untuk pamong yang sedang menjabat dan untuk biaya operasional pemerintahan desa. Setelah diberlakukannya UUPA, status tanah cacah dan iyasa dirubah menjadi hak milik perseorangan melalui SK Gubernur, yang efektif pada periode tahun 1970-an. Sejak periode tersebut tanah cacah, songgogawe, gogolan, norowito dan sikep dapat diperjual-belikan dan diwariskan kepada ahli warisnya.
Di Luar Jawa, secara umum asal usul penguasaan lahan merupakan hasil bukaan hutan. Pada awalnya, membuka hutan dilakukan secara berkelompok bahkan keanggotannya bisa merupakan kelompok kesukuan, kelompok kekerabatan, maupun kelompok keluarga besar. Baru pada tahap selanjutnya pembukaan bisa dilakukan secara kelompok kekerabatan kecil, kelompok keluarga kecil, maupun individu. Pembukaan hutan secara bertahap dan berkelompok tersebut memunculkan adanya berbagai macam kepemilikan lahan sebagaimana ditemukan di daerah Sumatera Barat dan Dayak yang memunculkan tanah ulayat secara bertingkat (Jamal et al., 2001).
Khusus di DI Yogyakarta, dalam penelitian Jamal et al. (2001), penguasaan lahan oleh petani dimulai dengan program klassering (classering) yang dimulai tahun 1921 yang merupakan peristiwa penyerahan tanah “ kagungan dalem” kepada rakyat, atau meningkatkan status hak atas tanah kepada rakyat dari penggarap menjadi tanah yang berstatus “ anganggo turun-temurun”. Peristiwa ini kemudian diperkuat dengan Perda No.5 Tahun 1954, di mana Sultan menyerahkan tanahnya kepada rakyat sehingga menjadi tanah milik privat. Klasering secara teoritis merupakan suatu riel land reform, karena distribusi tanah kepada petani didasarkan prinsip “ land tillers”. Pendistribusian tanah hanya ditujukan bagi petani penggarap dan pemilikan hanya sebatas yang mampu digarap oleh anggota keluarga yang bersangkutan, yang sangat terkait dengan aspek penataan lahan yaitu bagaimana lahan tersebut dapat dimanmaatkan secara optimal.
Contoh lain, di komunitas suku Dayak, penelitian Rousseou (1977), seorang antropolog Canada, menyatakan bahwa corak penguasaan lahan orang Dayak Kanayan tidak mengenal hak milik individu yang dapat dipindah tangankan (undevoluable usufruct atau circulating usufruct system). Pendapat ini dikritik oleh Mering (1989), seorang antropolog putra daerah, yang mengemukakan bahwa corak penguasaan orang Dayak Kayan mengenal perbedaan hak milik individu dengan hak milik bersama (communal). Sistem hak milik itu sendiri dapat dipindah tangankan atau devoluable usufruct system, dengan cara diwariskan, diperjual belikan, dihibahkan, atau dipertukarkan.
Hasil penelitian Jamal et al. (2001) mengemukakan bahwa hak masyarakat atas tanah menurut adat Dayak dikenal sebagai “ hak milik adat turun temurun” yang mencakup: hak mengelola dan mengusahakan segala sesuatu baik yang terdapat di dalam maupun di atasnya. Adat mengakui kepemilikan tanah adat yang terdiri dari : (1) Kepemilikan seko manyeko atau kepemilikan perseorangan, (2) Kepemilikan perene’ant, yaitu tanah warisan yang dengan segala isinya menjadi milik dari beberapa keluarga dalam satu garis keturunan, (3) Kepemilikan Saradangan, merupakan kepemilikan tanah dengan segala isinya oleh suatu kampung, serta (4) Kepemilikan Binua, adalah kepemilikan tanah dengan segala isinya oleh beberapa kampung satuan wilayah hukum adat (Ketemanggungan).
Masyarakat Suku Dayak di Kalimantan Barat umumnya telah mempunyai mekanisme pendistribusian penguasaan lahan yang cukup bagus. Hanya saja, sistem ini biasanya hanya sesuai untuk komunitas yang bersangkutan dan bersifat terbatas. Sistem ini umumnya mengikuti jalur sistem kekerabatan hingga 3 turunan dan bersifat relatif tertutup.
Berbagai Hambatan sulitnya Petani mengakses Lahan
Inti dari kegiatan landreform adalah redistribusi tanah. Tak dapat disangkal lagi, landreform memang merupakan langkah yang tak terpisahkan dalam pembangunan pertanian sebagaimana telah dibuktikan oleh Jepang, Taiwan, RRC dan Vietnam. Landreform di Indonesia pernah diimplementasikan dalam kurun waktu 1961 sampai 1965, namun kurang berhasil (Rajagukguk, 1995). Penyebabnya berakar pada dua hal pokok, dalam posisi ibarat dua sisi mata uang, yaitu komitmen politik pemerintah yang lemah dan belum tersedianya modal sosial yang cukup di masyarakat, misalnya belum terbentuknya civil society yang memadai.
Hambatan lain datang dari intervensi yang tak terbantahkan dari ideologi kapitalisme, khususnya melalui instrumen pasar global, yang telah menembus seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal sistem agraria negara. Jika selama ini, pemerintah yang menjadi penguasa terhadap petani dengan menggunakan tanah sebagai alat politiknya, terutama dalam era “Tanam Paksa”; maka di era pasar bebas ketika komoditas ditentukan oleh kehendak pasar, maka pasarlah yang menjadi penguasa.
Dalam Pasal 6 Tap MPR RI Nomor IX tahun 2001, disebutkan bahwa beberapa hal yang menjadi agenda pembaruan agraria adalah: melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan; melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform); menyelenggarakan pendataan pertanahan; menyelesaikan konflik-konflik; memperkuat kelembagaan; serta mengupayakan pembiayaan. Empat aspek penting yang diperlukan untuk terselenggaranya pembaruan agraria, yaitu kemauan politik dari pemerintah, data yang lengkap dan teliti mengenai keagrariaan, organisasi petani yang kuat, dan anggaran yang cukup; keempatnya dalam kondisi yang lemah.
BERBAGAI UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MENGIMBANGI BURUKNYA AKSES PETANI TERHADAP LAHAN
Secara konseptual, batasan pengertian mengenai tanah (land) tidak hanya mencakup tanah dalam pengertian fisik (soil), tetapi mencakup juga air, vegetasi, lansekap (landscape), dan komponen-komponen iklim mikro suatu ekosistem. Implikasinya, konsep pengelolaan sumberdaya lahan harus mengakomodasikan konstelasi nilai dari keseluruhan komponen tersebut, bahkan termasuk pula populasi binatang dan pola hunian manusia (Scherr and Yadav, 1996).
Memperbaiki relasi antar pihak merupakan bagian dari reforma agraria. Menurut Cohen (1978), reforma agraria adalah “... change in land tenure, especially the distribution of land-ownership, thereby achieving the objective of more equality”. “Land tenure” dalam kalimat ini dimaknai secara luas, tidak hanya apa yang kita kenal sebagai “penyakapan”, tapi mencakup seluruh bentuk hubungan sosial yang terjadi dengan tanah. Sebagian kalangan menyebutnya dengan “sosio-agraria”. Artinya, reforma agraria dapat pula berbentuk konsolidasi lahan, konsolidasi usaha, dan penataan hubungan sewa-menyewa dan bagi hasil. Konsolidasi lahan lewat program pemerintah dapat berupa program transmigrasi, pembatasan luas minimal pemilikan tanah, program kerjasama antara masyarakat petani dengan perusahaan pertanian, dan program penataan perumahan. Sementara, konsolidasi usaha pertanian berupa penyatuan usaha yang kecil-kecil ke dalam satu manajemen sehingga lebih efisien (misalnya berupa corporate farming).
Ketiadaan program landreform yang dijalankan secara massal, menyebabkan pemerintah memilih berbagai kebijakan lain dalam upaya meningkatkan akses petani. Berikut dipaparkan tiga bentuk yang bisa dilakukan dalam upaya memperbaiki penguasaan lahan terhadap petani. Hal ini menjadi relevan, karena sebagaimana menurut Soesangobeng (dalam Sitorus, 2002) landreform berupa penataan ulang pemilikan dan penguasaan, biarlah tetap menjadi wacana pusat, namun aspek-aspek land tenure dapat diperankan oleh daerah mulai sekarang.
Pertama, konsolidasi Lahan
Menurut Fauzi (2002), cakupan pengertian mengenai land reform bukan hanya berupa redistribusi tanah. Land reform dapat berbentuk koperasi atau kolektivitas untuk mencapai skala ekonomi tertentu yang memungkinkan perimbangan antar faktor-faktor produksi (terutama modal versus tenaga kerja) menjadi lebih baik.
Konsolidasi lahan, yang pihak BPN seringnya menyebutnya dengan Konsolidasi Tanah pertanian (KTP), mengandung banyak arti dan bentuk. Beberapa di antaranya adalah Land Consolidation, Redistribtion of Land, Land Assembly (perakitan lahan), Land Readjustment (penyesuaian bentuk lahan), Land Pooling (pengumpulan lahan), dan Ruil Verkaveling (pertukaran petak lahan). Pada dasarnya kondolidasi lahan mengandung 3 aspek, yaitu: (1) usaha mengatur atau menata kembali sehingga tanah tersebut dapat dipergunakan secara lebih efisien, (2) usaha untuk menata kembali tanah dimana si pemilik tanah tidak harus melepaskan haknya, malah seharusnya ia mendapat keuntungan, dan (3) upaya ini harus dijalankan dari dan oleh si pemilik tanah itu sendiri.
Menurut definisi Badan Pertanahan Nasional, Konsolidasi Tanah Pertanian adalah: “penyatuan dan kemudian pembagian kembali tanah-tanah pertanian sehingga menjadi suatu areal pertanian yang kompak dalam bentuk dan luas petakan tertentu sedemikian rupa sehingga irigasi, drainase, farm road dan persyaratan-persyaratan teknologi modern lainnya dapat diterapkan secara efisien dan menguntungkan”. Konsolidasi lahan telah lama diprogramkan, namun keberhasilannya sangat terbatas.
Kedua, program transmigrasi
Transmigrasi yang dimulai dari tahun 1950 dapat dipandang sebagai sebuah land settlemen (Hardjono, 2002). Distribusi lahan untuk setiap petani awalnya sebesar 2 ha, lalu menjadi 4-5 ha, namun karena berbagai pertimbangan dikembalikan lagi menjadi 2 ha per rumah tangga. Realisasi program trasmigrasi dipengaruhi berbagai faktor, di antaranya iklim sosial politik, kebijakan pemerintah, dan dukungan serta partisipasi masyarakat. Transmigrasi pada masa kolonial Belanda didorong gagasan politik etis (ethische poliriek) yang diusung oleh C Th van Deventer salah seorang anggota Raad van Indie pada tahun 1899. Pada November 1905, program kolonisasi diluncurkan dengan pemberangkatan 155 KK yang terdiri atas 815 jiwa dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen, dan Purworejo menuju Lampung.
Penanganan program transmigrasian datang silih berganti, dari satu kabinet ke kabinet berikutnya. Pada 12 Desember 1950 dalam Kabinet Natsir diberangkakan sebanyak 23 KK (77 jiwa) ke Lampung. Realisasi penempatan transmigrasi sejak tahun 1950 hingga 1968 mencapai 98.631 KK. Pada tahun 2010 berlangsung penempatan untuk 7.346 rumah tangga trasnmigran.
Pemerintah menerbitkan UU No 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi. Transmigrasi memiliki beban yang berubah-rubah, dari hanya sekedar mengurangi penududuk di Jawa, lalu sebagai pengembangan wilayah, perluasan tenaga kerja, dan sering pula diklaim sebagai kegoatan reforma agraria yang riel. Sampai saat ini transmigrasi masih dijalankan, namun skalanya menjadi sangat kecil. Iklim administrasi pemerintah yang tidak lagi sentral dan padu sebagaimana era Suharto, merupakan salah satu sebabnya.
Ketiga, Perbaikan sistem bagi hasil
Selain empat masalah agraria di Indonesia sebagaimana disampaikan dalam TAP MPR No IX tahun 2001, yaitu: pemilikan tanah yang sempit dan timpang, konflik pertanahan, inkosistensi hukum, serta kerusakan sumber daya alam; salah satu permasalahan lain adalah kesulitan dalam memberantas berkembangnya rent seeking activity. Aktifitas yang tergolong dalam kategori ini utamanya adalah para makelar tanah, yaitu mereka yang membeli tanah untuk nanti dijual lagi ketika harga sudah tinggi. Tanah dibeli tidak untuk digunakan, sehingga tanah diperlakukan sebagai komoditas. Dalam kadar yang lebih ringan, para pemilik tanah yang menyakapkan tanahnya kepada petani lain dengan pembagian yang tidak adil, dapat pula dipandang sebagai suatu bentuk penghisapan, yang pada prinsipnya adalah juga bentuk dari sikap menjadikan tanah sebagai komoditas.
Penataan sistem bagi hasil yang lebih adil di Indonesia adalah masalah yang perlu diperhatikan. Bagi hasil adalah salah satu komponen yang cukup penting dalam konteks sisi non-landreform, ketika landreform tumpul. Penataan bagi hasil adalah salah satu bentuk reforma agraria yang mungkin dilaksanakan (possible agrarian reform), sebagaimana telah tercantum pada UU No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang disyahkan tanggal 7 Januari 1960.
Persoalan saat ini, dengan kondisi politik yang terbentuk, landreform adalah hal yang peluangnya paling kecil dibanding aspek-aspek lain reforma agraria. Mekipun tidak mampu melakukan landreform, namun aktifitas reforma agraria tidak boleh berhenti, karena masih banyak hal lain yang dapat dilakukan. Dengan kata lain, ada dua agenda reforma yang harus dilakukan dalam reforma agraria, yaitu land tenure reform (hubungan pemilik-penyakap) dan land operation reform (perubahan luas, pola budidaya, hukum penguasaan, dan lain-lain). Penataan kembali hubungan sewa dan atau bagi hasil dapat memberikan kepastian penguasaan garapan bagi penggarapnya.
Sesuai semangat Tap MPR No. IX tahun 2001 pasal 2, bagi hasil merupakan suatu komponen yang dapat menyumbang kepada kemakmuran, asalkan ada perlindungan hukum dan menjunjung azas keadilan antar pelakunya. Bagi hasil yang adil dapat memperkecil dampak absennya landreform, sebagai the second best choice ketika redistribusi tanah belum dapat dilakukan.
Landreform dapat menempuh dua jalan, yaitu secara serentak, cepat, dan menyeluruh; atau secara gradual namun berkelanjutan. Memperbaiki sistem penyakapan merupakan bagian dari jalan kedua yang lebih “soft. Di antara dua kutub bentuk landreform, yaitu melakukan penataan lahan sebagai aksi sosial yang serentak atau menyerahkannya kepada mekanisme pasar (market friendly agrarian reform); penataan bagi hasil berada di antara kedua titik ekstrim tersebut. Regulasi sistem bagi hasil dari pemerintah merupakan intervensi terhadap pasar ketenagakerjaan di pedesaan, dengan tujuan memberikan perlindungan kepada penyakap dan pemilik tanah sekaligus.
Bagi hasil yang berlaku pasa suatu wilayah merupakan sebuah bentuk kelembagaan yang telah diakui dan diterima secara sosial. Secara umum, bagi hasil didefnisikan sebagai bentuk perjanjian antara dua pihak yaitu pemilik tanah dengan penggarap yang bersepakat untuk melakukan pembagian hasil secara natura. Bagi hasil dalam bahasa Belanda yang disebut ”deelbouw”, merupakan bentuk tertua dalam pengusahaan tanah di dunia, yang bahkan telah ditemukan pada lebih kurang 2300 SM (Scheltema, 1985). Bagi hasil di pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana pembagian hasil terhadap dua unsur produksi, modal dan kerja, dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto (kotor) dalam bentuk natura. Berbeda dengan perjanjian “sewa”, maka si pemilik tanah masih tetap memegang kontrol usaha.
Dalam literatur berbahasa Inggris, dikenal istilah “tenancy”, yaitu seluruh bentuk penggunaan tanah yang buan milik si penggarap. Dalam konteks ini tercakup sewa dan bagi hasil. Orangnya disebut dengan “tenant” atau “share cropper”. Sementara istilah “owner crooper” adalah untuk petani yang sekaligus menggarap tanahnya sendiri, atau disebut “petani penggarap”. Khusus di AS dikenal istilah cash tenant untuk sewa dan share tenant untuk bagi hasil. Di Indonesia, bagi hasil dikenal di seluruh daerah (Scheltema, 1985). Bagi hasil di Aceh disebut dengan meudua laba untuk bagi dua; di Sumatera Barat dikenal sebutan mampaduokan, mampatigoi, dan seterusnya; di Sulawesi Selatan misalnya disebut thesang-tawadua untuk bagi dua; di Bali dikenal nandu, telon, negmepat-empat, dan ngelima-lima; sedangkan di Jawa dikenal maro, mertelu, mrapat, dan seterusnya.
Pemerintah telah cukup memberikan perhatian terhadap pentingnya bagi hasil di tengah masyarakat tani. Hal ini terlihat dengan telah dikeluarkannya dua Undang-Undang tentang bagi hasil, yaitu UU no. 2 tahun 1960 untuk bagi hasil di pertanian, dan UU No. 16 tahun 1964 untuk bagi hasil di sektor perikanan. Namun demikian, penerapan peraturan ini sangat lemah karena berbagai alasan.
Bagi hasil yang berlaku semenjak dahulu di masyarakat membagi terhadap hasil kotor (bahasa Belanda: deelbouw), namun dalam semangat landreform menginginkan yang dibagi adalah hasil bersih (deelwinning). Pembagian dari hasil kotor mengandung rasa sosial dan kebersamaan, dan lebih adil karena penyakap dengan investasi kerja dan pemilik dengan investasi berupa tanah sama-sama mengandung resiko. Namun, pada pola kedua resiko penyakap menjadi lebih besar dibandingkan pemilik. Bagi hasil kotor terlihat lebih adil bagi penggarap ketika sarana produksi yang dibeli sangat rendah. Namun ketika nilai sarana produksi menjadi cukup penting, ditemukan berbagai pola. Pada sebagian wilayah ada yang sarana produksi ditanggung secara bersama, namun pada wilayah dimana kedudukan penyakap semakin terdesak, sarana produksi hanya ditanggung oleh si penyakap.
Dapat dipaparkan beberapa karakteristik sistem bagi hasil yang saat ini hidup di Indonesia, yang secara tidak langsung telah membuat pihak luar kurang memperhatikan fenomena dan potensinya dalam reforma agraria. Karakteristik tersebut adalah: Pertama, sudah menjadi pendangan yang kuat pada seluruh pihak, bahwa perjanjian bagi hasil antara seorang pemilik tanah dengan si penyakap merupakan wilayah privat yang bersifat personal, bukan masalah publik. Dengan kata lain, pihak luar, baik pengurus kelompok tani, aparat pemerintahan desa, apalagi pemerintah daerah merasa tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi bentuk perjanjian bagi hasil yang berlangsung.
Kedua, hubungan tersebut bersandar kepada bentuk hubungan patron klien (patron-client relationship). Secara definisi, hubungan patron klien adalah hubungan diadik antara dua pihak yang bersifat sangat personal, intim, dan cenderung tidak seimbang (Scott, 1993). Arus jasa yang tidak seimbang, dimana jasa yang diberikan klien kepada patron lebih banyak dibanding sebaliknya, sudah dianggap sebagai takdir. Karena itulah, pembagian bagi hasil yang lebih menguntungkan pemilik, sudah dianggap sebagai hal yang lumrah oleh si penyakap.
Apalagi jika dicermati, bahwa bagi hasil terjadi bukan karena si pemilik tidak punya waktu mengerajakan sendiri tanahnya, tapi lebih karena sikap sosial pemilik karena permintaan penyakap yang membutuhkan lahan garapan. Penelitian Mayrowani et al. (2004) di Kabupatren Pinrang Sulawesi Selatan, sangat jarang pemilik tanah yang memiliki sampai lebih dari dua hektar. Artinya, jika pun tidak ada penyakap mereka masih sanggup menggarap sendiri. Jadi, sedari awal, posisi penyakap yang subordinat tersebut, telah menempatkan mereka kepada situasi yang tidak sejajar secara politis dalam menegosiasikan pola pembagian hasil panen.
Namun demikian, dalam konteks ini, bupati sesungguhnya telah diberikan kewenangan untuk mengatur bagi hasil di wilayah sebagaimana tercantum dalam UU No. 2 tahun 1960 pasal 7: “Besarnya bagian hasil-tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap Daerah Swatantra tingkat II ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah ....”.
Ketiga, sistem bagi hasil yang terjadi sangat beragam. Keberagaman tersebut juga didukung oleh UU No. 2 tahun 1960 pada bagian Penjelasan butir (2), yaitu: “Mengenai besarnya bagian yang menjadi hak masing-masing fihak tidak ada keseragaman, karena hal itu tergantung pada jumlahnya tanah yang tersedia, banyaknya penggarap yang menginginkannya, keadaan kesuburan tanah, kekuatan kedudukan pemilik dalam masyarakat setempat/sedaerah dan lain-lainnya......”. Membolehkan keberagaman tersebut artinya menyulitkan dalam pengaturannya, dan ini berpeluang untuk membuat hukum yang kurang tegas.
Keempat, dalam kondisi tekanan penduduk yang tinggi terhadap tanah, maka sistem bagi hasil lebih dipersepsikan sebagai suatu sikap altruis pemilik yang besar kepada penyakap. Bagaimanapun tidak imbangnya pola pembagian, tidak dianggap sebagai suatu hubungan yang eksploitatif. Padahal secara kasat mata terlihat bahwa tingkat kehidupan para penyakap tidak pernah lepas dari garis batas subsistensinya, meskipun di wilayah tersebut selalu terjadi peningkatan produksi dan produktifitas komoditas yang diusahakan. Sikap konformitas penyakap seperti ini juga ditemukan dalam hubungan antara nelayan pandega dengan pemilik kapal pada masyarakat nelayan (Syahyuti, 1995).
Untuk permasalahan ini, maka perlu pendidikan untuk memberi kesadaran kepada para penyakap bahwa mereka adalah pelaku ekonomi aktif dalam kerjasama usaha, sehingga sudah sepantasnya lebih dihargai secara ekonomi. Meskipun mereka tidak memiliki tanah yang digarapnya, namun dalam konteks “fungsi sosial” dari tanah, maka sesungguhnya merekalah yang selayaknya lebih ditinggikan posisinya. Ketidakmampuan negara menyediakan tanah kepada para penyakap tersebut, sebagai petani dalam arti sesungguhnya, sudah sepantasnya ditebus dengan berbagai dukungan, baik berupa sarana produksi yang terjangkau dan kredit, termasuk perolehan bagi hasil yang lebih baik.
Bagi hasil merupakan salah satu komponen dalam kerangka Pembaruan Agraria yang sesungguhnya memiliki peranan yang cukup penting dalam upaya memperbaiki kesejahteraan masyarakat pertanian, namun selama ini hampir tidak diperhatikan. Bagi hasil luput dari pembicaraan tentang Pembaruan Agraria yang masih berkutat kepada ide-ide yang lebih besar, terutama tentang landreform yang kenyataannya sangat sulit diimpementasikan. Dengan menyadari beratnya tantangan yang dihadapi untuk melaksanakan landreform, maka sudah selayaknya sistem bagi hasil mendapat perhatian seluruh pihak dengan melakukan penataan yang lebih baik dan adil.
Di sisi lain, sistem bagi hasil juga merupakan konsep yang terbuka untuk diaplikasikan dan dikembangkan lebih jauh, baik pada usaha pertanian tanaman pangan, pekerbunan, maupun peternakan. Pengelolaan usaha perkebunan dengan menerapkan sistem bagi hasil antara pemilik usaha dengan buruh dan karyawan serta masyarakat sekitar pemilik lahan misalnya, adalah solusi yang dapat mengurangi berbagai konflik agraria yang sering terjadi selama ini.
Salah satu agenda Pembaruan Agraria sebagaimana diamanatkan dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 adalah penataan kembali sistem hukum dan perundang-undangan. Untuk itu, perlu dicatat oleh semua pihak, bahwa sistem hukum dan perundang-undangan untuk sistem bagi hasil yang lebih baik dan adil perlu pula menjadi perhatian.
Urgensi dan Pendekatan baru Landreform di Era Abad 21
Meskipun landreform tidak lagi menjadi isu yang hangat secara luas, namun hal ini masih menjadi kewajiban pemerintah untuk diimplementasikan. Di level dunia internasional, meskipun wacana tentang landreform juga sudah sangat menurun, namun akhir-akhir ini memperoleh semangat baru yang patut diperhatikan. Terlihat adanya perubahan motif Landreform yang tidak hanya dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, pengurangan kemiskinan dan ketahanan pangan; namun juga pada konteks keadilan sosial (social justice) dan sebagai bentuk menebus dosa sejarah peristiwa perampasan lahan dan ekploitasi di masa lalu. (Cousins, 2007).
Pendekatan pembangunan baru menggunakan pandangan bahwa basis ekonomi landreform untuk kaum miskin (pro-poor land reform) perlu reformulasi dalam kondisi dunia kontemporer yang semakin cepat saat ini. Reforma agraria baru ini telah pula mempertimbangan fakta ketimpangan rezim perdagangan pertanian internasional yang masih sulit diselesaiakan. Pertanian disadari sebagai mekanisme yang paling mungkin untuk memberikan rasa aman terhadap mata pencaharian bagi mayoritas penduduk di bagian Selatan, serta agar sistem neoliberal mampu mengintegrasikan kembali mereka yang selama ini tersingkir.
Penelitian Akram-Lodhi et al. (2007), merupakan sedikit laporan yang membahas pelaksanaan landreform di era neo-liberal. Mereka mengangkat kasus di sepuluh negara yang mewakili berbagai region di dunia, yaitu Brazil dan Bolivia di Amerika Latin, Filipina dan Vietnam di Asia Tenggara, Armenia dan Uzbekistan mewakili eks Uni Soviet, serta Mesir, Namibia, Ethiopia, dan Zimbabwe di Afrika. Brazil dan Filipina adalah contoh negara yang belum pernah menjalankan landreform secara signifikan di masa lalu, namun sejak tahun 1990-an menjadikan landreform sebagai agenda penting dan berperan dalam pelaksanaan pembangunan mereka. Beberapa negara sebelumnya memiliki pemerintahan sosialis, namun terbukti bisa menjalankan landreform dengan cukup luas, yaitu Armenia, Ethopia, Uzbekistan, dan Vietnam.
Landreform yang mulai marak lagi semenjak akhir abad ke-20 dan terus berlanjut pada awal abad ke-21 ini didorong oleh kesadaran terus berlanjutnya kemiskinan dan konflik tanah yang sangat mengganggu di pedesaan. Ini berlangsung di banyak negara. Bagaimanapun, agenda neo liberalisme, secara langsung atau tidak memberi suasana kepada berlangsungnya landreform baru akhir-akhir ini. Neoliberalisme dengan pendekatan pasarnya, dapat dicurigai, hanya akan menjadikan landreform sebagai jalan agar sistem pasarnya bisa berjalan dengan lenggang kangkung. Namun, bagaimanapun pengurangan kemiskinan merupakan kondisi yang akan mendorong sistem pasar menjadi lebih luas, karena semakin banyak orang yang akan masuk ke dalam sistem. Tantangan bagi pendukung reformasi agraria saat ini adalah untuk merumuskan skenario alternatif yang masuk akal untuk kehidupan pedesaan yang berkelanjutan dan sekaligus mampu mempertahankan keberlanjutan ekonomi dan perkotaan.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Penelusuran dari masa ke masa menunjukkan bahwa tanah selalu dipandang sebagai milik penguasa, yaitu raja, pemerintah kolonial, pemerintah desa, dan negara. Di luar Jawa, pada wilayah yang kurang pengaruh pemerintahan kolonial, tanah dipahami sebagai milik Tuhan. Namun, saat kehadiran negara mulai dirasakan, tanah langsung menjadi milik negara.
Landreform sebagai inti reforma agraria masih membutuhkan perhatian yang serius. Penegakan dan penguatan hak petani terhadap penguasaan lahan merupakan hasil dari produk hukum dan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Dari sisi hukum, dukungan tersebut cukup, meskipun beberapa produk hukum bersifat negatif. Namun dari sisi tindakan nyata pemerintah sampai saat ini tidak terlalu menggembirakan. Semenjak digulirkan di awal tahun 1950-an sampai saat ini, landreform dan pemberian lahan kepada petani tidak pernah berhasil dilaksanakan secara cukup.
Prinsip pokok yang harus menjadi landasan dalam pemanfaatan tanah adalah prioritas penggunaan, yaitu: pertama untuk kepentingan umum, kedua negara, dan ketiga baru untuk masyarakat. Namun semasa Orde Baru, makna “kepentingan umum” sering dibiaskan dan dijadikan tameng untuk mengakuisisi sebidang tanah, baik itu milik negara maupun pribadi. Dalam kejadian ini, petani tidak menjadi prioritas.
Landreform dengan memberikan lahan yang cukup kepada petani disepakati seluruh pihak sebagai hal yang harus dilakukan pemerintah. Namun, dengan berbagai alasan, yang dijelaskan atau tidak ke publik, program landreform tidak pernah efektif. Dalam kondisi absennya ladreform, meskipun masih tetap saja diwacanakan (mungkin sebagai hiburan), beberapa bentuk upaya lain masih dapat dijalankan. Tiga di antaranya adalah konsolidasi lahan, transmigrasi, dan perbaikan sistem bagi hasil. Perbaikan sistem bagi hasil, yang berada pada sisi non-landreform, selama ini sangat jarang diperhatikan dan hampir tidak pernah dibicarakan, karena dianggap sebagai hal yang personal antara pemilik tanah dan penyakap.
Daftar Pustaka
Akram Lodhi, Haroon, Saturnino M. Borras Jr. and Cristóbal Kay. 2007. Land, Poverty, and Livelihoods in era of Globalization : Perspectives from Developing and Transition Countries. Routledge: London and New York
Bahari, Syaiful. 2005. Negara dan Hak Rakyat atas Tanah. Kompas, 13 Mei 2005.
Bushar, Muhammad. 1988. Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta.
Cohen, Suleiman I. 1978. Agrarian Structures and Agrarian Reform: Exercise in Development Theory and Policy. Martinus Nijhoff Social Sciences Division, Leiden and Boston, USA
Cousins, Ben. 2007. Land and agrarian reform in the 21st century: changing realities, changing arguments? Programme for Land and Agrarian Studies (PLAAS). University of the Western Cape. Global Assembly of Members, International Land Coalitionc Entebbe, Uganda, 24-27 April 2007.
Fauzi, Noer. 2002. Land reform sebagai Variabel Sosial: Perkiraan tentang Rintangan Politik dan Finansial Pelaksanaan Land Reform. Seminar “mengkaji Kembali Land Reform d Indonesia. BPN, Land Law Initiative (LLI) dan Rural Development Institute (RDI), Jakarta 8 Mei 2002.
Jamal, Erizal; Tri Pranadji; Aten M. Hurun; Adi Setyanto; Roosgandha E. Manurung; dan Yusuf Nopirin. 2001. Struktur dan dinamika penguasaan lahan pada komunitas lokal. Laporan Penelitian PSE no. 526, Bogor.
Djuweng, Stefanus. 1996. Kalimantan: Dulu, Sekarang, dan Masa Depan. Oktober, 1996. Institut Dayakologi.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar.
Harsono, Boedi. 2002. Menuju penyempurnaan hukum tanah nasional dalam hubungannya dengan Tap MPR RI Nomor IX tahun 2001, makalah pad seminar nasional pertanahan 2002 “pembaruan agraria”. STPN Yogyakarta, tanggal 16 Juli 2002.
Kaban, Maria. 2004. Keberadaan Hak Masyarakat Adat Atas Tanah Di Tanah Karo. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kawer, Godlief J. William. Perspektif Tenurial Dalam Pengelolaan Konflik Tanah Ulayat/Hutan Masyaradat Adat Di Papua Komunitas MA Nambloung Kampung Berap. Distrik Nimbokrang - Kabupaten Jayapura. By : Godlief J. William Kawer. Facilitator CIFOR Patner Papua & West Papua Provincy. 2007. http://www.wg-tenure.org/file/Makalah/Perspektif%20Tenurial% 20dalam%20pengelolaan%20konflik%20tanah%20ulayat%20di%20Papua.pdf
Harsono, Boedi. 2002. Menuju penyempurnaan hukum tanah nasiona dalam hubungannya dengan Tap MPR RI Nomor IX tahun 2001, makalah pad seminar nasional pertanahan 2002 “pembaruan agraria”. STPN Yogyakarta, tanggal 16 Juli 2002.
Hussein, Benyamin. 2002. Kelembagaan Pertanahan dalam Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Diskusi Pengembangan Kebijakan Pertanahan dalam Era Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan Kepada Masyarakat. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Deputi Otonomi daerah dan Pengembangan Regional, Bappenas. Jakarta, 12 September 2002.
Ketetapan MPR No IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam
Ladejinsky, Wolf. 1977. Agrarian Reform as Unfinished Business: The Selected Papers of Wolf Ladejinsky (L.J. Walinsky, Ed.), London: Oxford University Press for the World Bank
McAuslan, Patrick. 1986. Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata. Gramedia. Jakarta.
Pakpahan, MD. et al. 1998. Traditional Community Land Occupancy Pattern and Land Registration Problem: Case Studies in West Sumatera, Central Kalimantan, and West Nusa Tenggara. Study Report volume I December 1998. Center for Societal Development Studies in Cooperation with The National Land Agency. Jakarta.
Peraturan Pemerintah (PP) No 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian Tanah
Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
Permana, Cecep Eka. 2003. Religi dalam Tradisi Bercocok Tanam Sederhana. Jurusan ArkeologiFIBUI. (http://www.arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_ news=45, 10 Mei 2006).
Pramono, Sidik. 2007. Reforma Agraria Jalan Paling Tepat Akhiri Konflik. Kompas Sabtu, 27 Oktober 2007. http://mediatani.wordpress.com/2007/10/27/reforma-agraria-jalan-paling-tepat-akhiri-konflik/
Rizal, Syamsul. 2003. Kebijaksanaan Agraria Sebelum dan Sesudah Keluarnya UUPA. Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Sirait, Martua; Herry Y.; Isken S.; dan Chip Fay. 2005. Pengakuan Wilayah Kelola Masyarakat Adat: Ancaman Atau Peluang.
Rajagukguk, Erman. 1995. Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup. Chandra Pratama, Jakarta. 220 hal.
Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil di Hindia Belanda. Yayasan Obor Indonesia.
Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Sitorus, Oloan. 2002. Pembagian Kewenangan usat, Propinsi, dan Daerah di Bidang Pertanahan. Diskusi Pengembangan Kebijakan Pertanahan dalam Era Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan Kepada Masyarakat.
Syahyuti. 1995. Keterasingan Sosial dan Ekploitasi Terhadap Buruh Nelayan. Majalah Forum Agro Ekonomi Vol. 13 No. 2 Desember 1995. Puslit Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Syahyuti. 2006. Nilai-Nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah menurut Hukum Adat di Indonesia. Majalah Forum Agro Ekonomi No1. tahun 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Syahyuti. 2006. Pembaruan Agraria dan Kebutuhan Lahan untuk Pembangunan Pertanian: Memadukan Aspek Landreform dengan Aspek Non-Landreform dalam Kebijakan Pembaruan Agraria. Dimuat dalam Jurnal Analisis Sosial, AKATIGA Bandung. Vol 11 No. 1 April 2006.
Ter Haar. 1985. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Sumur Batu, Bandung.
Thalib, Sajuti. 1985. Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau. Bina Aksara, Jakarta.
Umar, Ali. 1978. Hukum Adat dan Lembaga-Lembaga Hukum Adat daerah Sumatera Barat. Laporan Penelitian, Kerjasama BPN dengan FH Unand, Padang.
Undang-Undang No 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir
Undang-Undang No 56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
Undang-Undang No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Bagi Hasil untuk Pertanian
Undang-Undang No. 21 tahun 1964 Pengadilan Landreform
Undang-Undang 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Usaha Perikanan Laut
Undang-Undang No 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Yakub, B. Nurdin. 1995. Hukum Kekerabatan Minangkabau. CV Pustaka Indonesia, Jakarta.
Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. Hal. 286-328. Dalam: SMP Tjondronegoro dan G. Wiradi. Eds. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah. PT Gramedia, Jakarta.
*****
1 komentar:
IJIN SHARE YA MAS...TRIMAKASIH ATAS PENCERAHANNYA.
Posting Komentar