IKATAN GENEALOGIS DAN
PEMBENTUKAN STRUKTUR AGRARIA:
Kasus pada Masyarakat Pinggiran
Hutan di Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah
(Diterbitkan dalam majalah ilmiah Jurnal Agro
Ekonomi Vol. 20 No. 1 Mei 2002.
Oleh: Syahyuti
(Staf
peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian)
Abstract
Key words: agrarian, socioeconomic security, the forest margin community,
ethnic relationship, ecosystem sustainability.
Abstrak
Kata Kunci: agraria, keterjaminan sosial ekonomi,
masyarakat pinggir hutan, hubungan antar-etnik, keberlangsungan ekosistem.
PENDAHULUAN
Interaksi manusia dan sumber daya alam
pada satu kawasan akan melahirkan suatu pola organisasi agraria tertentu
tergantung kondisi spesifik agroekosisem dan sistem sosialnya. Pada organisasi
tadi dapat terlihat struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan
sumber-sumber agraria. Sebagai suatu sistem, hubungan antara alam dan manusia
pada areal tertentu bersifat timbal balik (coherent
system), sehingga kelestarian sumber-sumber agraria tergantung kepada
struktur agraria masyarakat setempat.
Permasalahan masyarakat yang
hidup di pinggiran hutan membutuhkan kajian sosiologis, khususnya berkenaan
dengan aspek sosioagrarianya. Pemahaman terhadap masyarakat pinggiran hutan
perlu dilakukan karena salah satu kesalahan
selama ini disebabkan oleh sistem pengelolan hutan yang tidak berakar pada
pengembangan kelembagaan setempat (Wibowo, 1993: 26). Dukungan kelembagaan
lokal sangat dibutuhkan untuk pengelolaan kehutanan dalam kerangka pembangunan
yang berkelanjutan, yang mencakup aspek-aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Untuk menjamin keberlanjutan (sustainability)
sumberdaya kehutanan di masa datang, diperlukan kesadaran untuk mengembangkan
kapasitas komunitas lokal, termasuk perubahan paradigma dengan menempatkan
manusia sebagai bagian integral di dalamnya. Untuk merancang kelembagaan yang
dibangun berdasarkan paradigma tersebut, diperlukan pengetahuan yang cukup
mendalam terhadap bangun organisasi sosioagraria setempat. Berkaitan dengan itu
perlu dilakukan studi untuk memetakan persoalan agraria tersebut, terutama di
luar Jawa yang memiliki sejarah dan dinamika politik agraria yang berbeda
dengan di pulau Jawa (Ngo, 1989: 73).
Masyarakat yang mendiami wilayah pinggiran hutan saat ini ada yang
merupakan masyarakat bentukan baru karena migrasi berbagai etnis pendatang dari
luar. Kekayaan sumberdaya agraria dan terbukanya peluang akses bagi pendatang
merupakan faktor penarik migrasi masuk ke wilayah tersebut. Pada kasus ini
diperkirakan akan dijumpai dinamika sosioagraria yang khas, dimana proses pembentukan
struktur agraria serta keterjaminan sosial ekonomi pada masyarakat tersebut
menjadi dasar bagaimana keberlanjutan sumber-sumber agraria yang dimilikinya.
Keterjaminan sosial merupakan konsep
utama dalam kehidupan sosial, yang berkenaan dengan dua hal, yaitu: bagaimana
output didistribusikan dan akses terhadap sumber daya diatur. Ikatan genealogis
merupakan dasar untuk memperoleh keterjaminan, yang pada gilirannya menentukan
struktur ekonomi dan politik masyarakatnya. Sandaran keterjaminan pada masyarakat
sesuku adalah keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended
family) sedangkan pada masyarakat multisuku (pluralis) adalah kesamaan suku. Pemikiran ini menjadi dasar
pembentukan proposisi penelitian, bahwa ikatan genealogis (tali darah), khususnya
faktor kerabat dan identitas sesuku, menjadi faktor penentu dalam pembentukan
struktur agraria pada masyarakat pluralis.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
memperoleh gambaran tentang pengaruh hubungan genealogis dalam proses
pembentukan struktur agraria pada masyarakat pinggiran hutan yang merupakan
masyarakat bentukan baru. Berkaitan dengan itu, penelitian juga mempelajari
prospek stabilitas ekosistem setempat berdasarkan proses sosioagraria yang
berlangsung dalam kehidupan masyarakat bersangkutan.
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Mobilitas penduduk antar wilayah yang tinggi karena perbedaan tekanan
penduduk dan kesempatan ekonomi melahirkan kelompok-kelompok masyarakat yang
pluralis sampai ke tingkat desa. Kecenderungan pola migrasi saat ini adalah:
angkatan muda di dataran tinggi bermigrasi ke kota, sebaliknya banyak penduduk
dataran rendah yang mencari kehidupan ke wilayah dataran tinggi karena lebih
terbukanya peluang akses terhadap sumber-sumber agraria di sana (FAO dan IIRR,
1995: 11).
Kawasan yang disebut dengan pinggiran
hutan (forest margin) adalah wilayah
yang pada satu atau lebih sisinya berbatasan langsung dengan wilayah kehutanan.
Pada wilayah demikian umumnya terdapat areal pertanian dengan segenap
infrastruktur pendukungnya yang menjadi basis sosial ekonomi kehidupan
masyarakatnya. Satu hal yang khas pada mereka adalah, selain hidup dari
budidaya pertanian, mereka juga hidup dengan mengeksploitasi sumber-sumber
agraria yang berada di kawasan hutan (Kartasubrata et.al, 1995: 84).
Bagi masyarakat yang sudah terbiasa hidup dalam ekosistem hutan, khususnya
masyarakat adat, yang menjadikan hutan sebagai sumber berbagai macam kebutuhan
subsistensi, mereka membagi wilayah hutan untuk masing-masing keperluan dengan
pertimbangan kebutuhan dan kemampuan kawasan hutan dengan dilandasi
prinsip-prinsip kelestariannya yaitu: untuk pertanian intensif, pertanian
ekstensif, pemukiman, sebagai hutan produksi yang diambil hasilnya, serta hutan yang tidak diambil hasilnya
bahkan terlarang untuk dimasuki (Devung, 1999: 238; Ruwiatuti et. al, 1998: 50-1). Munculnya
kesepakatan penggunaan sumber daya hutan tersebut hanya mungkin jika dalam
masyarakat telah berbentuk “komunitas”. Menurut Soekanto (1982: 162-3: dan
1983: 92), komunitas (community) atau
dapat disebut dengan “masyarakat setempat” adalah kelompok yang hidup bersama
dengan kriteria tingginya interaksi sosial (social
interaction) di antara mereka. Mereka bertempat tinggal di satu wilayah
(secara geografis) dengan batas teritorial yang jelas.
Setiap kelompok sosial sebagai suatu sistem akan mengembangkan kelembagaan
dengan seperangkat aturan bersama yang bisa dijadikan pedoman untuk menjamin
kehidupan anggotanya. Hal ini merupakan fungsi pokok yang dimiliki oleh satu
kelompok sosial. Terbangunnya kelembagaan ini memerlukan prasyarat pokok, yaitu
apabila kelompok masyarakat tersebut memiliki ikatan genealogis ataupun ikatan
teritorial dalam bentuk “komunitas”.
Dalam kelompok berdasarkan ikatan
genealogis berupa sistem kekerabatan, keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family) merupakan dua level organisasi sosial yang
memiliki fungsi langsung dalam urusan mata pencaharian anggotanya. Dalam kedua
kelompok ini, terutama dalam keluarga inti, setiap individu dapat menikmati bantuan
utama dari sesamanya untuk terpenuhinya dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan
keamanan hidupnya (Koentjaraningrat, 1974: 106). Secara umum, dalam suatu
kelompok kekerabatan, mereka terikat oleh suatu sistem hak dan kewajiban bagi
para individunya terhadap sejumlah harta produktif , harta konsumtif, atau
harta pusaka tertentu. Hak dan kewajiban tersebut lebih terasa dalam kelompok
kekerabatan berkorporasi (corporate kin
groups), yaitu pada keluarga inti.
Terbangunnya kelembagaan dengan peraturan seperti ini juga dapat ditemui
pada masyarakat yang dibentuk oleh ikatan teritorial, sebagaimana ditemukan
dalam penelitian Scott (1981:5-7) pada masyarakat prakapitalis di Asia
Tenggara, dimana desa menjamin kehidupan minimum warganya melalui berbagai
pengaturan yang mengedepankan prinsip
mendahulukan selamat (safety first), meskipun
tanggung jawab tersebut secara individual ada pada patron-patron yang ditekan
oleh lembaga desa sebagai pengawasnya. Kondisi seperti ini juga terdapat di
Jawa ketika masih berbentuk “desa komunal” (Temple, 1976: 19-20), yang
menciptakan jaminan kehidupan minimum bagi seluruh warganya dengan jaminan
semua anggota desa bisa mengambil bagian dalam proses produksi.
Bagi
penduduk yang tersusun oleh berbagai kelompok yang berbeda, misalnya kelompok
suku, maka pembauran sosial (asimilasi) menuju terbentuknya suatu kolektivitas
tidak terjadi secara serta-merta. Ketika pembauran tersebut belum terbentuk,
masyarakat hanya mencapai tahap integrasi, dimana masing-masing hidup dengan
identitasnya sendiri, namun hubungan kedua pihak dapat dilakukan dengan baik,
saling menguntungkan dan saling isi (Soemardjan, 1988: 5). Dalam kondisi
seperti ini institusi penjamin keamanan sosial ekonomi berada pada pundak
kelompok-kelompok kekerabatan berdasarkan ikatan genealogis.
Ketiadaan
institusi penjamin yang menyebabkan terancamnya keamanan sosial ekonomi dapat
melahirkan suatu perilaku sosial yang cenderung merusak. Penurunan jaminan
keamanan sosial ekonomi karena krisis ekonomi misalnya terbukti menjadi faktor
mendorong meningkatnya aktivitas pencurian kayu di masyarakat pinggiran hutan
di Sumatera Selatan (Ginoga dan Erwidodo, 2001: 15-30). Di sisi lain,
terancamnya keamanan sosial ekonomi juga dapat disebabkan oleh tingginya
tekanan penduduk dibandingkan sumber-sumber agraria yang tersedia, sehingga
melahirkan rumah-rumah tangga yang berkategori miskin. Penelitian di empat desa
di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat menemukan bahwa pada
desa yang penduduknya miskin maka kerusakan hutanya juga lebih besar (Mukhtar,
1986: 9).
Konsep keberlanjutan (sustainability)
ekosistem berada dalam konteks saling keterkaitan antara manusia dan alam. Kata
kunci dari konsep keberlanjutan ini adalah kondisi yang tetap (stabil) dari
ekosistem, jika tidak bisa lebih baik. Keberlanjutan ekosistem tergantung
kepada apakah ekosistem tersebut dalam status yang tetap (stabilisasi) atau
semakin menurun (destabilisasi). Dalam konsep keberlanjutan ekosistem secara
keseluruhan yang mencakup lingkungan fisik, biologi, dan sosial, maka perlu
mempertimbangkan tiga kriteria keberlanjutan, yaitu: keberlanjutan ekologi atau lingkungan, keberlanjutan secara
sosial, dan keberlanjutan secara ekonomi (economic
sustainability) (CIFOR, 1997: 7).
Pada masyarakat pedesaan
yang didominasi usaha pertanian, secara umum struktur agraria mendasari
struktur sosialnya. Namun demikian, tampaknya kedua hal ini bisa bersifat
saling timbal balik, khususnya pada masyarakat bentukan baru, dimana struktur
sosial akan terbentuk bersamaan dengan struktur agraria. Pada masyarakat ini,
ketika ikatan teritorial belum terbentuk, mereka cenderung berkelompok
berdasarkan ikatan genealogis. Dengan demikian, aliran sumber daya ekonomi
(terutama tanah) juga akan mengikuti struktur sosial berdasarkan ikatan
genealogis tersebut.
Secara teoritis tiap kelompok
masyarakat berbentuk komunitas akan mengembangkan seperangkat aturan yang akan
menjamin kehidupan warganya. Namun, terbangunnya institusi ini membutuhkan
syarat kuatnya struktur komunitas, yang sulit ditemukan dalam kelompok
masyarakat bentukan karena migrasi. Jika jaminan sosial ekonomi tersebut tidak
diperoleh, maka yang lahir adalah sikap eksploitatif individualis dari
warganya. Pada tahap selanjutnya perilaku ini akan menyebabkan destabilisasi sumber-sumber
agraria sehingga akan mengancam keberlangsungan ekosistem tersebut (biofisik
dan sosial). Dalam keadaan kurang terjaminnya kemanan sosial ekonomi, sementara
ada peluang akses kepada kehutanan, maka ekspansi ke kawasan hutan diperkirakan
akan berlangsung tanpa kearifan kelestarian yang memadai.
Pemilihan Lokasi dan Responden Contoh
Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif menggunakan strategi studi kasus dengan
menerapkan multi-metode triangulasi dalam pengumpulan data berupa wawancara, pengamatan
langsung, dan studi dokumen (Yin, 1997). Kata “kualitatif” menekankan kepada
proses dan makna dengan menganalisis dan memahami pola dan proses sosial
masyarakat, yang diakui tidak akan dapat diukur dan diuji secara tepat (rigorously examined) dalam konteks
kuantitas, jumlah, intensitas, dan frekwensi (Denzin dan Lincoln, 1994: 4-6).
Penelitian dilakukan pada pertengahan
tahun 2001, pada dua desa di Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala, Sulawesi
Tengah, yang merupakan kawasan yang
berbatasan dengan wilayah hutan. Kedua desa tersebut adalah Desa Sintuwu yang
berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Lore Lindu dan Desa Berdikari
yang berbatasan langsung dengan kawasan Hutan Produksi Terbatas milik negara.
Data utama penelitian ini adalah data kualitatif yang diperoleh dengan
melakukan wawancara terhadap informan, baik informan kunci maupun bukan, mulai
dari penduduk desa, pemerintah, swasta, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Penelitian ini juga didukung oleh data
kuantitatif tentang pemilikan tanah, cara perolehannya, serta perubahan
penggunaannya yang diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner
terstruktur terhadap 61 orang responden yang dipilih secara acak mewakili suku.
Jumlah responden di Desa Sintuwu adalah 31 orang dan di Desa
Berdikari 30 orang.
Pengumpulan data menggunakan metode pengamatan (observation) dan wawancara mendalam (indepth interview). Untuk mendapatkan informasi sosiobudaya serta
proses kedatangan masing-masing etnis dilakukan wawancara terhadap informan kunci
yang terlibat langsung sebagai pelakunya. Selain itu juga dilakukan studi
literatur berkenaan dengan berbagai data demografi dan administrasi pertanahan,
terutama yang terdapat pada pemerintahan desa.
Metode Analisis
Sebagai penelitian kualitatif, penelitian ini mengetengahkan data secara
deskriptif terhadap gejala-gejala yang dipelajari dalam konteksnya yang alami (natural setting) (Denzin dan Lincoln,
1994: 4). Selain itu, juga dilakukan analisis untuk mengidentifikasi kaitan
sebab akibat dari gejala yang diamati serta mengambil kesimpulan yang menjadi
dasar deduktif dan prediktif terhadap berbagai persitiwa di masa mendatang
(Kartono, 1986: 24).
Data kualitatif dianalisis dengan prinsip “analisis data kualitatif” yang
terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data (Miles dan
Huberman, 1992: 15-21). Reduksi data merupakan pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul
dari catatan-catatan tertulis lapangan; sementara penyajian data merupakan
sekumpulan informasi tersusun yang memungkinkan penarikan kesimpulan. Data
kuantitatif dianalisis secara deskriptif dengan pengkategorian jawaban dan
ditampilkan dalam tabel analisis.
Dalam penelitian ini dimuat uraian secara prosesual
dengan saling menghubungkan fakta antar waktu dan menggambarkan
perubahan-perubahan keberadaan sumber-sumber agraria dan organisasi
pemanfaatannya yang melibatkan perubahan-perubahan pada hak milik dan
penetapan-penetapan perjanjian. Secara terbatas juga dicakup kasus-kasus
sengketa dengan mempelajari bentuk konflik, siapa yang terlibat, penyebab,
serta penyelesaiannya. Kajian sengketa dapat menjadi data untuk analisa kekuasaan
dan politik dalam masyarakat bersangkutan melibatkan perubahan-perubahan pada
hak milik dan penetapan-penetapan perjanjian. Secara terbatas juga dicakup
kasus-kasus sengketa dengan mempelajari bentuk konflik, siapa yang terlibat,
penyebab, serta penyelesaiannya. Kajian sengketa dapat menjadi data untuk
analisa kekuasaan dan politik dalam masyarakat bersangkutan.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Proses
Pembentukan Desa dan Struktur
Masyarakat
Sejarah pembentukan desa dan pola
pemukiman merupakan latar penjelas penting untuk menerangkan bagaimana
terjadinya struktur agraria dan proses pembentukannya. Kedua desa merupakan
desa bentukan yang baru, mulai didiami
penduduk tahun 1961 yang datang sebagai migrasi swakarsa. Sebelumnya daerah ini
merupakan tanah kosong berupa hutan primer yang belum pernah dibuka. Secara umum, kedua desa banyak memiliki
kesamaan, baik sejarah pembentukannya maupun struktur sosialnya saat ini.
Migran pertama yang datang ke
Desa Sintuwu tahun 1961 adalah lima keluarga suku Kaili Taa dari Desa
Bakubakulu, yang kemudian diikuti oleh beberapa keluarga Kaili Taa dari Desa
Bunga. Suku Bugis datang tahun
1968, yang sebelumnya sudah lama
berdomisili di kota Palu. Sepanjang era 1970-an mereka seluruhnya berasal
dari para perantau di kota Palu, lalu
diikuti oleh perantau langsung dari daera asal di Sulawesi Selatan.
Dengan bekal sosial budaya sebagai suku yang biasa bermigrasi dan memiliki
kemampuan di bidang usaha pertanian yang lebih baik, maka mereka tampak lebih
berhasil secara ekonomi dibandingkan suku-suku lain saat ini.
Kelompok suku yang terakhir datang adalah Suku Kaili Ledo dari Kecamatan
Biromaru, Kaili Tara dari Desa Lasoanne Kecamatan Palu Barat, serta Suku Kulawi
dari Kecamatan Kulawi. Kaili Ledo datang hampir bersamaan dengan Kaili Tara
pada awal tahun 1980. Mereka diizinkan tinggal di dusun 3 sebagai dusun
terakhir yang dibuka, dimana setiap pendatang diberikan tanah pekarangan oleh
kepala desa di sepanjang “jalan Jepang” masing-masing 0,25 hektar. Mereka
tertarik datang karena tanah-tanah di sini masih banyak yang kosong dan cukup
dengan izin kepala desa. Migran Kaili Tara terpaksa bermigrasi ke sini karena
wilayahnya yang di pinggir kota Palu terdesak oleh alih fungsi menjadi
perumahan dan perluasan lapangan terbang.
Suku Kulawi datang di desa ini pada akhir tahun 1980-an. Sama seperti Suku
Kaili Ledo dan Kaili Tara, pertama datang mereka juga memohon izin tinggal
langsung kepada kepala desa. Karena saat itu sudah tak ada lagi tanah kosong di
dalam desa, maka mereka hanya memperoleh sedikit pekarangan di sepanjang jalan
Jepang di wilayah Katopi Atas. Mereka saling memiliki hubungan keluarga satu
sama lain, dan saling mengajak kerabat ketika mau migrasi ke desa ini.
Masyarakat Desa Berdikari
juga merupakan masyarakat multietnik, yang seluruhnya merupakan kaum pendatang.
Di desa ini pemukiman penduduk juga mengelompok berdasarkan suku dan daerah
asal. Pada 1961 datang 3 keluarga suku Kulawi, yaitu Bapak Rou Lologau beserta
adik dan kerabatnya, ketika belum ada satupun penduduk disini. Desa ini dibuka
dari barat ke timur secara berangsur-angsur. Proporsi penduduk terbanyak
setelah Suku Kulawi adalah Suku Bugis. Kadatangan Suku Bugis dimulai tahun
1970-an dengan kuantitas yang sama sampai dengan akhir 1980-an. Disini juga
berlaku pola umum, dimana pendatang Bugis pertama bermukin lebih di barat dan
pendatang selanjutnya lebih ke timur.
Pola migrasi Suku Bugis sama dengan yang terjadi di desa Sintuwu. Para
migran Bugis dekade 1970-an dan 1980-an sebelumnya sudah lama menetap di kota
Palu, sedangkan migran pendatang terakhir (1990-an) umumnya langsung dari
daerah asal di Sulawesi Selatan. Migran yang tergolong pasca perintis (second wave migrant) umumnya memiliki
modal usaha yang lebih kuat.
Penduduk Desa Berdikari didominasi
oleh Suku Kulawi dan Bugis, yang berjumlah hampir 80 persen dari seluruh
penduduknya. Suku-suku lain yang berjumlah lebih sedikit adalah Suku Toraja dan
Manado. Waktu kedatangan serta alasan migran Suku Toraja dan Manado ke Desa
Berdikari memiliki banyak persamaan. Mereka tergolong pendatang paling akhir
dari kelompok suku (mulai tahun 1970-an), karena itulah pemukiman mereka saat
ini lebih banyak terdapat di dusun 3.
Migran perintis Toraja adalah para
pegawai di kantor-kantor pemerintahan di kota Palu atau guru-guru sekolah di
Kecamatan Palolo. Mereka membeli tanah di desa Berdikari ketika harga tanah
masih sangat murah. Aliran pendatang terbanyak terjadi pada era 1990-an, yaitu
di tanah milik instansi TNI Korem 132 Sulawesi Tengah. Mereka yang menjadi
buruh dengan gaji bulanan atau menyakap bagi hasil tanah-tanah Korem tersebut
adalah yang memiliki hubungan keluarga dengan pemilik tanah. Selanjutnya mereka
mengajak keluarga Toraja yang lain menjadi petani penyakap pada tanah Korem
lain meskipun tidak memiliki hubungan keluarga.
Masyarakat yang Menjadikan Ikatan Kekerabatan[1] sebagai Dasar Strukturnya (sosiogenealogis)
Penggunaan kekerabatan sebagai jalur
migrasi selanjutnya mengkristal dalam strukur masyarakat yang terbentuk saat
ini. Berdasarkan struktur pemukiman penduduknya, wilayah desa terbagi-bagi
menjadi beberapa kelompok suku, karena kecenderungan bermukim menurut suku yang
sama. Pola pemukiman demikian terbentuk berdasarkan waktu kedatangan dan karena
ikatan kekerabatan. Setiap kelompok pemukiman merupakan satu kerabat karena
saling memiliki hubungan tali darah, sesuku dan masih dalam satu keluarga luas (extended
family). Hal ini disebabkan karena migrasi mereka ke desa ini menggunakan
jaringan sosial (social network)
kerabat dan bersifat migrasi berantai (chain
migration). Kedatangan para migran perintis setiap suku dilakukan secara
berombongan dan memilih suatu tempat, yang kemudian mengajak kerabatnya ke
tempat tersebut.
Selain secara fisik mereka berkelompok berdasarkan suku, dalam struktur
sistem sosial pun mereka terkotak-kotak dalam kelompok-kelompok suku. Tabel 1
memperlihatkan bahwa di Desa Sintuwu, suku Kulawi hanya ada di dusun 1,
sedangkan suku Kaili Tara dan Ledo hanya bermukim di dusun 3. Interaksi sosial
dengan sesama anggota suku lebih intensif dibandingkan dengan suku di luarnya,
baik dalam hubungan produksi pertanian maupun aktivitas sosial budaya. Hal ini
menimbulkan sikap etnosentrisme dan lambatnya proses akulturasi.
Struktur masyarakat yang
terkotak-kotak dalam kelompok ikatan genealogis dan kesukuan menyebabkan ikatan
teritorial masyarakat sedesa lemah. Hal ini misalnya tampak dari sulitnya
membangun kelembagaan pemerintahan desa yang kuat. Masing-masing suku tinggal
berdampingan dengan areal pertanian yang dikuasainya, baik areal kebun maupun
sawah. Tiap kompleks sawah dikuasai suku tertentu.
Di Desa
Berdikari, dengan mencermati pola pemukiman penduduk pada Tabel 2, terlihat
bahwa Suku Kulawi sangat dominan di Dusun 1, karena hanya merekalah pendatang
ke desa ini sepanjang tahun 1960-an, sedangkan suku Kulawi di Dusun 2 dan
3 merupakan pendatang gelombang
berikutnya ditambah dengan turunan Suku Kulawi dari Dusun 1. Artinya,
kedatangan Suku Kulawi dalam jumlah relatif
banyak pada dua dasawarsa pertama (1960-an dan 1970-an), dan semakin berkurang
pada dua dasawarsa berikutnya (1980-an dan 1990-an). Sebaliknya Suku Bugis, yang pemukimannya
lebih menyebar, menandakan bahwa tahun
kedatangannya terjadi dalam kurun yang panjang, dan lebih banyak pada pada era
1980-an. Suku Bugis dan Toraja paling banyak berada di Dusun 3, yang menandakan
bahwa merekalah migran terbanyak pada era 1980-an dan 1990-an dibandingkan
suku-suku lain.
Tabel 1. Sebaran penduduk beradasarkan dusun dan suku
di Desa Sintuwu, 2001.
Suku dan sub
suku
|
Jumlah rumah
tangga
|
||||
Dusun 1
|
Dusun 2
|
Dusun 3
|
Total
|
%
|
|
1.
Kaili Taa
2.
Kaili Tara
3.
Kaili Ledo
4.
Bugis
5.
Kulawi
6.
Kaili Ija,
Kaili Unde, Kaili Rai, Toraja, Sunda Dan Bali
|
30
0
0
42
30
10
|
65
0
0
51
0
10
|
3
60
25
2
0
0
|
98
60
25
95
30
20
|
29,9
18,3
7,6
29,0
9,1
6,1
|
T o t a l
|
112
|
126
|
90
|
328
(1205 jiwa)
|
100
|
Sumber: Data Profil Desa Sintuwu tahun 2000
digabungkan dengan catatan sekretaris desa dan wawancara dengan informan kunci.
Tabel 2.
Sebaran penduduk beradasarkan dusun dan suku di Desa Berdikari, 2001.
Suku dan sub
suku
|
Jumlah rumah
tangga
|
||||
Dsn 1
|
Dsn 2
|
Dsn 3
|
Total
|
%
|
|
1.
Kulawi
2.
Bugis
3.
Toraja
4.
5.
Poso, Jawa,
Kaili, dan Sunda
|
175
22
11
3
8
|
63
21
13
2
6
|
5
67
36
6
6
|
243
110
60
11
20
|
54,7
24,8
13,5
2,5
4,5
|
|
219
|
105
|
120
|
444
(1782 jiwa)
|
100,0
|
Sumber:
Data Profil Desa Berdikari tahun 2000 digabungkan dengan catatan sekretaris
desa dan wawancara dengan informan kunci.
Secara umum,
tampak bahwa lokasi pemukiman berkaitan erat dengan cara memperoleh tanah. Suku
Bugis sedikit di Dusun 2 karena tanah dominan adalah sawah yang jarang dijual,
padahal orang Bugis umumnya memperoleh tanah dengan membeli. Suku Kulawi yang
terbiasa membuka tanah sendiri terhalang masuk ke Dusun 3 karena tanah bebas
sudah tak ada. Sebaliknya orang Toraja
banyak dijumpai di Dusun 3 karena mereka memperoleh tanah dengan cara menyakap.
Sebagaimana di Desa Sintuwu, faktor
suku juga menjadi sentimen yang memberi kerangka struktur sosial penduduk Desa
Berdikari. Hal ini secara fisik terlihat dari pemukiman yang sesungguhnya
berkelompok berdasarkan kerabat dekat. Kuatnya ikatan sosial sesuku juga
terlihat dari pelaksanaan peristiwa-peristiwa
budaya, khususnya dalam prosesi kematian dan perkawinan. Setiap orang
akan mengundang warga sesukunya khususnya yang berasal dari desa asal yang
sama.
Dari uraian di
atas terlihat bahwa pada kedua desa belum berhasil dibangun suatu organisasi
sedesa yang cukup kuat, baik dengan dasar ikatan teritorial maupun genealogis.
Dengan demikian, mereka belum dapat dikatakan sebagai sebuah “komunitas”, namun
lebih merupakan masyarakat multietnik yang dikonstruksi melalui ikatan
genelaogis suku dan kerabat dekat, atau disebut sebagai “masyarakat yang
bercirikan hubungan sosiogenealogis”.
Peranan
Sosiogenealogis dalam Pembentukan Struktur Agraria (Cara Memperoleh Tanah)
Ikatan
kekerabatan (sosiogenealogis) dapat disebut sebagai faktor esensial dalam
menjelaskan terbentuknya struktur agraria masyarakat. Stuktur penguasaan lahan
dalam konfigurasi antarsuku, pada gilirannya membentuk struktur ekonomi dan
kekuasaan dalam masyarakat. Indikator
kunci untuk menerangkan hubungan ini adalah faktor cara seseorang memperoleh
tanah yang saat ini dikuasainya.
A.
Desa Sintuwu
Seluruh
penduduk di Desa Sintuwu menguasai tanah kering baik dengan status milik
sendiri atau menyakap. Hanya sedikit penduduk yang memiliki sawah. Sebagian penduduk hanya memiliki tanah
pekarangan sedangkan kebunnya berada di areal Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).
Secara agregat penguasaan tanah oleh Suku Bugis terluas dibandingkan suku-suku
lain.
Secara umum, ditemukan perubahan pola cara perolehan tanah dari waktu ke
waktu. Pada era 1960-an setiap pendatang dapat mengambil tanah seluas yang ia
mampu garap dengan seizin kepala desa. Semenjak tahun 1980-an, ketika tanah
dalam desa sudah habis terbagi, mulai banyak jual beli tanah, sehingga
pendatang baru hanya bisa memperoleh tanah dengan cara membeli.
Cara memperoleh tanah garapan ditentukan oleh dua faktor, yaitu waktu
kedatangan pertama kali atau waktu ia menginginkan tanah, serta identitas suku.
Meskipun tiap pendatang pada dua dasawarsa pertama berkesempatan membuka tanah
secara langsung, suku Bugis lebih suka membeli tanah yang sudah dibuka. Tabel 3
berikut menjabarkan cara responden berbagai suku memperoleh tanah yang saat ini
dikuasainya.
Suku Kaili Taa
sebagai pendatang pertama dulunya merupakan pemilik tanah yang terluas, namun
kemudian banyak menjual tanah-tanahnya. Pendatang Kaili Taa lain adakalanya
diberi tanah oleh keluarganya yang datang lebih dahulu. Hal ini banyak terjadi
ketika tanah masih sangat murah. Memberi tanah kepada kerabat lain juga
merupakan strategi untuk menarik penduduk yang lebih banyak ke desa ini ketika
penduduk masih jarang. Setelah periode ini, kerabat baru yang datang biasanya
menyakap atau membeli tanah dari kerabat sendiri[2].
Dari Tabel 3
terlihat, dari 43 kasus persil tanah, cara perolehan tanah oleh suku Kaili yang
terbanyak adalah dengan membeli dari kerabat (32,5%) dan diberi oleh kepala
desa atau kerabat (30,2%). Responden yang menjawab "diberi" dalam hal
ini berarti ia memperoleh tanah tersebut karena diberikan oleh keluarganya,
terutama orang tua. Fenomena "diberi oleh keluarga" merupakan pola
kedua setelah sebelumnya dibuka oleh anggota keluarga tersebut. Dalam kategori
"membeli" kebanyakan adalah membeli dari sesama Kaili. Tidak
ditemukan satupun kasus dari suku Kaili yang membeli dari suku Bugis, namun
banyak yang mengaku membeli dari kepala desa.
Suku
Kaili Ledo dan Kaili Tara yang datang relatif terlambat (tahun 1980-an) diberi
tanah oleh kepala desa di Dusun 3 yang hanya cukup untuk pekarangan.
Ketidakcukupan uang untuk membeli tanah yang harganya sudah mulai tinggi
menyebabkan mereka berkebun di dalam areal taman nasional[3].
Tabel
3. Cara prolehan tanah berdasarkan suku
di Desa Sintuwu, 2001 (menurut jumlah persil).
Jumlah responden dan cara perolehan tanah
|
Suku
|
|||
Kaili
|
Bugis
|
Kulawi
|
Total
|
|
Jumlah responden (orang)
Cara perolehan tanah (persil)
a.
Diberi
b.
Membeli
c.
Sakap dan sewa
d.
Ambil di TNLL
|
18
13
14
8
8
|
8
7
16
4
0
|
5
4
8
1
2
|
31
24
38
13
10
|
T o t a l
|
43
|
27
|
15
|
85
|
Sumber: data
primer, 2001.
Seperti
migran yang lain, suku Bugis juga tidak memiliki modal uang yang cukup ketika
pertama pindah ke desa Sintuwu. Karena itulah mereka yang datang pertama
apabila tak mampu membeli tanah ada yang “bapetak”[4]
di sawah orang lain atau menyewa, baru kemudian membeli. Dari Tabel 3 terlihat, sebagian besar
responden Suku Bugis mendapatkan tanah melalui membeli (59,2%), dan hanya 26 %
yang diberi. Dalam kasus diberi, seluruhnya diperoleh oleh pemberian kerabat
sendiri baik dari orang tua (warisan) maupun saudara. Memberi tanah antar
kerabat banyak terjadi ketika harga tanah masih rendah pada tahun 1970-an. Tidak seorangpun Suku Bugis yang memiliki
kebun dalam areal taman nasional. Sikap mematuhi hukum dan pencapaian keberhasilan
Suku Bugis secara ekonomi dilandasi oleh nilai-nilai budaya siri’, pacce, dan sipakatan yang direalisasikan dalam bentuk kerja keras serta saling
bantu sesama kerabat[5].
Dibandingkan dengan Suku Kaili dan Bugis, Suku Kulawi
memiliki tanah di dalam desa yang paling sempit, karena mereka datang akhir
tahun 1980-an, ketika sudah tidak tersedia lagi tanah kosong di dalam desa.
Selain berkebun di pekarangan, mereka
juga berkebun dalam areal taman nasional. Penduduk Suku Kulawi jarang
melakukan transaksi tanah, baik menjual ataupun membeli. Untuk menjual tanahnya
sempit, sedangkan untuk membeli mereka tidak mampu.
Secara ringkas terlihat bahwa tanah
dalam desa diperoleh melalui dua cara, yaitu dengan jalan membuka sendiri dengan
izin kepala desa atau membeli dari kepala desa. Tanah yang diberikan ini
kemudian diperjualbelikan lagi kepada sesama suku namun banyak yang berpindah
tangan ke orang Bugis. Suku Kaili Ledo, Kaili
Tara dan Kulawi juga memperoleh
pembagian tanah dari kepala desa meskipun lebih sempit. Selanjutnya, tanah
dalam desa yang dijual kepala desa banyak dibeli oleh Suku Bugis dan sedikit
oleh Suku Kaili. Bagi Suku Bugis transaksi selanjutnya hanya kepada kerabat
sendiri, namun tanah-tanah yang dimiliki Kaili Taa kemudian banyak juga yang
dijual lagi ke orang Bugis.
B. Desa Berdikari
Di
desa Berdikari, penguasaan tanah pada Suku Bugis saat ini paling luas
dibandingkan suku lain, meskipun Suku Kulawi dahulu adalah pemilik tanah
terluas. Tabel 4 berikut memperlihatkan bahwa dari 30 orang
responden atau 100 persil tanah, terlihat pola cara perolehan tanah yang cukup
berbeda. Responden Suku Kulawi memperoleh tanah dengan membeli
(38,5 %) dan diberi (35,9%), yang keduanya berasal dari keluarga atau kerabat
sendiri. Sebaliknya Suku Bugis sangat dominan memperoleh tanah dengan cara
membeli (60%), baik diperoleh dari Suku Kulawi maupun dari sesama Bugis,
sementara Suku Toraja sebagian besar menyakap.
Tabel 4. Cara prolehan tanah
berdasarkan Suku di Berdikari, 2001 (berdasarkan jumlah persil).
Jumlah responden dan cara perolehan tanah
|
Suku
|
|||
Kulawi
|
Bugis
|
Toraja/Ma
nado, dll
|
Total
|
|
Jumlah responden (orang)
Cara perolehan tanah (persil)
a.
Diberi
b.
Membeli
c.
Sakap dan sewa
d.
Ambil di hutan negara
|
12
14
15
0
10
|
9
6
21
8
0
|
9
1
12
13
0
|
30
21
48
21
10
|
T o t a l
|
39
|
35
|
26
|
100
|
Sumber: data
primer, 2001.
Tahun kedatangan seorang migran ikut menentukan bagaimana
cara perolehan tanahnya, selain strategi ekonomi masing-masing suku, khususnya
antara dua suku besar: Suku Kulawi dan Bugis. Suku Kulawi adalah pendatang
pertama ketika di daerah ini belum ada penduduk satupun. Tabel 7 memperlihatkan
bahwa dari 39 persil sampel tanah, 18 persil diperoleh dengan membuka sendiri
tanpa membeli (8 persil membuka di wilayah
desa karena diberi kepala desa dan 10 di wilayah kehutanan). Dari kasus
yang membuka di dalam desa, 6 kasus diberi oleh orang tua sendiri. Dalam
kategori membuka sendiri berarti mereka membuka secara langsung tanah hutan
yang belum ada pemiliknya dibawah otoritas kepala desa yang menentukan luas dan
lokasinya. Rata-rata luas kebun orang Kulawi di dalam areal hutan adalah 1,5
ha, lebih luas dibandingkan penguasaan
karena diberi dan membeli.
Membuka lahan bagi Suku Kulawi adalah
kebiasaan dari dulu sampai sekarang. Jika dahulu membuka langsung hutan dalam
kawasan desa, namun semenjak tahun 1980-an mereka sudah membuka dalam kawasan
hutan negara. Dari 15 kasus perolehan dengan cara membeli, 12 kasus (80%)
diantaranya adalah membeli dari sesama Kulawi dan umumnya dari kerabat sendiri.
Saling menjual tanah sesama kerabat merupakan kebiasaan yang umum, bahkan ke
anaknya sendiri maupun ke cucunya. Sikap ini merupakan bukti masih kuatnya
fungsi ikatan kekerabatan, agar sumber daya ekonomi (tanah) tidak jatuh ke
tangan orang atau suku lain.
Dalam kasus
"diberi", umumnya seseorang
mendapatkan tanah karena warisan dari orang tua. Biasanya tanah dibagikan tidak
lama setelah seorang anak berumah tangga, baik kepada anak laki-laki maupun
perempuan. Setelah dibagi-bagikan masih tersisa tanah untuk persiapan biaya
kematian bagi dirinya sendiri yang biasanya dijual ketika ia meninggal dunia. Dalam memilih pembeli mereka akan mengutamakan kepada
lingkar keluarganya dulu. Mengingat kematian sering datang mendadak dan
selamatannya harus segera dilakukan, maka pihak keluarga belum siap dengan uang
tunai, sehingga biasanya tanah dijual ke Suku Bugis yang memiliki uang. Alasan
lain menjual tanah adalah untuk biaya pesta perkawinan, selamatan kematian,
membangun rumah, atau biaya berobat.
Berbeda dengan Suku Kulawi, orang Bugis umumnya memperoleh tanah dengan
membeli (sebagaimana di Desa Sintuwu). Dari 35 persil sampel, kasus membeli
dijumpai 21 kasus (60%), terutama membeli dari Suku Kulawi. Pembelian tanah
dari sesama Bugis terjadi antar sesama kerabat juga. Membuka hutan secara
langsung tidak umum bagi migran Bugis, karena selain membutuhkan tenaga, juga
kepastian hukum (secured tenure)
tampaknya merupakan hal penting bagi mereka. Suku Bugis umumnya dulu bersawah
sebagai jalan untuk mencari modal, dan baru beralih berkebun semenjak harga
kakao mulai meningkat.
Suku Manado dan Toraja tergolong
sebagai pendatang terakhir. Pendatang pertama datang secara sendiri-sendiri,
sedangkan pendatang terbanyak tahun 1990-an merupakan pensiunan tentara Korem
dan Kantor Bendahara Negara (KBN) yang mendapat tanah dari instansinya
tersebut. Sebagian besar pemilik menyakapkan tanahnya kepada kerabatnya sendiri
sesama suku Toraja yang kemudian mengajak keluarganya yang lain untuk menjadi
petani penyakap pada tanah lain. Dari Tabel 4 terlihat, bahwa 9 dari 15 persil
sampel tanah yang dikuasai suku Toraja adalah tanah sakapan, sebagai tenaga
kerja yang menerima gaji bulanan, atau
“hak pakai” dari tanah-tanah milik Korem. Hanya ada 6 kasus yang yang
memperoleh tanahnya dengan membeli, baik dibeli dari sesama Toraja ataupun dari
Suku Kulawi.
Dari uraian di atas dapat diringkaskan
suatu skema umum transaksi tanah di desa Berdikari. Sumber agraria dapat
dibedakan menjadi tanah dalam desa, tanah milik instansi (yang diperoleh dengan
izin Bupati Donggala tahun 1970-an), dan tanah-tanah kehutanan. Bagi tanah
dalam desa, eksekusi tanah dilakukan dalam dua bentuk: diberikan secara gratis
atau dijual oleh kepala desa. Suku Kulawi yang lebih dahulu datang paling
banyak diberi tanah. Penjualan tanah dalam desa oleh Kepala desa dahulu hanya
dilakukan kepada orang dari Suku Bugis.
Jual beli
tanah sangat marak di desa ini mulai di era 1970-an sampai awal 1990-an. Harga
tanah tergantung kepada sifat kebutuhan apakah si penjual yang butuh uang atau
si pembeli[6], lokasi tanah (dipinggir jalan atau bukan), serta apakah
pembelinya masih satu kerabat atau bukan, jarak hubungan kekerabatannya.
Faktor Sosiogenealogis sebagai Pembentuk terjadinya Ketimpangan Stuktur
Agraria (Penguasaan Lahan, Ekonomi dan Kekuasaan)
Pembentukan struktur agraria merupakan
proses yang terjadi bersamaan dengan keterjaminan keamanan sosial ekonomi. Pada
masyarakat yang memiliki usaha ekonomi yang seragam (usahatani kakao) dimana
hampir seluruh penduduknya menggantungkan hidup kepada pertanian berbasiskan
lahan (land based agricultural),
struktur sosial masyarakat yang terbentuk juga merupakan gambaran dari struktur
agraria dan keterjaminan keamanan sosial ekonomi dimaksud. Pemilikan tanah yang
lebih luas, pada sebagian besar orang Bugis, menempatkannya pada posisi yang
lebih terjamin keamanan sosial ekonominya. Dengan kata lain penguasaan lahan
menentukan posisi level ekonomi seseorang dan keluarga, yang selanjutnya
menentukan posisi dalam struktur kekuasaan di tingkat desa.
Penguasaan lahan yang semakin sempit pada Suku Kaili di Desa Sintuwu dan
Suku Kulawi di Desa Berdikari, menempatkan mereka pada kelas ekonomi yang lebih
rendah. Bentuk kekuasaan yang mengandalkan kekerasan, khususnya semenjak era
reformasi, mendorong penyerobotan tanah di kawasan hutan yang terlarang.
Penguasaan lahan yang sempit ini juga terkait dengan institusi penjamin
keamanan sosial ekonominya yang lemah. Ikatan sesuku sebagai organisasi
penjamin bagi orang Kulawi misalnya berada dalam kondisi relatif lebih lemah,
karena sesama mereka memiliki struktur ekonomi rumah tangga yang hampir sama
pula. Jauhnya jarak ke desa asal memaksa mereka menjadikan kerabat yang di
Sintuwu saja sebagai penjamin keamanan sosial ekonominya. Sebaliknya, orang Bugis
memiliki jaringan organisasi penjamin keamanan sosial ekonomi yang relatif
lebih luas, mencakup sampai kepada kerabatnya di kota Palu.
Berbeda dengan penyakapan “bagi tanah”[7], penyakapan dengan bentuk “bagi hasil” umumnya terjadi
antara mereka yang memiliki hubungan kerabat, misalnya antara sesama Bugis dan
sesama Kaili Ledo di Sintuwu, serta sesama Toraja di Berdikari. Penyakapan
jenis ini merupakan gejala yang relatif baru, dimana pihak penggarap umumnya
adalah pendatang baru ke desa yang membutuhkan lahan garapan. Permintaan tanah
garapan dihadapkan dengan kelebihan tanah pada para pemilik tanah luas, atau
karena si pemilik tanah tidak lagi tinggal di dalam desa dan mempunyai usaha
lain di kota.
Cara perolehan tanah juga menunjukkan struktur kekuasaan dan perubahannya
dari waktu ke waktu. Perolehan tanah yang lebih luas dahulu pada suku Kaili di
Sintuwu dan Suku Kulawi di Berdikari, disebabkan karena mereka merupakan
pendatang pertama dan merasa sebagai “suku asli”. Mereka membuka hutan dengan bebas dan
memiliki wewenang untuk mendistribusikan tanah kepada migran yang datang
kemudian melalui otoritas kepala desa yang juga dari suku yang sama. Kepala
desa yang berwenang mutlak sebagai pemberi tanah kepada migran yang baru
datang, lebih banyak memberikan kepada yang sesuku dengannya. Perilaku ini
menunjukkan bahwa ia lebih menempatkan dirinya sebagai “pemimpin suku” daripada
seorang kepala desa yang mestinya bersikap sama terhadap pendatang dari suku
lain. Ia lebih mementingkan membangun ikatan genealogis sesuku daripada ikatan
teritorial sedesa.
Gejala polarisasi penguasaan
tanah saat ini, khususnya untuk tanah
dalam desa, mengarah kepada Suku Bugis. Proses ini terjadi melalui mekanisme pasar, bukan
kekuasaan berlandaskan nilai-nilai tradisional.
Perbedaan strategi usaha tani dan struktur ekonomi rumah tangga antar
suku sangat memungkinkan hal ini terjadi.
Suku Kaili dan Kulawi dibebani oleh kewajiban prosesi budaya yang
membutuhkan biaya yang besar untuk pesta perkawinan dan selamatan kematian.
Ketimpangan struktur ekonomi rumah tangga telah mendorong terjadinya
ketimpangan akses terhadap tanah, yang pada gilirannya akan lebih memperburuk
kondisi ekonomi mereka di masa depan.
Struktur akses terhadap sumber-sumber agraria dan keterjaminan keamanan
sosial ekonomi pada gilirannya menentukan bagaimana tiap orang memperlakukan
tanahnya sebagai sumber ekonomi terpenting. Mereka yang menguasai tanah lebih
sempit dan keamanan sosial ekonomi kurang terjamin menyulitkan dalam menanam
tanaman kakao yang masa panen awalnya perlu waktu lama (4-5 tahun). Hal ini
banyak ditemukan pada Suku Kaili Taa di Sintuwu yang sampai sekarang sulit
untuk mengkonversi sawahnya menjadi kebun kakao karena sawah yang dikuasainya
terbatas hanya untuk memenuhi konsumsi sendiri. Apabila sebagian sawah
dijadikan kebun kakao, maka mereka khawatir sawah yang tersisa tidak mencukupi
untuk kebutuhan beras mereka. Pada saat bersamaan anggota kerabat yang lain
juga tidak dapat lagi diandalkan untuk mendapatkan tanah yang baru, karena
masing-masing juga telah banyak yang menjual tanah-tanahnya sehingga sisa tanah
yang dikuasainya hanya cukup untuk kebutuhan mereka masing-masing.
Ketidakcukupan atau ketimpangan struktur akses terhadap tanah di dalam
kawasan desa telah menyebabkan ekspansi ilegal penduduk ke kawasan hutan.
Sebaliknya, rusaknya ekosistem hutan, khususnya sistem hidrologinya terbukti
telah memperkecil debit serta fluktuatifnya aliran air sungai. Kondisi ini
mulai dirasakan mengancam kesuburan tanah dalam desa. Sebagian sawah di Desa Sintuwu
telah dikonversi menjadi kebun kakao karena kurang terjaminnya pasokan air
irigasi akhir-akhir ini.
Pada sisi
lain, keutuhan sistem sosial mendapat tantangan yang berat di masa depan karena
dihadapkan kepada struktur kekuasaan yang selain masih terkotak-kotak dalam
suku per suku (masyarakat yang multisuku namun tidak pluralis), juga karena
ketimpangan ekonomi yang cenderung melahirkan struktur kekuasaan yang juga akan timpang. Kohesivitas sosial sedesa
sulit terwujud. Akibatnya, selain hal itu akan menimbulkan ketegangan sosial
yang tinggi, juga memperlemah posisi
tawar terhadap “kekuasaan atas” dalam pemanfaatan sumber daya.
KESIMPULAN
Pada daerah bentukan baru terdapat indikasi bahwa
pembentukan struktur agraria bersamaan dengan pembentukan struktur sosial
masyarakatnya. Sebagai daerah yang didominasi oleh usaha pertanian, tanah
merupakan sumber daya agraria terpenting bagi penduduk setempat. Masyarakat
kedua desa adalah masyarakat pinggiran hutan yang belum lama terbentuk melalui
migrasi swakarsa, dan masih hidup dalam kelompok-kelompok yang secara visual
terlihat dari pola pemukiman berdasarkan suku. Sentimen genealogis menjadi
penentu dalam pembentukan struktur agraria, dimana faktor sekerabat dan sesuku
dijadikan preferensi utama dalam memberikan maupun dalam menjual tanah. Hal ini
berimplikasi kepada semakin menguatnya ikatan sosial berdasarkan suku, dimana
tanah menjadi objek perebutan antar suku.
Faktor antara yang menghubungkan kuatnya kaitan antara hubungan genealogis
dengan sturktur agraria adalah keterjaminan sosial ekonomi. Pembentukan
keterjaminan sosial ekonomi masyarakat menunjukkan pola yang berbeda
berdasarkan kelompok suku. Hubungan-hubungan sosial dalam produksi yang
berlandaskan sentimen genealogis dalam satu kerabat dan suku, menjadi salah
satu institusi penjamin keamanan sosial ekonomi (socioeconomy security) ketika ikatan komunitas sedesa belum
terbentuk sampai saat ini. Terdapat gradasi level organiasi sebagai penjamin
beragam kebutuhan sosial ekonomi. Untuk mendapatkan tanah garapan misalnya,
seseorang akan lebih mengandalkan ikatan
keluarga inti, diikuti oleh ikatan keluarga luas, satu tampat asal (desa sampai
kabupaten) dalam satu suku, dan terakhir ikatan satu suku.
Kestabilan
lansekap fisik ekosistem tampak mengalami degradasi karena perilaku eksploitasi
yang tidak mengikuti prinsip-prinsip konservasi khususnya pada kawasan hutan. Keberlanjutan kehidupan masyarakat, baik
secara ekonomi maupun budaya, secara umum berada dalam kondisi terancam. Hal
ini disebabkan menurunnya status kestabilan sumber-sumber agraria yang mereka
miliki, serta struktur ekonomi dan kekuasaan yang kurang kondusif untuk
membangun institusi sedesa yang kuat. Dalam kondisi seperti ini, pemberdayaan masyarakat setempat misalnya
jangan memandang desa sebagai satu unit institusi sosial yang kohesif dan
pemimpin formal desa sebagai representasinya, namun harus melakukan pendekatan
kepada pemimpin-pemimpin pada satuan suku yang berbeda sebagai pemimpin yang
realistis fungsional.
Daftar
Pustaka
CIFOR. 1997. Hierarchical Framework for the
Formulation of Sustainable Forest Management
Standards: Principles, Criteria, and Indicators. Center for International
Forestry Research, Bogor .
Denzin, Norman K. dan Y. S. Licoln. 1994.
Introduction: Entering the Field of Qualitative Research (bab I). Dalam:
Norman K Denzin dan Yvonn S. Lincoln (ed). 1994. Handbook of Qualitative
Research. SAGE Publication.
Devung, G. S. 1999. Pranata Tradisional serta
Praktek Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Masyarakat Kenyah di
Wilayah Hulu Sungai Bahau (hal. 237-252). Dalam: Cristina Eghenter dan Bernard
Sellato (editor). 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian
Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan . Jakarta : PHPA, The Ford
foundatioan, dan WWF.
FAO dan IIRR. 1995. Resource Management for Upland
Areas in Southeast Asia : an Information Kit.
Farm Field Document 2. Silang, Cavite ,
Philippines .
Ginoga, K. dan Erwidodo. 2001. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Kondisi Hutan
dan Masyarakat Sekitar Hutan. Jurnal Sosial Ekonomi, Puslitbang Sosial Budaya
dan Ekonomi Hutan. Vol. 2 No.1 (hal 15-30)
Kartasubrata,
Y.; S. Sunito.; dan D. Suhardjito. 1995. Social Forestry Programme in Java: a
State of the Art Report. Perum Perhutani, PSP-IPB, Dan The Ford Foundation.
Kartono,
K. 1986. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Penerbit Alumni, Bandung
Koetjaraningrat.
1974. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Penerbit Dian Rakyat.
Mattulada, H.A. 1985. Latoa: Satu Lukisan Analisis Terhadap Antroplogi Politik Orang
Bugis. Hasanudin University
Press, Ujung Pandang .
Mattulada, H.A. 1990. Sejarah Kebudayaan “To Kaili”
(orang Kaili). Badan Penerbit Universitas Tadulako. Palu.
Miles, M. B. dan A. M. Huberman. 1992. Analisis
Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. UI Press, Jakarta
(491 hal)
Muchtar, A. S. 1986. Pola Pemenfaatan Lahan di
Daerah Penyangga serta Pengaruhnya terhadap Kelestarian TN Gunung Gede
Pangrango, Jawa Barat. Buletin Penelitian Kehutanan No. 483. Puslitbang
Kehutanan, Bogor .
Ngo, THG M. 1989.
(Laporan Khusus) Antara Pemilik dan Pemanfaat: Kisah Penguasaan Lahan
Orang Kayan di Kaimantan Barat. Majalah Prisma No. 4, 1989.
Ruwiatuti, M. R.; N. Fauzi;
dan D. Bachriadi. 1998. Penghancuran Hak Masyarakat Adat atas Tanah: Sistem
Penguasaan Tanah, Sengketa, dan Politik Hukum Agraria. KPA dan INPI-Pact. Xvi,
128 hal.
Scott, J. 1981. Moral Ekonomi
Petani. Jakarta: LP3ES.
Soekanto, S. 1982. Sosiologi
Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soekanto, S. 1983. Kamus
Sosiologi. CV Rajawali, Jakarta.
Soemardjan, S. 1988.
Streotipe Etnik, Asimilasi, dan Integrasi Sosial. Yayasan Ilmu-Ilmu sosial.
Syafar, A. W. 1998.
Nilai-Nilai Budaya dan Kebutuhan Berprestasi Perspektif Budaya Bugis-Makassar
(hal. 33-52). Majalah Mimbar Sosek Vol. 11 No. 1 April 1998.
Jurusan Sosek Pertanian, IPB.
Wibowo, A.P.P. 1993. Pilihan Kelembagaan dalam
Pembangunan Hutan yang Berkelanjutan (hal 27-38). Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial No. 4
tahun 1993. PAU Ilmu-Ilmu Sosial UI dan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta .
Yin, R. K. 1997. Studi Kasus:
Desain dan Metode. PT
Raja Grafindo Persada, Edisi 1. Cet. 2. Jakarta .
****
[1]
Istilah kekerabatan yang dugunakan disini mengacu kepada hubungan kekeluargaan
yang masih relatif dekat, misalnya beberapa tingkat hubungan sepupu, dimana
orang Bugis menyebutnya “sepupu satu kali” untuk hubungan jika orang tuanya
yang bersaudara, dan “sepupu dua kali” jika kakek-neneknya yang bersaudara;
serta hubungan lain. Sedangkan istilah genealogis merupakan sebutan yang
bermakna jauh lebih luas dari itu.
[2] Memperoleh tanah dengan cara membeli
dari sesama kerabat menjadi pola yang sangat umum pada Suku Kaili Taa. Hal ini
berakar dari prinsip "mempajagai
harta memomoilinta tona" yang bermakna agar harta tidak
berpindah kepada orang lain yang menjadi
pegangan secara adat (Mattulada, 1990: 90).
[3] Dari 18 orang
responden suku Kaili ditemukan 8 kasus
yang saat ini berkebun kakao dalam kawasan taman nasional, dengan luas
bervariasi antara 0,17 sampai 2 ha.
[5] Nilai siri’ menjadi
daya pendorong untuk membanting tulang, bekerja sungguh-sungguh demi suatu
pekerjaan, nilai pacce menjadi daya dorong yang dapat menimbulkan solidaritas yang
kokoh, sedangkan nilai sipakatan merupakan
konsep keterbukaan yang dalam hubungan bisnis berarti saling menghidupi melalui
kegiatan usaha yang saling menguntungkan (Syafar, 1998: 34-38; Mattulada, 1985:
62)
[7] Pola “bagi tanah” terjadi pada tanah pensiunan pegwai
pengadilan di Sintuwu dan tanah pensiunan tentara Korem di Berdikari. Karena
pemiliknya tinggal di Palu, maka warga setempat dibolehkan membuka lahan untuk
menanaminya dengan kakao. Setelah kakao berproduksi, maka seluruh lahan dibagi
dua, masing-masing setengah untuk pemilik dan penggarap. Pola
ini banyak ditemukan pada periode 1980-an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar