Kamis, 23 Desember 2010

KAJIAN PEMBARUAN AGRARIA DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN USAHA DAN SISTEM AGRIBISNIS

Pendahuluan

Permasalahan agraria yang paling menonjol berkaitan dengan kepentingan pertanian adalah semakin mengecilnya rata-rata pemilikan dan penguasaan lahan garapan, sulitnya mewujudkan konsolidasi usahatani, dan semakin besarnya ketimpangan penguasaan lahan antar petani. Terbitnya TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam merupakan momentum yang sangat baik untuk melihat kembali permasalahan lahan di tingkat petani, misalnya perbaikan distribusinya.

Secara ringkas, agraria terdiri dari aspek pemilikan, penguasaan, dan penggunaan. Tiap pihak memiliki interest yang berbeda terhadap ketiga aspek ini. Lembaga-lembaga non pemerintah misalnya, lebih memperhatiakan aspek pemilikan dan penguasaan; sedangkan Deptan khususnya lebih berkepentingan dengan aspek “penggunaan”, sesuai dengan misinya yang lebih fokus pada peningkatan produksi pertanian.

Departemen Pertanian perlu menginisiasi upaya-upaya awal ke arah implementasi TAP tersebut dengan merumuskan langkah-langkah operasional yang mungkin untuk dilaksanakan. Implementasi TAP MPR IX/2001 membutuhkan rekomendasi kebijakan yang berguna untuk mendorong terwujudkannya sistem pertanahan yang sesuai dengan jiwa dan semangat pembaruan agraria pada umumnya sekaligus sesuai dengan misi dan visi Departemen Pertanian pada khususnya.

Struktur politik agraria di Indonesia saat ini menghadapi kuatnya tekanan lembaga-lembaga di luar pemerintah yang memiliki jaringan komunikasi yang solid. Departemen Pertanian memiliki kepentingan yang sangat besar dengan masalah agraria, namun power politik-nya terbatas. Deptan tidak memiliki otoritas untuk membuat produk hukum yang cukup kuat berhadapan dengan para stake holders lain. Jadi, meskipun “agraria dan pertanian” memiliki kaitan yang kuat dan jelas, namun tidak tercermin pada hubungan “agraria dan Deptan”. Jelaslah, bahwa agraria bagi Deptan lebih merupakan masalah politik dibandingkan masalah “ilmiah”.

Dinamika Sosio Politik Agraria di Indonesia

“Dosa” pemerintah yang selalu diangkat kalangan non pemerintah misalnya adalah keluarnya Permendagri No. 15/1975 tentang “Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah” yang memberikan kemudahan kepada investor dalam memperoleh lahan. Kebijakan ini menyebabkan makin rentannya lahan ulayat milik masyarakat adat berpindah tangan pada investor dalam berbagai bidang usaha, maraknya sengketa tanah secara vertikal dan horizontal, dan berkembangnya spekulasi tanah. Pada hakekatnya, aspek sosial ekonomi pertanahan di Indonesia tak dapat dilepaskan dari warisan kolonial. Keterlibatan swasta besar dimulai dari lahirnya Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet) yang mengundang pihak swasta kolonial menanamkan modalnya terutama dalam bidang perkebunan.

Berkenaan dengan itu, salah satu wacana yang perlu diperhatikan saat ini adalah perlunya menghargai kelembagaan lokal, khusunya hukum dan masyarakat adat. Penelitian pada suku Minangkabau di Sumatera Barat dan Dayak di Kalimantan Selatan menemukan bahwa mereka tidak mengenal penguasaan lahan yang berbentuk kepemilikan individu mutlak (eigendom). Pada suku Minangkabau tidak diperbolehkan ada jual beli tanah, dan penguasaan bersifat komunal berupa tanah ulayat nagari, kaum, suku, dan saparuik. Demikian pula pada suku Dayak Kenayatn yang berprinsip pada “hak milik adat turun temurun” yang mencakup: penguasaan seko manyeko yang lebih bersifat perseorangan, perene’ant yang dikuasai suatu keluarga luas, saradangan untuk satu kampung, dan binua oleh satuan wilayah hukum adat Ketemanggungan.
Dalam penelitian di Jember dijumpai banyak konflik agraria menyangkut hak penguasaan atas tanah, misalnya kasus di Jenggawah. Konflik pertama terjadi tahun 1979, ketika direksi PT Perkebunan 17 menata hak garap HGU bagi petani penggarap, namun menimbulkan kericuhan karena ada petani-petani yang tidak menggarap mendapat bagian. Kericuhan kembali terjadi tahun 1993 ketika dikeluarkan surat perpanjangan HGU untuk PTP XVII. Saat ini sebagian tanah sudah didistribusikan ke petani manjadi hak milik.

Penyebab dari permasalahan ini terutama dari aspek hukum, yaitu adanya inkosistensi hukum selain lemahnya penegakan hukum. Sistem administrasi tanah yang lemah tersebut merupakan akibat simultan dari faktor-faktor: (a) kesadaran masyarakat terhadap pentingnya legalitas formal kepemilikan lahan masih rendah, (b) biaya administrasi tanah mahal, (c) lembaga yang berwenang menangani sistem administrasi tanah kurang proaktif, dan (d) kesulitan dalam memberantas berkembangnya rent seeking activity.

Perlunya Upaya Pembaruan Agraria

Seluruh pihak hampir pasti menyetujui dilakukannya pembaruan agraria di Indonesia, sebagaimana telah termaktub dalam Tap MPR No. IX tahun 2001. Permasalahan yang mendasar saat ini adalah: bagaimana bentuk pembaruan agraria tersebut akan dijalankan? Terdapat dua jalan utama yang bisa digunakan, yang secara konseptual saling berseberangan. Jalan pertama adalah melakukan penataan kembali sistem kepemilikan lahan (land reform) sebagai sebuah aksi sosial yang serentak namun membutuhkan biaya ekonomi dan politik yang besar. Sementara jalan kedua adalah menyerahkannya kepada mekanisme pasar (market friendly agrarian reform). Jalan pertama perlu political will dan kesiapan masyarakat, yang sangat sulit dipenuhi Indonesia dalam waktu dekat ini; sementara jalan kedua sesungguhnya telah dan akan tetap berjalan secara gradual.

Pembaruan agraria atau “agrarian reform” sering hanya dimaknai sebagai landreform, dengan bentuk redistribusi tanah. Ada banyak aspek-aspek lain yang harus disiapkan jika redistribusi tanah menjadi pilihan, terutama dukungan kelembagaan berusaha. Selain itu, landreform dapat pula berbentuk konsolidasi lahan, konsolidasi usaha, dan penataan hubungan sewa-menyewa dan bagi hasil sebagaimana diamanatkan UU No. 2 tahun 1960. Konsolidasi lahan lewat program pemerintah dapat berupa program transmigrasi, pembatasan luas minimal pemilikan tanah, program kerjasama antara masyarakat petani dengan perusahaan pertanian, dan program penataan perumahan. Sementara, konsolidasi usaha pertanian berupa penyatuan usaha yang kecil-kecil ke dalam satu manajemen sehingga lebih efisien.

Kosolidasi lahan dan usaha pertanian dengan sasaran pemanfaatan lahan untuk kepentingan sektor pertanian akan mencakup beberapa kegiatan, yaitu: (a) Karakterisasi dan zonasi pewilayahan pengembangan berbagai komoditas pertanian melalui penelitian dan pemetaan AEZ (agroekological zone); (b) Penelitian, pengkajian, dan pngembangan teknologi spesifik lokasi dan program pendukung pengembangannya; dan (c) Konsolidasi lahan dalam perspektif mendukung pengembangan agribisnis.

Beberapa urgensi perlunya pembaruan agraria dilaksanakan oleh negara-negara berkembang, adalah: (1) Liberalisasi pasar global yang berhasil memaksakan perlunya liberalisasi akses universal terhadap pasar tanah untuk meningkatkan kemampuan berkompetisi, (2) Krisis lingkungan yang semakin mengakui perlunya perhatian kepada keanekaragaman hayati (biodiversity), dimana usahatani berlahan sempit merupakan pengelola-pengelola sistem ekologi yang lebih baik untuk mencegah degradasi lingkungan dan pelestarian sumber daya alam, (3) Perkembagan wacana aspek kesetaraan gender yang juga menuntut distribusi pemilikan aset-aset produktif yang adil secara gender, (4) Tuntutan demokrasi yang membuka kesempatan kepada bentuk-bentuk baru pengelolaan sumber daya alam, serta (5) Arah perkembangan teknologi pertanian yang semakin efisien dan dapat dilakukan pada lahan-lahan yang sempit dengan investasi besar, menuntut kepastian hukum terhadap lahan atau perlu pembaruan dalam hal hukum agraria.

Pembaruan Agraria dalam Konteks Otonomi Daerah

Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 11 ayat 1 dan 2, disebutkan bahwa tugas pertanahan merupakan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota. Artinya, pertanahan bersama-sama dengan banyak kewenangan pusat lain telah diserahkan ke pemerintah daerah. Aturan ini merupakan implementasi dari Pasal 2 UUPA No. 5 tahun 1960 yaitu “hak menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat”. Untuk ini, pemerintah pusat perlu menetapkan kebijakan umum dan pembatasan bagi kewenangan otonomi tersebut, disertai pemberian pembinaan dan pengawasan secara teratur dan terus-menerus dalam pelaksanaan hukum tanah nasional tersebut.
Dalam jangka menengah, pada GBHN 1999-2004 tertulis bahwa arah kebijakan pembangunan pertanahan selama lima tahun, dari tahun 1999 sampai 2004 adalah: “mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan, dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang”. Kondisi yang ingin dicapai adalah makin kuatnya jaminan kepastian dan perlindungan hukum, keberpihakan dan perlindungan hukum kepada golongan ekonomi lemah, serta terciptanya iklim investasi yang semakin kondusif. Kebijakan ini semestinya memadai bagi pengembangan usaha pertanian, khususnya bagi usaha-usaha pertanian berskala besar (perkebunan).

Saat ini berkembang berbagai pendapat tentang komposisi otoritas pemerintah pusat dan daerah dalam hal keagrariaan. Sebagian berpendapat bahwa bidang yang dapat dipindahkan ke pemerintah daerah seyogyanya hanyalah urusan bentuk dan cara mengusahakan atau mengolah unsur-unsur tanah, seperti usaha pertanian, kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Sementara, soal hak kepemilikan tanah yang mencerminkan makna tanah sebagai simbol kesatuan bangsa dan negara tidak dapat didelegasikan. Wewenang yang berada di kabupaten/kota mengenai pertanahan sebaiknya sebatas yang bersifat lokalitas, misalnya dalam penetapan spatial planning, izin lokasi, dan izin prinsip.

Dengan telah diberikannnya wewenang untuk memberikan izin lokasi dan izin prinsip kepada pemerintahan tingkat II, maka telah mulai pula terdengar berbagai keluhan dari investor perkebunan, disebabkan banyaknya pungutan untuk menghasilkan PAD sebesar-besarnya. Ini merupakan polemik, karena ketika izin lokasi berada di pemerintah pusat, pemerintah daerah mengeluh bahwa mereka tidak memperoleh keuntungan apapun meski di wilayahnya banyak usaha perkebunan besar swasta.

Pembaruan Agraria dan Pengembangan Agribisnis

Paradigma agribisnis dapat diadaptasikan dengan kondisi konstektual Indonesia termasuk dalam perumusan reforma agraria. Sempitnya penguasaan lahan mesti dirubah misalnya melalui pembukaan areal baru. Penyediaan lahan usaha bagi petani yang membutuhkan tentu saja merupakan salah satu bagian dalam konsep reforma agraria. Strategi yang harus diterapkan untuk mengatasi kemiskinan di desa adalah dengan mengurangi tekanan penduduk terhadap lahan atau mengurangi jumlah petani melalui penyediaan lapangan kerja alternatif di sekor non-pertanian. Pengembangan agribisnis menuntut kepastian kepemilikan lahan yang menjadi faktor resiko usaha pertanian saat ini, pencegahan fragmentasi dan upaya konsolidasi lahan pertanian, pengendalian konversi lahan pertanian, serta pengaturan sistem sakap-menyakap dan bagi hasil lahan pertanian.

Panduan Solusi Masalah Pertanahan

Prinsip pokok yang harus menjadi landasan dalam pemanfaatan tanah adalah adalah prioritas penggunaan, yaitu: pertama untuk kepentingan umum, kedua negara, dan ketiga baru untuk masyarakat. Namun semasa Orde Baru, makna “kepentingan umum” sering dibiaskan dan dijadikan tameng untuk mengakuisisi sebidang tanah, baik itu milik negara maupun pribadi. Pembebasan tanah di zaman Orde Baru sering sekali merugikan pihak-pihak pemilik tanah sebelumnya.

Semestinya pembebasan tanah, dalam arti pemutusan hak pemilik sebelumnya, tidaklah perlu karena masih ada solusi yang lebih berkeadilan. Dalam PP No. 10/ 1961 pasal 19 yang kemudian dipertegas lagi dengan PP No. 24/ 1997 dicantumkan, bahwa hak penguasaan yang terjauh yang dapat diberikan ke swasta hanyalah Hak Guna Usaha atau Hak Pakai. Hak milik tetap pada pemilik sebelumnya (status quo), baik itu milik negara, tanah ulayat, maupun milik pribadi (privat). Solusi ini merupakan opsi yang terbaik karena lebih cepat,murah, dan adil.

Pembaruan agraria juga perlu mengantisipasi respon petani. Respon petani pada masa feodal menghadapi tekanan tanam paksa di Jawa misalnya apa yang disebut Clifford Geertz dengan fenomena “involusi pertanian”. Masyarakat yang masih kuat sifat komunalitasnya melakukan adaptasi organisasi produksi sedemikian rupa, dimana dengan tanah yang tersisa, lembaga desa menjamin seluruh orang yang menginginkan pekerjaan memperoleh pekerjaan, sehingga setiap warga terjamin kebutuhan subsistensinya. Namun, pada masa Orde Baru, respon petani cenderung berubah menjadi perlawanan fisik; selain “terusirnya” buruh tani dan petani bertanah sempit dari desanya karena tidak mencapai skala ekonomi. Artinya, strategi pembangunan pertanian ke depan tak cukup jika hanya menggunakan teknologi, namun dukungan aspek keagrariaan sangat esensial.

Prakondisi untuk Pelaksanaan Pembaruan Agraria

Untuk terlaksananya upaya ke arah perbaikan distribusi lahan di masyarakat, diperlukan kemauan politik dari pemerintah, data yang lengkap dan teliti mengenai keagrariaan, organisasi petani yang kuat, dan elit birokrasi yang adil; ditambah dengan suatu syarat kecukupan yaitu adanya suatu lembaga khusus semacam Badan Otorita khusus sebagaimana pengalaman di negara-negara lain.
Landasan politik untuk pembaruan agraria telah dinyatakan dalam Pasal 6 Tap MPR RI Nomor IX/MPR/2001, yaitu: melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan; melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform); menyelenggarakan pendataan pertanahan; menyelesaikan konflik-konflik; memperkuat kelembagaan; serta mengupayakan pembiayaan.

Langkah-Langkah yang Perlu Dilakukan Deptan

Jelaslah, bahwa pelaksanaan land reform merupakan suatu proses yang kompleks dan harus dilakukan secara seksama untuk mencegah gejolak sosial yang bukan saja dapat menyebabkan net social benefit dari program land reform menjadi negatif, tetapi bahkan dapat menyebabkan kemunduran taraf sosial ekonomi secara keseluruhan. Karena itu, perumusan program land reform membutuhkan pendekatan multi disiplin dan lintas sektor, serta persiapan sangat matang dan seksama dengan mempertimbangkan berbagai implikasinya yang sangat luas.
Setelah lebih dari satu tahun keluarnya Tap MPR No. IX tahun 2001, publik menunggu tindakan-tindakan nyata dari pemerintah. Satu kelemahan pemerintah adalah belum adanya komunikasi (dan institusi) yang intensif yang menghubungkan antar departemen yang paling berkepentingan dengan agraria, setidaknya Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan dan Departemen Pertambangan. Untuk itu, Deptan perlu mengupayakan terjadinya komunikasi tersebut.

Saat ini Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penatagunaan Tanah sedang dogodok, yang berisi ketentuan normatif dan teknis untuk mengimplementasikan rencana tata ruang berdasar UU No. 24 tahun 1992. Deptan perlu “mengawal” produk hukum ini karena salah satunya berisi tentang larangan konversi sawah irigasi teknis dan habitat/kawasan khusus lainnya.
Khusus dalam konteks otonomi daerah, instansi pusat Deptan juga perlu melakukan “pembinaan” kepada instansi-instansi pertanian di daerah, khususnya dalam membangun akses kepada institusi politik di tingkat daerah, sehingga kepentingan pertanian tetap terwadahi dalam kebijakan-kebijakannya nantinya.

*****

1 komentar:

Priyayi Tani mengatakan...

Menarik tulisannya. keberadaan lahan pertanian semakin lama semakin sempit, alih fungsi lahan mencapai 100.000 ha/ tahun, walaupun pemerintah juga berencana mencetak sawah 100.000 ha pada 2012 di berbagai tempat. Masalah lahan juga tergantung pimpinan daerah, di Bantul Bupatinya menetapkan kawasan lahan abadi, tetapi di daerah lain Bupati ada yang mudah mengizinkan lahan pertanian buat properti, di daerah kos saya di Sleman tanah sudah ditanami semen, belum lagi proyek jalan tol trans jawa yang melewati daerah asal saya. Puluhan ha lahan di kecamatan saya sudah terjual untuk proyek. Kepemilikan sawah petani semakin sempit yang selanjutnya penghasilan petani maupun buruh tani berkurang. Fenomena semakin sempitnya lahan menyebabkan buruh tani bermigrasi ke daerah lain, sehingga terjadi kompetisi harga jasa antara buruh tani lokal dengan pendatang. Saya tertarik untuk mengkaji masalah ini, saya baru S1 dapatkah Bapak memberikan masukan kepada saya? Kalau boleh saya minta alamat email Bapak untuk berkorepondesi. Terimakasih

Cahyo Mahasiswa Penyuluhan email cahyougm@gmail.com