Perjuangan pembaruan agraria di Indonesia saat ini menghadapi kondisi dan lingkungan yang sangat berbeda dengan ketika konsep dan strategi pembaruan agraria dibangun dulu. Karena itu perlu perusmusan konsep baru, dimana perlu dibedakan antara ”aspek landreform” dan ”aspek non-landreform”. Selama ini, masing-masing aspek diperhatikan oleh pihak yang berbeda, dimana aspek landreform banyak menjadi perhatian kalangan LSM dan aspek non landrefom menjadi objek perhatian departemen-departemen teknis misalnya Departemen Pertanian. Kebijakan tentang Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan tahun 2005, perlu menitikberatkan pada upaya memadukan kedua aspek tersebut dalam pembaruan agraria yang lebih operasional, serta perlu pula memperhatikan berbagai opsi strategi yang solutif misalnya dengan perbaikan sistem bagi hasil di pertanian.
Kata kunci: pembaruan agraria, aspek landreform, aspek non-landreform, revitalisasi pertanian, sistem bagi hasil
Pendahuluan
Secara konseptual, pembaruan agraria atau adakalanya disebut dengan “Reforma Agraria”, dari asal kata Agrarian Reform, terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring. Namun sayangnya, masing-masing aspek diperhatikan oleh pihak yang berbeda. Sebagian besar pihak, terutama kalangan LSM misalnya, lebih banyak yang tertarik kepada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan pemilikan” (aspek landreform). Di sisi lain, Deptan sebagai departemen teknis misalnya, lebih memperhatikan kepada aspek “penggunaan dan pemanfaatan”, yaitu bagaimana menghasilkan produktifitas yang setinggi-tingginya pada satu bidang tanah dengan merekayasa segala bentuk input produksi, mulai dari teknologi, kredit usaha, keterampilan petani, dan lain-lain (aspek non-landreform).
Kesenjangan perhatian menjadi salah satu permasalahan yang mendasar dalam perjuangan pembaruan agraria di Indonesia selama ini. Selain kesenjangan dalam cakupan bidang perhatian, juga ditemukan kesenjangan dalam skala dan lingkup permasalahan, dimana ada kalangan tertentu yang cenderung berpikir secara mikro dan teknis, sebaliknya pihak lain berfikir secara makro dan konseptual. Ketidaklengkapan perhatian terhadap konsep pembaruan agraria telah memberikan hasil yang kurang memuaskan. Buktinya adalah, program Revolusi Hijau (aspek non-landreform) yang tidak didahului oleh program landreform, hanya mampu mencapai peningkatan produksi dan swasembada, namun tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi petaninya.
Redefinisi Konsep “Pembaruan Agraria”
Dalam konteks agraria, maka dua konsep penting yang paling sering menjadi perhatian adalah “Reforma Agraria” dan “landreform”. “Reforma agraria”, atau pembaruan agraria, berasal dari kata “agrarian reform”. Dalam salah satu bukunya Wiradi (1984) menyatakan: ”Ada yang mengatakan bahwa land reform adalah sebagian dari agrarian reform, ada yang mengatakan sebaliknya, dan ada yang berpendapat bahwa kedua istilah itu sama saja”. Di Indonesia, tampaknya yang dianut adalah bahwa landreform merupakan bagian dari agrarian reform. Artinya, landreform dipakai untuk sekitar redistribusi tanah, sedangkan agrarian reform kepada pengertian yang lebih luas dan komprehensif, menyangkut berbagai persyaratan yang dapat mempengaruhi sektor pertanian.
Dalam Pasal 2 Tap MPR IX/2001, Pembaruan Agraria didefnisikan sebagai “Suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfatan sumber daya agraria ...”. Terlihat bahwa, dari empat point tersebut, pembaruan agraria terdiri atas dua sisi, yaitu: (1) sisi penguasaan dan pemilikan, dan (2) sisi penggunaan dan pemanfaatan. Kedua sisi ini jelas berbeda. Yang pertama berbicara tentang hubungan hukum antara manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua tentang bagaimana tanah dimanfaatkan secara fisik. Dengan kata lain, reforma agraria terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring.
Sisi pertama dapat disebut dengan “aspek landreform” dan sisi kedua menjadi “aspek non-landreform”. “Landreform” adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, “non-landreform” adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah, introduksi teknologi baru, perbaikan infrastruktur, bantuan kredit, dukungan penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain. Jadi, semestinya reforma agraria tidaklah semata-mata hanya memperbaiki struktur landreform, namun landreform yang dilengkapi dengan berbagai hal lain sehingga penataan dan pendistribusian tanah tersebut menjadi lebih bermanfaat, yaitu dengan bantuan bagaimana penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut sebaik-baiknya. Dengan kata lain, pembaruan agraria adalah perbaikan pada “aspek landreform” ditambah dengan “aspek non-lendreform”.
Redefinisi konsep ini ini sangat penting, karena Deptan misalnya hanya memiliki otoritas pada aspek non-landreform. Karena itu, ketika landreform masih tinggal menjadi wacana, Deptan sulit untuk dituntut melakukan pembaruan agraria secara utuh. Artinya, Deptan menjalankan “pembaruan agraria tanpa landreform”. Sebaliknya, ketika landreform berhasil diimplementasikan, maka aspek-aspek non-landreform pun harus disiapkan. Distribusi tanah akan menjadi program yang sia-sia jika infrastruktur dan kelembagaan pendukung pertanian tidak disediakan. Hal ini ditemukan di Sukabumi, dimana banyak petani yang memperoleh lahan dari kebun-kebun swasta yang sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar, malah menjualnya kepada orang kota karena mereka tidak mampu mengusahakannya; baik karena infrastruktur yang lemah, ketiadaan modal, maupun karena mental berusahatani yang lemah (Sumaryanto et al., 2002).
“Aspek landreform” dapat dimaknai sebagai penataan ulang penguasaan dan pemilikan tanah, dimana faktor pembentuknya adalah masalah hukum (negara dan adat), tekanan demografis, serta struktur ekonomi setempat misalnya ketersediaan lapangan kerja non-pertanian. Masalah yang dihadapi pada aspek ini adalah konflik penguasaan/pemilikan secara vertikal dan horizontal, inkosistensi hukum (misalnya antara UUPA dan “turunannya”), ketimpangan penguasaan dan pemilikan, penguasaan yang sempit oleh petani sehingga tidak ekonomis, serta ketidaklengkapan dan inkosistensi data. Aktifitas reforma agraria yang relevan pada aspek landreform ini misalnya adalah penetapan objek tanah landreform, penetapan petani penerima, penetapan harga tanah dan cara pembayaran, pendistribusian tanah kepada penerima, perbaikan penguasaan (misalnya perbaikan sistem penyakapan), serta penertiban tanah guntay (absentee).
Sementara pada “aspek non-landreform” yang didefinisikan sebagai penataan ulang penggunaan dan pemanfaatan tanah, faktor-faktor pembentuknya adalah faktor geografi, topografi tanah, kesuburan tanah, ketersediaan infrastruktur, kondisi ekonomi lokal dan global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan modal usahatani, serta insentif dari usaha pertanian. Permasalahan yang dihadapi sekarang dari sisi aspek ini di antaranya adalah kesuburan lahan yang rendah, degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebihan atau karena ketidaktepatan secara teknis, dan konflik penggunaan/pemanfaatan secara vertikal dan horizontal. Aktifitas pembaruan agrarian yang relevan adalah berbagai bentuk pengelolaan dan pengusahaan tanah secara tepat dan efisien, pembangunan infrastruktur, peningkatan produktifitas tanah dengan penerapan teknologi, perbaikan sistem pajak tanah, pemberian kredit usahatani, penyuluhan, penyediaan pasar komoditas pertanian, serta pengembangan keorganisasian petani.
Revitalisasi Pertanian dan Kebutuhan terhadap Lahan Pertanian
Untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk Indonesia, yang berjumlah lebih dari 220 juta jiwa, setiap tahunnya Indonesia harus mengimpor beras yang jumlahnya sekitar 9 persen dari konsumsi nasional. Demikian pula untuk jagung, kedelai, gula, dan daging sapi yang masing-masing diimpor sebesar 11,23 persen; 64,86 persen; 37,48 persen dan 29,09 persen dari kebutuhan konsumsi nasional. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, namun yang utama adalah karena ketidakmampuan memproduksi kebutuhan sendiri. Dari segi keagrariaan, permasalahan yang dihadapi sektor pertanian antara lain adalah sempitnya lahan pertanian per pertani, makin banyaknya petani gurem, konversi lahan pertanian ke non-pertanian, serta tidak amannya status penguasaan lahan (land tenure security).
Bertolak dari permasalahan tersebut, pemerintah baru saja menggulirkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh Presiden tanggal 11 Juni 2005. Kebijakan ini mengamanatkan bangsa ini perlu membangun ketahahanan pangan yang mantap dengan memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan strategis, yaitu padi, jagung, kedelai, tebu dan daging sapi.
Selanjutnya, dalam dokumen ”Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010” yang sejalan dengan RPPK, termuat arah pengembangan dan sasaran lima komoditas pangan tersebut, yaitu mempertahankan swasembada padi berkelanjutan, serta mencapai swasembada untuk komoditas jagung (tahun 2007), kedelai (tahun 2015), gula (tahun 2009) dan daging sapi (tahun 2010). Seluruh komoditas ini tergolong tinggi ketergantungannya kepada kebutuhan lahan, atau disebut sebagai land based agricultural. Untuk kondisi saat ini, keempat komoditas membutuhkan lahan lebih dari 32,76 juta ha.
Secara umum, data tentang ketersediaan dan tata guna tanah saat ini tidak akurat dan konsisten, demikian pula dengan data tentang potensi tanah untuk pertanian. Menurut data di Badan Pertanahan Nasional (Kepala BPN, 2001), berdasarkan zone ekonomi eksklusif, Indonesia mencakup teritorial seluas 800 juta ha. Dari luasan ini sebagian terbesar yaitu 609 juta ha (76%) merupakan perairan dan sisanya 191 juta ha (24%) berupa daratan. Sementara menurut Puslitbangtanak (2002), luas daratan Indonesia lebih rendah sedikit dari itu, yaitu hanya 188,2 juta ha.
Sesuai dengan kaidah kepatutan penggunaan tanah (Rencana Tata Ruang Wilayah), dari 191 juta ha daratan, 67 juta ha (35%) harus digunakan sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 123 juta ha (65%) dapat digunakan untuk areal budidaya. Namun, hasil rekapitulasi oleh BPN menunjukkan bahwa, dari 67 juta ha kawasan lindung, 12 juta ha (18%) telah digunakan berupa bukan hutan terutama di Wilayah Jawa dan Bali. Sebaliknya pada kawasan budidaya, 71 juta ha (58%) masih berupa hutan, terutama di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Wilayah inilah yang dapat dijadikan areal pertanian.
Berbeda dengan data BPN, menurut Puslitbangtanak (2002), berdasarkan kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), lahan yang sesuai untuk pertanian bukan 123,0 namun hanya seluas 100,7 juta ha. Hal ini relatif sama dengan dokuemn RPPK, dimana luas lahan yang dapat dijadikan pertanian adalah seluas 100,8 juta ha.
Dari seluruh lahan ini, 24,5 juta ha di antaranya sesuai untuk lahan basah (sawah); 25,3 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman semusim; dan 50,9 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan. Jika dihubungkan dengan kebutuhan lahan sawah untuk ditanami padi, maka areal seluas 24,5 juta ha sudah memadai untuk berswasembada, karena yang diperlukan lebih kurang hanya 10 juta ha, apalagi jika teknologi usahatani dapat diperbaiki.
Total areal pertanian di Indonesia saat ini adalah 36,3 juta ha, mencakup mulai dari sawah, tegalan, pekarangan, maupun perkebunan (rakyat dan swasta besar). Jika disandingkan dengan kawasan yang dapat dijadikan sebagai pertanian (123,4 juta ha), maka masih ada 87,1 juta ha yang areal yang saat ini belum dijadikan wilayah pertanian.
Dalam dokumen tersebut juga didapati bahwa kita masih memiliki potensi lahan untuk pertanian sebesar 100,8 juta hektar. Dari luasan ini, telah dimanfaatkan 68,8 juta hektar, sehingga lahan yang belum dimanfaatkan sekitar 32 juta hektar. Selain itu, terdapat potensi lahan untuk usaha pertanian berupa lahan terlantar 11,5 juta hektar serta pekarangan 5,4 juta hektar.
Khusus untuk Jawa, pemanfaatan lahan sudah melampui ketersediaannya (over utilization). Selain over utilization, lahan di Jawa mengalami pengurangan akibat konversi ke penggunaan non pertanian dengan laju yang makin tinggi. Pada periode tahun 1981-1999 terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian seluas 1.627.514 hektar; dan sekitar 1 juta hektar di antaranya terjadi di Jawa. Kondisi lahan di Jawa semakin memprihatinkan karena penguasaan lahan oleh petani yang sempit tidak mampu mencapai skala usaha yang ekonomis, sehingga usaha pertanian di Jawa menghadapi ancaman stagnasi. Luas areal yang masih berupa hutan di Jawa saat ini hanya bersisa 3,3 juta ha. Di sisi lain, terdapat lahan kritis yang sangat memprihatinkan, yaitu 10,7 juta ha atau 84,2 persen dari luas wilayahnya (Kompas, 2003).
Strategi Pembaruan Agraria yang Lebih Solutif dan Aplikatif
Sesuai dengan permasalahan dan potensi lahan yang dimiliki, maka pembaruan agraria hanya akan dapat disusun jika kita telah memiliki sebuah strategi nasional yang mampu mencakup seluruh aspek dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, demografi, politik, sosial budaya, serta kondisi dan potensi lahan yang kita miliki. Pembaruan agraria tidak akan dapat disusun jika kita tidak memiliki perencanaan, misalnya seberapa besar sektor pertanian akan dikembangkan, sehingga kita tahu berapa banyak petani dibutuhkan. Kondisi dan kecenderungan pasar global juga harus menjadi perhatian, sehingga strategi kemandirian pangan dapat pula disusun.
Ada banyak bentuk solusi pembaruan agraria yang dapat dipilih. Pembaruan agraria misalnya dapat berbentuk konsolidasi lahan, konsolidasi usaha, dan penataan hubungan sewa-menyewa dan bagi hasil sebagaimana diamanatkan UU No. 2 tahun 1960. Konsolidasi lahan lewat program pemerintah dapat berupa program transmigrasi, pembatasan luas minimal pemilikan tanah, program kerjasama antara masyarakat petani dengan perusahaan pertanian, dan program penataan perumahan. Sementara, konsolidasi usaha pertanian dapat berupa penyatuan usaha yang kecil-kecil ke dalam satu manajemen sehingga lebih efisien.
Secara umum, berbagai hal yang dapat dilakukan untuk pembaruan agraria telah dinyatakan dalam Pasal 6 Tap MPR RI Nomor IX/MPR/2001, yaitu: melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan; melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform); menyelenggarakan pendataan pertanahan; menyelesaikan konflik-konflik; memperkuat kelembagaan; serta mengupayakan pembiayaan.
Revitalisasi Pertanian dan Upaya Perbaikan Penguasaan Lahan Ditingkat Petani
Revitalisasi pertanian sudah disepakati menjadi salah satu upaya yang sistematis untuk memperbaiki kehidupan petani di pedesaan. Walupun sudah diluncurkan sebagai suatu program nasional, namun karena kelemahan data dasar yang digunakan, maka ditemukan beberapa kelemahan mendasar dalam penetapan target, terutama berkaitan dengan luas penguasaan minimal dan jumlah total petani.
Kedua target ini terlihat bertolak belakang, terutama tentang penguasaan lahan dan jumlah petani yang bekerja di pertanian. Dalam RPPK terlihat lemahnya dasar penetapan berbagai target yang akan dicapainya. Salah satu dari target yang perlu dikritisi menyangkut tentang rencana pencanangan lahan abadi 30 juta hektar dan pemilikan lahan pertanian di Jawa dan Bali minimal 1 hektar per KK dan luar Jawa/Bali 2,5 hektar per KK (Bab IV tentang Manajemen Pelaksanaan RPKK, dalam buku RPPK, 2005). Tidak begitu jelas pola dan cara yang akan ditempuh dalam mencapai target tersebut. Selain itu perlu juga ada kejelasan petani mana yang menjadi target dari program tersebut, apakah seluruh petani dalam arti luas, termasuk petani tidak berlahan yang jumlahnya makin dominan akhir-akhir ini, atau hanya petani yang mengusahakan lahan. Rumah tangga petani yang mengusahakan tanaman padi di Jawa menurut data BPS pada sensus pertanian 2003, jumlahnya ada 8.457.724 KK, sementara lahan sawah di Jawa cuma tersedia 3.334.627 hektar, sehingga dengan cara perhitungan sederhanapun tidak mungkin setiap rumah tangga dapat mengusahakan lahan sawah minimal satu hektar.
Selain menargetkan penguasaan lahan di Jawa dan Bali minimal 1,0 hektar per KK dan luar Jawa/Bali 2,5 hektar per KK; jumlah tenaga kerja yang bekerja di pertanian justru diharapkan meningkat dari 41,2 juta orang tahun 2005 menjadi 44,5 juta orang tahun 2009. Krisnamurthi (2004) menyatakan bahwa jumlah petani yang terlibat dalam kegiatan budidaya memang harus berkurang, namun jumlah kesempatan kerja dalam ‘sistem industri beras’ yang harus meningkat. Konsep ini akan sangat sulit direalisasikan, terutama karena terbatasnya pengembangan yang bisa dilakukan untuk industri berbasis padi atau beras.
Kita sudah lama tahu, bahwa salah satu yang menghambat percepatan pembangunan pertanian di Indonesia, dibandingkan dengan beberapa negara di Asia, adalah karena lambatnya pengurangan orang yang bekerja di pertanian dibandingkan pengurangan Produk Domestik Bruto(PDB) pertanian (Pakpahan et al., 2004). Setiap penurunan 1 persen pangsa PDB pertanian di Korea Selatan misalnya, diikuti oleh 1,56 persen pengurangan tenaga kerja pertanian. Sementara itu di Indonesia, setiap penurunan 1 persen PDB pertanian hanya diikuti penurunan pangsa tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 0,43 persen.
Sektor pertanian di Indonesia menanggung beban tenaga kerja yang terlalu berat dibandingkan negara lain di Asia. Salah satu solusi untuk meningkatkan rata-rata penguasaan lahan, adalah dengan mengurangi tenaga kerja yang bekerja di pertanian. Senada dengan pemikiran di atas, Simatupang et. al. (1990) sejak lima belas tahun yang lalu, telah menyarankan perlunya digalakkan upaya mengurangi pekerja di sektor pertanian dan ini merupakan titik kunci bagi peningkatan pendapatan petani. Solusinya adalah pengembangan agroindustri dan industri-industri lain, yaitu pengembangan usaha yang tidak berbasis lahan di pedesaan.
Revitalisasi pedesaan dapat berupa pengembangan kegiatan non-pertanian di pedesaan, atau upaya peningkatan sumberdaya manusia di pedesaan yang dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja terampil di perkotaan atau pasar tenaga kerja di pasaran global. Hal senada disampaikan oleh Hayami dan Kikuchi (1981) dalam menganalisis keberhasilan Taiwan dan Jepang dalam memperbaiki distribusi penguasaan lahan petaninya. Menurutnya, dukungan yang kuat dari pemerintah, ketersediaan data lahan yang akurat, dan cepatnya ekspansi sektor non-pertanian dalam menyerap tenaga kerja pertanian sehingga tekanan terhadap lahan menjadi menurun dan upah di sektor pertanian meningkat. Menurut Pincus (1996), dengan berdasarkan penguasaan lahan, penggunaan buruh tani dalam usahatani, serta partisipasi dalam kegiatan berburuh tani, yang riil petani hanya sekitar 20-25 dari seluruh penduduk desa.
Luas rata-rata kepemilikan lahan sawah di Jawa dan Bali hanya 0,34 ha per rumah tangga petani. Secara nasional jumlah petani gurem (petani dengan luas lahan garapan < 0,5 ha) meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga petani pada tahun 2003, dengan rata-rata peningkatan 2,4 persen per tahun (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2005). Tingginya persaingan dalam mendapatkan pekerjaan menyebabkan tingkat upah tertekan. Penelitian Hayami and Kikuchi (1981), Wiradi and Makali (1984), Pincus (1996), dan Jamal (2005) menunjukkan bahwa tingkat upah petani yang berupa bawon di salah satu desa di Subang, Jawa Barat, terus menunjukan penurunan dari waktu ke waktu. Dengan terbatasnya peluang usaha yang tersedia di pedesaan, penurunan upah riil ini akan berdampak besar pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Secara teoritis, upaya perbaikan distribusi penguasaan lahan di tingkat petani dapat dilakukan melalui pendekatan struktural maupun sporadis. Melalui pendekatan struktural penataan penguasaan dilakukan by design melalui suatu aturan kebijakan pemerintah. Salah satu bentuk utama dari pendekatan ini adalah penataan pemilikan dan penguasaan melalui land reform. Pendekatan kedua yang bersifat teknokratis intinya adalah bahwa struktur penguasaan lahan tidak harus by design, karena struktur penguasaan lahan bersifat dinamis dan surplus ekonomi tanah (land rent) akan menjadi penentu dalam pola alokasi antar sektor maupun antar individu dalam masyarakat.
Bila menyerahkan mekanisme penataan pemilikan dan penguasaan lahan kepada mekanisme pasar, maka sektor pertanian akan banyak mengalami kesulitan. Hasil analisis ekonomi sewa lahan (land rent economics) menunjukkan bahwa rasio land rent pengusahaan lahan untuk usahatani padi dibandingkan dengan penggunaan untuk perumahan dan industri adalah 1 berbanding 622 dan 500 (Nasoetion dan Winoto, 1996). Sehingga tanpa campur tangan pemerintah, lahan-lahan pertanian potensial akan semakin berkurang dan secara rata-rata penguasaan lahan oleh petani akan semakin mengecil.
Dalam kondisi seperti ini, salah satu peluang yang dapat digunakan untuk memperbaiki penguasaan lahan di tingkat petani, terutama di Jawa, adalah melalui land tenure reform. Ini merupakan upaya pragmatis yang mungkin dilakukan yaitu dengan menata sistem penguasaan lahan di tingkat petani, dengan memberikan penekaanan pada upaya bagi hasil. Penataan diharapkan tidak saja memperbaiki luasan lahan yang dapat diusahakan petani, tetapi juga meningkatkan effisiensi usahatani dan membuka peluang pengembangan usaha lain yang terkait dengan usaha tani.
Langkah Pragmatis yang dapat dilakukan untuk land tenure reform.
Konsolidasi lahan di tingkat mikro diindikasikan oleh adanya pergeseran proporsi rumah tangga dengan status lahan garapan sakap, sewa dan gadai (Rusastra et al., 2000). Persoalannya sekarang, bagaimana kita menata semua pergeseran yang ada, sehingga upaya ini tidak saja dapat meningkatkan rata-rata pengusaan lahan di tingkat petani, namun juga meningkatkan effisiensi usahatani, melalui perbaikan dalam fragmentasi pemilikan, fragmentasi fisik hamparan, dan jarak antar persil. Selain itu upaya ini juga diharapkan dapat menunjang upaya pengembangan usaha lain yang terkait dengan usaha tani yang ada. Ini menjadi penting mengingat persoalan ketersedian lapangan kerja di pedesaan tetap masih belum terpecahkan sampai saat ini.
Secara umum bagi petani kaya di pedesaan Jawa akumulasi lahan melalui sistem sewa dan gadai lebih dominan dibandingkan bagi hasil. Sementara itu bagi petani tidak berlahan atau berlahan sempit, bagi hasil merupakan pilihan utama, karena mereka tidak harus menyediakan dana tunai pada awal kegiatan usaha (Tabel 1). Jamal (2004), mengindikasikan bahwa upaya konsolidasi lahan, terutama yang dapat dilakukan pada areal yang sama dan berdekatan serta menjadi mata pencaharian utama petani, akan makin meningkatkan effisiensi usaha tani. Bila dilihat factor payment dari input yang digunakan, termasuk lahan dan curahan waktu penggarap, secara rata-rata bagian penggarap untuk bagi hasil relatif lebih baik dibandingkan sewa. Pada sistem sewa penggarap menanggung biaya untuk lahan relatif lebih tinggi dibandingkan sistem lainnya. Pada sistem gadai, penerima gadai cenderung menikmati bagian hasil yang lebih baik, hal ini disebabkan petani yang menggadai umunya adalah petani yang terdesak untuk mendapatkan uang tunai dan posisinya sangat lemah dalam proses transaksi.
Dari gambaran ini, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam memperbaiki penguasaan lahan di pedesaan, terutama pada petani berlahan sempit dan tak berlahan, adalah melalui penyempurnaan sistem bagi hasil yang ada. Penyempurnaan yang dibutuhkan adalah dalam kepastian lamanya waktu garap bagi penggarap dan bila jumlah persil yang digarap itu lebih dari satu, maka kemungkinan bagi penggarap untuk mendapatkan lahan garapan pada hamparan yang sama dan dengan lusan minimal tertentu layak untuk diupayakan. Secara umum pola ini diharapkan dapt menginisiasi pola konsolidasi lahan lanjutan sebagaimana yang dikonsepkan dalam coorporate farming misalnya, tapi tentunya bukan dalam arti menghilangkan kepastian batas kepemilikan lahan petani.
Table 4. Factor paymentsa and factor sharesb per hektar dalam usahatani padi pada berbagai sistem penguasaan lahan di Jawa Barat, 2004
Konsolidasi lahan dalam satu hamparan tidak saja akan memudahkan dalam pengelolaannya, tetapi juga akan membuka berbagai kemungkinan pengembangan kegitan pendukung, seperti pengembangan usahatani terpadu dengan ternak dan lainnya. Upaya ini diharapkan dapat membuka peluang usaha baru dan peluang kerja baru bagi penduduk pedesaan.
PenutupDalam tulisan ini telah diupayakan untuk memaparkan berbagai persoalan yang perlu menjadi perhatian dalam merancang pembaruan agraria khususnya untuk mendukung Revitalisasi Pertanian. Pembaruan agraria perlu memperhatikan sekaligus kedua sisinya, yaitu “aspek landreform” dan “aspek non-landreform”, meskipun setiap sisi diperankan oleh pihak-pihak yang berbeda. Menghadapi lemahnya ketersediaan data dan informasi yang cenderung tidak akurat dan konsisten, yang menyulitkan untuk menyusun perencanaan pembaruan agraria secara makro nasional, namun perbaikan land tenure system di tingkat lokal masih dapat diupayakan misalnya memperbaiki struktur dan sistem bagi hasil pertanian.
Lemahnya dasar-dasar dukungan kebijakan hukum RPPK merupakan salah satu permasalahan yang akan menjadi kendala ke depan. Lebih luas dari, itu sesungguhnya sektor pertanian membutuhkan sebuah dasar kebijakan yang kokoh setingkat undang-undang, sehingga permasalahan berikut tidak perlu terjadi, misalnya konversi lahan pertanian, rendahnya ketersediaan modal pertanian, serta mudahnya seorang penyuluh dialihtugaskan menjadi non penyuluh. “Undang-Undang Pertanian” merupakan kebutuhan yang sangat rasional pada negara dimana lebih dari 40 persen warganya bekerja di pertanian. Dengan adanya UU Pertanian, maka misalnya dapat pula diperjuangkan anggaran yang memadai untuk pembangunan sektor pertanian, yang selama ini hanya sedikit di atas satu persen dari APBN.
Daftar PustakaAnonim1. “Tahun 2025 Penduduk Indonesia 273,7 Juta: Lansia, Pengangguran, dan Penduduk Miskin Bertambah”. http://www.embassyofindonesia.org/ beritaUTama/05/Agustus/3%20-%20Penduduk%20Indonesia.htm, 2 januari 2006.
Badan Litbang Pertanian. 2005. e-Files Buku Komoditas Pertanian dan Rencana Aksi Ketahanan Pangan 2005-2010. http://www.litbang.deptan.go.id/b1lahan.php, 5 januari 2006.
Badan Litbang Deptan. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis:Tinjauan aspek kesesuaian lahan. Badan Litbang Deptan. Jakarta.
BPS. 2004. Sensus pertanian 2003 hasil pendaftaran rumah tangga. BPS. Jakarta.
Hayami and M. Kikuchi. 1981. Asian village economy at the crossroads. Japan: University of Tokyo Press. 275 p.
Jamal, Erizal. 2005. Efficiency of Land Tenure Contracts in West Java, Indonesia. Dissertation at University of Philippines Los Banos. Los Banos.
Husodo, Sisiwono Y. 2005. Penataan Keagrariaan dan Pertanahan Wujud Kesinambungan Pertanian. Dalam: Endang Suhendar dkk. (eds) 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Yayasan AKATIGA, Bandung.
Husodo, Siswono Y. (Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). 2005. Kebijakan Pangan yang Menyejahterakan Petani. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0305/26/ekonomi/330983.htm, 5 Januari 2006.
Kepala BPN. 2001. “Pertanahan Indonesia: Suatu Retrospeksi”. Paper: disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional dihadapan Ibu Wakil Presiden Republik Indonesia di Istana Wakil Presiden RI, tanggal 12 Februari 2001.
Kompas. 2003. Derita Sepanjang Masa Rakyat Jawa. 9 Februari 2003. Hal 25.
Kompas. 2005 Konsumsi Masih Tinggi: Produksi Beras Tetap Menjadi Masalah Besar di Masa Depan. Kompas. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/05/ekonomi/1949849.htm
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Indonesia 2005, untuk rakyat, tanah air dan generasi Indonesia mendatang. Kantor Menko Bidang Perekonomian. Jakarta.
Krisnamurthi, B. 2004. Arti penting pertanian: Masa lalu dan masa depan.Agro-Ekonomika, Nomor 2. Tahun XXXIV.Oktober 2004. PERHEPI.Jakarta.
Menteri Pertanian. 2005. Produktivitas Benih Padi Tak Cukupi Kebutuhan Pangan 2025. Business & Economy. JAKARTA, investorindonesia.com. Selasa, 09 Agustus 2005, 17:34 WIB. http://www.investorindonesia.com/news.html?id=1123585496, 20 Desember 2005.
Moniaga, S. 1993. Toward community-based forestry and recognition of adat property rights in the Outer Islands of Indonesia. Pp. 131-150 In: Fox, J. (Ed). Legal frameworks for forest management in Asia: Case studies of community/state relations. Honolulu: East West Center Program on Environment.
Nasoetion, L. I. dan J. Winoto. 1996. Masalah alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap keberlanjutan swasembada pangan dalam prosiding Lokakarya Persainagn dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Kerjasama Puslit Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation. Bogor.
Pakpahan, A., H. Kartodihardjo, R. Wibowo, H. Nataatmadja, S. Sadjad, E. Haris dan H. Wijaya. 2005. Membangun pertanian Indonesia: Bekerja, bermartabat dan sejahtera. Himpunan alumni IPB Bogor. Cetakan II, Maret 2005.207 halaman.
Pincus, J. 1996. Class power and agrarian change. Land and labor in rural West Java. Great Britain: MacMillan Press LTD. 248 p.
Rusastra, I. W., S.K. Darmoredjo, Wahida dan A. Setiyanto. 2001. Konsolidasi Lahan untuk mendukung pengembangan agribisnis. Dalam Rusastra et. al. (eds). Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke depan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Simatupang, P., S. H. Susilowati dan Markos. 1990. Pengganda tenaga kerja dan pendapatan agro-industri di Indonesia. Dalam Simatupang, P. et. al. Agro Industri Faktor Penunjang Pembangunan Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor.
Sumaryanto; Syahyuti, Saptana, Bambang Irawan, dan Aten M. Hurun. 2002. Kajian pembaruan agraria dalam mendukung pengembangan usaha dan sistem agribisnis. Laporan Penelitian PSE no. 561, Bogor.
Tempo Interaktif. ”30 Juta Hektar Lahan Abadi Pertanian”.
Selasa, 11 Oktober 2005. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional /2005/10/11/brk,20051011-67816,id.html, 20 desember 2005.
Wiradi, G and Makali. 1984.Penguasaan tanah dan kelembagaan. Dalam Kasryno, F. Prospek pembangunan ekonomi pedesaan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Hal 43-130.
Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. (Hal 290-1). Dalam S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (eds). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar