http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/12/00153849/negara.agraris.yang.mengingkar i.agraria)
"Saya kehabisan istilah untuk mengucapkan terima kasih dan bersyukur," kata Prof Dr Sediono Mommy Poerwodo Tjondronegoro (80), Sabtu (10/5) siang di Auditorium Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu, Bogor.
Terbata-bata guru besar sosiologi pedesaan IPB itu menyayangkan ketidakhadiran Prof Sayogyo, sesama koleganya, yang saat itu sedang sakit dan pamit secara tertulis.
Setelah menyebutkan nama-nama dan latar belakang yang hadir, seperti bekas menteri, bekas rektor, budayawan Rendra, dan aktivis LSM, Sediono tampil gagah sebagai sosok ilmuwan yang punya keberpihakan pada kemandirian petani.
Komitmennya terlihat ketika mengomentari atraksi seni Komunitas Terminal Kuman. Mengenai pentas sketsa kehidupan pedesaan sebagai salah satu mata acara, Sediono mengatakan, ”Itulah realitas pedesaan kita. Tanah terambil dan tidak ada makanan, sampai warga desa makan batu.”
Pidatonya singkat. Padahal, hadirin mengharapkan komentar atas Manifesto Agraria yang dibacakan sebelumnya, pada pidato budaya Rendra, atau keterpurukan masyarakat pedesaan saat ini. Hadirin harus puas oleh komentar bekas murid-muridnya seperti Satyawan Sunito, Endriatmo Sutarto, Noer Fauzi, dan Gunawan Wiradi.
Tiga buku sekaligus
Hadirin lalu dipuaskan dengan tiga buku yang sekaligus diluncurkan. Ketiga buku itu adalah Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan, yang kedua Negara Agraris Ingkari Agraria, dan ketiga, Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua, Otobiografi Prof Dr MP Tjondronegoro. Selain buku ketiga, dua buku lainnya tak seluruhnya naskah baru.
Mengenai biografinya, Sediono menulis, ”yang meminta saya menulis biografi itu Pak Sayogyo.” Naskah biografi selesai setelah ditulis dalam rentang waktu Desember 2007 sampai Februari 2008, dan diterbitkan Sayogyo Institute.
Otobiografi itu memuat periode 1928-2008 (sejak lahir 4 April 1928 di Purwodadi sampai sekarang) dan periode 1950-2007 (saat studi di universitas di beberapa negara Barat, serta masa bekerja di dalam dan luar negeri).
Buku ini memotret sosok Tjondronegoro yang keturunan bangsawan, bekas pejuang, dan akhirnya ilmuwan sosiologi pedesaan dengan fokus agraria, lingkungan, dan energi. Kemandirian petani dan penduduk desa menjadi impian Sediono. Selama tidak mandiri, mereka terjebak sebagai tenaga kerja di luar negeri yang nyaris dipekerjakan sebagai budak.
Menikah dengan Dr Puspa Dewi Natalia (meninggal tahun 2000), Sediono dianugerahi dua putra: Myrza dan Irvan.
Menurut Sediono—gelar doktor bidang sosiologi dari UI tahun 1977—”Saya punya kesan generasi muda sekarang tidak mengenal pertanian, bahkan pedesaan. Mereka mengenal dusun, dukuh, desa, dan kecamatan dari buku saja dan tidak dari pengalaman.”
Kekecewaan hadirin yang memenuhi ruang auditorium, seperti Sarifuddin Baharsyah, Bungaran Saragih, Emil Salim, dan Sjamso’oed Sadjad, terobati lewat ketiga buku Sediono dengan benang merah seloroh: Indonesia, negara agraris yang mengingkari agraria.*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar