“Pertanian juga menjadi korban dari UUPA:
tanggapan terhadap UUPA (dan amandemen UUPA yang diajukan BPN)”
Oleh:
Syahyuti @ 2005
Secara konseptual, agraria terdiri
atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan” dan
aspek “penggunaan dan pemanfaatan”. Hal ini misalnya terlihat secara tegas
dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang menyebutkan
bahwa: “Pembaruan agraria mencakup suatu
proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”. Aspek “penguasaan/pemilikan” jelas berbeda
dengan aspek “penggunaan/pemanfaatan”, karena yang pertama berkenaan dengan
bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua membicarakan
bagaimana tanah (dan sumberdaya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan.
UUPA No. 5 tahun 1960 (maupun
amandemennya dari BPN), menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari
aspek penggunaan. Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus (Bab II) dan
mendominasi seluruh isi UUPA, yaitu dari pasal 16 sampai dengan pasal 51. Padahal batang tubuh
UUPA hanya berisi 58 pasal.
Selain jumlah yang lebih dominan,
juga terbaca dengan mudah bahwa “aspek penggunaan” tanah diatur setelah hak
penguasaan dimiliki (seseorang, pemerintah, ataupun badan swasta). Hal ini
dapat dilihat pada pasal 2 ayat 2, pasal
2A (amandemen), pasal 4 ayat 2, pasal 14 ayat 1, dan pasal 16 ayat 1A
(amandemen). Artinya (mungkin), bahwa aspek kedua berada dalam aspek pertama,
atau aspek kedua hanyalah bagian dari aspek pertama. Hal ini dapat dimengerti
karena UUPA lahir di saat permasalahan penguasaan tanah menjadi sangat penting,
yaitu bagaimana “merebut” tanah-tanah yang dikuasi pengusaha asing dan
pemerintahan kolonial.
Dengan pola pikir UUPA (dan
amandemennya) yang seperti ini dapat dikatakan bahwa peraturan ini tidak melindungi kegiatan pertanian.
Karena, terbaca dengan jelas, bahwa seseorang bebas untuk mengolah,
menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya; setelah relasi hukumnya dengan tanah
tersebut jelas.
Beberapa akibat (dan implikasi) yang
terlihat selama ini dari paradigma berpikir UUPA tersebut adalah:
(1)
Pemerintah tidak dapat mengontrol konversi
lahan-lahan pertanian ke non pertanian. Itulah kenapa Inpres dan berbagai Perda
tidak bergigi. Bahkan mungkin dapat dikatakan bahwa, Inpres dan Perda tersebut
tidak konsisten dengan UUPA.
(2)
Implikasinya, kebijakan pencadangan lahan abadi
pertanian yang dicetuskan dalam RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan),
yaitu 15 juta ha lahan basah ditambah 15 juta ha lahan kering, sesungguhnya
tidak akan dapat direalisasikan. Peraturan yang ada tidak cukup menjamin
kebijakan tersebut.
(3)
Lemahnya pengaturan dalam “aspek penggunaan“
tersebut, secara tidak langsung juga berdampak terhadap lemahnya pengaturan
tata ruang dan kelangsungan ekosistem secara keseluruhan. Sebidang lahan yang
sesungguhnya harus berupa hutan, dapat saja diolah menjadi lahan pertanian
intensif, karena hak si penguasa tersebut dijamin dalam UUPA.
Khusus untuk Departemen Pertanian,
wewenangnya terbatas “hanya” pada aspek kedua, yaitu bagaimana sepetak tanah
sebaiknya diolah, ditanami, dipupuk, dan dipelihara tanamannya; sehingga
menghasilkan produksi pertanian. Itulah dalam organisasi Deptan terlihat ada
bagian yang mengurusi teknologi pertanian, menyediakan modal, menyediakan
prasarana, memikirkan pemasarannya, dan lain-lain. Itulah kenapa banyak pihak
sering meledek bahwa Deptan hanyalah “Departemen bercocok tanam”.
Artinya, dengan wewenang Deptan yang
hanya terbatas pada aspek kedua (penggunaan dan pemanfaatan tanah), sedangkan hal ini tidak dijamin cukup kuat
secara hukum, terutama peraturan dasarnya (yaitu UUPA); maka dapat dikatakan
bahwa memang kegiatan pertanian tidak cukup dijamin dan dihargai di negeri ini.
Menyerahkan kegiatan pertanian, produksi pertanian, dan ketahanan pangan, hanya kepada mekanisme
pasar terbukti telah menyebabkan
pertanian sebagai sektor yang kalah. Nilai ekonomi lahan (dan juga air)
yang digunakan untuk kegiatan pertanian seringkali kalah jika lahan (dan air)
tersebut digunakan untuk kepentingan lain misalnya untuk rumah, industri,
pariwisata, dan lain-lain.
Penulis tidak mengerti hukum, namun
penulis berharap bagaimana istilah-istilah misalnya “produksi pertanian”,
“ketahanan pangan”, dan “skala usaha ekonomis-minimal” dapat masuk ke dalam
amandemen UUPA. Intinya adalah bagaimana “aspek penggunaan” dibuat lebih
sejajar dengan “aspek penguasaan”, karena jika kita bicara reforma agraria
keduanya harus dijalankan secara bersamaan. Revolusi hijau yang hanya
memperhatikan “aspek penggunaan tanah” terbukti tidak berhasil optimal. Di sisi
lain, betapa banyak petani yang melepaskan tanahnya ke pihak lain, karena
mereka tidak cukup menguasai modal untuk mengolah tanahnya sendiri secara baik.
Tanah yang sudah dikuasainya (aspek pertama) tidak bermakna ketika ia tidak
mampu mengolahnya sendiri (aspek kedua).
(Syahyuti, peneliti bidang sosiologi
pada PSE-KP Bogor).
******