(Dalam buku: Syahyuti. eds. 2021. PERTANIAN DUNIA 2020. Bogor (ID): IPB Press)
Oleh: Syahyuti dan Makky Ar-Rozy[1]
Reforma Agraria kembali menjadi agenda kebijakan berbagai institusi pembangunan internasional seperti halnya di beberapa negara. Kemiskinan masih ada, dan kemiskinan hanya bisa diselesaikan melalui reforma agraria. Reforma agraria adalah solusi permanen nya (Bernstein et al., 2008).
REFORMA AGRARIA DI ERA MODERN
Para ahli agraria sepakat, tonggak reforma agraria dunia pada abad ke-20 terjadi pada bulan Juli 1979 saat berlangsungnya World Conference on Agrarian Reform and Rural Development yang diselenggarakan oleh FAO di Roma. Konperensi ini menjadi tonggak penting karena berhasil menelurkan deklarasi prinsip dan program kegiatan yang dikenal juga dengan the Peasants’ charter (Piagam Petani) yang mengakui kemiskinan dan kelaparan merupakan masalah dunia. Disepakati pula bahwa reforma agraria dan pembangunan perdesaan dilaksanakan melalui tiga level yaitu: di tingkat desa mengikutsertakan masyarakat dan organisasi akar rumput yang ada, di tingkat nasional melakukan reorientasi kebijakan pembangunan, dan di tingkat internasional dengan mendorong terlaksananya prinsip tata ekonomi internasional baru.
Reforma agraria di era modern yang dipandang cukup berhasil di antaranya Jepang. Tanah milik para daimyo diambil alih pemerintah dan dibagikan kepada penyewa tanah. Pengalaman reforma agraria dimulai pada saat reformasi Meiji dan mencapai puncaknya pada masa pendudukan Amerika (BPN, 2007). Sementara di Cina, reformasi pertanahan pada awalnya menggunakan prinsip land to tillers (tanah untuk penggarap). Ini lalu diikuti pendekatan kolektivisasi, semenjak tahun 1978, dalam konsep “Sistem Tanggung Jawab Rumah Tangga”, dimana kepemilikan tanah tetap menjadi milik kolektif. Saat ini, tentu saja Cina sedang mendorong pertanian kapitalis.
Di Jepang, Korea Selatan dan Taiwan; reforma agraria membantu mengkonsolidasikan berlangsungnya kapitalisme. Reforma agraria menjadi landasan untuk mendukung industrialisasi yang berjalan cepat, dengan reformasi yang didorong dari atas oleh negara. Lahan-lahan para Tuan Tanah yang kuat dirampas dan tanah mereka didistribusikan kembali kepada penyewa, diikuti inovasi teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas.
Dari Amerika Latin yang dipandang cukup berhasil adalah Venezuela, yang ditandai dengan diterbitkannya undang-undang reforma agrarian pada tahun 1960-an. Namun demikian baru setelah tahun 1999 ketika presiden Hugo Chavez terpilih, program ini memperoleh kesuksesan. Negara Asia lain yang dipandang cukup berhasil adalah Thailand, yang landreform nya didukung penuh oleh Rajanya. Tetapi keberhasilan terbesar dialami oleh Taiwan yang berdampak pada terjadinya pergeseran struktur pekerjaan dari pertanian ke industri jasa, dengan pertanian tetap sebagai landasan pembangunannya (BPN, 2007).
Dalam narasi yang sangat lengkap dari Fauzi (2008) terbaca, setelah agak meredup di akhir 1990‐an, di awal abad 21 ini agenda reforma agraria telah kembali menjadi salah satu pokok bahasan terdepan dari agenda pembangunan berbagai badan internasional, dan sejumlah negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Seperti dulu era kolonial, agenda reforma agraria ini pun bermula dari gerakan‐gerakan rakyat pedesaan yang menyuarakan penderitaan petani yang sudah kronis. Namun, karakter umum dari gerakan sosial pedesaan dewasa ini berbeda dengan masa kolonial, maupun ketika land reform berjaya (tahun 1960an‐1970an). Perbedaan terlihat pada bentuk organisasinya, mobilisasinya, gagasan perjuangan yang disuarakannya, hingga bentuk aksi yang dilancarkan.
Lebih jauh, Fauzi (2008) membeberkan gerakan‐gerakan rakyat pedesaan Dunia Ketiga masa terakhir ini misalnya MST (Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra atau Pergerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah) di Brazil; EZLN (Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional atau Tentara Pembebasan Nasional Zapatista) di Mexico; FOIN (Foderation derindigenen Organisationen des Napo atau federasi organisasi masyarakat adat Napo) di Ekuador; dan LPM (Landless People’s Movement atau Gerakan Rakyat Tak Bertanah) di Afrika Selatan. Selian itu, juga gerakan‐gerakan pendudukan tanah atau land occupation movements di Zimbabwe; NBA (Narmada Bachao Andolan atau Gerakan Menyelamatkan Narmada) di India; AOP (The Assembly of the Poor atau Dewan Kaum Miskin) di Muangthai; serta UNORKA (Pambansang Ugnayan ng Nagsasariling Lokal na mga Samahang Mamamayan sa Kanayunan atau yang secara tekstual berarti Koordinasi Nasional Organisasi‐organisasi Rakyat Pedesaan Lokal Otonom) di Filipina.
SEMANGAT LANDREFORM ABAD 21
Lalu, bagaimana gambaran landreform pada abad ke-21? Paolo Groppo dari Divisi Pembangunan Pedesaan FAO (Organisasi Pangan Dunia) menyatakan: “saya mendukung pernyataan bahwa pembaruan agraria di abad ke-21 ini jelas merupakan bagian integral dari kedaulatan rakyat”. Jadi, reforma agraria dimana penataan ulang penguasaan lahan (landreform) menjadi bagian pokoknya, masih akan tetap relevan.
Bagi kalangan awam, landreform adalah lagu lama yang sudah kuno, dan dianggap sudah tidak relevan. Namun bagi kalangan penggiat yang loyal, mereka tidak pernah putus asa dengan reforma agraria. Meskipun terseok-seok, dan lebih sering jalan di tempat, bahkan menghadapi kekerasan politik; mereka terus menyuarakan reforma agraria. Memasuki Abad 21, kalangan penggiat agraria meniupkan nafas baru untuk reforma agraria yang lebih baik, mengingat semakin demokratisnya negara-negara dunia (SPI, 2012). Menyambut antusiasme ini, Indonesia misalnya berhasil menyelenggarakan pertemuan internasional pembaruan agraria di Abad 21, dengan tema “Mempertahankan Tanah dan Teritori: Tantangan dan Peluang” di Bukit Tinggi, Sumatera Barat pada bulan Juli 2012.
Event kedua yang cukup besar adalah saat Indonesia menjadi tuan rumah dalam penyelenggaraan Global Land Forum (GLF) yang diselenggarakan oleh International Land Coalition dan masyarakat sipil (Republika, 2018). Tepatnya, acara tersebut dilaksanakan di Bandung pada 24 September 2018 (Hari Agraria Naisonal). Indonesia menjadi tuan rumah dari perhelatan tiga tahunan ini, sebagai forum terbesar di dunia dengan tema seputar reformasi agraria untuk keadilan sosial dan kesejahteraan.
Namun, per tahun 20202, yakni setelah kita melewati 20 tahun batas abad ke-21, fenomena yang lebih mengemuka justeru sebaliknya, yakni gejala land grabbing (perampasan lahan). Ini tentu suatu gejala terbalik dari cita-cita ideal reforma agraria. Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi “pembelian” lahan pertanian sekitar 70 juta hektar di seluruh dunia, yang dipicu oleh krisis finansial yang menjadikan pangan dan lahan sebagai objek spekulasi besar-besaran. Ini tergolong sebagai fenomena delandreformisasi (Syahyuti, 2016). Gambaran suram pedesaan masih berlangsung, dan mungkin masih akan berlanjut. Banyak dari kaum muda yang ingin bekerja di pertanian, namun karena tak punya akses terhadap lahan, harus pergi ke kota. Pula, perempuan-perempuan di pedesaan yang nir hak atas tanah harus pergi ke luar negeri untuk menjadi buruh migran,” (Yen-Ling Tsai dari Taiwan Rural Front).
REFORMA AGRARIA TERKINI DI DUNIA
Berikut disampaikan perkembangan landreform di beberapa negara, yang tergolong cukup menonjol pada dekade terakhir ini. Cukup banyak referensi ilmiah dan news berkenaan dengan landreform, namun tidak banyak yang melaporkan kondisi tahun 2020.
Landreform di India: land to tillers
Reformasi pertanahan di India merupakan upaya reformasi kepemilikan dan pengaturan tanah. Tanah-tanah diredistribusikan oleh pemerintah dari pemilik tanah kepada orang-orang yang tidak bertanah untuk pertanian atau tujuan khusus lain. Distribusi tanah telah menjadi bagian dari kebijakan negara bagian India sejak awal. Kebijakan tanah paling revolusioner di India adalah saat penghapusan sistem Zamindari (praktik kepemilikan tanah feodal).
Kebijakan reformasi pertanahan di India memiliki dua tujuan khusus, yakni menghilangkan hambatan-hambatan untuk meningkatkan produksi pertanian yang muncul dari struktur agraria masa lalu yang tidak kondusif, serta menghilangkan semua elemen eksploitasi dan ketidakadilan sosial dalam sistem agrarian. Landreform berupaya memberikan keamanan bagi penggarap tanah dan menjamin kesetaraan status dan kesempatan bagi semua lapisan penduduk pedesaan. Ada enam bentuk kategori reformasi yang dijalankan yakni penghapusan perantara (pengumpul sewa di bawah sistem pendapatan tanah pra-kemerdekaan), regulasi sewa untuk meningkatkan persyaratan kontrak termasuk jaminan kepemilikan, penetapan batas atas pemilikan tanah dan membagikan kelebihan pada petani tuna kisma, mengkonsolidasikan kepemilikan tanah, mendorong pertanian kooperatif (cooperative joint farming), dan pengaturan tenurial.
Sejak kemerdekaannya pada tahun 1947, telah terjadi reformasi tanah secara sukarela yang diprakarsai oleh negara dan dimediasi di beberapa negara bagian dengan tujuan ganda yaitu penggunaan tanah yang efisien dan menjamin keadilan sosial. Setelah menjanjikan reformasi tanah dan terpilih untuk berkuasa di Benggala Barat pada tahun 1977, Partai Komunis India menepati janji mereka dan memulai reformasi tanah bertahap, seperti Operasi Barga. Hasilnya adalah distribusi lahan yang lebih merata di antara petani tak bertanah, dan pencacahan petani tak bertanah. Ini telah memastikan kesetiaan seumur hidup dari para petani dan komunis berkuasa sampai pemilihan majelis 2011.
Dalam reformasi pertanahan di Kerala, satu-satunya negara bagian besar lainnya di mana partai ini berkuasa, administrasi negara bagian sebenarnya telah melakukan reformasi tanah, sewa, dan upah buruh yang paling luas di dunia industri akhir non-sosialis. Program reformasi tanah lainnya yang berhasil diluncurkan di Jammu dan Kashmir setelah tahun 1947. Ernest Feder, seorang spesialis ekonomi pedesaan, mengatakan tentang masalah ini: "... meskipun sejak 1947, India mungkin telah memberlakukan lebih banyak undang-undang reformasi tanah daripada negara lain mana pun di dunia, ia tidak berhasil mengubah dalam hal apa pun pola kekuasaan, kesenjangan ekonomi yang dalam, maupun sifat hierarki tradisional dari hubungan antarkelompok yang mengatur kehidupan ekonomi masyarakat desa”.
Pemerintah berbagai negara bagian di India menerapkan skema pembelian tanah bersubsidi untuk meningkatkan peluang akses tanah bagi petani selama sekitar 15-20 tahun (Quan, 2006). Skema tersebut telah dilaksanakan di Andhra Pradesh dan Karnataka dan bank umum di Tamil Nadu dan Kerala. Saat ini, mereka didukung Bank Dunia untuk inisiatif baru pengentasan kemiskinan. Namun program ini juga tidak mulus, misalnya kegagalan dalam menargetkan petani yang paling membutuhkan, pemberian bantuan teknis untuk perbaikan lahan (land improvemnets), tingkat pembayaran yang tinggi telah menyebabkan lambatnya recovery dan hutang yang besar, transfer tanah yang lebih diprakarsai oleh pemilik tanah dibandingkan penerima manfaat, dan monitoring dan evaluasi yang lemah.
Bagaimana kondisi terakhir? Satu tulisan di situs Indian Economy 14 Desember 2020, berjudul “Land Reform in India”[2] menilai laju implementasi langkah-langkah reformasi pertanahan sebenarnya berjalan lambat. Akan tetapi, tujuan keadilan sosial telah tercapai sampai tingkat tertentu. Reformasi pertanahan memiliki peran besar dalam ekonomi agraria pedesaan yang didominasi oleh pertanian. Ke depan, langkah-langkah reformasi lahan yang baru dan inovatif harus diadopsi dengan semangat baru untuk memberantas kemiskinan pedesaan. Satu berita tahun 2020 juga menarik dicatat. Saat ini, meskipun landreform telah diimplementasikan, fatanya hampir 75% wanita pedesaan di India yang bekerja penuh waktu adalah petani, menurut LSM Oxfam India, tapi kurang dari 13% perempuan memiliki tanah yang mereka garap[3].
Filipina: dukungan World Bank
Dari laporan World Bank (2020), sekitar 750 ribu orang diharapkan mendapatkan jaminan kepemilikan tanah yang lebih baik dan hak milik yang stabil melalui proyek baru yang telah memfasilitasi sertifikat tanah untuk lebih dari 1,3 juta hektar tanah yang diberikan dalam Program Pembaruan Agraria Komprehensif (Philippines’ Comprehensive Agrarian Reform Program / CARP) Filipina. Bank Dunia menyetujui dukungan dana sebesar US $ 370 juta untuk Proyek Kepemilikan Individu ini (Support to Parcelization of Lands for Individual Titling Project). Proyek ini dirancang untuk mempercepat pembagian sertifikat kepemilikan tanah kolektif dan menghasilkan hak individu atas tanah.
Banyak petani yang diberi tanah di bawah program reformasi agraria negara ini telah lama menunggu haknya bahkan selama beberapa dekade. Proyek ini memberi mereka kesempatan untuk mendapatkan bukti hukum dan jaminan hak atas tanah individu. Ini tentu akan mendorong mereka untuk berinvestasi di lahan tersebut dan mengadopsi teknologi yang lebih baik untuk produktivitas dan pendapatan yang lebih tinggi.
Jaminan kepemilikan lahan yang lebih baik akan berkontribusi pada pengurangan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi pedesaan serta memperkuat ketahanan petani terhadap dampak pandemi Covid-19. Banyak dari mereka kekurangan jaminan sosial, tabungan, dan akses ke pembiayaan formal. Dengan sertifikat tanah individu, petani penerima akan memiliki akses yang lebih besar ke kredit dan pembiayaan, serta bantuan pemerintah.
Filipina memiliki sejarah panjang tenurial lahan yang tidak adil. Dimulai dengan masa kolonial Spanyol dari 1565-1898, saat perkebunan swasta besar mendominasi struktur agraria pedesaan. Para petani mengolah tanah dengan pengaturan bagi hasil tanpa kebebasan untuk memilih tanaman yang mereka tanam atau pilihan untuk memiliki tanah yang mereka garap. Pada 1980, 60% petani tidak memiliki tanah. Untuk memperbaiki ketidaksetaraan penguasaan lahan yang meluas ini, Kongres mengesahkan undang-undang reforma agraria tahun 1988 dan menerapkan CARP untuk meningkatkan kehidupan petani kecil dengan menawarkan kepada mereka jaminan penguasaan lahan dan layanan dukungan.
Selama tiga dekade terakhir, Program CARP telah mendistribusikan 4,8 juta hektar lahan, dimana 16% merupakan tanah negara, kepada hampir tiga juta petani. Namun, hanya sekitar 53% dari tanah yang dibagikan dalam bentuk sertifikat perorangan. Khususnya pada tahun 1990-an, pemerintah mengeluarkan sebagian besar penghargaan kepemilikan tanah kolektif untuk mempercepat distribusi tanah, dengan maksud untuk membagi dan memberi sertifikasi secara individual di masa mendatang.
Afrika Selatan: landreform pasca bubarnya rezim apartheid
“With freedom and democracy, came restoration of the right to land .....”: ucap Nelson Mandela tahun 1995. Ya, makna mendasar dari diperolehnya kebebasan dan demokrasi di Afrikan Selatan adalah pemulihan hak atas tanah. Landreform disini disebut dengan “pemulihan”, karena mengembalikan tanah petani kulit hitam yang sempat dirampas si kulit putih.
Perampasan tanah besar-besaran terjadi karena Undang-Undang Tanah Pribumi 1913 (The 1913 Natives Land Act) dalam masa politik apartheid. UU ini telah memisahkan ribuan keluarga kulit hitam dari tanah mereka, serta membatasi orang kulit hitam untuk membeli atau menempati tanah mereka. Lalu, UU ini akhirnya dicabut ketika Undang-Undang Penghapusan Tindakan Berbasis Rasial tahun 1991 (Abolition of Racially Based Land Measures Act) atau disebut UU No. 108 Tahun 1991.
Saat ini Afrika Selatan memiliki “Visi 2030 Rencana Pembangunan Nasional” (The National Development Plan / NDP). Rencana ini menyatakan bahwa reformasi pertanahan akan membuka potensi sektor pertanian yang dinamis, tumbuh dan menciptakan lapangan kerja.
Reformasi tanah di Afrika Selatan didasarkan pada prinsip-prinsip berikut:
- Memungkinkan
transfer lahan pertanian yang lebih cepat kepada penerima petani berkulit hitam (black beneficiaries)
tanpa merusak pasar lahan atau kepercayaan bisnis di sektor agribisnis.
- Memastikan produksi yang berkelanjutan di lahan yang sudah dibagikan tersebut melalui inkubator, pembelajaran, pendampingan, magang dan pelatihan.
- Membentuk lembaga pemantau untuk melindungi pasar tanah dari oportunisme, korupsi, dan spekulasi.
- Membawa target pengalihan lahan sejalan dengan realitas fiskal dan ekonomi untuk memastikan bahwa lahan berhasil didistribusikan.
- Menawarkan kesempatan kepada petani komersial kulit putih dan badan industri terorganisir untuk berkontribusi secara signifikan bagi keberhasilan petani kulit hitam melalui pendampingan, integrasi rantai, pengadaan preferensial, dan pengembangan keterampilan yang berarti.
Program landreform sampai saat ini telah berhasil menyelesaikan 80.664 klaim untuk 2,1 juta orang petani, dimana 163 ribu lebih di antaranya adalah rumah tangga yang dikepalai wanita. Selain itu, pemerintah telah berhasil memulihkan 3,5 juta hektar lahan yang dapat digunakan sebagai katalisator pembangunan pertanian dan ekonomi.
Departemen Pembangunan Pedesaan dan Reformasi Lahan (The Department of Rural Development and Land Reform) memperkuat pembangunan terintegrasi untuk memastikan bahwa akses lahan menghasilkan spin-off ekonomi yang lebih luas. Departemen ini juga mengatasi tantangan sistemik yang menghambat kemajuan penerima manfaat. Untuk mendukung petani kulit hitam, akan diterapkan kebijakan berupa alokasi preferensial hak atas air, penyediaan infrastruktur, dan akses ke pasar. Ada tiga elemen kunci dari program reformasi pertanahan komprehensif di Afrika Selatan yang terkandung dalam Buku Putih tentang Reformasi Tanah (White Paper on Land Reform) yakni meliputi kewajiban restitusi, redistribusi, dan reformasi tenurial.
Namun berita tahun 2020 melaporkanbelum tuntas nya urusan landreform di negara ini[4]. Ketidaksetaraan rasial di Afrika Selatan masih tersisa meski apartheid telah cukup lama berakhir. Untuk ini, pemerintah Afrika Selatan melepaskan tanah milik negara yang kurang dimanfaatkan untuk diberikan kepada publik, dan sebagian besar dijual kepada petani kulit hitam (black farmers. ). Hukum apartheid dulu melarang orang kulit hitam memiliki atau menyewakan tanah, sehingga sebagian besar tanah pertanian di Afrika Selatan dimiliki oleh orang kulit putih. Meskipun mayoritas, orang kulit hitam Afrika Selatan saat ini memiliki paling sedikit tanah untuk pertanian (4%), diikuti oleh orang India (5%), sementara orang kulit putih memiliki 72% tanah pertanian.
Karena itulah, Presiden Cyril Ramaphosa masih memandang penting untuk memperluas akses ke lahan pertanian sebagai prioritas nasional. Departemen Pertanian, Pembaruan Pertanahan, dan Pembangunan Pedesaan (Land Reform, and Rural Development) mengumumkan bahwa mereka akan melepaskan 896 pertanian milik negara untuk dibeli publik, atau disewakan selama periode 30 tahun. Untuk memastikan bahwa tanah tersebut digunakan untuk tujuan pertanian, sewa tidak dapat dialihkan. Pemerintah bertujuan untuk memprioritaskan petani Hitam dalam proses ini. Proses ini juga memperhatikan perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas. Agar efektif, pembagian lahan diikuti dengan pelatihan pengelolaan keuangan dan pengembangan usaha, agar petani yang belum berpengalaman dapat mengolah dan mengelolalnya secara menguntungkan. “Tujuan akhir dari pelepasan bidang tanah ini adalah untuk mengubah lanskap pertanian dengan menumbuhkan generasi baru petani,” kata Presiden Ramaphosa.
Catatan Stoddard (2020) menarik untuk disimak. Katanya, reformasi tanah di Afrika Selatan masih menghasilkan fakta dimana sebagian besar properti pribadi masih tetap berada di tangan putih. Ini lah yang disebut seorang pengamat dengan “shooting in the dark”'(menembak dalam gelap). Masih banyak catatan, dan masih banyak tugas rumah untuk reforma agraria yang berhasil di Afrikan Selatan.
Ukraina
Semua negara bagian Aksesi Uni Eropa, kecuali Polandia dan Hongaria, telah terlibat dalam beberapa bentuk pengembalian (restitusi) hak atas tanah kepada pemilik sebelumnya. Negara-negara ini dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) Negara yang menegakkan kembali hak kepemilikan individu yang tanahnya belum diambil alih, dan juga mengembalikan sebagian kecil dari tanah yang dikuasai oleh negara; (2) Negara yang memberikan kompensasi kepada pemilik sebelumnya, dan menyediakan atau menjual tanah kepada mantan pekerja pertanian; dan (3) Negara yang mengembalikan tanah kepada pemilik sebelumnya saja (Giovarelli and Bledsoe, 2001).
Khusus di Ukraina sebagai contoh, setelah 19 tahun diperdebatkan dan direncanakan, pada 31 Maret 2020 badan legislatif tertinggi Ukraina (Verkhovna Rada) mengadopsi apa yang disebut sebagai "RUU Tanah #552-IX”. Ini adalah UU tentang Peredaran Lahan Pertanian" "Law on Circulation of Agricultural Lands yang ditandatangani oleh Presiden Ukraina pada bulan Mei 2020 (Maistrenko, 2020). Peluncuran resmi pasar tanah membawa lebih banyak transparansi dan kejelasan untuk masalah agraria di Ukraina. Kebijakna landreform ini akan mengatur hubungan pasar antara warga negara dan orang asing. Sebagai tahap pertama, mulai Mei 2021, pasar hanya akan terbuka untuk warga negara Ukraina. Badan hukum dengan 100% modal lokal akan dapat memperoleh lahan pertanian mulai Januari 2024. Setelah sukses awal perdagangan internal, referendum pembukaan pasar internasional untuk orang asing segera akan direalisasikan.
Lebih jauh, Maistrenko (2020) memaparkan bahwa dengan program ini, mulai Juli 2021 warga Ukraina akan dapat membeli maksimal 100 ha lahan, dan akan meningkat menjadi maksimal 10.000 ha lahan pada Januari 2024. Demikian pula badan usaha berbadan hukum lokal juga dapat memperoleh hingga 10.000 ha mulai Januari 2024 tersebut. Namun, terdapat beberapa batasan internal baik untuk badan hukum maupun perorangan, dimana tidak seorang pun dapat memiliki lebih dari 35% dari satu tanah komunitas teritorial atau lebih dari 8% dari satu distrik yang sama.
Undang-undang tersebut mengatur persyaratan, jumlah, dan kondisi utama pasar lahan pertanian di Ukraina. Berdasarkan UU ini, ada larangan penguasaan untuk lahan tertentu, seperti tanah dalam jarak 50 km dari wilayah perbatasan, wilayah pendudukan sementara, serta tanah milik negara dan pemerintahan kota. Beberapa persyaratan tambahan untuk badan hukum asing juga akan berlaku. Batasan tersebut termasuk larangan untuk warga Rusia, organisasi terkait terorisme, negara asing, penerima manfaat yang tidak diketahui, dan entitas yang berada di bawah sanksi. Secara keseluruhan, berlakunya UU Peredaran Lahan Pertanian merupakan sinyal angin baru bagi investor. Peluang bisnis baru akan terus terbuka dan tanah Ukraina - yang merupakan salah satu yang paling subur - akan siap untuk menerima investasi.
Untuk Ukraina: “Land reform will allow Ukraine to capitalize on its economic potential and improve the lives of Ukrainian people – but a lot still needs to be done before a successful land market opening” (The World bank, 2020b). Reformasi tanah akan memungkinkan Ukraina untuk memanfaatkan potensi ekonominya dan meningkatkan kehidupan masyarakatnya, meski masih banyak yang harus dilakukan agar redistribusi lahan ini membawa berkah. Beberapa prestasi telah diraih pasca landreform. Daya lenting (resilient) masyarakatnya dalam menghadapi tahun 2020 yang berat karena pandemi Covid-19, sedikit banyak ditopang oleh keberhasilan ini.
Satu tonggak kebijakan penting terjadi bulan Maret 2020 lalu, saat pemerintah memilih untuk mengakhiri moratorium yang telah berlangsung selama hampir dua dekade atas penjualan tanah pertanian (moratorium on the sale of farm-land). Reformasi pertanahan ini akan memungkinkan pemilik dan pengguna untuk menguasai tanah mereka. Menurut perhitungan Bank Dunia, untuk Ukraina secara keseluruhan, ini secara permanen akan dapat menambahkan hampir satu poin persentase untuk pertumbuhan ekonomi per tahunnya.
Otoritas Ukraina telah membuat langkah besar ke arah ini dengan mengeluarkan paket undang-undang yang mengurangi serangan perampok dan skema terkait lahan, membuat data lahan dapat diakses publik, dan memungkinkan masyarakat lokal untuk merencanakan penggunaan lahan. Tetapi ada lebih banyak undang-undang seputar tata kelola pertanahan yang diperlukan untuk memastikan semua manfaat dari reformasi pertanahan untuk setiap Ukraina. Dibutuhkan tata kelola lahan yang lebih baik agar dapat menghasilkan lebih banyak investasi. Pasar tanah akan dibuka pada 1 Juli 2021, sehingga sangat penting untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan pendukung yang kondusif. Bank Dunia telah lama menganjurkan reformasi lahan sebagai kunci bagi Ukraina untuk mengembangkan potensi produktif dari sumber daya lahannya yang melimpah.
Amerika Latin
Sepanjang abad ke-20 sampai sekarang, landreform di Amerika Latin berlangsung di beberapa negara, sehingga lebih dari seperlima lahan pertanian telah didistribusikan kembali untuk memberi manfaat bagi lebih dari sepersepuluh penduduk miskin pedesaan. Gerakan sosial dengan dukungan petani yang penting menyebabkan rezim revolusioner menerapkan reformasi tanah yang signifikan di Meksiko, Bolivia, Kuba dan Nikaragua (Barraclough, 1999).
Pemberontakan berbasis populer di Peru dan El Salvador meyakinkan perwira militer nasionalis yang memegang kekuasaan negara untuk melakukan reformasi tanah. Rezim yang dipilih secara demokratis di Puerto Rico, Guatemala, Venezuela dan Chili semuanya juga memprakarsai reformasi pertanahan yang penting. Partai politik dalam masing-masing kasus ini tentu berkepentingan untuk meningkatkan dukungan elektoral dari para pemilih pedesaan berpenghasilan rendah. Dalam skema reformasi ini, organisasi tani dan negara menjadi aktor sentral.
Karakter khas rezim negara berbasis populer namun sering cepat berlalu yang mendukung reformasi agraria, diilustrasikan dengan baik oleh pengalaman Amerika Latin. Di Meksiko, fase reformasi yang paling luas terjadi selama tahun 1930-an, dengan dukungan militan yang didorong oleh negara oleh organisasi-organisasi tani bersenjata. Kredit, pemasaran, bantuan teknis dan lembaga negara serupa diciptakan atau dialihkan untuk melayani kebutuhan penerima manfaat reformasi. Ini menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam produksi pangan dan pendapatan petani. Pemerintahan selanjutnya setelah 1940 terus mendistribusikan kembali tanah, tetapi prioritas diubah lebih pada mempromosikan produksi komersial oleh petani swasta skala besar.
Di Bolivia, produksi dan konsumsi pangan petani meningkat setelah program landreform. Reformasi tanah telah membawa manfaat besar bagi populasi besar petani berpenghasilan rendah. Sementara, reformasi tanah di Venezuela lahir sebagai respon atas tuntutan petani. Sementara, reformasi tanah di Guatemala yang awalnya sangat sukses lalu dibatalkan oleh kudeta militer pada tahun 1954. Ini melahirkan bencana bagi negara tersebut.
Amerika Serikat telah mendukung reformasi pertanahan Chili yang dimulai dari rezim Alessandri lalu berlanjut ke pemerintahan Frei. Namun kemudian, pemerintahan Allende menghentikan dan bahkan sebagian membalikkan reformasi sebelumnya ini.
Pereira (2008) membahas pelaksanaan reformasi lahan yang dibantu pasar (market-assisted land reform /MALR) ) di Kolombia, Brasil, dan Guatemala, pada periode 1994−2008. Program yang didukung Bank Dunia ini dipahami sebagai model alternatif untuk redistribusi lahan. Bank Dunia bekerja dengan agenda dan definisi jenis kebijakan agraria yang cocok untuk neoliberalisasi ekonomi dan kelembagaan, pemerintah negara klien menggunakan MALR sebagai instrumen untuk melemahkan perjuangan rakyat untuk demokratisasi struktur agraria di masyarakat yang sangat tidak setara, menyebarkan gagasan tersebut. akses ke tanah 'tanpa konflik.' Di tiga negara, MALR dilaksanakan melalui kemitraan antara Bank Dunia dan pemerintah nasional dengan agenda mayoritas organisasi tani.
Perubahan Konstitusi Meksiko pada 1990-an menandai berakhirnya reformasi agraria dan rezim tanah Revolusioner yang memungkinkan penerima manfaat untuk bekerja tetapi tidak menjual tanah mereka. Undang-undang baru mengizinkan setiap bidang tanah ejido diubah menjadi milik pribadi (Varley and Salazar, 2021)
Khusus di Kuba, embargo perdagangan Amerika Serikat yang diberlakukan semenjak awal 1960-an berdampak negatif terhadap produksi dan pendapatan penerima reformasi tanah. Pada Mei 1959, pemerintahan revolusioner yang baru memperkenalkan UU Pembaruan Agraria Pertama sebagai salah satu yang pertama perubahan struktural utama dari era Revolusi. UU ini bertujuan untuk menghapus keberadaan tuan tanah (latifundios), menasionalisasi semua properti pedesaan yang dimiliki asing, membagi tanah untuk petani (campesinos) yang sebelumnya bekerja tanpa memiliki lahan pertanian, dan menciptakan sektor pertanian negara untuk mempertahankan penguasaan sekitar sepertiga dari lahan pertanian nasional. Selanjutnya, UU Reformasi Agraria kedua, yang diperkenalkan pada tahun 1963, semakin mengurangi luas lahan pertanian swasta. Secara keseluruhan, negara telah berhasil secara bertahap mengambil alih kepemilikan lebih banyak bidang tanah, dan akhirnya memiliki 82% dari lahan pertanian aktif pada tahun 1988.
Pelajaran menarik dari Kuba adalah pembentukan koperasi petani atau the National Association of Small Farmers (ANAP). Seluruh petani di Kuba didorong untuk bergabung pada koperasi tersebut. ANAP kemudian berkembang menjadi Cooperatives for Credits and Services (CCS) yang berdiri tahun 1975. Tujuan utamanya adalah demi membantu permodalan petani dan Cooperatives for Agricultural Production (CPA), suatu koperasi produksi yang memungkinkan petani untuk saling mendukung dalam produksi pertanian dan pemasarannya.
O'Connor (1968) melaporkan bahwa reformasi agraria di Kuba telah berusaha untuk memecah kepemilikan tanah besar dan mendistribusikannya kepada para petani penggarap, koperasi, dan juga negara. Undang-undang yang berkaitan dengan reformasi tanah dilaksanakan dalam serangkaian undang-undang yang disahkan antara tahun 1959 dan 1963 setelah Revolusi Kuba. Pada tahun 1959, UU Reformasi Agraria yang pertama disahkan, yang menetapkan batas atas tanah yang dapat dikuasai oleh seseorang yakni maksimal 402 ha. Regulasi ini menyebabkan hampir 40% tanah subur dipindahkan dari pemilik dan perusahaan asing ke negara, yang kemudian mendistribusikan tanah ini terutama kepada petani dan buruh tani. Undang-Undang Reforma Agraria kedua disahkan pada tahun 1963, dan menetapkan batas atas tanah yang dapat dikuasai oleh seseorang seluas 67 hektar, mendorong 30% lagi tanah subur untuk negara dari petani.
Indonesia: TORA yang masih setengah jalan
Pemerintah Jokowi jilid pertama (2014-2019) berjanji membagikan 9 juta ha lahan ke petani dalam Program Tanah Objek Reforma Agrari (TORA). Apakah TORA telah sukses? Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) belum. Bahkan menurut mereka, TORA ini sendiri bukan RA, karena abai pada fakta konflik lahan.
Namun, bagaimanapun jua, TORA telah mendistribusikan lahan kepada petani. Khusus untuk RA, Presiden Jokowi tergolong presiden yang artikulasinya lebih jelas dibanding presiden-presiden sebelumnya. Reforma agraria menjadi bagian kelima Nawacita, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Sampai 2019, akhir pemerintahan Jokowi jilid I, menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pemerintah sudah menyerahkan surat keputusan redistribusi tanah untuk wilayah Kalimantan seluas 109.615 ha, Sulawesi 120.000 ha, Maluku 57.000 ha, dan Sumatera 32.000 ha serta NTB dan NTT (Montesori, 2019). Seperti di Filipina, program ini juga didukung Bank Dunia (Sebayang, 2018). Pada Juli 2018, Bank Dunia mencairkan pinjaman senilai US$200 juta (Rp 2,9 triliun) untuk mendukung Program TORA.
Laporan KPA (2021) berjudul “Konflik Agraria di Tengah Situasi Pandemi dan Krisis Ekonomi”, memberikan catatan yang menarik. Di tahun 2020, di tengah minusnya perekonomian nasional dan penerapan PSBB, perampasan tanah berskala besar tetap tinggi. Pada periode April sampai September tahun 2019 letusan konflik agraria “hanya” 133 kasus, namun pada periode yang sama tahun pandemi (2020) justeru terpantau ada 138 kasus. Sepanjang 2020 sedikitnya telah terjadi 241 letusan konflik agraria akibat praktik-praktik perampasan tanah dan penggusuran. Konflik tersebut tersebar di 359 kampung/desa, melibatkan 135.337 KK di atas tanah seluas 624.272,711 hektar (KPA, 2021). Konflik terjadi di semua sektor baik perkebunan, kehutanan,pembangunan infrastruktur, bisnis properti, pertambangan, fasilitas militer, pesisir dan pulau-pulau kecil, serta agribisnis.
Di luar ini, yang sudah saban tahun terjadi berulang, satu wacana lagi yang cukup menjanjikan untuk diperjuangkan adalah landreform lahan kehutanan untuk reforma agraria. Sebagai upaya untuk mendiskusikan arah kebijakan nasional terkait Reforma Agraria dan Reforma Kehutanan, The Asia Foundation, Forci Development Fakultas Kehutanan IPB University (FORCIDEV) dan Forum Perguruan Tinggi Kehutanan se-Indonesia (FOReTIKA) mengadakan Simposium Nasional Reforma Agraria Implies Reforma Kehutanan pada tanggal 13-14 Januari 2020 di Jakarta (Tempo, 2020).
Reforma agraria selama ini masih banyak menghadapi hambatan, salah satunya karena tidak tersentuhnya kawasan hutan sebagai objek landreform. Kawasan hutan menguasai dua pertiga daratan sebagai kawasan hutan, namun hanya mengalokasikan sepertiganya sebagai areal penggunaan lain. Klaim kawasan hutan merupakan problem utama dari persoalan tanah di Indonesia. Dengan penduduk 270 juta jiwa lebih dan hanya mengandalkan sepertiga kawasan untuk memenuhi kebutuhan pangan, Indonesia sulit mencapai swasembada pangan. Di sisi lain, penguasaan lahan kehutanan secara berlebihan tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Dari sisi kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB), nonkawasan hutan yang luasnya hanya 35% justru berkontribusi 99% lebih, sedangkan kawan hutan hanya berkontribusi kurang dari 1%.
Fakta bahwa hutan tidak mensejahterakan didukung oleh fakta global. Negara-negara dengan area hutan terluas sebagian besar ada di wilayah tropis, dan mereka cenderung menjadi negara berkembang. Artinya, luasnya hutan belum mampu menggerakkan ekonomi nasional nya masing-maisng. Hutan menutupi 98% total lahan daerah di Suriname, 94% di Guyana, dan 92% di Negara Federasi Mikronesia.
PENUTUP
Pada intinya, program landreform masih relevan untuk dijalankan. Berbagai kawasan dan negara belum bisa bernafas lega dengan masalah ini. Satu contoh negara di Asia, yakni Myanmar, diperkirakan 30 hingga 50 persen populasi pedesaan sama sekali tidak memiliki tanah. Mereka terjebak dalam kemiskinan yang ekstrim.
Keadilan sosial ekonomi sama pentingnya dengan peningkatan produktivitas. Sangat penting menyediakan input penting seperti air, teknologi, pengetahuan pemasaran untuk petani kecil dan meningkatkan produksi mereka (Bandyopadhyay, 1996). Namun, landreform memberikan lebih dari pada itu, bahkan disejajarkan dengan “memberi kemerdekaan” yang seungguhnya kepada petani.
Menurut Fauzi (2008), ada empat tipe landreform berdasarkan aktor utama penggeraknya, yaitu: (1) Market-Led Landreform demi pencapaian efisiensi dan produktivitas secara ekonomis, (2) State-Led Landreform oleh negara, (3) Peasant-Led Landreform ketika negara terlalu terbelenggu oleh kepentingan elit, dan (4) Pro-Poor Landreform dimana negara, petani dan kekuatan pasar bukan sebagai kelompok yang terpisah, namun sebagai pelaku yang saling terhubung dengan menerapkan logika-logika politis dan ekonomis sekaligus. Dalam skema ini, reforma agraria dunia tampaknya semakin berbentuk ke arah market-based landreform, yakni landreform yang dilaksanakan berbasiskan bantuan mekanisme pasar. Dalam konteks ini, beberapa kasus reforma agraria di beberapa negara seperti yang dibeberkan di atas memperlihatkan besarnya dukungan Bank Dunia untuk keberhasilan ini.
Untuk Indonesia ke depan, pemerintah tampaknya perlu mencontoh tiga negara yang telah berhasil melakukan reforma agraria seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan (INDEF, 2017). Reforma agraria yang dilakukan Jepang tidak lepas dari strategi yang dilakukan dengan cara pemerintah membeli lahan dari tuan tanah para feodal. Lalu, Jepang menyediakan skema skema kredit jangka panjang petani melalui pemerintahan lokal yang sekaligus juga berperan sebagai pengawas. Di Taiwan, lahan negara dialihfungsikan sebagai lahan pertanian, lalu departemen pertanian dan kehutanan sebagai pelaksananya. Petani diberikan akses untuk memanfaatkan lahan dengan hak guna lahan yang diberikan sistem produksi. Pemeirintah juga mengakuisisi lahan perusahaan dan memberikan kompensasi bagi pemilik lahan. Program TORA di Indonesia semestinya bisa mengambil pelajaran dari berbagai model landreform tersebut.
Daftar Pustaka
Bardan AB. 2020. KPA nilai reforma agraria hanya pemanis di bank tanah. 16 Oktober 2020. https://nasional.kontan.co.id/news/kpa-nilai-reforma-agraria-hanya-pemanis-di-bank-tanah
Bandyopadhyay R. 1996. Global review of land reform: a critical perspective. Economic and Political Weekly 31(11): 679-691. https://www.jstor.org/stable/4403916
Barraclough SL. 1999. Land reform in developing countries: the role of the state and other actors. Discussion Paper No. 101, June 1999. https://www.unrisd.org/80256B3C005BCCF9/(httpAuxPages)/9B503BAF4856E96980256B66003E0622/$file/dp101.pdf
Bernstein H, Byress TJ, Borras Jr SM, Kay C, Rachman NF, Yanuardy D. Eds. 2008. Kebangkitan studi refroma agraria di abad 21. Yogyakarta: STPN Press.
Cox M, Munro-Faure P, Mathieu P, Herrera A, Palmer D, Groppo P. 2003. FAO in Agrarian Reform. In: FAO. 2003. land reform, land settlement and cooperatives. http://www.fao.org/3/J0415T/j0415t04.htm
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2020. World food and agriculture: statistical yearbook 2020. Rome (IT): Food and Agriculture Organization. https://doi.org/10.4060/cb1329en
Fauzi N. 2008. Gelombang baru reforma agrariadi awal abad ke21. Makalah pada Seminar “Agenda Pembaruan Agraria dan Tirani Modal”, dalam Rangka Konperensi Warisan Toritarianisme: Demokrasi dan Tirani Modal, Kampus FISIP UI – Depok, 5 – 7 Agustus 2008.
Giovarelli R, Bledsoe D. 2001. Land Reform in Eastern Europe: Western CIS, Transcaucuses, Balkans, and EU Accession Countries. Seattle, Washington. http://www.fao.org/3/ad878e/AD878E05.htm
[INDEF] Institute for Development of Economics and Finance. 2017. Tiru tiga negara ini agar ri berhasil lakukan reforma agraria. 4 Mei 2017. https://www.indopremier.com/
[KPA] Konsorsium Pembaruan Agraria. 2021. Catahu 2020 KPA: Pandemi covid-19 dan perampasan tanah berskala besar. Sekretariat Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). 6 Januari 2021. http://kpa.or.id/media/baca2/siaran_pers/223/Catahu_2020_KPA:_Pandemi_Covid-19_dan_Perampasan_Tanah_Berskala_Besar//
Maistrenko O. 2020. Ukraine: land reform in ukraine: a new wind for investors. 20 May 2020. https://www.mondaq.com/real-estate/936962/land-reform-in-ukraine-a-new-wind-for-investors
Montesori J. 2019. Luruskan pernyataan Sekjen KPA, Menteri LHK: pemerintah sudah realisasikan SK TORA ke masyarakat. 25 September 2019. https://www.beritasatu.com/nasional/576810/luruskan-pernyataan-sekjen-kpa-menteri-lhk-pemerintah-sudah-realisasikan-sk-tora-ke-masyarakat
O'Connor J. 1968. Agrarian Reforms in Cuba, 1959-1963. Science and Society 32(2): 169-217. Guilford Press. https://www. jstor .org/stable/40401340
Pereira JMM. 2020. The World Bank and market-assisted land reform in Colombia, Brazil, and Guatemala. July 2020. Land Use Policy 100:1-11. Doi:10.1016/j.landusepol.2020.104909
Quan J.2006. Land access in the 21st century: Issues, trends, linkages and policy options. LSP Working Paper 24Access to Natural Resources Sub-Programme. http://www.fao.org/3/ah245e/ah245e.pdf
Republika. 2018. Indonesia tuan rumah pertemuan reforma agraria internasional. 21 September 2018. https://republika.co.id/berita/ekonomi/pertanian/18/09/21/pfepbv415-indonesia-tuan-rumah-pertemuan-reforma-agraria-internasional.
[SPI] Serikat Petani Indonesia. 2012. Pembaruan agraria abad ke-21 untuk kedaulatan rakyat. 13 Juli 2012. https://spi.or.id/pembaruan-agraria-abad-ke-21-untuk-kedaulatan-rakyat/
Sebayang R. 2018. Bank Dunia kucurkan utang rp 2,9 t untuk reformasi agraria RI. CNBC Indonesia. 20 Juli 2018. https://www.cnbcindonesia.com/news/20180720185230-4-24688/bank-dunia-kucurkan-utang-rp-29-t-untuk-reformasi-agraria-ri
Stoddard E. 2020. Land reform in South Africa: we are shooting in the dark. 15 May 2020. https://www.dailymaverick.co.za/article/2020-05-15-land-reform-in-south-africa-we-are-shooting-in-the-dark/
Syahyuti. 2016. Delandreformisasi sebagai gejala anti landreform di Indonesia: karakter, penyebab dan upaya untuk pengendaliannya. Jurnal Forum penelitian Agro Ekonomi 29(2):67-81. DOI: 10.21082/fae.v29n2.2011.67-81
Tempo. 2020. Simposium nasional reforma agraria implies reforma kehutanan. 13 Januari 2020. https://event.tempo.co/read/1294703/simposium-nasional-reforma-agraria-implies-reforma-kehutanan
The World Bank. 2020a. Philippines: New project to help provide individual land titles to 750,000 agrarian reform beneficiaries. Press Release June 26, 2020. https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2020/06/26/philippines-new-project-to-help-provide-individual-land-titles-to-750000-agrarian-reform-beneficiaries
The world bank. 2020b. Putting People in Control of Their Land to Realize Ukraine’s Potential. Opinion. 9 Sept 2020. https://www.worldbank.org/en/news/opinion/2020/09/09/putting-people-in-control-of-their-land-to-realize-ukraines-potential
Varley A, Salazar C. 2021. The impact of Mexico’s land reform on periurban housing production: neoliberal or neocorporatist? First published: 18 January 2021. https://doi.org/10.1111/1468-2427.12999
*******
[1] Kedua penulis adalah peneliti pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian, Bogor.
[2] “Land Reforms in India”. https://www.drishtiias.com/to-the-points/paper3/land-reforms-in-india
[3] “Women farmers protest against land reform in India”. https://www.dw.com/en/women-farmers-protest-against-land-reform-in-india/av-56810658
[4] “South Africa Plans to Empower Black Farmers With New Land Reform Process”. https://www.globalcitizen.org/en/content/black-farmers-south-africa-land-reform-farming/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar