Rabu, 25 Mei 2011

Politik Agraria dan Struktur Pedesaan

PENGARUH POLITIK AGRARIA TERHADAP PERUBAHAN POLA PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR PEDESAAN DI INDONESIA

Oleh: Syahyuti
@ 2001

Abstract
The agrarian pattern in Indonesia has been change throught time, where land always be political policy by government. Historically, from feudal era to Orde Baru, land tenure by government made subordinate of farmer. The farmer have not right of to cultivate land as theirs land. The social structure changes due to te land structure change, because land is the main resource for land base agriculture.
Key words: agrarian, land tenure, rural socio-structure.

Abstrak
Aspek penguasaan tanah di Indonesia adalah bagian utama politik agraria dari satu masa ke masa pemerintahan, dimana tanah selalu dijadikan alat politik bagi pihak penguasa. Dari tinjauan historis terlihat bahwa mulai dari zaman kerajaan sampai dengan Orde Baru, penguasaan sumber daya tanah oleh pemerintah telah menjadikan petani selalu berada posisi subordinat dan tergantung. Hal ini disebabkan karena pemerintahlah yang memegang hak penguasaan tanah, sedangkan petani menjadi penggarap. Petani belum diberi hak penguasaan yang secukupnya agar dapat menjadi pengelola penuh dalam usahataninya. Struktur sosial masyarakat pedesaan juga berubah mengikuti perubahan pola penguasaan tanah tersebut, karena bagi komunitas agraris tanah adalah sumber daya utama kehidupannya.
Kata Kunci: agraria, penguasaan tanah, struktur sosial pedesaan.

PENDAHULUAN

Meskipun tanah adalah sumberdaya utama dalam masyarakat agraris, namun nilai tanah bagi mereka jauh lebih luas yang mencakup sebagai faktor ekonomi, sosial, bahkan religius. Menurut kaca mata ekonomi tanah adalah salah satu sumber agraria yang paling penting di samping sumber daya lain, misalnya modal dan tenaga kerja (keterampilan). Oleh karena itu, dapat diperkirakan, bahwa struktur masyarakat pedesaan sangat terkait dengan struktur agraria yang berlaku, khususnya dalam hal penguasaan dan pengusahaannya.

Sampai saat ini, pembangunan sektor pertanian dan kehidupan masyarakat pedesaan belum mencapai seperti apa yang diinginkan. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, dapat dikatakan bahwa struktur pertanian kita masih goyah, sehingga belum mampu menjadi penopang untuk melangkah ke tahap selanjutnya yaitu ke tahap masyarakat industri. Sementara itu, kehidupan masyarakat pedesaan juga dihadapkan kepada berbagai persoalan-persoalan sosial, diantaranya kemiskinan, ketimpangan pendapatan, pengangguran, konflik agraria, disamping perosalan-persoalan sosio budaya lainnya.

Berdasarkan permasalahan itu, melalui tulisan ini ingin diperlihatkan, bahwa dinamika persoalan agraria telah memainkan peranan yang esensial dalam perubahan sosial ekonomi masyarakat pedesaan di Indonesia selama ini. Tulisan ini bertujuan ingin menunjukkan (atau berteori), bahwa berbagai perubahan sosial di pedesaan Indonesia tidak terlepas dari persoalan agraria. Lebih jauh dari itu, sesungguhnya tanahlah yang menjadi penyebab perubahan, membentuk perubahan, dan membatasi sejauh apa perubahan dapat terjadi di tengah masyarakat. Persoalan sektor pertanian dan pedesaan sampai saat ini yang tidak mencapai bentuknya yang diinginkan, yaitu perkembangan yang tidak permanen dan kokoh sebagai penopang sosial ekonomi masyarakat, adalah karena belum konstruktifnya penataan tanah (landreform) di Indonesia. Jika kedua hipotesis ini dapat dibuktikan, implikasinya adalah, bahwa jika kita ingin melakukan perubahan mendasar terhadap pertanian dan struktur pedesaan yang kuat, maka itu mestilah berasal dari bangun struktur agraria yang kuat pula.

Tulisan ini merupakan review dari berbagai bahan tentang persoalan sosial ekonomi di pedesaan, terutama yang terkait erat dengan aspek agraria. Disadari bahwa karena sebagian besar tulisan yang diacu menulis tentang Jawa, maka perubahan yang digambarkan dalam tulisan ini lebih mewakili kondisi di pulau Jawa daripada bagian Indonesia lainnya yang sesungguhnya memiliki dinamikanya sendiri yang kompleks dan khas.

Pada bagian awal disampaikan uraian histroris dari berbagai kasus, bagaimana perubahan sosial yang terjadi di pedesaan. Perubahan tersebut diterangkan melalui perubahan struktur agraria. Selanjutnya, pada bagian akhir, disampaikan bagaimana perlunya diperhatikan permasalahan agraria dalam merancang perubahan sosial berencana atau pembangunan pedesaan, dimana agraria menjadi aspek utama dalam perubahan sosial pedesaan yang konstruktif.

TINJAUAN HISTORIS PERUBAHAN AGRARIA DAN STRUKTUR SOSIAL EKONOMI PEDESAAN DI INDONESIA

Pada bagian berikut dipaparkan kondisi dan perubahan-perubahan masyarakat pedesaan khususnya performa sosial ekonominya dikaitkan dengan struktur agraria yaitu pola penguasaan dan pengusahaan tanahnya.

A. Masa Feodalisme

Indonesia sebelum kedatangan bangsa Barat sering disebut dengan masa pra-kapitalis, pra-kolonial, atau zaman feodal. Keterangan dalam bagian ini, akan mencakup kondisi sebelum era kalonial tersebut, termasuk juga pada awal kolonial ketika keterlibatan pemerintah kolonial terhadap masalah pertanahan belum terasa, karena saat itu mereka lebih berkosentrasi sebagai pedagang rempah-rempah. Intervensi pemerintah kolonial dalam masalah pertanahan secara praktis baru mulai dirasakan di zaman Raffles yaitu mulai tahun 1811.

Dalam Schrieke (1955) dijelaskan, ketika kedatangan Barat ke Indonesia pertama kali, wilayah Indonesia didominasi pertanian dengan adanya variasi performa antar daerah. Ada dua bentuk utama pertanian pada saat itu, yaitu sawah dan ladang, yang secara kasar sering merepresentasikan perbedaan ekologi Jawa dan luar Jawa (lihat juga Geertz, 1976).
Areal sawah beririgasi menjadi sumber konsentrtasi penduduk, dimana usaha pertanian dilakukan secara intensif. Namun ini tidak berarti bahwa kehidupan saat itu dapat dikatakan harmonis. Schrieke (1955) menyatkan bahwa insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi tidak ada, karena surplus produksi hanyalah untuk keluarga raja dan birokrasi di keraton. Hal ini karena wilayah sawah beririgasi dibantu kerajaan untuk konstruksi dan pemeliharaan saluran irigasi dan jalannya, menjamin keamanan, serta penyediaan bangunan lumbung padi. Artinya, kehidupan petani berada di dalam tekanan pihak kerajaan, karena investasi pihak kerajaan yang besar dalam produksi pertanian sawah tersebut. Menurut Wertheim (1956), sampai dengan tahun 1800, belum ada perubahan yang mendasar dalam pertanian di Indonesia, karena pengaruh Barat juga tidak progresif.

Lalu, bagaimanakah struktur masyarakat pedesaan saat itu ? Sebagian besar ahli berpendapat bahwa struktur masyarakat saat itu lebih egaliter, baik secara ekonomi maupun sosial. Pendapat ini tidak disetujui oleh Husken dan White (1989), karena menurutnya masyarakat Jawa sudah sejak lama secara historis terbagi dalam kelas-kelas agraris yang dibedakan atas perbedaan penguasaan tanah, dan komersialisasipun telah lama ada dalam masyarakat Jawa. Artinya, kondisi masyarakat desa era pra-kolonial yang sangat egaliter dan penuh dengan keintiman sosial tersebut adalah tidak benar.

Husken dan White (1989) menolak anggapan Jawa yang tak terdiferensiasi, egaliter, dan stagnan yang mendominasi pikiran peneliti dan pemerintah kolonial. Misalnya Raffles yang menganggap tak adanya nilai-nilai komersial pada masyarakat desa, lemahnya rangsangan untuk investasi dipertanian, dan ekonomi yang merata. Pemilikan tanah komunal dianggap tidak kondusif untuk pertumbuhan, sehingga mereka pesimis terhadap pemilikan yang sempit-sempit dan relatif seragam. Perlu kehati-hatian dalam mengapresiasi pandangan ahli-ahli Belanda, karena objektivitasnya sebagai ilmuwan bercampur aduk dengan motivasi politiknya.
Pada masa abad 18 dan awal 19, secara umum di Jawa dikenal 3 kelas penguasaan tanah , yaitu:

(1) Kelompok besar petani tuna-kisma yang kadangkala berlindung pada keluarga-keluarga petani yang memiliki tanah, namun juga sering merupakan kelompok tenaga kerja musiman yang tidak terikat dan cukup mobil. Secara kuantitas jumlah petani tuna-kisma ini cukup besar dan menjadi kelompok inti kegiatan pertanian.

(2) Kelompok mayoritas petani (sikep atau kuli) yang memiliki hak atas tanah, dan untuk hak tersebut berkewajiban membayar pajak dan upeti yang besar jumlahnya kepada pihak kerajaan.
(3) Kelas pamong desa yang selain menguasai tanah pribadi, juga berhak menguasai sejumlah besar tanah desa sebagai upah mereka dalam mengatur pemerintahan (lungguh dan tanah bengkok), ditambah lagi hak memperkejakan sikep atau kuli untuk mengarap tanah mereka tersebut tanpa membayar upah.

Dengan komposisi seperti ini, artinya pada masa itu pola hubungan majikan-buruh dan tenaga kerja upahan sudah dijumpai, sebagaimana dikatakan Husken dan White di atas. Selain itu, penelitian Breman (1986) di wilayah Cirebon juga menemukan struktur yang hampir serupa, yang semakin memperkuat tesis stratifikasi sosial. Menurut Breman, ada empat lapisan dalam masyarakat desa, yaitu:

(1) Penguasa desa dan orang-orang penting lokal yang tidak pernah menggarap tanah secara langsung namun mendapat hak apanage atau lungguh dari raja. Mereka berada pada lapisan paling atas dan dihormati oleh warga lain. Biasanya mereka adalah dari keluarga pembuka wilayah tersebut pertama kali, atau dari keluarga kerajaan.
(2) Masyarakat tani (sikep) sebagai bagian inti masyarakat. Secara kuantitas jumlah mereka paling besar dibanding yang lain.
(3) Para wuwungan (=penumpang) yang hidup sebagai buruh tani, dan membangun rumah di pekarangan sikep karena tidak punya tanah sendiri. Mereka adalah petani tuna-kisma.
(4) Para bujang, yaitu mereka yang belum keluarga.

Di bawah sistem feodalisme, alat produksi seperti tanah adalah milik raja dan bangsawan, bahkan rakyatpun menjadi milik raja yang dapat dikerahkan tenaganya untuk kepentingan penguasa (Fauzi, 1999). Rakyat yang menggarap hanya punya hak menggunakan. Petani diharuskan menyerahkan separoh hasil buminya sebagai upeti, berupa buah-buahan, padi, barang-barang mentah atau sudah jadi, serta kayu-kayu gelondongan. Dengan posisinya sebagai penggarap, maka kehidupan petani hanya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya saja. Akibat dari sistem ini, maka ketimpangan antara kehidupan petani dan raja beserta kaum bangsawan sangat besar.

Tentang hal ini, Wiradi (2000) berendapat bahwa pada masa itu konsep kepemilikan menurut konsep Barat (property, atau eigendom) memang tidak dikenal, bahkan juga bagi penguasa. Karena itu tanah-tanah tersebut bukannya dimiliki pejabat-pejabat atau penguasa, melainkan bahwa para penguasa itu dalam artian politik mempunyai hak jurisdiksi atas tanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka pertahankan, dan secara teroitis punya hak untuk menguasai, menggunakan, ataupun menjual hasil-hasil buminya sesuai dengan adat yang berlaku.

Tentang pola penguasaan tanah pada saat ini, ada perdebatan, apakah pemilikan tanah berbentuk hak komunal atau individual. Namun menurut van de Kroef (1984), terdapat beragam bentuk penguasaan antar daerah di Jawa, dan penguasan individual dan juga kolektif ada pada satu daerah secara bersamaan. Pola penguasaan tanah cenderung berada di antara dua kutub yang berlawanan, yaitu pemilikan komunal yang kuat atau hak ulayat, dan pemilikan perorangan dengan beberapa hak istimewa komunal.

Bentuk tradisional yang paling umum adalah hak penguasaan secara komunal semua tanah, baik yang dapat ditanami maupun sebagai cadangan, yang seluruhnya berada di bawah pengawasan desa, dimana petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa. Hal ini sama kondisinya dengan pengaturan penggunaan pemakaian tanah adat oleh dewan “doumtuatua” di Bima (dalam Brewer, 1985).

Disamping itu, juga ada tanah “individual”, yaitu sebidang tanah yang dapat dikuasai selama-lamanya oleh satu keluarga, dapat melimpahkan ke ahli warisnya, walau pengalihan ke luar desa tidak diperbolehkan. Pola penguasaan tanah di Jawa sangat beragam antar daerah, bahkan ada daerah yang hampir tidak mengenal prinsip penguasaan komunal kecuali untuk sedikit tanah khusus, misal di Probolinggo, Pasuruan, dan Besuki di Jawa Timur (van de Kroef, 1984). Secara umum dikenal, bahwa tanah komunal banyak di pesisir Utara Jawa, sedangkan tanah private banyak di wilayah Jawa Barat pedalaman, Jawa Tengah Selatan, dan Jawa Timur.

Perdebatan tentang apakah pemilikan komunal atau individual tersebut, sebagiannya disebabkan karena perbedaan persepsi di antara pengamat saja, karena ada tanah-tanah komunal yang dapat diwariskan sehingga terlihat sebagai tanah individual. Ada tanah komunal yang diredistribusikan berkala, namun juga ada yang non-redistribusi. Namun yang pasti, di luar masalah perdebatan penguasaan tersebut, sudah ada stratifikasi luas dan hak penguasaan tanah di antara warga desa.

Dari uraian di atas terlihat, karena hak penguasaan tanah ada pada kerajaan, sehingga petani hanyalah berstatus sebagai penggarap, maka perolehan bagi petani sangat terbatas. Akibatnya, seperti yang dilihat banyak ahli, komersialisasi pedesaan tidak berjalan, dan investasi pertanian mandeg. Penguasaan tanah oleh kerajaan, menjadi alat politik pihak kerajaan, agar dapat mengontrol seluruh warga dan terutama pembantu-pembantunya di level desa. Kepatuhan dari pembantu di tingkat desa terbentuk melalui pemberian tanah lungguh kepada mereka yang sewaktu-waktu dapat dicabut oleh pihak kerajaan.

B. Masa Pemerintahan Kolonial

Secara umum, meskipun pemerintahan kolonial menerapkan politik agraria yang berbeda, namun pengaruhnya bagi masyarakat tani secara prinsip relatif sama. Dalam kenyataannya, pemerintah kolonial bekerjasama dengan golongan elit feodal sebelumnya. Dengan demikian, meskipun struktur penguasa di tingkat atas berubah, namun masyarakat pedesaan lebih banyak berhadapan langsung dengan golongan feodal yang sebelumnya juga, yaitu para bupati dan pembantu-pembantunya, dengan pola kerja yang sama. Hal ini karena pemerintah kolonial Belanda menggunakan para bupati dalam jalur pemerintahannya.

Bagi yang berpendapat bahwa sebelumnya tidak ada tanah komunal di Jawa, maka Belandalah yang dianggap mengkomunalkan tanah pedesaan untuk memudahkan pajak dan wajib kerja. Hal ini dimulai dengan usaha Raffles untuk memudahkan penarikan pajak tanah, dimana lembaga desa dijadikan alat penarikan pajak. Dengan yuridikasi tersebut, dimana seluruh tanah dianggap sebagai tanah desa, maka pihak kolonial cukup berhubungan dengan penguasa desa, sebagai penanggung jawab wilayah.

Mulai dari tahap ini terlihat bagaimana “penguasaan” atau aspek hukum tanah menjadi mekanisme yang utama dalam menjalankan program-program pemerintahan kolonial. Dengan “mengkomunalkan” tanah maka pemerintah dapat secara efisien dalam menarik pajak tanah berupa natura dari penduduk.

Selanjutnya, pada era sistem tanam paksa gubernur Van den Bosch yang terjadi sepanjang 1830-1870, petani diwajibkan menanam tanaman ekspor yang dijual dengan harga yang telah ditetapkan atau menurut remisi pajak penyewaan tanah kepada pemerintah kolonial. Tanam paksa ini pada dasarnya merupakan penyatuan antara sistem penyerahan wajib dan sistem pajak tanah, dimana pajak dibayar dalam bentuk natura bukan uang.

Sistem tanam paksa ini ternyata mampu memberi keuntungan kepada negara jajahan. Produksi tanaman ekspor meningkat, terutama kopi dan gula. Namun, program tanam paksa telah menjadi faktor penting yang bertanggungjawab terhadap keterbelakangan dan kemiskinan di Indonesia. Dengan tanam paksa terjadi pengalihan surplus ekonomi dari Indonesia ke Belanda serta memperbanyak kaum “proletariat desa” (Sritua Arief dan Adi Sasono dalam Suwarsono dan So, 1991).

Apa yang terjadi selama masa penjajahan adalah dominasi dan eksploitasi sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan penjajah (Fauzi, 1999). Pemerasan tersebut berupa tenaga dan hasil produksinya. Sesungguhnya ini hanyalah meneruskan pola zaman kerajaan, dimana penjajah bekerjasama dengan kaum bangsawan. Para bupati dan raja berhak memungut hasil-hasil pertanian untuk diserahkan kepada kolonial, sehinga akibatnya, eksploitasi kepada petani semakin intensif.

Bersamaan dengan munculnya iklim politik yang bercorak liberalisme di Belanda, pihak swasta di sana menuntut diberi kesempatan untuk membuka perkebunan di Indonesia. Untuk itu pemerintah Belanda merasa perlu mengeluarkan Undang-Undang Agararia tahun 1870 (Agrarische Wet). Undang–undang ini memberi kesempatan kepada penyewaan jangka panjang tanah-tanah untuk perkebunan. Peraturan ini menjadi dasar peraturan agraria di Indonesia, namun bersifat dualistis, karena bagi orang asing berlaku hukum Barat, dan bagi rakyat Indonesia berlaku hukum adat. Disini dimungkinkan untuk memiliki mutlak (hak eigendom) termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak lain.

Tujuan UU ini adalah untuk memberikan kesempatan luas bagi modal swasta asing yang memang berhasil secara gemilang. Tetapi tujuan lainnya, yaitu melindungi dan memperkuat hak atas tanah bagi bangsa Indonesia asli ternyata jauh dari harapan (Wiradi, 2000). Apalagi ditambah sikap para raja dan sultan baik di Jawa maupun di Luar Jawa yang tergiur untuk memberikan konsesi kepada para penguasa swasta asing.

Pemerintah juga melakukan kebijakan sistem sewa tanah kepada petani, meskipun kurang berhasil (Fauzi, 1999: 28). Kebijakan ini dilandasi asumsi, bahwa tanah adalah milik Belanda. Sistem sewa ini diterapkan dengan harapan akan dapat memberikan kebebasan dan kepastian hukum serta merangsang untuk menanam tanaman dagang kepada petani. Selain itu juga diharapkan kebijakan ini dapat menjaga kelestarian pendapatan pemerintah. Pada tahap selanjutnya, sistem sewa ini diarahkan untuk tujuan ekspor dengan mengundang swasta-swasta besar dari Belanda.

Uraian ini menunjukkan bagaimana pemerintah kolonial telah memilih pola penguasaan atas tanah, disewa atau dengan pajak, sebagai instrumen yang penting dalam memajukan pertanian, meskipun ini bersifat sepihak yaitu untuk kepentingan dirinya saja. Politik agraria Belanda memberikan dampak yang hampir serupa bagi petani dibandingkan dengan politik agraria kerajaan, karena meskipun pada tingkat atas kerajaan digantikan oleh Belanda, namun struktur masyarakat pada tingkat bawah (desa) masih tetap sama. Petani tetaplah seorang penggarap dengan kewajiban menyerahkan sebagian hasilnya kepada pihak penguasa.

Secara ringkas dapat diutarakan, sebagaimana dikatakan Husken (1998), dalam penelitian di Jawa Tengah, bahwa struktur yang terjadi adalah “Kerbau besar selalu menang” (kebo gedhe menang berike). Pemilik tanah yang jumlahnya sedikit namun menguasai tanah sangat luas dan berkuasa mengatur proses produksi. Mereka memiliki akses kuat ke dunia politik, dan di antara mereka semua saling berhubungan keluarga. Mereka praktis menguasai tanah sawah dan pengatur tenaga kerja, sementara para petani sesungguhnya, yang mengolah tanah, memelihara tanaman, mengatur air, dan memanennya; hanyalah pengikut yang powerless. Sebagai pengikut (termasuk urusan perpolitikan) mereka harus ikut, sebab jika melawan maka pengikutnya ini juga yang akan menderita.

C. Masa Kemerdekaan (Orde Lama dan Orde Baru)

Masa Orde Lama ditandai dengan kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Dalam proses pembuatan produk hukum ini terlihat bahwa pemerintah memberi perhatian serius terhadap pentingnya permasalahan agraria sebagai landasan pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan (Wiradi, 2000). Namun sebagai aturan pokok, secara yuridis peraturan ini masih lemah secara hukum. Meskipun di dalamnya sudah terjadi proses pemodernan, dengan menggabungkan dualisme hukum sebelumnya, yaitu hukum Belanda dan hukum adat, namun masih banyak ketentuan-ketentuannya yang belum aplikatif.

Meskipun demikian, kegiatan landreform yang ideal pernah berjalan setelah kelahiran UUPA ini, namun kemudian gagal karena ditunggangi oleh muatan politik. Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai yang menggunakan politik populis telah berhasil mendapat sambutan yang tinggi dari masyarakat pedesaan. Tanah telah dijadikan alat politik sehingga dukungan kepada partai ini menjadi besar.

Menurut Fauzi (1999), kebijakan hukum dalam UUPA ini sesungguhnya menentang kapitalisme yang melahirkan kolonialisme yang menyebabkan penghisapan manusia atas manusia. Selain itu, dengan UUPA sekaligus juga menentang sosialisme yang dianggap meniadakan hak-hak individu atas tanah. Politik agraria yang terkandung dalam UUPA 1960 adalah politik populisme, yang mengakui hak individu atas tanah, namun hak tersebut memiliki “fungsi sosial”. Melalui prinsip Hak Menguasai dari negara, pemerintah mengatur agar tanah-tanah dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana termaktub dalam pasal 33 UUD 1945.

Selanjutnya, sepanjang pemerintahan Orde Baru selama tiga dasawarsa, dapat dikatakan landreform tidak dilaksanakan sama sekali. Kegiatan landreform selalu diberi cap negatif sebagai kegiatan partai terlarang PKI. Hal ini karena memang PKI dulu menjadikan program landreform sebagai alat perjuangannya. Karena segala yang berkaitan dengan PKI dilarang, maka usaha perbaikan hak penguasaan tanah pun (program landreform) menjadi negatif di mata pemerintah dan masyarakat. Meskipun demikian, usaha privatisasi tanah tetap diusahakan pemerintah Orde Baru melalui program sertifikasi tanah meskipun kurang memuaskan.

Pemerintah Orde Baru yang sangat terinpirasi dengan kemajuan ekonomi, menjadikan tanah sebagai alat pembangunan yang sentralistis, sehingga menimbulkan berbagai konflik dengan masyarakat. Hal ini misalnya, karena pemerintah hanya mengejar industrialisasi pertanian, tidak memperhatikan sama sekali aspek struktur penguasaan tanah. Pemerintah meneruskan program pembangunan perkebunan-perkebunan berskala besar dengan tanah-tanah yang luas, namun kurang memperdulikan semakin banyaknya jumlah petani yang tidak bertanah dan sangat membutuhkannya.

Pembangunan pertanian dengan mengintroduksikan tekonologi maju dan efisien tanpa sadar telah meminggirkan petani. Program revolusi hijau dipercaya telah menimbulkan polarisasi sosial ekonomi, atau setidak-tidaknya penegasan stratifikasi, dan terusirya kelompok petani landless dari pedesaan (Tjondronegoro, 1999). Revolusi hijau ternyata bersifat mempolarisasikan masyarakat desa, karena hanya petani berlahan luas yang lebih mampu menarik manfaatnya. Meskipun teknologi yang diintroduksikan bersifat bebas skala, namun para petani yang berlahan luas berproduksi lebih banyak. Produksi yang lebih tinggi menyebabkan terakumulasinya keuntungan, yang pada gilirannya menyebabkan mereka lebih mampu mengembangkan usaha non pertanian, menyekolahkan anak lebih tinggi, serta membuka akses politiknya. Dengan demikian, faktor kepemilikan tanah berperan terhadap mobilitas sosial.

Kaitan Faktor Penguasaan Tanah terhadap Perubahan Struktur
Masyarakat Pedesaan

Meskipun diwarnai perdebatan, namun secara umum dapat dikatakan, telah terjadi perubahan pola penguasaan dari komunal ke penguasaan individual semenjak zaman pra kolonial sampai Orde Baru. Hal ini terlihat dari semakin hilangnya tanah-tanah hak ulayat digantikan bentuk penguasaan “milik” privat, sehingga dapat disewakan dan diperjualbelikan. Sebelumnya hanya dikenal pemilikan individual terbatas, yaitu tanah komunal yang meskipun dapat dikelola secara terus menerus oleh satu keluarga dan boleh diwariskan, namun tidak dapat disewakan apalagi diperjual belikan. Jenis pemilikan seperti ini disebut juga dengan “pemilikan komunal yang berciri privat”.

Untuk menggambarkan bagaimana perubahan tersebut berlangsung dapat dilihat misalnya hasil penelitian Berger (1996) dalam penelitiannya di satu desa di bagian utara Jawa Tengah, dengan membandingkan kondisi selama 60 tahun (antara tahun 1869 dan 1929). Ia menemukan bahwa sepanjang waktu tersebut pemilikan tanah menjadi lebih individualistis, luas tanah komunal berkurang, serta maraknya pembelian tanah oleh orang luar desa. Bersamaan dengan itu, terjadi peningkatan aktivitas non-pertanian dan pasar tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja upahan semakin biasa yang berlangsung melalui mekanisme pasar. Artinya, telah terjadi proses invidualisasi ekonomi dan peningkatan diferensisasi pekerjaan.

Perubahan sosial ekonomi pedesaan adalah karena pengaruh kapitalisme Belanda melalui tanam paksa komoditas perkebunan untuk ekspor. Namun, menurut Nurhadiantomo (1986), hal ini bukanlah suatu kapitalisme murni, karena perkembangannya bukanlah karena kekuatan ekonomi murni (sistem pasar) namun lebih karena kekuasaan melalui kekuatan politik kolonial. Pengaruh kapitalisme ini tidak hanya terasa di wilayah-wilayah dataran rendah terutama karena kompetisi tebu dengan padi, tapi bahkan sampai ke daerah yang relatif tertutup yaitu misalnya pada komunitas masyarakat Tengger yang berdiam di lereng gunung Bromo (Hefner, 1999). Tengger sebelumnya dianggap sebagai wilayah cagar budaya yang dianggap steril dari pengaruh-pengaruh eksternal. Ketika belum ada pengaruh luar, mereka tak mengenal sistem bagi hasil, sewa tanah, hubungan patron klien, struktur yang kurang teratratifikasi, dan kultur yang egaliter. Hal ini karena mereka bergantung pada tanahnya sendiri, bukan jaminan subsistensi dari patron. Namun kondisi ini berubah karena berbagai tekanan luar, yaitu tanam paksa (khususnya antara 1830 sampai 1850) perkebunan kopi, desakan pendatang, serta revolusi hijau. Pola pertanian subsisten telah digantikan oleh pertanian kapitalis yang agresif. Akibatnya, terjadi perubahan kultural berupa gaya hidup baru, serta kebingungan hubungan sosial sesama warga khususnya mengenai aspek normatif.

Selain itu, pengaruh kebijakan pemerintah dengan menggunakan mekanisme penguasaan tanah juga telah merusak lembaga tradisional yang sudah mapan. Penelitian Brewer (1985) di dua desa di daerah Bima, menemukan hilangnya fungsi lembaga “doumtuatua” sebagai institusi desa yang sebelumnya berwenang mendistribusikan pengusahaan tanah di antara warga. Dampak kebijakan ini, ditambah oleh kebijakan pemerintahan RI yang menjadikan sebagian wilayahnya sebagai taman nasional, adalah suatu fenomena klasik, yaitu mendorong pemilikan tanah secara individual dan pembelian oleh orang luar sehingga akhirnya banyak warganya yang menjadi buruh lepas tanpa tanah.

Seiring dengan itu, dalam penelitian Amaluddin (1987) di Kendal Jawa Tengah untuk memahami kondisi pada zaman Orde Lama, perubahan sistem penguasaan tanah juga telah menyebabkan perubahan sistem produksi pertanian. Sebelum tahun 1960, ada tiga jenis hak penguasaan tanah komunal, yaitu hak bengkok, hak banda desa, hak narawita, serta satu yang bersifat individual yaitu hak yasan. Saat itu, tanah yasan mencakup 76,7 persen dari total tanah di desa tersebut. Penerapan UUPA tahun 1960 menyebabkan konversi tanah yang semula berdasarkan hukum adat (komunal) menjadi hak milik. Hak narawita, secara de facto sudah menjadi milik individual, sehingga penjualan tanah berkembang, peluang tunakisma untuk menggarap mengecil, dan mobilitas penguasaan cenderung sentrifugal atau terpolarisasi. Bersamaan dengan itu, sistem produksi yang semula dilandasi nilai-nilai tradisional digantikan oleh sistem produksi komersial. Organisasi produksi dari sebelumnya berupa pola-pola penyakapan seperti maro, mrapat, mrlimo, lebotan, bawon, dan mutu; digantikan dengan pola dengan penyewaan, buruh lepas, panen tebasan, dan penggilingan padi mekanis. Temuan ini didukung oleh Hayami dan Kikuchi (1987), yang menemukan kesamaan dampak revolusi hijau di Indonesia dan Filipina. Tranformasi sistem sosial pedesaan ini juga didukung oleh Temple (1976) yang melihat adanya evolusi desa Jawa dari desa komunal (1830-1870), dilanjutkan desa tradisional (1870-1959), dan terakhir desa komersial bersamaan dengan era revolusi hijau.

Selanjutnya Amaluddin (1987) melihat bahwa komersialisasi pertanian telah juga menyebabkan perubahan pola hubungan antar lapisan petani. Kondisi sebelum tahun 1960 dimana masyarakat terbagi atas tiga lapisan sosial, yaitu sarekat (pemegang hak bengkok), sikep ngajeng (pemegang hak narawita) dan sikep wingking (tunakisma) dilandasi hubungan “patron – klien”; berubah menjadi hubungan berdasarkan nilai-nilai komersial pola “tuan tanah – buruh”. Melemahnya hubungan patron klien ini bersamaan dengan menurunnya tanggung jawab lembaga desa dalam menjamin subsistensi, melalui jaminan memperoleh pekerjaan dan distribusi (Temple, 1976). Jadi dapat dikatakan, fungsi tanah yang dulu menyatukan telah berubah menjadi “memisahkan”.

Respon Petani Terhadap Kebijakan Agraria

Tampaknya respon yang diberikan petani terhadap tekanan pemerintah melalui mekanisme agraria berbeda-beda. Respon petani pada masa feodal terhadap posisinya yang hanya sebagai petani penggarap adalah “berproduksi secukupnya” sebagaimana dijabarkan Schrieke (1955). Politik sentralisasi penguasaan tanah dengan kewajiban menyerahkan surplus produksi kepada raja telah berdampak negatif terhadap kegairahan untuk meningkatkan produksi pertanian. Sikap petani yang menghindari produksi berlebih tersebut, dapat dikatakan sebagai suatu bentuk perlawanan politik yang “tidak terang-terangan”. Dengan kondisi represif saat itu ia hanya dapat melakukan perlawanan dengan cara tersebut dan sulit melakukan perlawanan secara frontal dan terbuka. Artinya, perlawanan pada masa ini lebih bersifat individual dan tidak terorganisir.

Selanjutnya menghadapi tekanan pemaksaan penanaman sebagian tanah dalam desa dengan komoditas ekspor kolonial, sementara jumlah penduduk terus meningkat, respon yang umum di Jawa menurut Clifford Geertz (1976) adalah apa yang disebutnya dengan fenomena “involusi pertanian”. Masyarakat dalam satu desa yang berbentuk komunal (Temple, 1976) melakukan adaptasi organisasi produksi sedemikian rupa, dimana dengan tanah yang tersisa, lembaga desa menjamin seluruh orang yang menginginkan pekerjaan memperoleh pekerjaan. Dengan cara itu setiap warga terjamin kebutuhan subsistensinya. Akibatnya, meskipun produksi per luasan tanah ada meningkat, namun produksi per satuan tenaga kerja menurun.

Namun demikian, selain strategi adaptasi tersebut, juga banyak dijumpai perlawanan fisik secara terbuka dan terorganisir yang sudah berupa pemberontakan-pemberontakan bersenjata (rebellions). Perlawanan terhadap kebijakan pemerintahan kolonial tersebut dibungkus sebagai gerakan mesianis dengan motivasi kedatangan “Ratu Adil”, misalnya pemberontakan petani Banten dan berbagai pemberontakan dengan skala desa di Jawa Tengah.

Konflik agraria yang banyak terjadi di masa kolonial tersebut, menurut sisi pandang struktur makro adalah karena berkembangnya ekonomi mode kapitalis. Konflik-konflik tersebut bersifat struktural-vertikal, karena pengkutuban antara rakyat sebagai buruh di satu pihak dengan pemilik modal swasta asing (Suhendar dan Winarni, 1998). Konflik strutural-vertikal ini berubah menjadi konflik horizontal semenjak kemerdekaan, dimana terjadi pergeseran wilayah konflik menjadi konflik antara buruh tani dan petani miskin dengan tuan-tuan tanah atau petani kaya. Hal ini karena para tuan tanah menolak UUPA 1960. Kebijakan landreform telah mengangkat konflik agraria ke tingkat nasional.

Terakhir, pada masa Orde Baru, konflik kembali bersifat struktural-vertikal yang bercirikan konflik-konflik lokal dan sporadis. Pada masa ini, respon petani tidak lagi perlawanan diam-diam, namun sudah berubah menjadi perlawanan fisik, walaupun kuatnya represif birokrasi dengan dukungan militer membuat petani tak berkutik. Sementara pada waktu yang bersamaan, kelompok buruh tani dan petani bertanah sempit yang tidak mencapai skala ekonomi secara pasti “terusir” dari desanya sendiri. Mereka terpaksa migrasi ke kota-kota terdekat untuk berburu pekerjaan-pekerjaan di sektor informal, baik sebagai migran musiman maupun migran permanen (Tjondronegoro, 1999).

Perubahan Sosial Pedesaan yang Tidak Bercirikan Emansipatif

Tak dapat dipungkiri, bahwa secara umum desa-desa telah mengalami perubahan, dari satu era ke era pemerintahan lainnya. Namun demikian, meskipun desa telah mengalami perubahan sosial, apakah perubahan tersebut sudah mengandung prinsip-prinsip emansipasi? Menurut Wertheim (1999), perubahan sosial harus mengandung tujuan hakikinya, yaitu sifat emansipatif (=pembebasan). Emansipasi adalah suatu pembebasan manusia dari kungkungan alam serta dari dominasi manusia atas manusia. Dengan kata lain, perubahan hanya bermakna apabila mengarah kepada tujuan-tujuan emansipatif tersebut. Implikasinya, perubahan emansipatif bagi petani adalah perubahan yang mampu melepaskan mereka dari jerat penguasa tanah yang menjadikan mereka hanya “buruh” di tanah garapan mereka sendiri.

Apa yang terlihat pada sistem sosial pedesaan kita tampaknya masih jauh dari nilai-nilai emansipatif. Posisi subordinatif petani semenjak era feodal, semakin bertambah parah ketika petani tak berlahan tersingkir sama sekali dari ekosistem pedesaan. Makna emansipatif yang sesungguhnya bagi petani yaitu “memiliki tanahnya sendiri” belum pernah dicapai selama ini. Meskipun petani telah mampu mengendalikan alam berkat teknologi, namun mereka belum mampu menembus tembok struktural yang mengungkungnya dari dominasi antar sesama manusia.

Membicarakan perubahan sosial tidak bisa terlepas dari analisis aspek-aspek sumber penyebab perubahan. Secara umum, ada dua kubu teori tentang sumber penyebab perubahan sosial, yaitu materialistic perspective yang berasal dari Karl Marx dan idealistic perspective dari Max Weber (Harper, 1989) Dalam perspektif material, penyebab perubahan adalah faktor ekonomi atau teknologi yang berkaitan dengan ekonomi. Diasumsikan bahwa teknologi baru atau modes of economic production menyebabkan perubahan sosial berupa interaksi, organisasi sosial, kepercayaan, serta nilai-nilai budaya dan norma.

Bertolak dari perspektif teori ini, maka perubahan sosial di pedesaan kita dengan mengubah modes of production atau organisasi produksi, berarti merubah hubungan antara orang dengan dengan tanah dalam pengusahaannya, yaitu antara pihak yang menguasai dengan pengusahaannya berupa hubungan-hubungan tenancy (penyakapan dan persewaan). Melakukan pembangunan pedesaan dengan pendekatan materialistik artinya melakukan perubahan agraria itu sendiri. Pemerintah tampaknya memahami betul persoalan ini, dengan melakukan perubahan dalam aspek-aspek budaya material misalnya teknologi.

Dari uraian historis di atas terlihat bahwa penyebab perubahan ditekankan kepada aspek-aspek materialistik, yaitu aspek sumberdaya tanah. Dengan persepktif meterialistik ini, maka akibatnya konflik-konflik yang terjadi juga lebih bersifat materialistis ketimbang idealis. Dalam sistem sosial agraria, maka tanahlah yang menjadi sumber konflik dari satu era ke era lainnya, bukan konflik ideologi. Meskipun misalnya pemberontakan petani dalam PKI dibungkus dengan ideologi komunis, namun janji untuk memperoleh tanahlah yang menjadi dasar perjuangannya. Mereka lebih memperjuangkan hak atas tanah dibandingkan memperjuangkan ideologi komunisnya.

Meskipun perubahan sosial adalah suatu keniscayaan yang tak dapat dihindari oleh bangsa manapun, namun perubahan sosial tidak terjadi begitu saja. Dari uraian di atas terlihat bagaimana di setiap zaman selalu saja ada pihak yang berkepentingan dengan perubahan sosial; yaitu para penguasa. Upaya penguasa untuk mengendalikan perubahan melalui persoalan agraria adalah cara yang efektif, karena memang tanah adalah sumber daya utama bagi masyarakat pedesaan.

Persoalan ini juga dapat dipandang dari sisi lain. Apabila desa dipandang sebagai sebuah sistem, dimana tanah beserta komponen kimia dan fisikanya sebagai salah satu sumberdaya terpenting, selain air, udara, dan lain-lain. Sebagai sebuah closed system, maka ia memiliki tujuan dan mekanisme mencapai tujuan tersebut. Menurut Teori Sistem (dalam Soekanto dan Lestarini, 1988), agar sistem dapat bertahan, maka tergantung kepada berfungsinya aspek-aspek adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi. Adaptasi berkaitan dengan masalah mengamankan fasilitas lingkungan yang cukup dan membagikan fasilitas tersebut dalam sistem. Terlihat bahwa pada fungsi adaptasi, berkaitan dengan eksplorasi sumber daya dan distribusi. Dengan demikian, dalam sistem sosial komunitas pedesaan, maka bagaimana pemanfaatan sumber daya tanah diorganisasikan dan didistribusikan di antara anggota sistemnya menjadi salah satu bagian yang esensial.

Perubahan dalam sistem sosial komunitas pedesaan dapat dilihat dalam aspek strukturnya. Menurut Sosrodihardjo (1972), faktor penentu struktur sosial adalah kekuasaan. Dengan pendapat ini, maka penggambaran struktur dapat menggunakan pelapisan anggota komunitas pedesaan berdasarkan kekuasaan ekonomi, khususnya dalam kaitannya dengan tanah, sehingga akan diperoleh kelas pemilik dan bukan pemilik. Pembicaraan tentang struktur agraria, khususnya tanah, akan berpokok kepada struktur penguasaan dan pengusahaannya. Penguasaan tanah berimpilkasi kepada siapa yang boleh terlibat dalam produksi, serta siapa yang akan mendapat pembagian hasil produksi dan berapa. Selanjutnya hal ini akan menentukan besarnya pendapatan keluarga, dan kepada bagaimana stratifikasi sosial ekonomi atau struktur desa terbentuk.

Dari analisis struktur sosial di pedesaan, maka masyarakat pedesaan selalu dapat dibedakan antara kelas pemilik dan bukan pemilik tanah. Kepemilikan ini pada gilirannya menentukan kepada kekuasaan sebagai dasar menyusun struktur masyarakat desa. Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh kelas pemilik, maka mereka dapat menguasakan pengusahaannya tanahnya kepada para petani yang tak bertanah yang secara kuantitas jumlahnya lebih banyak, sebagaimana diterangkan oleh Husken (1998). Artinya, struktur masyarakat pedesaan berisi sebagian besar dengan mereka yang justeru jauh dari hak-hak emansipatifnya karena posisinya yang bukan sebagai pemilik tanah yang digarapnya. Dengan kata lain, meskipun pedesaan Indonesia telah mengalami perubahan sosial, namun perubahan tersebut bukanlah perubahan yang hakiki, karena tidak memihak kepada sebagian besar unsur komunitasnya yang merindukan hak-hak emansipatifnya.

Reforma Agraria sebagai Dasar Perubahan Sosial Pedesaan yang Konstruktif
(Sebuah Implikasi)

Setelah mempelajari berbagai bentuk dan pola perubahan sosial ekonomi pedesaan dan keagrarian, respon petani, serta analisis konflik yang terjadi, maka dapat ditarik suatu implikasi betapa perlunya penanganan persoalan agraria sebagai dasar pembangunan pertanian. Hal ini karena tanah adalah sumber daya utama dalam pertanian, sehingga bagaimana hubungan manusia dengan tanah menjadi sangat esensial. Tidak tercapainya perubahan yang emansipatif di pedesaan adalah karena belum adanya perubahan yang mendasar dalam penguasaan dan pengusahaan tanah (agraria).

Pada zaman Orde Lama, ketika berhasil dirumuskan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960, sesungguhnya telah ada kesadaran bahwa reforma agraria berupa landreform adalah kebijakan yang sangat penting dalam membangun pertanian di masa depan. Namun sayangnya usaha ini tidak pernah dijalankan secara sungguh-sungguh, atau belum pernah menjadi suatu “gerakan” nasional yang memadai.

Dalam tataran teoritis, reforma agraria menimbulkan perdebatan di antara berbagai disiplin ilmu (Wiradi, 2000). Menurut ekonomi neo-klasik misalnya, reforma agraria perlu agar tercipta alokasi yang optimal atas masyarakat secara keseluruhan melalui redistribusi penguasaan tanah, dengan menciptakan struktur yang “adil dalam peluang”. Dengan kepemilikan tanah yang tidak lagi bersifat tradisional, diharapkan ada kesempatan untuk berkembang melalui mekanisme persaingan. Sementara menurut pandangan evolusionist, distribusi tanah yang merata menyebabkan, secara keseluruhan, pemanfaatan tanah kurang optimal.

Bagi Indonesia saat ini, reformasi agraria dapat dianggap sebagai suatu revolusi. Dalam revolusi tak hanya sekedar perubahan struktur sosial namun “perubahan mendasar tata sosial” (Wertheim, 1999). Tujuan dalam revolusi bukan sekedar penggantian kelas sosial yang berkuasa, namun menciptakan struktur baru dengan perimbangan kekuasaan. Artinya, yang diperjuangkan dalam reforma agraria bukanlah sekedar merebut tanah dan dibagi-bagikan kepada petani, namun lebih kepada perbaikan struktur sosial ekonomi secara makro nasional.
Namun, apa yang terjadi selama ini di dalam ekonomi kapitalis semenjak Orde Baru adalah menjadikan tanah semata-mata sebagai kapital sebagaimana sumber daya lain, tanah dijadikan sebagai komoditi yang dapat diperjual belikan secara bebas. Hal ini sangat berbahaya karena akan melahirkan praktek-praktek monopoli dan spekulasi tanah (Wiradi 1996). Memperlakukan tanah sebagai komoditas memang tampak rasional dan wajar-wajar saja, namun tanah adalah sumber daya yang unik, yang berbeda dengan ciri-ciri benda lainnya, termasuk modal dan tenaga kerja. Tanah, modal dan tenaga kerja adalah tiga faktor utama dalam produksi kapitalis. Tanah jumlahnya selalu tetap di dunia ini, namun umurnya tak terbatas. Selain itu, meski sebidang tanah dibiarkan karena belum dimanfaatkan, namun keberadaannya tetap saja adanya. Hal ini berbeda dengan modal kapitalis yang lain yang mudah rusak, berkurang atau menurun nilainya

Belum mantapnya langkah Indonesia menuju tahap industrialisasi adalah karena belum kokohnya pembangunan sektor pertanian. Menurut Wiradi (2000), sebenarnya Indonesia belum dapat dikatakan telah mengalami transisi agraris. Sebab, meskipun proses industrilaisasi sudah mulai, tetapi belum dilakukan reforma agraria secara tuntas yang semestinya mendahului proses industrialisasi tersebut.

Untuk dapat melaksanakan reforma agraria saat ini dibutuhkan berbagai syarat dan kondisi, karena reforma agraria haruslah menjadi suatu gerakan nasional. Untuk itu maka dibutuhkan keterlibatan semua pihak dengan landasan hukum yang kuat. Meskipun kita sudah memiliki UUPA namun itu harus dilengkapi dengan banyak lagi peraturan-peraturan pendukung, aparat yang tangguh, serta termasuk alokasi dana yang cukup besar untuk penelitian, pengumpulan data dasar, serta pendistribusiannya.

Dengan otonomisasi daerah saat ini, sesungguhnya ada peluang untuk melakukan reforma agraria secara “lokal”. Di sisi lain, bagaimana pemerintah daerah masing-masing memaknai dan memahami reforma agraria menjadi faktor krusial yang sayangnya mungkin tidak terlalu mudah dijalankan. Khusus untuk pembangunan pertanian, maka bagaimana pemerintah daerah masing-masing mempersepsikannya menjadi faktor penentu dalam pelaksanaan reforma agraria.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

Dari uraian di atas terlihat bahwa dalam setiap era, pemerintah yang berkuasa selalu menggunakan aspek agraria sebagai alat politik yang penting. Tanah dijadikan jalan dalam merealisasikan tujuan-tujuan politiknya. Dengan menguasai tanah, maka surplus produksi selalu terkumpul kepada pihak penguasa, yang pada gilirannya menjadikan alat kekuasaan bagi rakyatnya. Dari uraian historis terlihat bahwa petani belum pernah benar-benar menguasai tanah yang digarapnya.

Meskipun desa mengalami perubahan sosial, namun perubahan tersebut belum mengandung prinsip-prinsip emansipasi bagi penduduknya. Posisi subordinatif yang sudah dialami petani semenjak era feodal, masih tetap bertahan. Puncaknya justeru ketika petani tak berlahan tersingkir sama sekali dari ekosistem pedesaan. Makna kemerdekaan yang sesungguhnya bagi petani yaitu “memiliki tanahnya sendiri” belum pernah dicapai.

Dalam alam pemikiran sosiologis penguasa, aspek penguasaan tanah dipercaya sebagai faktor utama pengendalian sosial. Namun sayangnya ini hanya digunakan untuk kepentingan penguasa sepihak saja. Meskipun semenjak era Politik Etis sampai Orde Baru kesejahteraan petani selalu dijargonkan, namun kebijakan pemerintah tak menyentuh persoalan tanah secara mendasar. Hal ini berimplikasi kepada terbatasnya pembangunan pertanian dan selanjutnya kepada mandeknya transformasi struktur ekonomi nasional.

Dari uraian di atas terlihat bahwa masyarakat pedesaan selalu berada dalam tekanan ekternal yang kuat, sehingga bagaimana arah dan bentuk perubahan yang diinginkan tidak selalu sama dengan yang diinginkan masyarakat itu sendiri. Hal ini adalah karena desa telah terkooptasi oleh “atas” baik secara politis (elit yang berkuasa), ekonomi (struktur ekonomi kapitalis), dan sosial (nilai-nilai budaya kota).

Reforma agraria tampaknya merupakan implikasi yang rasional sebagai dasar melakukan perubahan sosial yang terencana (pembangunan) di pedesaan. Perubahan yang hakiki bagi petani adalah perubahan yang menuju kepada penguasaan tanah, karena hal yang pokok dalam reforma agraria adalah pengaturan tentang penguasaan tanah.

Daftar Pustaka

Amaluddin, Moh. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial: Studi Kasus di Desa Bulugede, Kendal, Jawa Tengah. Jakarta: UI Press.
Berger, D.H. 1996. Desa Ngablak Kabupaten Pati Dalam tahaun 1869 dan 1929. Dalam: Taufik Abdullan (ed) 1996. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Breman, Jan. 1986. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja di Jawa di Masa Kolonial. Jakarta: LP3ES.
Brewer, Jeffrey D. 1985. Penggunaan Tanah Tradisional dan Kebijakan Pemerintah di Bima, Sumbawa Timur (hal. 163 – 188). Dalam: Michael R. Dove (ed) 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar.
Geertz, Clifford. 1976. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara K.A.
Hayami, Yujiro dan Masao Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Harper, Charles L. 1989. Exploring Social Change. New Jersey: Prectice Hall.
Hefner, Robert W. 1999. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Yogyakarta: LKIS.
Husken, Frans dan Benjamin White. 1989. Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa. Majalah Prisma No. 4, 1989.
Husken, Frans. 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Lippit, Ronald et. al. 1958. Planned Change. Harcourt: Brace and World Inc.
Nurhadiantomo. 1986. Birokrasi dan Perubahan Sosial di Indonesia (hal 33-49). Dalam: Lance Castles, Nurhadiantomo, dan Suyatno. 1986. Birokrasi, Kepemimpinan, dan Perubahan Sosial di Indonesia. Surakarta: Penerbit HAPSARA. Edisi Revisi.
Sanderson, Stephen K. 1993. Sosiologi Makro. Jakarta:Rajawali Press.
Sarman, Mukhtar. 1994. Perubahan Status Sosial dan Moral Ekonomi Petani. Majalah Prisma No. 7 tahun 1994.
Schrieke, B. 1955. Indonesians Sociological Studies. Vol. 2 Part One. Bandung: W. van Hoeve - The Hague.
Soekanto, Soerjono dan Ratih Lestarini. 1988. Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan sosiologi. Jakarta: Sinar Grafika.
Sostodihardjo, Soedjito. 1972. Perubahan Struktur Masyarakat di Jawa: Suatu Analisa. Yogyakarta: Penerbit Karya. Cet.2
Strasser, Hermann dan Susan C, Rendall. 1981. An Introduction to Theories of Social Change. London: Routledge and Keegan Paul.
Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni. 1998. Petani dan Konflik Agraria. Bandung: Yayasan AKATIGA.
Suwarsono dan Alvin Y. So. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Temple, G.P. 1976. Mundurnya Involusi Pertanian: Migrasi, Kerja dan Pembagian Pendapatan di Pedesaan Jawa. Prisma No. 3 April 1976.
Tjondronegoro, SMP. 1999. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa. Dalam: keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Van de Kroef. 1984. Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa (hal. 145-167). Dalam: SMP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (ed). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa Ke Masa. Jakarta: PT Gramedia.
Wertheim, W.F. 1956. Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change. Second Edition. Bandung: Penerbit “Sumur Bandung”.
Wertheim, W.F. 1999. Gelombang Pasang Emansipasi: Evolusi dan Revolusi. Jakarta: Garba Budaya dan ISAI.
Wiradi, Gunawan. 1996. Jangan Perlakukan Tanah sebagai Komoditi. Jurnal “Analisis Sosial. Edisi 3 Juli 1996.
Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar.

*******

Senin, 09 Mei 2011

Apakah Kedaulatan Pangan dan Swasta Ancaman terhadap Ketahanan Pangan ?

Oleh: Syahyuti - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,
Jl. A. Yani 7 Bogor
(telah dimuat dalam: Majalah Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9 No 1 Maret 2011)

Food security is a paradigm that is officially used by the government in fulfilling the resident food and agricultural development. The presence of food sovereignty pradigm and private involvement is often seen as a threat. However, food sovereignty approach has both humanistic and ecological overlooked. Food sovereignty approach can complement and refine the concept of food security weakness. Meanwhile, although many appear pro and contra, however private sector constitutionally have been given a great position and opportunity in the Indonesian agricultural development. The government should give attention to two this power and it takes a critical stance, also wise and just, so as all the components can be jointly utilized to gain food security.

Key words: food security, food sovereignty, private sector

Abstrak

Ketahanan pangan merupakan paradigma yang secara resmi digunakan pemerintah dalam pemenuhan pangan penduduk dan pembangunan pertanian pangan umumnya. Hadirnya pradigma kedaulatan pangan dan pelibatan swasta sering dipandang sebagai ancaman. Namun, pendekatan kedaulatan pangan memiliki sisi humanis dan ekologis yang kurang diperhatikan pada pradigma ketahanan pangan. Kedaualatan pangan dapat melengkapi dan menyempurnakan kelemahan konsep ketahanan pangan. Sementara itu, meskipun banyak muncul pro dan kontra, namun swasta secara konstitusional telah diberi posisi dan kesempatan yang besar dalam pembangunan pertanian Indonesia. Pemerintah semestinya dapat memberikan perhatian terhadap dua kekuatan ini, namun tetap kritis, arif dan adil; sehingga semua komponen dapat bersama-sama didayagunakan untuk merwujudkan ketahanan pangan.

Kata kunci: ketahanan pangan, kedaulatan pangan, peran swasta

PENDAHULUAN

Ketahanan pangan merupakan konsep dan pendekatan yang secara resmi dipegang oleh pemerintah Indonesia dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Penggunaan konsep ketahanan pangan ditegaskan secara resmi dalam berbagai produk hukum, misalnya UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002
tentang Ketahanan Pangan. Ketahanan pangan juga merupakan konsep yang diterima luas di banyak negara dan telah berjalan cukup lama setidaknya 20 tahun terakhir.
Namun demikian, sebagaimana konsep dan pendekatan dalam pembangunan pada umumnya, pendekatan ketahanan pangan juga menghadapi berbagai tentangan. Evaluasi, ide dan berbagai pemikiran baru terus bergulir. Hal ini pun berlaku untuk konsep ketahanan pangan yang awalnya hanya fokus pada sisi produksi, namun setelah beberapa kali berubah, dirumuskan menjadi lebih luas.

Saat ini, ada dua isu penting yang menarik disimak, yang pada hakekatnya dapat menggoyahkan penggunaan konsep ketahanan pangan dan bagaimana ketahanan pangan dioperasionalkan. Pertama, perlunya diadopsi pendekatan kedaulatan pangan yang dinilai lebih humanistik dan ramah lingkungan. Kedua, banyak kalangan menolak keterlibatan swasta dalam pertanian pangan karena dikhawatirkan akan meminggirkan petani kecil. Permasalahannya, konstitusi kita bahkan di level FAO sendiri memberi peluang yang besar bagi swasta untuk terlibat dalam pembangunan bidang pangan.
Ketiga konsep tersebut, yakni konsep ketahanan pangan, kedaulatan pangan, dan keterlibatan swasta dalam pangan merupakan segitiga yang saling berkaitan satu sama lain. Meskipun ini belum terlalu menarik perhatian, namun akan semakin penting dalam beberapa tahun mendatang.

Paper ini berupaya memaparkan permasalahan dan merumuskan sikap dan kebijakan yang harus diambil pemerintah. Hal ini selayaknya menjadi agenda penting ketahanan pangan yang belum stabil dan permanen. Berbagai target swasembada, kecuali untuk beras, yang telah dicanangkan pemerintah tidak pernah tercapai dan sering diundur tenggatnya.

PENDEKATAN KETAHANAN PANGAN VERSUS KEDAULATAN PANGAN

Di banyak negara termasuk Indonesia, konsep yang dianut dan mendasari hampir seluruh kebijakan dan strategi pertanian dan penyediaan pangan adalah ketahanan pangan (food security). Konsep ini telah mulai digodok semenjak akhir tahun 1970-an, dan kemudian banyak mengalami perubahan dari sisi fokus dan pendekatan. Lalu, mulai dari pertengahan tahun 1990-an, akibat ketidakpuasan terhadap kondisi pangan lokal dan perdagangan pangan dunia, muncul konsep dan pendekaan baru yaitu kedaulatan pangan (food sovereignty).

Ketahanan Pangan dan Perdagangan Bebas

Ketahanan pangan merupakan satu contoh konsep yang semula sederhana, luas, dan kualitatif; lalu berubah menjadi lebih tegas, spesifik, dan lebih kuantitaif (Maxwell dan Smith, 1992). Pada dasarnya, ketahanan pangan adalah tersedianya pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau, serta aman dikonsumsi. Jadi kuncinya adalah: ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas pengadaannya. Ketersediaan berkaitan dengan aspek produksi dan suplai, keterjangkauan merupakan aspek akses baik secara ekonomi maupun keamanan, sedangkan stabilitas merupakan aspek distribusi.
Konsep ketahanan pangan sudah cukup lama bergulir, namun banyak mengalami perubahan. Pada dekade 1960-an dan 1970-an, ketika dunia dihadapkan kepada ketidakcukupan produksi pangan, definisi ketahanan pangan ditekankan kepada penyediaan pangan yang cukup (United Nation, 1975). Tahun 1983, FAO menyusun definisi baru dengan memasukkan faktor jaminan akses (FAO, 1983). Tahun 1986, konsep ini diperluas lagi dengan memasukkan kemiskinan, pendapatan, bencana alam, krisis ekonomi, dan konflik.

Pada periode 1990-an, konsep ketahanan pangan lalu memasukkan keamanan pangan (food safety) dan kekurangan protein dan energi (protein-energy malnutrition) yang dibutuhkan untuk hidup secara aktif dan sehat. Pertemuan The World Food Summit di Roma tahun 1996, melahirkan dua kesepakatan yaitu tentang Deklarasi Roma untuk ketahanan pangan dunia (World Food Security) dan Rencana Aksi (the World Food Summit, Plan of Action). Deklarasi Roma menyepakati seluruh anggota PBB untuk menargetkan bahwa pada tahun 2015 agar dapat mengurangi setengah dari jumlah orang yang kekurangan pangan di dunia. Target ini kemudian diadopsi dalam pertemuan “Millenium Summit” tahun 2000, dan dipertegas lagi pada konferensi bulan Juni 2002 di Roma.

Konsep ketahanan pangan oleh sebagian ekonom dianggap konsep teknis (Maxwell and Smith, 1992) dengan berbagai kepentingan politis di baliknya. Implikasi dari perspektif ini, pangan menjadi semata-mata komoditas yang dapat diperdagangkan secara lokal dan bahkan internasional. Pangan lalu masuk ke dalam putaran perdagangan dunia, yang sampai saat ini regulasi dan kesepakatannya masih diperdebatkan.

Liberalisasi perdagangan pertanian internasional berlangsung sejak Putaran Uruguay (1986-1994) dan pada saat yang sama terbentuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dalam Putaran Uruguay, pertanian secara progresif dimasukkan ke sistem perdagangan internasional. Kesepakatan Pertanian (The Agreement on Agriculture / AoA) disetujui yang menekankan penurunan dukungan negara terhadap sektor pertanian, meningkatkan akses pasar untuk impor pertanian, dan pengurangan subsidi ekspor pertanian.

Putaran Doha yang dimulai 2001 telah mendorong liberalisasi perdagangan pertanian semakin tidak terbendung. Deputi Dirjen WTO menekankan strategi ketahanan pangan nasional harus diletakkan dalam kerangka perdagangan internasional sebagaimana diatur WTO (WTO, 2002). Berbagai fakta ini mengindikasikan bahwa ketahanan pangan merupakan konsep yang bias ke kepentingan negara-negara maju dan perusahaan multinasional.

Saat ini, dampak perdagangan tersebut telah bisa dirasakan. Bila pada 1960-an negara-negara berkembang merupakan eksportir pangan, pada akhir 1980-an terjadi pergeseran peran, dan mulai awal 1990-an negara-negara berkembang banyak yang berubah jadi importir neto. Keadaan terus memburuk, sehingga kini negara maju justru menguasai produksi dan perdagangan pangan dunia. Sedangkan 70 persen negara berkembang menjadi tergantung pada impor pangan (Santosa, 2009). Jika kondisi ini tidak berubah, maka diperkirakan pada tahun 2025 defisit pangan meningkat sekitar 127 juta ton di Asia Timur dan Asia Tenggara. Defisit pangan yang besar juga terjadi di wilayah Asia lainnya dan sub-Sahara Afrika. Sebaliknya, surplus pangan akan terjadi di Amerika Utara, Australia, Eropa Barat, Soviet, serta sebagian Amerika Latin.

Berbagai kesepakatan internasional telah menggeser kontrol atas ketahanan pangan dari ranah publik ke ranah privat. Kini 90 persen perdagangan pangan (serealia) dikuasai hanya oleh lima perusahaan multinasional, dan 90 persen pasar benih dan input pertanian (pestisida dan herbisida) dikuasai enam perusahaan (Santosa, 2009). Demikian juga dengan 99,9 persen benih transgenik. Ketika krisis pangan melanda tahun 2008, pedagang pangan dunia menangguk keuntungan 55-189 persen, benih dan herbisida 21-54 persen, dan pupuk 186-1200 persen dibanding dengan tahun sebelumnya (Angus, 2008).

Pada intinya, dengan menerapkan konsep dan strategi ketahanan pangan selama hampir empat dasawarsa terakhir ini sasaran ketahanan pangan tidak pernah tercapai, dan bahkan dikhawatirkan akan semakin jauh dari harapan. Fakta-fakta inilah yang secara tidak langsung melahirkan pendekatan baru yakni kedaulatan pangan.

Nilai-Nilai Humanis dan Ekologis Konsep Kedaulatan Pangan

Konsep kedaulatan pangan muncul pertama kali tahun 1996, atau lebih dari 20 tahun setelah konsep katahanan pangan digulirkan. Kedaulatan pangan semula merupakan kerangka kebijakan dan wacana untuk mengangkat kesejahteraan petani kecil. Konsep ini lalu berkembang cepat dan telah diadopsi ribuan organisasi petani, masyarakat lokal, LSM, lembaga kemasyarakatan, bahkan mulai diadopsi lembaga-lembaga di bawah PBB, termasuk oleh FAO. Namun demikian, di Indonesia khususnya, konsep ini tidak mudah diterima terutama dari kalangan pemerintahan.

Alasan yang sering mengemuka dari mereka yang anti terhadap konsep ini adalah karena kedaulatan pangan merupakan konsep politik. Hal ini tampaknya mengambil pendapat Windfuhr dan Jonsen (2005) yang menyatakan ”food sovereignty is essentially a political concept”. Demikian pula dengan Lee (2007) yang menyebutkan bahwa kedaulatan pangan sebenarnya agak terkait dengan politik formal.

Konsep kedaulatan pangan bersumber dari gerakan petani Via Campesina. Pemicunya adalah sering terjadinya konflik dalam penggunaan sumberdaya genetik tanaman, sehingga menimbulkan ketegangan antara pendekatan ketahanan pangan dengan kedaulatan pangan.
Kedua konsep ini sesungguhnya merupakan produk dari wacana perubahan pertanian global. Gagasan kedaulatan pangan yang muncul tahun 1996 merupakan respon terhadap sikap yang inklusif pada pertanian dalam sistem perdagangan dunia melalui AoA.

Konsep kedaulatan pangan merupakan hasil dari gerakan melalui pertemuan petani yang dibentuk tahun 1992 pada Kongres The National Union of Farmers and Livestock Owners (UNAG). Kegiatan ini dikoordinasikan oleh anggota yang tersebar dari Afrika, Amerika Utara, Tengah dan Selatan; Asia, Karibia dan Eropa. Anggota kelompok Via Campesina mencakup Family Farmers’ Association (UK), Confederation Paysanne (France), Bharatiya Kisan Union (India), Landless Workers' Movement (Brazil), National Family Farm Coalition (USA) dan para petani tak bertanah Landless Peoples' Movement (South Africa). Pada April 1996, berlangsung pertemuan kedua yang dilaksanakan di Tlaxcala, Mexico. Dari pertemuan ini berhasil dirumuskan visi yakni ‘Food Sovereignty: A Future without Hunger’, serta batasan, yaitu “Food sovereignty is the right of each nation to maintain and develop its own capacity to produce its basic foods respecting cultural and productive diversity. We have the right to produce our own food in our own territory. Food sovereignty is a precondition to genuine food security.” (Via Campesina, 2006).

Semenjak kegitan ini, berbagai publikasi, pernyataan dan deklarasi telah disampaikan dalam konteks kerangka kerja kedaulatan pangan. Pada tahun 2002 berhasil dibentuk sebuah komite yaitu International Planning Committee (IPC) untuk kedaulatan pangan.
IPC merumuskan bahwa kedaulatan pangan memiliki empat area prioritas atau pilar, yaitu: (1) hak terhadap pangan; (2) akses terhadap sumber-sumber daya produktif; (3) Pengarusutamaan produksi yang ramah lingkungan (agroecological production); serta (4) perdagangan dan pasar lokal (IPC, 2006). Hak terhadap pangan berkaitan dengan pengembangan pendekatan hak asasi manusia pada individu, serta pangan dan gizi yang diterima secara kultural. Sedangkan akses kepada sumber daya produktif berkaitan dengan akses kepada lahan, air, dan sumber genetik.

Sebagai sebuah konsep, kedaulatan pangan sesungguhnya sejajar dengan ketahanan pangan, karena yang membedakan keduanya adalah elemen di dalamnya. Elemen-elemen itu meliputi model produksi pertanian agro- ekologis yang berbeda dengan pertanian industri, model perdagangan pertanian yang proteksionis dan mendorong pasar lokal dibandingkan liberal, menggunakan instrumen dari International Planning Committee for Food Security yang berbeda dengan WTO, pendekatan terhadap sumber daya genetik pertanian yang bersifat komunal dan lebih cenderung antipaten yang bertolak belakang dengan perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), serta penekanan pada wacana lingkungan green rationalism dibandingkan economic rationalism sebagaimana diadopsi dalam ketahanan pangan. Kedua konsep ini cenderung menuju polarisasi sebagaimana dipaparkan pada Tabel 1 berikut. Ini sesuai dengan pandangan Tramel (2009) bahwa ”Food security and food sovereignty are represented as opposing paradigms of food production”.

Tabel 1. Berbagai elemen pokok antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan

Aspek: Ketahanan pangan vs Kedaulatan pangan

1. Model produksi pertanian: Fokus pada produksi atau bertipe industrial vs Agro-ekologis
2. Model perdagangan pertanian: Liberalisasi vs Proteksionis
3. organisasi yang memimpin: WTO vs Via Campesina
4. Instrumen yang digunakan: AoA, TRIPS, SPS versus IPC
5. Pendekatan terhadap sumberdaya genetis tanaman: Hak penguasaan individual vs Anti hak paten, penguasaan secara komunal
6. Wacana tentang lingkungan: Rasionalis ekonomis vs Rasionalisme hijau (green rationalism)

Konsep ketahanan pangan memang jauh lebih mapan dari pada kedaulatan pangan. Konsep ini telah diterima secara luas dan telah diadopsi di hampir seluruh negara di dunia. Ketahanan pangan dapat dicapai di semua negara baik dengan atau tanpa dukungan sektor pertanian. Dengan pendekatan ini, Singapura misalnya, bisa tetap berketahanan pangan tanpa harus didukung oleh produksi pangan domestik. Dengan pendapatan per kapita yang cukup tinggi, rakyat Singapura bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka dari impor.

Kedaulatan pangan yang diartikan sebagai hak setiap orang, masyarakat, dan negara untuk mengakses dan mengontrol aneka sumber daya produktif serta menentukan dan mengendalikan sistem pangan sendiri sesuai kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan karakter budaya masing-masing; merupakan konsep yang muncul belakangan. Konsep yang pertama kali diusung oleh gerakan Via Campesina pada 1996 ini muncul sebagai reaksi dari kegagalan konsep yang ditawarkan WTO terkait dengan ketahanan pangan dalam melindungi ekosistem dan menjamin kesejahteraan petani khususnya di negara sedang berkembang.

Secara konseptual, ketahanan pangan yang mensyaratkan pengendalian sistem produksi, distribusi dan konsumsi pangan memang kalah universal dibandingkan konsep kedaulatan pangan. Hal ini mengingat, konsep ini tidak mungkin diterapkan di negara yang tidak punya lahan pertanian seperti Singapura. Disamping itu, tanpa dibarengi dengan upaya peningkatan produksi dan perbaikan sistem secara serius, kedaulatan pangan tidak cukup menjamin ketahanan pangan atau terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga yang selalu terkait dengan kesetaraan sosial, kesejahteraan dan daya beli.

Namun demikian, penerapan pendekatan kebijakan kedaulatan pangan menjadi penting ketika negara dihadapkan pada pilihan antara memproduksi pangan sendiri atau menggantungkan diri pada impor. Dalam perspektif kedaulatan, pangan bukanlah komoditas yang diperdagangkan begitu saja tanpa perlindungan. Oleh sebab itu, pangan seharusnya tidak ditumpukan pada pasar yang rentan, tetapi pada kemandirian dalam mencukupinya. Dalam konteks negara besar seperti Indonesia, ketergantungan terhadap pangan impor adalah ironi, karena selain mengabaikan potensi dan kekayaan sumber daya lokal juga bisa membawa ancaman bagi stabilitas nasional.

Upaya Mengintegrasikan Pendekatan Kedaulatan Pangan pada Ketahanan Pangan

Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa meski ketahanan pangan dan kedaulatan pangan berbicara soal pangan, batu pijak dari kedua konsep tersebut tidaklah sama. Ketahanan pangan lebih menitikberatkan pada ketersediaan pangan bagi rakyat tanpa memperdulikan dari mana dan siapa yang memproduksi pangan tersebut; sedangkan kedaulatan pangan lebih menitikberatkan kemandirian pangan, perlindungan kepada petani dan ekosistem lokal. Dalam hal ini, ketahanan pangan dan kedaulatan pangan sejatinya adalah dua konsep berbeda yang tidak dapat dipertukarkan (non-interchangeable). Dengan kata lain, kebijakan ketahanan pangan hanya fokus terbatas kepada sisi pangannya saja, sedangkan kebijakan kedaulatan pangan memperhatikan baik pangan maupun manusianya.

Sebagian pihak menilai bahwa kedua konsep ini berlawanan, namun pihak lain melihat sesungguhnya kedua konsep ini bisa seiring sejalan. Kedaulatan pangan bukan konsep tandingan (rivalry concept), tapi sebagai pelengkap dari konsep ketahanan pangan. Dalam pandangan ini, kedaulatan pangan dapat diintegrasikan ke dalam konsep ketahanan pangan. Jika ketahanan pangan adalah tujuan, kedaulatan pangan adalah prasyarat untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana Menzenes (dalam Aji, 2009), akses setiap individu terhadap pangan yang berkualitas, yang merupakan intisari konsep ketahanan, haruslah didorong dengan upaya-upaya yang menjamin akses petani terhadap input pertanian dan perlindungan terhadap sektor pertanian domestik yang memadai demi terwujudnya kemandirian pangan.
Pada hakekatnya, kedua konsep – ketahanan pangan dan kedaulatan pangan – sama-sama memiliki dimensi global. Saat ini, konsep ketahanan pangan sedang dipakai baik di negara maju maupun berkembang, sementara konsep kedaulatan pangan berupaya memberikan koreksi kepadanya. Kegagalan WTO dijadikan moment penting dalam pergerakan kedaulatan pangan, yang berupaya menjadikan konsep ini sebagai strategi utama untuk menuju pengakuan hak-hak petani baik di level pemerintahan maupun lembaga internasional.

Saat ini, wacana kedaulatan pangan terus berupaya mempengaruhi pendekatan ketahanan pangan, meskipun perjuangan tersebut masih membutuhkan usaha yang cukup serius. Kedaulatan pangan dapat diposisikan sebagai kerangka politis dan humanis dalam penerapan ketahanan pangan yang lebih bernuansa teknis. Kedaulatan pangan tidak harus menggantikan, namun cukup menjadi pelengkap atau pendukung untuk tercapainya ketahanan pangan yang sejati.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa hanya beberapa negara terutama yang ekonominya sangat kuat namun berpenduduk sedikit yang akan mampu mencapai ketahanan pangan dengan bergantung kepada perdagangan internasional. Pemerintah Indonesia akan sulit mencapai ketahanan pangan tanpa menerapkan prinsip-prinsip kedaulatan pangan. Indonesia perlu mempertimbangkan pendekatan kedaulatan pangan pada pengembangan ekonomi pangan ke depan.

KETERLIBATAN SWASTA DALAM KETAHANAN PANGAN

Swasta memiliki dua ciri pokok yaitu semangat mengejar keuntungan dan posisinya yang bebas dari kontrol negara. Ia selalu dapat hidup dan bertahan bahkan di negara sosialis-komunis sekalipun.

Persepsi terhadap peranan swasta dalam ketahanan dan kedaulatan pangan selama ini cukup beragam. Khusus di Indonesia, berbagai persepsi negatif berkembang terhadap swasta, misalnya berkaitan dengan perannya sebagai pengimpor beras ilegal yang merusak pasar beras dalam negeri, pedagang beras besar yang sering mempermainkan harga, dan menjatuhkan harga yang diterima petani.

Namun, satu hal yang sangat mengkhawatirkan adalah karena kemampuannya yang besar secara ekonomi dan politik, sehingga dikahawatirkan akan menyingkirkan petani terutama petani kecil. Petani diyakini pasti akan kalah bersaing jika swasta masuk di sektor yang sama. Pandangan seperti ini dilontarkan pengamat dan kalangan NGO, terutama saat pemerintah meluncurkan program Rice Estate di Merauke awal tahun 2010 ini.

Pandangan ini tentu sangat kontras dengan paradigma liberalisasi pasar yang dianut WTO, Bank Dunia dan IMF. Peran pasar (baca swasta) harus lebih besar, sementara peran negara harus semakin dikurangi. Salah satu dampaknya adalah ketika IMF menghapus peran PSO (public service obligation) Bulog melalui LoI 1998, sehingga monopoli Bulog dalam pengaturan stok dan harga beras dibatasi. Bank Dunia juga menolak perlindungan pasar, dengan diberikannya mekanisme harga pada pasar dan dibukanya keran impor seluas-luasnya. Bank Dunia yakin inilah resep ampuh untuk ketahanan pangan dan pemberantasan kemiskinan.

Suara yang kontra datang terutama dari NGO dan pengamat pertanian. Menurunnya peran negara dan meroketnya peran swasta (terutama swasta internasional) sangat menakutkan karena negara tidak dapat lagi melindungi rakyatnya. Pasar yang terlalu berkuasa hanya akan meminggirkan penduduk miskin dan petani kecil.

Peran Swasta dalam Pemenuhan Pangan Dunia

Di level dunia, belum lama ini, FAO telah memberi swasta berbagai peluang untuk terlibat dalam pertanian pangan. Satu peristiwa penting di akhir tahun 2009 lalu mungkin akan menentukan perubahan peta kebijakan dan struktur pelaku ekonomi pangan di masa depan. Suatu pertemuan penting telah berlangsung di Milan pada 12-13 November 2009 dimana pihak swasta memberikan pernyataan dalam acara World Summit on Food Security. Forum swasta ini (Private Sector Forum) dihadiri perusahaan-perusahaan besar, dengan memberi kesempatan kepadanya untuk berdiskusi mengenai tantangan yang dihadapi, resiko, dan peluang-peluang untuk mengatasi krisi pangan di masa depan (FAO, 2009).

Ada 19 point pernyataan dalam pertemuan tersebut. Beberapa hal yang disampaikan swasta adalah bahwa mereka meyakini perlu terlibat secara terintegrasi dengan pelaku lain dalam ketahanan pangan. Mereka mengklaim selama ini telah berperan secara nyata bersama-sama dengan petani kecil dan telah memberi nilai tambah yang besar untuk petani. Swasta meyakini diri mampu mengurangi kerawanan pangan (food insecurity) terutama di negara berkembang dengan menyediakan input secara lebih efisien, murah dan berkelanjutan. Mereka mengklaim telah mampu memperbaiki supply chains yang kurang efisien dengan menyediakan berbagai bantuan dan prasarana, serta meningkatkan kualitas pangan untuk konsumen.

Mereka pun berkomitmen untuk menciptakan pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan, meningkatkan biodiversity, dan mencegah kerusakan lahan. Melalui relasi kemitraan (partnerships), swasta pun menyatakan siap untuk lebih meningkatkan nilai tambah untuk petani. Merekapun bersedia berinvestasi untuk membantu kapasitas pemerintah dalam mengimplementasikan penelitian dan transfer teknologi. Pada point ke-15 dinyatakan bahwa “The private sector can contribute but cannot do this alone. All stakeholders need to commit to collaboration and partnership. Ideological barriers that have impeded such partnerships in the past must be overcome” (FAO, 2009). Mereka dengan jujur menyadari pula bahwa ada hambatan ideologis yang akan mereka hadapi.

Untuk menjalankan itu semua, mereka membutuhkan kebijakan yang tegas dari pemerintah. Pada point akhir mereka menyatakan “We call on and stand ready to work with FAO, IFAD and WFP, our own food industry federations, and important platforms such as the Expo Milan 2015 and the World Economic Forum to promote, coordinate and facilitate global and local actions leading to improved food and nutritional security” (FAO, 2009). Jelas, pernyataan ini terkesan sangat ideal, dan seolah melupakan berbagai dampak negatif keterlibatan swasta dalam pangan selama ini. Hal ini misalnya tercantum dalam buku "Dusta Industri Pangan" (Delforge, 2003) yang menelanjangi segala perilaku kapitalistik perusahaan Monsanto, yakni dalam bentuk hak ekslusif teknologi dan benih rekayasa genetika, dan memproduksi pestisida yang tidak ramah lingkungan.

Pertemuan di Milan tersebut, tampaknya merupakan lanjutan dari sikap PBB yang telah mengeluarkan pedoman bagaimana keterlibatan swasta dalam mencapai keberlanjutan ketersediaan pangan (New Guide to Food Sustainability and the Role of the Private Sector) yang dikeluarkan tanggal 24 September 2008 di New York (United Nations, 2008). Dalam pedoman ini termuat 37 contoh kasus keberhasilan pembangunan pangan oleh swasta yang berkerjasama dengan petani dan NGO mencakup manajemen pengairan, prasarana dan input, enegi dan bahan bakan nabati, peran informasi dan komunikasi teknologi, dan peningkatan kesempatan kerja di pedesaan.

Pedoman ini merupakan babak baru kerjasama antara pihak swasta dengan PBB, dan ia menjadi pedoman bagi kalangan bisnis, pemerintah, dan juga PBB (United Nations, 2008). “…business also has a vital role to play in partnership with others to develop and implement innovative responses”. Dalam pedoman ini terbaca bahwa bidang yang dapat dimasuki swasta untuk kegiatan produksi adalah berupa investasi dan peningkatan dalam akses petani terhadap input (benih, pupuk dan pesitisda), transfer teknologi baru, memperkuat relasi pasar dan memperkuat posisi petani terhadap pasar, memberikan akses finansial untuk petani, dan memperkuat akses masyarakat terhadap informasi serta telekomunikasi informasi pasar dan teknologi. Selain itu, swasta juga bisa berperan dalam memperkuat infrastruktur, perdagangan, serta dalam penelitian dan pengembangan. Tampaknya, hampir tidak ada peran yang tertutup untuk swasta.

Eksistensi Swasta dalam Ekonomi Pangan di Indonesia

Pihak pengamat dan ahli telah lama membicarakan bagaimana semestinya keterlibatan swasta dalam pertanian pangan. Salah satu yang pro terhadap swasta misalnya adalah Jerbi (2009) yang berpendapat bahwa terlibatnya swasta dalam pangan sejalan dengan kerangka hak azasi manusia. Demikian pula dengan Ferroni (2009) seorang ahli pertanian dan pembangunan berkelanjutan yang menurutnya swasta dapat berperan positif dan berkerja sama dengan petani kecil. Swasta dapat membantu dalam pengetahuan dan pengembangan teknologi. Di beberapa negara dilaporkan adanya peran positif swasta dalam pertanian, misalnya di Pakistan dengan kondisi yang relatif sama dengan Indonesia (Qureshi, 2005). Pemerintah mengurangi perannya melalui reformasi kebijakan, dan secara bersamaan memperkuat liberalisasi pasar. Ada banyak optimisme tentang kapasitas sektor swasta untuk memberikan teknologi baru. Sektor swasta domestik harus diperbolehkan untuk memasuki semua bidang pertanian, termasuk budidaya (IFPR, 2006), dan memasukkan wilayah pertanian secara luas (Sengupta, 2005), sehingga pemerintah cukup berkonsentrasi pada pembangunan infrastruktur.

Suara yang agak kontra misalnya datang dari studi Hellin et al. (2007), karena menurutnya swasta berpotensi mendistorsi harga pasar. Swasta cenderung memberi harga yang lebih rendah terhadap petani, meskipun masuknya swasta dapat menghasilkan pelayanan yang lebih kompetitif. Masuknya swasta akan memberi dampak positif hanya bila petani dalam kondisi siap, dan apabila organisasi petani dapat berkerjasama dengan swasta secara berimbang (Bourgeois et al., 2003).

Di Indonesia, berbagai keberatan terhadap peranan swasta dalam pembangunan pangan cukup nyaring terdengar. Beberapa alasan yang digunakan adalah:

1. Pertanian pangan dipersepsikan sebagai pertanian rakyat, sehingga swasta yang cenderung dengan skala besar dan lebih efisien dipandang akan meminggirkan petani-petani kecil.
2. Terlibatnya swasta berarti terjadi pemindahan penguasaan lahan ke tangan swasta. Lahan merupakan sumber daya utama dalam pertanian, sehingga pemindahan lahan akan semakin menyulitkan akses petani, terutama petani kecil, terhadap lahan di masa mendatang.
3. Penggunaan teknologi pertanian padat modal yang selama ini banyak disebarkan secara tidak langsung menguntungkan swasta karena lebih berpeluang untuk berperan.
4. Praktek pertanian besar ala swasta merupakan penyebab utama kerusakan lingkungan, terutama di komoditas sawit. Sesuai UU 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, kegiatan pertanian secara intensif berpotensi mengubah bentuk lahan dan bentang alam, eksploitasi sumber daya alam, dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya.

Peran negara dan sektor swasta dalam menjaga ketahanan pangan Indonesia perlu diperjelas (Arifin, 2009). Hal ini bertujuan agar sektor swasta dapat bahu membahu mewujudkan ketahanan pangan. Intinya adalah bagaimana dapat dipelihara posisi dan peran negara serta swasta secara lebih adil. Pertanian adalah bisnis, namun untuk pangan (secara sempit untuk beras), masih belum diperoleh kesepakatan.

Banyak perusahaan konglomerasi lahir di sektor pertanian, namun bisnis yang meraksasa adalah pertanian non pangan terutama kelapa sawit. Sampai saat ini sangat sedikit swasta yang berminat mengembangkan bisnis pangan seperti beras, kedelai dan jagung. Ini karena komoditas pangan kurang menarik sebagai lahan bisnis. Padi misalnya merupakan jenis tanaman intensif yang membutuhkan air banyak dan perlu pemeliharaan intensif.
Satu kasus pelibatan swasta yang cukup menarik perhatian baru-baru ini adalah dalam pengembangan Merauke Integrated Rice Estate (MIRE). Ini merupakan pengajuan Pemerintah Kabupaten Merauke kepada pemerintah pusat dengan mengusulkan lahan seluas 1,2 juta ha untuk mendukung kegiatan tersebut. Konsep MIRE lalu dikembangkan menjadi Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) sesuai PP No 18 tahun 2010. Minat berinvestasi di Merauke cukup besar, dimana sampai 2008 telah ada 40 perusahaan pertanian dan perkebuan yang telah memiliki izin lokasi. Sebuah koalisi aktivis menyerukan pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan tersebut (Simamora, 2010). Mereka mengatakan bahwa ini tidak akan meningkatkan kedaulatan pangan, dan hanya menampung kepentingan perusahaan-perusahaan swasta raksasa untuk menuai keuntungan. Sebagian NGO mengkawatirkan bahwa terlalu berisiko mempercayakan kedaulatan pangan kepada swasta. Sebagian kalangan mengingatkan agar swasta yang terlibat harus memberi keuntungan terhadap petani sekitar. Petani jangan hanya menjadi pekerja, tapi harus mendapat bagian dari kepemilikan lahan.

Untuk kasus lain, ketika pemerintah membuka kran ekspor beras premium bagi swasta melalui Permendag No.13/2009 tertanggal 30 Maret 2009 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Beras; sebagian kalangan langsung mengingatkan agar diberikan kesempatan yang sama kepada semua pelaku ekspor sehingga terciptanya iklim persaingan yang sehat. Sebuah LSM yakni Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga cenderung menolak kebijakan ini.

Posisi swasta dalam kebijakan pemerintah Indonesia

Sikap sebagian pejabat pemerintah yang cenderung “kontra” terhadap peran swasta sebetulnya berlawanan dengan garis kebijakan pemerintah secara resmi. Sesungguhnya, secara konstitusional pemerintah Indonesia memberi kesempatan yang besar untuk swasta.
Sementara itu, faktanya selama ini swasta telah berperan dalam pertanian pangan sehari-hari di tengah-tengah petani. Bahkan Kadin pernah mengusulkan pembentukan Komite Percepatan Produktivitas Sektor Pangan (KPPSP). Dalam roadmap yang mereka susun ada tiga isu yang akan dijalankan dalam komite tersebut, yakni masalah lahan, investasi dan distribusi pangan dalam negeri.

Kebijakan pangan di Indonesia tidak lepas dari pengaruh berbagai lembaga internasional yang intinya agar Indonesia menempuh privatisasi lembaga pangan, melepas cadangan beras nasional ke swasta, dan liberalisasi impor, mendorong agar swasta diperankan sebagai stabilisator harga dalam negeri. Mereka yakin sekali, pasar dapat menyelesaikan instabilitas harga, maupun kemiskinan (Sawit, 2007).

Secara mendasar, menurut Asshiddiqie (2010), dari sisi konstitusi yang telah disusun, Indonesia memiliki konstitusi ekonomi ”negara non komunis” dimana peranan negara dan swasta dalam perekonomian diatur secara berimbang. Hal ini berbeda dengan tiga bentuk konstitusi ekonomi lain, yakni konstitusi ekonomi liberal-kapitalis dimana swasta dan pasar dibebaskan sedangkan negara minimalis, konsitusi ekonomi negara sosialisme dan komunisme dimana pemerintah adalah aktor tunggal dalam perekonomian, dan konstitusi ekonomi negara bekas komunias dimana terjadi liberalisasi konstitusi ekonomi.
Demikian pula dalam UUD 1945 (amandemen keempat) dimana terbaca bahwa peranan negara dan swasta dalam perekonomian sama-sama diakomodasi. Hal ini ditegaskan pada ayat 4 yaitu: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Penambahan ayat ke-4 ini, terutama pada frasa “demokrasi ekonomi” inilah yang diperdebatkan oleh kalangan apa yang dikenal dengan kelompok ekonom idealis versus ekonom pragmatis.

Dalam berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah, swasta sebenarnya cukup diberi peran. Pada bagian definisi dalam berbagai kebijakan perundang-undangan biasanya disebut “setiap orang” dengan makna adalah orang perseorangan, kelompok orang, atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Dengan kata lain, swasta merupakan salah satu institusi yang diakui keberadaannya sebagai pelaku.
Contoh lain, dalam Keputusan Kepala Badan Ketahanan Pangan No: 10/KPTS/OT.140/K/02/2009 tentang Program Aksi Desa Mandiri Pangan 2009, pada bagian sub sistem distribusi disebut upaya untuk menumbuhkan usaha-usaha pemasaran hasil secara kolektif di tingkat desa dan membangun lembaga pemasaran (pasar) di tingkat desa maupun wilayah yang lebih luas untuk menampung hasil-hasil produksi masyarakat. Lebih jauh, pelaksana untuk bagian ini adalah kelompok afinitas. Hal ini menunjukkan keinginan agar pelaku distribusi adalah petani itu sendiri, bukan swasta. Namun, untuk pengembangan akses permodalan, diakui perlunya dukungan swasta. Di bagian ini tertulis, selain melalui penguatan kapasitas pengurus dan anggota kelompok, juga “penghimpunan modal kelompok melalui dana swadaya anggota maupun dana pihak ketiga baik yang berasal dari APBD, swasta maupun masyarakat umum”.

Meskipun tidak disebut secara tegas, namun dalam UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan nyata sekali bahwa banyak pasal-pasal dalam aturan tersebut dibuat untuk mengendalikan dan mengontrol pelaku swasta. Pada Pasal 41 misalnya disebutkan: “Badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut”. Pada bagian lain UU tersebut terbaca banyak point yang mengatur keamanan pangan, berupa tindakan preventif terhadap pelaku yang disebut dengan masyarakat, tentu di dalamnya juga tercakup swasta.

Keberadaan swasta secara tidak langsung juga disebut dalam PNPM Mandiri 2007/2008. Pada bagian Strategi Dasar disebutkan untuk “Menjalin kemitraan yang seluas-luasnya dengan berbagai pihak untuk bersama-sama mewujudkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat”. Selanjutnya, hal ini diperkuat lagi pada bagian Strategi Operasional dimana “Mengoptimalkan seluruh potensi dan sumber daya yang dimiliki masyarakat, pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan kelompok peduli lainnya secara sinergis”. Keberadaan swasta sangat jelas dalam kutipan ini. Tambahan pula, dalam UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, diakui pula keberadaan penyuluh swasta selain penyuluh pemerintah dan penyuluh swadaya dari kalangan petani.

Bertolak dari belum adanya sinergi yang positif antara berbagai BUMN pertanian, Menteri BUMN pernah mencoba membangun sinergi tersebut, dimana BUMN bekerjasama dengan kelompok tani dan swasta. Dalam kaitan ini, pemerintah menelorkan program “E-farm” yang merupakan hasil kerja sama BUMN yang memroduksi benih yaitu PT. Sang Hyang Sri dengan Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) dan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) yang ditandatangani pada 7 April 2005. Kesepakatan tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan PT. E-Farm Bisnis Indonesia (EBI) pada Oktober 2005. Total luas area sawah yang dikelola EBI pada musim tanam 2005-2006 mencapai 10 ribu hektare.

Satu keberhasilan penting yang perlu dicatat di tahun 2009 lalu adalah ekspor perdana beras Indonesia ke pasar dunia. Untuk mewujudkan ini, Deptan dan Deperindag berkerjasama dengan 11 perusahaan swasta pengekspor. Khusus dari Tasikmalaya, berhasil diekspor beras organik dengan berkerjasama dengan eksportir PT Bloom Agro. Perusahaan swasta ini telah berupaya keras memperoleh sertifikasi dan membiayai sendiri tim penilai ke lahan-lahan petani, serta mendapatkan peluang pasar di luar negeri.

Berbagai penelitian membuktikan bahwa keterlibatan swasta terutama pedagang padi dan beras, merupakan pelaku yang sudah berjalan sehari-hari dalam pengembangan agribisnis beras selama ini (Saptana et al, 2007). Sistem distribusi gabah dan beras yang berlangsung selama ini di Indonesia hampir seluruhnya dijalankan swasta meskipun tergolong non formal, karena serapan oleh Bulog hanya 7-8 persen. Titik sentral sistem ini ada pada pedagang besar beras, yang sering dikenal dengan pedagang pengumpul besar, pedagang pengumpul kabupaten atau pedagang antar wilayah yang biasanya juga memiliki usaha penggilingan sendiri (Jamal et al. 2006).

Penelitian Sucofindo (2007) menemukan bahwa hanya sebagian pedagang yang beroperasi dalam bentuk sebuah perusahaan, misalnya adalah Asosiasi Penggilingan Padi Madina (Sumut), yang di dalamnya adalah para pedagang beras yang juga memiliki huller. Pelaku dalam bentuk perusahaan swasta juga dijumpai di Lampung Timur yaitu PT Mekar Sari, PT Tunas Tani dan PT Aneka Mitra; di Alor (NTT) adalah PT Mutiara Harapan, PT Pelangi, dan PT Indah Nusa. Peran Bulog dirasakan secara variatif antar wilayah, tergantung tingkat ketahanan pangan beras di wilayah masing-masing. Pada wilayah yang sering mengalami kekurangan pasokan, Bulog dirasakan berperan dalam menstabilisasi harga di tingkat konsumen.
Sadar dengan kelembagaan distribusi beras yang sesungguhnya berada dalam domain pasar yang sulit ditata, beberapa Pemda bekerjasama dengan swasta. Menteri pertanian pernah mengeluarkan imbauan agar pemerintah daerah ikut membeli gabah petani, misalnya dengan melibatkan BUMD. Ada pula ide agar setiap Pemkab mendirikan BUMD khusus untuk mengurusi perberasan dengan menggunaakan sistem resi gudang.

PENUTUP

Dari paparan di atas terlihat bahwa pemerintah semestinya tidak harus phobia dengan konsep dan pendekatan kedaulatan pangan. Dengan mengimplementasikan spirit kedaulatan pangan, maka ketahanan pangan Indonesia akan lebih mampu dicapai.

Di sisi lain, keterlibatan swasta yang cenderung dipersepsikan pro dan kontra, sesungguhnya sudah dijamin dalam konstitusi kita. Ia adalah elemen dasar dari berjalannya sebuah masyarakat, sehingga tidak dapat disingkirkan begitu saja termasuk dalam pembangunan pertanian pangan.

Jadi, konsep dan pendekatan kedaulatan pangan serta keterlibatan swasta dalam pertanian pangan dapat menyempurnakan konsep ketahanan pangan yang sudah dianut pemerintah Indonesia. Paradigma kedaulatan pangan tidak dapat diabaikan, karena mengandung sisi-sisi humanis dan ekologis yang sangat kita butuhkan. Di sisi lain, meskipun swasta cenderung ditolak keberadaannya dalam pertanian pangan, namun komitmen FAO serta konstitusi pemerintah Indonesia telah memberi peluang yang besar kepada swasta.

Swasta sebagai sebuah institusi ekonomi tidak bisa dihilangkan begitu saja keberadaannya. Indonesia yang bukan merupakan negara sosialis juga tidak dapat menutup akses swasta. Fakta sehari-hari juga demikian, dimana swasta telah lama memainkan peran langsung dalam ekonomi pertanian dan pangan.

Menghadapi perkembangan ini dibutuhkan sikap yang kritis, arif, dan juga adil. Konsep ketahanan pangan meskipun telah hampir 20 tahun ini kita gunakan tidak tertutup kemungkinan untuk disempurnakan dengan menerima berbagai ide lain yang lebih baik. Penggantian atau penyempurnaan konsep merupakan hal yang biasa dalam pembangunan, sebagaimana misalnya munculnya konsep pemberdayaan dan people centered development yang merupakan antitesis terhadap konsep pembangunan yang dinilai terlalu searah.

Daftar Pustaka

Aji, J.M.M. 2009. Urgensi Integrasi Konsep Kedaulatan dalam Ketahanan Pangan. Harian Duta Masyarakat. 24 Februari 2009
Angus, I. 2008. Food Crisis: The Greatest Demonstration Of The Historical Failure Of The Capitalist Model. Global Research, 28 April 2008.
Arifin, B. 2009. Ketahanan Pangan ASEAN, Peran Negara dan atau Swasta?. Diskusi Mingguan Divisi R and D Perum Bulog di Jakarta.
Asshiddiqie, J. 2010. Konstitusi Ekonomi. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Cetakan I, Januari 2010.
Bourgeois, R; F. Jesus; M. Roesch, N. Soeprapto, A. Renggana, dan A. Gouyon. 2003. Indonesia: Empowering Rural Producers Organization. Rural Development and Natural Resources East Asia and Pacific Region (EASRD).
Delforge, Isabelle. 2003. Dusta Industri Pangan: Penelusuran Jejak Monsanto. Terjemahan Sonya Sondakh. REaD Book, Yogyakarta Juni 2003. Buku asli: Nourrir le Monde ou L'agrobusiness - Enquête sur Monsanto. Les Magasins du monde-OXFAM, OXFAM Solidaritè, ORCADES, Dèclaration de Berne.
FAO. 2009. Private Sector Statement to World Summit on Food Security. http://www.fao.org/fileadmin/user_upload/newsroom/docs/milanstatement.pdf
FAO. 1983. “World Food Security: a Reappraisal of the Concepts and Approaches”. Director General’s Report. Rome.
Ferroni, Marco. 2009. “World Food Security: Can Private Sector R&D Feed The Poor? Public-Private Partnerships ini R & D Can Benefit Poor. 27. October 2009. http://www.syngentafoundation.org/index.cfm? pageid=134&newsid=100
Hellin, Jon; Mark Lundy; and Madelon Meijer. 2007. Farmer Organization, Collective Action and Market Access in Meso-America. Capri Working Paper No. 67 • October 2007. Research Workshop on Collective Action and Market Access for Smallholders. October 2-5, 2006 - Cali, Colombia. International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington.
IFPRI (International Food Policy Research Institute). 2006. Private Sector in Agricultural R and D. http://www.ifpri.org/publication/
IPC (International Planning Committee). 2006. International Planning Committee for Food Sovereignty. 2006. IPC Focal Points, http://www.foodsovereignty.org/new/focalpoints.php 23 Juli 2006.
Jamal, E.; Hendiarto; E. Ariningsih; K.H. Noekman; dan A. Askin. 2006. Analisis Kebijakan Penentuan Harga Pembelian Gabah. Laporan Penelitian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Jerbi, Scott. 2009. Food Security and the Private Sector: Thinking About Human Rights?”. Institute for Human Rights and Business. http://www.institutehrb.org/blogs/staff/food_security_and_the_private_sector.html 16 Oktober 2009.
Lee, Richard. 2007. Food Security and Food Sovereignty. Centre for Rural Economy Discussion Paper Series No. 11. March 2007. http://www.ncl.ac.uk/cre/publish/discussionpapers/pdfs/dp11%20Lee.pdf
Maxwell, S. and M. Smith. 1992. Household Food Security; A Conceptual Review. Dalam: S.Maxwell and TR Frankenberger, eds. Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurements: A Technical Review. New York and Rome: UNICEF and IFAD, (Dalam: FAO. 2003. “Trade Reform and Food Security: Conceptualizing the Linkages”. Roma, FAO hal 25)
PT Sucofindo. 2007. Studi Komoditas Strategis Pokok di Indonesia. Laporan Studi: PT Sucofindo, Jakarta
Qureshi, M. Ismail. 2009. Changing Role of Government in Agriculrure. http://www.pakissan.com/english/agri.overview/changing.role.of.government.in.agriculture.shtml
Saliem, H.P.; A. Poerwoto; G.S. Hardono; T.B. Purwantini; Y. Supriyatna; Y. Marisa; dan Waluyo. 2004. Manajemen Ketahanan Pangan Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog. Laporan Penelitian pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Santosa, Dwi Andreas. 2009. Ketahanan Vs Keadulatan Pangan. Opini pada Harian Kompas, 13 Januari 2009.
Saptana, Susmono, Suwarto, dan M. Nur. 2007. Kinerja Kelembagaan Agribisnis Beras Di Jawa Barat. Laporan Penelitian PT Innacon Luhur Pertiwi dan Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat.
Sawit. M. Husen. 2007. Usulan Kebijakan Beras Dari Bank Dunia: Resep Yang Keliru. Jurnal Ekonomi Rakyat. Juli 2007. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_23/artikel_10.htm
Sengupta, Nitish. 2005. Allow Private Sector In Agriculture To Achieve 8.1 Pc GDP Growth. Revenue Secretary and Plan Panel Member. http://www.thehindubusinessline.com/2005/12/11/stories/2005121100640400.htm. 11 Desember 2005.
Simamora, Adianto P. 2010. Merauke Estat Bukan Jawaban Untuk Masalah Pangan RI: Koalisi. The Jakarta Post, Jakarta 3 Mei 2010.
Tramel, Salena. 2009. Why Food Sovereignty Is the New Food Security. http://www.huffingtonpost.com/salena-tramel/why-food-sovereignty-is-t_b_256987.html Huffingtonpost; 12 Agustus 2009.
United Nations. 2008a. The UN Private Sector Forum: The Millennium Development Goals and Food Sustainability. 24 September 2008. UNHQ New York. http://www.unglobalcompact.org/NewsAndEvents/event_archives/2008_UN_Private_Sector_Forum/index.html United Nations. 2008b. New Guide to Food Sustainability and the Role of the Private Sector. http://www.unglobalcompact.org/NewsAndEvents/news_archives/2008_09_24d.html Posted: 24 September 2008.
United Nations. 1975. Report of the World Food Conference, Rome 5-16 November 1974. New York (Dalam: FAO. 2003. “Trade Reform and Food Security: Conceptualizing the Linkages”. Roma, FAO. Hal 27).
Via Campesina. 2006. The Doha is Dead! Time for Food Sovereignty, La Via Campesina Statement 29th July 2006. http://www.viacampesina.org/main_en/index.php?option=com_content&task= view&id=196&Itemid=26 [accessed 31/07/2006].
Windfuhr, M. and J. Jonsen. 2005. Food Sovereignty: Towards democracy in localized food systems. ITDG Publishing, Rugby.

*****

Rabu, 04 Mei 2011

Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Pengembangan Agribisnis Perkebunan

Oleh: Syahyuti

Permasalahan Umum dan Tinjauan Hukum

Pada prinsipnya, hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat. Berdasarkan UUPA No. 5/1960, UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No 41/1999 tentang Kehutanan; hak ulayat masyarakat hukum adat diakui keberadaannya. Karena itu, bila hak ulayat tersebut akan dipergunakan oleh pihak lain, haruslah atas persetujuan masyarakat pemilik hak ulayat tersebut.

Namun, hak ulayat hanya diberikan jika pada kenyataannya masyarakat adat tersebut masih ada (Pasal 3 UUPA No 5 tahun 1960). Persyaratan ini tidak mudah dipenuhi, dan prosedurnya pun belum dipahami dengan baik.

Semenjak Orde Baru, namun baru merebak setelah era reformasi, banyak terjadi konflik dalam pemanfaatan tanah ulayat ini. Permasalahan utamanya adalah penggunaan tanah ulayat (menurut masyarakat) oleh investor, terutama untuk perkebunan, namun tidak melibatkan masyarakat setempat. Ini terjadi karena ”dualisme hukum”, meskipun UUPA disusun untuk menghapuskan dualisme ini.

Akar permasalahannya adalah ”dualisme” yang sedari awal mestinya diluruskan. Menurut saya, hukum cukup satu, yaitu hukum negara, namun hukum negara tersebut disusun berdasarkan spririt hukum adat, mungkin ditambah spirit hukum-hukum lain (misalnya agama). Jika kita konsekuen dengan satu hukum (UUPA sebagai payungnya), maka begitu negara Republik Indonesia ada, seluruh hak ulayat itu diserahkan ke negara. Kemudian, untuk pemanfaatannya berpedoman kepada prinsip ”sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Negaralah yang memegang hak ulayat, bukan kelompok-kelompok masyarakat. Tampaknya selama ini ada kekhawatiran bahwa jika hukum negara yang dipakai akan bertolak belakang dengan persepsi rakyat dan tidak akan menyerap sistem dan prinsip hukum masyarakat yang telah lama eksis (yaitu hukum adat). Akibat ”dualisme” ini, maka terjadi tumpang tindih antara apa yang disebut dengan ”tanah negara” dengan ”tanah ulayat” pada tanah yang persis sama.

Menurut negara, tidak ada tanah adat, semua tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendomnya adalah tanah negara. Sebaliknya, menurut hukum adat pada dasarnya tak ada tanah negara, yang ada hanyalah Tanah Ulayat (tanah adat).

Menurut hukum positif, ”tanah negara” adalah bidang-bidang tanah yang belum ada hak atas tanah atau bekas hak yang habis masa berlakunya. Tanah ini langsung dikuasai negara dan berfungsi untuk kepentingan publik atau perlindungan. Disini termasuk tanah-tanah bentukan baru berupa tanah oloran, tanah endapan baru di pantai maupun sungai atau tanah timbul dan sebagainya. Negara menjadi organisasi kekuasaan tertinggi untuk mengelola tanah dan sumber daya alam lainnya sebagai aset bangsa. Pada prinsipnya, konsep Hukum Tanah Nasional adalah konsepsi hukum adat yang ditingkatkan cakupannya meliputi semua tanah diseluruh wilayah Indonesia.

Di sisi lain, ”tanah ulayat” juga sesungguhnya mempunyai spirit yang sama. Tanah ulayat di Sumatera Barat misalnya, menurut hukum adat Minangkabau, merupakan sumber daya yang diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran warganya. Bidang-bidang tanah, dimanapun di wilayah Sumbar, adalah tanah ulayat. Tanah-tanah yang tidak ”dikuasai” secara pribadi dengan sendirinya menjadi ulayat nagari, sebagai cadangan untuk nanti didistribusikan jika ada yang membutuhkan.

Pada zaman penjajahan Belanda dulu investor menggunakan Pasal 720 Burgerlijk Wetboek (BW) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk golongan Eropah yang terjemahannya Hak Guna Usaha (Erfpachtsregt). Yaitu hak keberadaan untuk menikmati sepenuhnya barang tak bergerak milik orang lain dengan kewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik tanah, sebagai pengakuan tentang pemilikannya, baik berupa uang maupun hasil atau pendapatan. Dalam penguasaan ini, tanah tidak lepas dari pemiliknya, dan investor berkewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik tanah sebagai pengakuan tentang kepemilikannya. Semestinya, begitu Belanda pergi tanah ini kembali menjadi tanah adat. Namun sayangnya melalui UUPA tanah eks Erfpacht tersebut dikonversi menjadi tanah negara. Di zaman Orba, karena tidak menggunakan hak ulayat, khusus di Sumbar, tanah ulayat yang sudah lepas dari pemiliknya (menjadi HGU swasta) seluas 182.141,56 ha.

Semestinya kita tidak usah khawatir meskipun hanya hukum negara yang berlaku. Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945 merupakan komitmen negara dalam mengakui dan menghormati hak milik perorangan, termasuk hak warganegara atas tanah. Hak atas tanah yang berlaku di Indonesia tidak bersifat mutlak, artinya tidak sepenuhnya dapat dipertahankan terhadap siapapun oleh pemegang hak. Dalam kondisi tertentu dimana kepentingan negara menghendaki, maka pemegang hak atas tanah harus rela melepaskan haknya untuk kepentingan yang lebih besar. Jika ditilik dari konstitusi, UUD 1945 telah menggariskan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. UUPA sebagai peraturan dasar juga mengakui prinsip-prinsip ini.

Artinya, menjadi tugas negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum bagi warganya termasuk dalam melindungi hak-hak warga negara atas tanah. Hal ini kemudian diperkuat dan dilegitimasi oleh Ketetapan MPR No IX tahun 2001 yang mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan berbagai hal baik menyangkut upaya penataan, penguasaan, pemilikan, penggunaan, peruntukkan, dan penyediaan tanah yang semuanya diletakan dalam kerangka membangun kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.

Permasalahan terhadap hak pemilikan atas tanah dalam masyarakat adat di Indonesia telah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Pada jaman penjajahan sistem hukum pertanahan yang dijalankan pemerintah menganut dan berorientasi pada sistem hukum Belanda dan Eropa yang mengabaikan keberadaan hukum (masyarakat) adat termasuk hak kepemilikan tanah adat (ulayat). Hal ini diperparah ketika bangsa Belanda menjajah Indonesia sedikit sekali bukti-bukti kepemilikan atas tanah masyarakat termasuk tanah ulayat yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda. Dengan tidak adanya pendaftaran tanah, maka sebagian besar tanah ulayat tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan (kecuali tanah Sultan di DIY).

Pengakuan keberadaan hak pemilikan atas tanah (hak ulayat) dan masyarakat hukum adat mulai diperhatikan setelah dikeluarkan dan diberlakukannya UUPA. Dalam Pasal 3 UUPA disebutkan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Selanjutnya kebijakan tersebut dipertegas dengan dikeluarkannya TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pasal 18(b) UUD 1945 yang diamandemen.

Dalam perkembangannya, UUPA semakin sulit dilaksanakan dengan munculnya UU No 5/1967 tentang Kehutanan, UU No 11/1967 tentang Pertambangan, UU Pengairan dan UU No 4/1982 tentang Lingkungan Hidup (diperbarui dengan UU No. 23/1997 tentang Kepemilikan Tanah) yang didukung dengan diberlakukannya UU PMA dan PMDN. Hak kepemilikan tanah ulayat semakin tidak jelas.

Salah satu peraturan yang sangat jelas dukungannya terhadap keberadaan tanah ulayat adalah Peraturan Meneg Agraria/Kepala BPN No 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Pada Pasal 1 disebutkan: ”hak ulayat” adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Terkait dengan kewenangan pemerintah untuk mengatur penggunaan, peruntukkan dan penyediaan tanah, maka hak-hak privat termasuk hak milik atas tanah warga dapat diambil alih atau dicabut haknya guna pemenuhan kebutuhan atas tanah yang diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum. Namun, pengambilalihan tanah harus memperhatikan prinsip keadilan sehingga tidak merugikan pemilik asal. Salah satu prinsip dasar dari pengambilalihan tanah yang universal adalah ‘no private property shall be taken for public use without just and fair compensation”, artinya proses pengambilalihan tanah dilakukan dengan kompensasi yang jujur dan adil (Landpolicy org:2005). Namun, dalam prakteknya prinsip-prinsip ini sering terabaikan dan pemerintah lebih mengedepankan kekuasaannya dengan menggunakan tameng Hak Menguasai Negara dan kepentingan umum.

Upaya menjembatani kepentingan rakyat atas tanahnya dan pemenuhan kebutuhan tanah untuk kegiatan pembangunan telah dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No 36/ 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagai pengganti Keppres No.55/1991. Pada awalnya PP No.36/2005 menuai kontroversi yang bersumber pada definisi kepentingan umum yang terlalu luas dan jaminan kompensasi bagi masyarakat yang tanahnya diambil alih untuk kegiatan pembangunan demi kepentingan umum.

Namun dengan dikeluarkannya Perpres no. 65/2006 tentang Perubahan Perpres No. 36/2005, definisi kepentingan umum relatif lebih tegas dan berkepastian hukum, yaitu dengan berkurangnya jenis kepentingan umum dari 21 menjadi 7 jenis serta penegasan pembatasan pengadaan tanah untuk kepentingan umum terbatas pada kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemda yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemda. Dalam Perpres tersebut tidak lagi dimungkinkan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum melalui mekanisme pencabutan hak atas tanah. Artinya, pengambilalihan tersebut tidak secara paksa melainkan melalui musyawarah dan kesepakatan para pihak yang berkepentingan.

Jenis Tanah Ulayat dan Sifat Penguasaannya

Aspek penguasaan tanah merupakan bagian yang sangat esensial dalam keseluruhan sistem agraria, karena akan menentukan tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Ciri-ciri utama bentuk penguasaan tanah menurut hukum adat pada beberapa suku bangsa di Indonesia adalah bahwa tanah merupakan sumberdaya ekonomi yang unik, tidak mengenal bentuk penguasaan yang mutlak, adanya sifat inklusifitas, larangan untuk memperjual belikan tanah dalam arti sebagai komoditas pasar, serta lebih diharganinya manusia dan kerja dibandingkan tanah (Syahyuti, 2006). Pada penelitian Jamal et al. (2002), ditemukan ada kesamaan bentuk dan struktur penguasaan tanah menurut hukum adat Minangkabau dengan Dayak di Kalbar, meskipun mereka menyusunnya secara terpisah.
Pada suku Minangkabau, ada empat macam jenis (tingkatan) tanah ulayat yaitu (Thalib, 1985): (1) Ulayat Rajo yakni tanah atau hutan lebat yang terletak jauh dari kampung, koto atau nagari; (2) Ulayat Nagari yaitu tanah adat milik nagari misalnya untuk fasilitas umum, tanah lapang, kolam nagari, untuk kantor, sekolah, masjid, rumah sakit, tanah cadangan berupa belukar muda, dll; (3) Ulayat Suku adalah tanah cadangan bagi suatu suku yang ada dalam nagari tersebut, biasanya digunakan untuk perkebunan atau perladangan milik bersama; dan (4) Ulayat Kaum adalah tanah milik kaum bisa sebagai tanah cadangan yang kelak jika anggota kaum semakin berkembang, maka tanah kaum itu dengan izin panghulunya dapat mendirikan rumah, membuat kebun bersama, sawah atau ladang. Semua tanah ulayat ini disebut tanah Pusako Tinggi yang berada di bawah pengawasan Panghulu (Umar, 1978).

Bentuk hak penguasaan tanah yang berlaku pada satu suku sesungguhnya didasari oleh satu tujuan yang luhur. Di masyarakat Dayak misalnya, tanah tidak hanya berfungsi sebagai benda ekonomis belaka, tetapi merupakan basis politik, sosial, budaya dan spritual. Pada sub suku Dayak Kanayatn (sebagian besar di Kalbar), tanah kesatuan hukum adat disebut sebagai “Binua”. Konsep “kabinuaan” merupakan konsep geo-politik, yang didalamnya terdapat rakyat yang memiliki seperangkat aturan (hukum) dan individu-individu yang diangkat oleh rakyat untuk menegakkan aturan tersebut.

Penataan ruang binua merupakan suatu land use management yang diadaptasikan terhadap sistem pertanian asli terpadu (indigenous integrated farming system). Di dalamnya sekurangnya terdapat tujuh komponen (Djuweng, 1996), di antaranya adalah: kawasan hutan untuk cadangan masa depan, tanah yang ditanami pohon buah-buahan (tembawang), tanah yang ditanami tanaman keras, tanah pertanian (yang sedang dikerjakan dan sedang
diistirahatkan), tanah pekuburan dan keramat, perkampungan dan pekarangan, serta sungai dan danau untuk perikanan.

Hak milik atas tanah menurut adat Dayak dikenal sebagai “hak milik adat turun temurun” yang mencakup hak mengelola dan mengusahakan segala sesuatu baik yang berada di dalam maupun di atasnya. Konsep “tanah adat” pada Dayak Kanayatn disebut dengan Palasar Palaya, yang memadukan tanah dengan fungsi-fungsinya bagi kehidupan manusia. Ada batas-batas teritorial pengelolaan sumberdaya alam pada satu kampung (ampu sakampongan). Berbagai fungsi yang dikenal adalah tanah keramat (panyugu, padagi, pantulak, dll), tempat berburu dan tempat berladang (balubutatu, bawas), tanah bersawah (tawakng, bancah), perkebunan rakyat (kabon gatah, kampokng buah), dan cagar budaya (timawakng). Selain itu, juga ada tanah colap tornat pusaka (tanah yang dingin), yaitu tanah perjanjian adat yang turun temurun harus tetap diabadikan (pusaka). Tanah ini ada di setiap kampung. Hal ini umum dijumpai pada berbagai suku. Suku Baduy misalnya juga mengenal “tanah larangan” yaitu daerah yang dilindungi dan tidak sembarang orang dapat masuk dan berbuat sekehendaknya (Permana, 2003).

Karena sifat penguasaan yang tidak mutlak, maka pihak luar dapat saja memanfaatkan tanah-tanah milik ulayat Dayak, karena dimungkinkan dalam aturan mereka. Pendatang etnik China yang mulai datang di wilayah Kalimantan Barat semenjak tahun 1745, dapat mengolah tanah Suku Dayak dan Melayu dengan meminta izin menggarap. Sebagian dari mereka ada yang memperoleh hak penggarapan dengan meminjam (mungkin tanah saradangan dan binua), namun sering juga diberikan kepada pendatang secara cuma-cuma (Jamal et al., 2001).
Di Suku Dayak di Kalimantan Barat, diakui oleh berbagai nara sumber bahwa memang tanah sesungguhnya tidak dapat diperjual belikan, meskipun hal ini tidak lagi dipatuhi secara baik (Jamal et al., 2001). Bahkan, jika sebagian besar anggota keluarga telah meninggalkan kampung, maka salah seorang (biasanya anak tertua) bertanggung jawab untuk mengelola dan menjaga seluruh tanah keluarga tersebut, namun tidak dapat menjualnya ke
pihak lain.

Prosedur dan Indikator untuk Menyatakan Bahwa Satu Masyarakat Adat Masih Ada

Sebagaimana telah disebutkan di atas, banyak peraturan yang mengakui bahwa satu masyarakat adat bisa dinyatakan eksis. Di antara peraturan tersebut adalah UU No 41/1999 tentang Kehutanan (yang diperbarui), UU No 11/1999 tentang Pertambangan, UU No 10/1992 tentang Kependudukan, Keppres No 111/1999 tentang Komunitas Adat Terpencil (KAT), SK Menteri Kehutanan No 47/1998 tentang Kawasan dengan Tujuan Istimewa dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan pertanahan Nasional No 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Sedangkan kebijakan yang memberi wewenang kepada pemerintah Kabupaten/Kota didasarkan pada UU No. 22/1999 (direvisi dengan UU No. 32/2004) dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

UU No 22/1999 (Pasal 7 dan 11) dan UU No 25/1999, memberikan kesempatan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk merumuskan dan membuat kebijakan daerah yang memberikan perlindungan hak atas kepemilikan tanah ulayat dan masyarakat hukum adat. Beberapa daerah dengan berlandaskan UU No. 23/1997 tentang Lingkungan Hidup dan UU No. 22/1999 (UU No 32/2004) telah membuat Perda dimaksud antara lain Perda Kabupaten Lebak (Banten) No. 32 tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, Perda Propinsi Bali No. 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman yang memberi perlindungan terhadap keberadaan “Desa Adat”, keberadaan “Nagari” di Sumatera Barat, dan Perda Kabupaten Kampar (Riau) Nomor 12 tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat.

Bersamaan dengan ini, pada kenyataannya, di beberapa wilayah kita dapat menemukan keberadaan masyarakat adat dan pengakuan terhadap hak kepemilikan tanah ulayat meskipun tanpa bukti-bukti tertulis, misalnya di Riau (Kabupaten Kampar, Palalawan, Indragiri Hulu, Bengkalis), Kab. Rejanglebong (Bengkulu) dan Kabupaten Merangin (Jambi). Pada masyarakat asli, kepala desa sekaligus merupakan kepala adat. Namun, dengan terbitnya UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, hilanglah wewenang Kepala Desa dalam menentukan pengelolaan dan penguasaan hak kepemilikan tanah ulayat.

Menurut Pasal 1 ayat 3 Permenag No 5/1999, masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. Menurut ketua tim peneliti keberadaan masyarakat adat dan hak ulayat di Kabupaten Pasir Prof Dr Amir Syarifuddin SH, eksistensi kelompok masyarakat hukum ini ditandai oleh keberadaan dalam lingkup “ulayat”-nya sebagai tempat mereka hidup dan menjalani kehidupannya sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai religi, adat istiadat dan pranata hukum adatnya.

Ia juga mengakui, meskipun satu kelompok masyarakat telah dapat diidentifikasi, namun ini tidak berlaku general. Karena itu, untuk kelompok lain, meskipun masih suku Dayak, perlu dilakukan penelitian lanjutan khusus agar dapat memastikan dilingkungan komunitas mana yang masih dapat dinilai sebagai masyarakat hukum atau persekutuan hukum sehingga jelas yang mana merupakan hak kolektif masyarakat dan mana yang hak individual seseorang. Tim ini merekomendasikan perlunya dijelaskan tentang ketentuan “hak ulayat” itu sendiri, misalnya melalui Perda agar dapat dibedakan dari istilah yang sama atau hampir sama dengan yang banyak digunakan dalam masyarakat umum.

Pengakuan terhadap hak ulayat

Menurut Pasal 2 ayat 2 Permenag No. 5/1999, hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila: (a) Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatau persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, (b) Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan (c) Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Jadi, penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dapat dilihat pada tiga hal, yakni ada masyarakat hukum yang memenuhi ciri-ciri tertentu (= subjek hak ulayat), adanya wilayah dengan batas-batas tertentu (= objek hak ulayat), dan adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.

Selanjutnya, siapa yang berwenang menetapkan adanya hak ulayat tersebut? Menurut Pasal 5 ayat 1, yang berwenang melakukan penelitian adalah Pemda dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, LSM dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam. Output penelitian ini adalah peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan menggambarkan batas-batasnya. Output ini lalu dicatatkan dalam daftar tanah. Pada masyarakat awam, bukti penguasaan tanah adat warisan dari leluhur sangat sederhana, yang dibuktikan dengan adanya pohon tempat madu yang mereka sering ambil hasilnya dan kuburan misalnya.

Penggunaan tanah ulayat untuk HGU

Sebelum di-HGU kan, tanah ulayat harus didaftarkan atau disertifikatkan. Pada prinsipnya, kegiatan pendaftaran tanah menurut PP No 24/1997 meliputi 3 kegiatan utama. Pertama, adalah registrasi berupa kegiatan pencatatan data bidang dari aspek hukum dan fisik yang dikenal dengan teknik kadasteral. Kedua, pengesahan hubungan hukum antara subyek dan obyek hak yang bertujuan untuk memperoleh pengesahan secara yuridis mengenai haknya, siapa pemegang haknya (subyek hak) dan kondisi tanahnya (obyek hak) ada atau tidaknya hak lain yang membebani dan atau permasalahan dimana alat pembuktian berupa dokumen dan lainnya merupakan instrumen utamanya. Ketiga, penerbitan tanda bukti, berupa sertipikat hak atas.

Berdasarkan Pasal 4 Pemenag No. 5/1999, setelah disertifikatkan, tanah ulayat dapat dikuasai oleh masyarakat adat itu sendiri dan oleh pihak lain. Penguasaan oleh pihak lain dapat oleh instansi pemerintah, dan badan hukum ataupun perseorangan. Pelepasan hak penguasaan tersebut sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku. Salah satu bentuk penguasaan tanah ulayat oleh pihak lain adalah berupa HGU.

Berdasarkan PP No 40/1996, HGU bisa ditetapkan pada tanah-tanah selain tanah yang dikuasai langsung oleh Negara melalui mekanisme pelepasan hak dan pengeluaran status kawasan. Hal ini merupakan perluasan pemberian alas HGU berdasar UUPA dengan prinsip transparansi, akuntibilitas, dan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan
Umumnya HGU berlaku untuk tanah negara, sebagaimana Pasal 28 ayat 1 UUPA dan Pasal 4 PP No. 40/1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Namun Pasal 4 ayat 2 Permenag No. 5/1999 menyatakan bahwa: ”Pelepasan tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan Pasal 2.

Ketentuan ini sudah sesuai dengan aspirasi masyarakat. Karena itulah, ketika di Sumatera Barat disusun Raperda tentang tanah ulayat, timbul protes karena dalam Raperda setelah habis HGU tanah tersebut menjadi tanah negara.

Meskipun aturannya sudah ada, namun persepsi masyarakat belum tentu positif, walau hanya untuk disertifikatkan. Pengalaman Tim SMERU tahun 2002 di Sumatera Barat, menemukan bahwa tidak ada sertifikat yang diterbitkan melalui pendaftaran sistematik, karena kurang dari 30% kepala mamak waris tidak setuju dengan kegiatan pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran tanah. Mereka khawatir setelah sertifikat di tangan maka tanah ulayat akan dapat diperjual-belikan atau dipergunakan sebagai agunan di bank tanpa perlu sepengetahuan para ninik mamak. Ini akan menyebabkan tanah ulayat akan cepat hilang. Sebaliknya para keponakan menolak sertifikasi karena masih ada perselisihan tanah dalam keluarga yang disebabkan ninik mamak menjual tanah keluarga tanpa sepengetahuan mereka, dan khawatir akan menyebabkan pembagian tanah komunal yang kurang adil.

Selama ini, terutama pada era Orde Baru, pemerintah mempunyai modus sendiri untuk menyediakan tanah bagi pemberian HGU. Pasal 2 Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 21/1994 Tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal menentukan bahwa perolehan tanah dalam rangka pelaksanaan ijin lokasi dapat dilakukan melalui cara pemindahan hak atau melalui penyerahan atau pelepasan hak atas tanah yang diikuti dengan pemberian hak baru. Perolehan tanah melalui pemindahan hak dilakukan apabila tanah yang bersangkutan sudah dipunyai dengan hak atas tanah yang sama jenisnya dengan hak atas tanah yang diperlukan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya dengan ketetentuan bahwa apabila perusahaan yang bersangkutan menghendaki, hak atas tanah tersebut dapat juga dilepaskan untuk kemudian dimohonkan hak sesuai ketentuan yang berlaku.

Contoh penerbitan HGU di tanah ulayat terjadi di kabupaten Pasaman (Sumbar). Pasal 4 Keputusan Bupati Pasaman No. 6/1998 menyatakan, ayat 1: ”Pengadaan kebun plasma berasal dari penyerahan tanah oleh Ninik Mamak/Pemilik/Penguasa, tanah (ulayat adat) yang diserahkan kepada Negara melalui Pemerintah Daerah yang selanjutnya diperuntukkan bagi kelompok tani peserta plasma dengan pola Bapak Angkat Anak Angkat”. Selanjutnya pada ayat 2: “Bupati Kepala Daerah setelah menerima penyerahan tanah dan berikutnya calon petani peserta plasma sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, memerintahkan kepada kepala BPN untuk mencatat (Registrasi) sebagai tanah negara bekas tanah ulayat adat, memasang tanda-tanda batas, melaksanakan pengukuran keliling dan penghitungan luas areal secara kadesteral”.

Terlihat bahwa tanah-tanah ulayat tersebut diserahkan terlebih dahulu kepada Pemda dan setelah itu barulah masuk pada proses pemberian HGU. Penyerahan hak ulayat ini diikuti dan beserta dengan proses adat ”adat diisi, limbago dituang” dan pemberian ”siliah jariah”. Ada yang berpendapat, semestinya setelah penelitian tentang hak ulayat, lalu dibuatkan rancangan Perda dan diajukan ke DPRD setempat, untuk dibahas dan ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. DPRD juga bisa melakukan penelitian dengan hak inisiatifnya.
DI Sumbar, hal ini dilakukan melalui Lembaga Siliah Jariah sebagai mekanisme adat berupa pemberian izin berladang/izin pemakaian tanah ulayat kepada pihak ketiga diluar komunitas mereka. Pembayaran uang atau barang-barang sebagai siliah jariah, tidaklah secara otomatis terjadi perpindahan hak milik atas tanah tersebut. Benda-benda atau sejumlah uang yang dibayarkan adalah sebagai uang adat sebagai syarat dikeluarkannya izin berladang untuk pihak ketiga tersebut. Tidak terjadinya perpindahan hak kepemilikan atas tanah ulayat yang disiliah jariahkan tersebut juga disebabkan karena tanah ulayat tidak dapat diperjual belikan.
Secara konseptual, lembaga Siliah Jariah ini sulit dipertanggungjawabkan keabsahannya dalam tatanan adat Minangkabau. Namun demikian, sebagaimana sifat hukum adat yang dinamis, lembaga Siliah Jariah dapat diterima dalam tatanan hukum adat Minangkabau berdasarkan pendekatan jenis adat, yaitu termasuk adat yang diadatkan, bukan adat yang sebenarnya adat. Adat yang diadatkan dilahirkan untuk mengakomodir dinamika internal mereka yang selalu berkembang.

Jika ada investor yang berminat untuk membangun perkebunan besar disuatu daerah, pemerintah daerah melakukan pendekatan dengan penghulu-penghulu adat setempat. Tanah-tanah yang digunakan, apakah itu berupa tanah peladangan atau tanah cadangan berupa hutan diberikan melalui lembaga Siliah Jariah tadi. Investor melalui pemerintah daerah setempat kemudian memberikan sejumlah uang atau barang sebagai tanda telah terjadinya siliah jariah antara masyarakat adat setempat dengan pemda. Melalui Siliah Jariah ini yang terjadi adalah ”peminjam pakaian” tanah. Proses siliah jariah tidak menghilangkan hak ulayat masyarakat. Sehingga apabila HGU telah habis jangka waktunya, maka akan kembali kepada masyarakat.

Penutup

Pada hakekatnya, penguasaan menurut hukum negara maupun adat, memiliki banyak kesamaan, karena pada hakekatnya disusun atas nilai-nilai sosial dan kesejahteraan bersama di dalamnya. Sehingga penggunaan tanah yang mampu memberi nilai ekonomi lebih, misalnya dengan membangun perkebunan besar, dapat diterima asalkan misalnya dilakukan di atas prinsip keadilan. Jika berdasarkan akal sehat, tidak mungkin suatu masyarakat hukum adat mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat- masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam lingkungan Negara sebagai kesatuan. Karena akan berakibat terhambatnya usaha-usaha untuk mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya.

Namun, selain aspek ”penguasaan dan pemilikan”, perlu pula diperhatikan aspek ”penggunaan dan pemanfaatan”. UUPA banyak memuat aspek pertama, sedangkan aspek kedua banyak dimuat dalam UU Penataan Ruang (UUPR). Pengakuan penguasaan lahan tradisional dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) akan mengurangi benturan antara pihak perusahaan dan masyarakat lokal. Pemetaan kepentingan seluruh stakeholder, dan mengintegrasikannya secara formal dapat mencegah dan meminimalkan konflik atas lahan.

Untuk solusi lokal, diundangkannya UU No. 22/1999, UU No. 41/1999 dan UU No 3/ 2003 telah memberi peluang secara terbuka kepada Pemda Kabupaten/Kota untuk menyusun dan membuat kebijakan yang akomodatif terhadap pemenuhan hak-hak masyarakat adat sesuai kebutuhan dan otonomi daerah. Pemda dapat menyusun Perda dengan berpedoman pada perlindungan hak-hak masyarakat adat sesuai dengat amanat UUD 1945 dan TAP MPR Nomor XVII tahun 1988 misalnya.

Daftar Bacaan

Bahari, Syaiful. 2005. Negara dan Hak Rakyat atas Tanah. Kompas, 13 Mei 2005.
Bushar, Muhammad. 1988. Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta.

Djuweng, Stefanus. 1996. Kalimantan: Dulu, Sekarang, dan Masa Depan. Oktober, 1996. Institut Dayakologi.

Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar.

Harsono, Boedi. 2002. Menuju penyempurnaan hukum tanah nasional dalam hubungannya dengan Tap MPR RI Nomor IX tahun 2001, makalah pad seminar nasional pertanahan 2002 “pembaruan agraria”. STPN Yogyakarta, tanggal 16 Juli 2002.

Jamal, Erizal; Tri Pranadji; Aten M. Hurun; Adi Setyanto; Roosgandha E. Manurung; dan Yusuf Nopirin. 2001. Struktur dan dinamika penguasaan lahan pada komunitas lokal. Laporan Penelitian PSE no. 526, Bogor.

Kaban, Maria. 2004. Keberadaan Hak Masyarakat Adat Atas Tanah Di Tanah Karo. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Universitas Sumatera Utara. Medan.

Pakpahan, MD. et al. 1998. Traditional Community Land Occupancy Pattern and Land Registration Problem: Case Studies in West Sumatera, Central Kalimantan, and West Nusa Tenggara. Study Report volume I December 1998. Center for Societal Development Studies in Cooperation with The National Land Agency. Jakarta.

Permana, Cecep Eka. 2003. Religi dalam Tradisi Bercocok Tanam Sederhana. Jurusan ArkeologiFIBUI. (http://www.arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_ news=45, 10 Mei 2006).

Purbacaraka, Purnadi dan Ridwan Halim. 1993. Sendi-Sendi Hukum Agraria. Penerbit Ghalia Indonesia.

Rizal, Syamsul. 2003. Kebijaksanaan Agraria Sebelum dan Sesudah Keluarnya UUPA. Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Syahyuti. 2006. Nilai-Nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah menurut Hukum Adat di Indonesia. Majalah Forum Agro Ekonomi No1. tahun 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Ter Haar. 1985. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Sumur Batu, Bandung.
Thalib, Sajuti. 1985. Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau. Bina Aksara, Jakarta.

Umar, Ali. 1978. Hukum Adat dan Lembaga-Lembaga Hukum Adat daerah Sumatera Barat. Laporan Penelitian, Kerjasama BPN dengan FH Unand, Padang.

Yakub, B. Nurdin. 1995. Hukum Kekerabatan Minangkabau. CV Pustaka Indonesia, Jakarta. Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. (Hal 290-1). Dalam S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (eds). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta.

Wiradi, Gunawan. 1996. Jangan Perlakukan Tanah sebagai Komoditi. Jurnal “Analisis Sosial. Edisi 3 Juli 1996.

******