Kamis, 23 Desember 2010

Nilai-Nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah menurut Hukum Adat di Indonesia

(Terbit di majalah Forum Agro Ekonomi No1. tahun 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor).

Abstract

Aspect of land ownership is shares very esensial in all system of agraria applying, because will determine the level and distribution of prosperity of society in it. That way also for agricultural sector, because factor land ownership become determinant of activity of farming activities and also including distribution of the result among its perpetrator. Height phenomenon land convertion and farm unemployed in Indonesia is impact of domination system of according to state law which is very respect the ownership of person (privat ownership) of because economic capitalist system. This article studied the concept of land ownership which relative differ, that is domination form of according to customary law at some proven tribes in Indonesia have many equalities of with form of land ownership according to Islam law. Some its characteristics is prima facie is that land are unique economic resorce, where doing not know absolute domination form, existence of the nature of inclusiveness, and also the prohibition order for sell land in meaning as market commodity. Land ownership of according to customary law and Islam seems have higher level wisdom, truthfully will be more can realize prosperity of society with justice.

Keyword: land ownership, customary law, Islam law, state law.

Abstrak

Aspek penguasaan tanah merupakan bagian yang sangat esensial dalam keseluruhan sistem agraria yang berlaku, karena akan menentukan tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Demikian pula untuk sektor pertanian, karena faktor penguasaan tanah menjadi penentu kegiatan usahatani serta termasuk distribusi hasilnya di antara pelakunya. Fenomena tingginya alih fungsi lahan dan lahan terlantar di Indonesia merupakan dampak dari sistem penguasaan menurut hukum negara yang sangat menjunjung tinggi kepemilikan pribadi (privat) karena dijiwai sistem ekonomi kapitalis. Dalam tulisan ini dipelajari konsep penguasaan terhadap tanah yang relatif berbeda, yaitu bentuk penguasaan menurut hukum adat pada beberapa suku bangsa di Indonesia yang terbukti memiliki banyak kesamaan dengan bentuk penguasaan tanah menurut hukum Islam. Beberapa cirinya yang utama adalah bahwa tanah merupakan sumberdaya ekonomi yang unik, dimana tidak mengenal bentuk penguasaan yang mutlak, adanya sifat inklusifitas, larangan untuk memperjual belikan tanah dalam arti sebagai komoditas pasar, serta lebih diharganinya manusia dan kerja dibandingkan tanah. Penguasaan tanah menurut hukum adat dan Islam tampaknya memiliki kearifan yang lebih tinggi, yang sesungguhnya akan lebih mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.
Kata kunci: penguasaan tanah, hukum adat, hukum Islam, hukum negara.

PENDAHULUAN

Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan” dan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”. Hal ini terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang menyebutkan bahwa: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”. Aspek “penguasaan/pemilikan” jelas berbeda dengan aspek “penggunaan/pemanfaatan”, karena yang pertama berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua membicarakan bagaimana tanah (dan sumberdaya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan.

Hak penguasaan merupakan hal yang paling pokok yang terdapat dalam sistem agraria di satu negara maupun di satu kelompok masyarakat. Penguasaan terhadap tanah merupakan permasalahan penting dalam keagrariaan. Dari titik inilah akan ditentukan bagaimana struktur agraria yang akan terbangun, yang akan berkaitan erat dengan struktur masyarakatnya (Wiradi, 1984). Di Indonesia, UUPA No. 5 tahun 1960, menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari aspek penggunaan. Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus (Bab II) dan mendominasi seluruh isi UUPA, yaitu dari pasal 16 sampai dengan pasal 51; padahal batang tubuh UUPA hanya berisi 58 pasal. Selain jumlah yang lebih dominan, juga terbaca dengan mudah bahwa “aspek penggunaan” tanah diatur setelah hak penguasaan dimiliki (seseorang, pemerintah, ataupun badan swasta). Hal ini dapat dilihat pada pasal 2 ayat 2, pasal 4 ayat 2, dan pasal 14 ayat 1. Hal ini dapat dimengerti karena UUPA lahir pada saat permasalahan penguasaan tanah menjadi sangat penting, yaitu bagaimana “merebut” tanah-tanah yang dikuasi pengusaha asing dan pemerintahan kolonial.

Bentuk penguasaan tanah pada satu negara mengikuti ideologi ekonomi yang dianut negara tersebut. Kita mengenal setidaknya lima ideologi sistem ekonomi, yaitu kapitalisme, sosialisme, komunisme, fasisme, dan ekonomi Islam (Achyar, 2005). Secara umum, hak kepemilikan (property rights) yang berlaku dalam sistem ekonomi kapitalis adalah kepemilikan yang tanpa batas. Bentuk kepemilikan tanpa batas ini berlaku untuk benda apa saja termasuk tanah. Si pemilik (owner) dapat menggunakan dan menguasai miliknya sebagaimana ia sukai. Konsep dasar sistem ekonomi kapitalis adalah kebebasan tanpa batas untuk menciptakan pendapatan pribadi dan membelanjakannnya sesuai dengan kemauannya (personal propensities) (Heilbroner, 1986). Motif kepentingan individu yang didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas, yang pada akhirnya melahirkan ekonomi kapitalis. Dalam konteks ini, menurut Wiradi (1996), pemilikan tanah yang disamakan dengan sumber daya ekonomi lain sehingga tanah menjadi ”komoditas”, merupakan akar terjadinya berbagai krisis ekonomi di tingkat dunia selama ini.

Sisi ekstrim yang lain adalah kepemilikan tanah di negara sosialis, dimana kepemilikan pribadi hampir seluruhnya telah dicabut dan dialihkan ke negara. Pemerintah bertindak sebagai pihak yang dipercayai oleh seluruh warga masyarakat. Pada akhirnya, sosialisme melibatkan pemilikan semua alat-alat produksi, termasuk di dalamnya tanah-tanah pertanian oleh negara dan menghilangkan milik swasta. Dalam masyarakat sosialis, hal yang menonjol adalah kolektivisme atau rasa kerbersamaan, dimana alokasi produksi dan cara pendistribusian semua sumber-sumber ekonomi diatur oleh negara (Achyar, 2005).

Selanjutnya, komunisme lebih bersifat gerakan ideologis yang juga mencoba mendobrak sistem kapitalisme. Komunisme adalah bentuk paling ekstrem dari sosialisme. Sementara dalam fasisme, asosiasi-asosiasi yang mencakup seluruh industri atau sindikat-sindikat pekerja mengoperasikan kegiatan produksi, pemerintah melakukan pengendalian dalam bidang produksi, sedangkan kekayaan dimiliki oleh pihak swasta.

Dalam konsep ekonomi Islam, manusia tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber daya semaunya sendiri. Ada pembatasan yang serius berdasarkan ketetapan kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa. Tidak seorang pun lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk. Dalam konteks ini, manusia tidak hanya makhluk sosial namun sekaligus juga makhluk religius. Menurut Gamal (2006), ilmu Ekonomi Islam sesungguhnya menjadi dasar bagi ilmu-ilmu ekonomi yang berkembang saat ini.

Tulisan ini mengkaji satu bentuk penguasaan yang sangat berbeda dengan bentukbentuk pemilikan ekonomi kapitalis, yaitu pada kearifan hukum adat yang tampaknya memiliki banyak kesejajaran dengan penguasaan tanah dalam agama Islam, dimana tanah “tidak dimiliki secara mutlak”. Apa yang dapat disebut dengan suatu ”kearifan Timur” ini tampak lebih berkeadilan dan mengedepankan fungsi sosial dari tanah. Permasalahan ini cukup penting bagi dunia pertanian, karena dengan menerapkan pola pemilikan menurut hukum adat dan Islam misalnya, maka struktur pendapatan dan kesejahteraan petani akan lebih seimbang, karena adanya perbaikan sistem bagi hasil menjadi lebih adil.

Pemaparan akan dimulai dengan deskripsi tentang konsep penguasaan menurut berbagai hukum adat di Indonesia yang tampaknya memiliki satu “benang merah” yang k has. Konsep penguasaan tanah menurut hukum adat perlu diungkap, karena secara ideologis hukum adat menjadi pertimbangan pokok dalam menyusun ketentuan penguasaan tanah menurut hukum negara. Dalam tulisan ini diperlihatkan bahwa idealisme yang dimiliki hukum-hukum adat (yang sebagian besar tampaknya justeru tidak mengenal Islam), memiliki kearifan yang sama dengan hukum Islam tentang tanah sebagai sumberdaya ekonomi yang khas. Pada bagian terakhir, dipaparkan hukum negara Indonesia saat ini dalam hal pertanahan. Hukum negara saat ini bukanlah sebagaimana ada dalam UUPA, namun lebih dipengaruhi hukum barat yang liberal-kapitalis.

HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH MENURUT HUKUM ADAT DI
INDONESIA

Bentuk hukum penguasaan tanah pada masyarakat adat dikenal dengan ”hak ulayat”. Ini merupakan istilah yang digunakan secara formal, walaupun sesungguhnya pada setiap etnik istilah yang digunakan berbeda-beda. Dalam bahasa hukum maupun ilmiah, istilah ”tanah ulayat” selalu digunakan untuk menyebut tanah-tanah yang dikuasai menurut hukum adat pada suatu etnik tertentu.

Jenis-Jenis Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat

Secara umum, menurut Purbacaraka dan Halim (1993), hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indoensia dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu: ”hak ulayat” dan ”hak pakai”. Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal ini, pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut. Untuk sementara waktu, seseorang berhak mengolah serta menguasai sebidang tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai. sebidang tanah bagi kepentingannya, biasanya terhadap tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama.

Sementara Van Dijk (dalam Kaban, 2004) membagi tiga bentuk hak-hak atas tanah adat yaitu: hak persekutuan atau pertuanan, hak perorangan, dan hak memungut hasil tanah. Perbedaannya adalah sebagai berikut:

1. Hak persekutuan atau hak pertuanan mempunyai akibat keluar dan kedalam. Akibat ke dalam antara lain memperbolehkan anggota persekutuan (etnik, sub etnik, atau fam) untuk menarik keuntungan dari tanah dengan segala yang ada di atasnya, misalnya mendirikan rumah, berburu, maupun menggembalakan ternak. Izin hanya sekedar dipergunakan untuk keperluan hidup keluarga dan diri sendiri, bukan untuk diperdagangkan. Akibat keluar ialah larangan terhadap orang luar untuk menarik keuntungan dari tanah ulayat, kecuali setelah mendapat izin dan sesudah membayar uang pengakuan (recognitie), serta larangan pembatasan atau berbagai peraturan yang mengikat terhadap orang-orang untuk mendapatkan hak-hak perorangan atas tanah pertanian.

2. Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari hak milik adat (inland bezitrecht), dimana yang bersangkutan tenaga dan usahanya telah terus menerus diinvestasikan pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan diakui oleh anggota lainnya. Kekuasaan kaum atau persekutuan semakin menipis sementara kekuasaan perorangan semakin kuat. Hak milik ini dapat dibatalkan bila tidak diusahakan lagi, pemiliknya pergi meninggalkan tanah tersebut, atau karena tidak dipenuhi kewajibankewajiban yang dibebankan.

3. Hak memungut hasil tanah (genotrecht) dan hak menarik hasil. Tanah ini secara prinsip adalah milik komunal kesatuan etnik, namun setiap orang dapat memungut hasil atau mengambil apapun yang dihasilkan tanaman di atas tanah tersebut.

Di suku Minangkabau, tanah ulayat terbagi menjadi tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, dan tanah ulayat kaum (Thalib, 1985). Ketiga jenis tanah ini disebut sebagai ”tanah pusaka tinggi”. Di luar itu dikenal ”tanah pusako rendah”, yaitu tanah-tanah yang diperoleh seseorang dari pemberian, hibah, atau karena membuka lahan sendiri (menaruko). Tanah ulayat nagari adalah tanah-tanah dimana terdapat di dalamnya hak penduduk satu kesatuan ”nagari”, yang pengelolaannya atau pendistribusiannya dikuasakan kepada penghulu nagari yaitu Kerapatan Adat Nagari (KAN). Tanah ini ada yang berbentuk fasilitas umum, juga ada yang masih berupa rimba sebagai cadangan lahan untuk dibuka suatu saat, ketika penduduk nagari sudah membutuhkan.

Tanah ulayat suku adalah tanah-tanah yang dikuasai dan dikelola oleh suatu suku secara turun temurun, yang pengaturannya juga dikuasasi oleh penghulu suku bersangkutan. Selanjutnya tanah ulayat suku, dalam perkembangannya dapat menjadi tanah ulayat kaum, yang penggunaannya terbagi dalam keluarga-keluarga separuik yang lingkupnya lebih kecil lagi. Bentuk hak penguasaan yang berlaku sesungguhnya didasari oleh satu tujuan yang luhur. Di masyarakat Dayak misalnya, tanah tidak hanya berfungsi sebagai benda ekonomis belaka, tetapi merupakan basis politik, sosial, budaya dan spritual. Pada sub suku Dayak Kanayatn, tanah kesatuan hukum adat disebut sebagai “Binua”. Konsep “kabinuaan” merupakan konsep geo-politik, yang didalamnya terdapat rakyat yang memiliki seperangkat aturan (hukum) dan individu-individu yang diangkat oleh rakyat untuk menegakkan aturan tersebut.

Penataan ruang binua merupakan suatu land use management yang diadaptasikan terhadap sistem pertanian asli terpadu (indigenous integrated farming system). Di dalamnya sekurangnya terdapat tujuh komponen (Djuweng, 1996), di antaranya adalah: kawasan hutan untuk cadangan masa depan, tanah yang ditanami pohon buah-buahan (tembawang), tanah yang ditanami tanaman keras, tanah pertanian (yang sedang dikerjakan dan sedang diistirahatkan), tanah pekuburan dan keramat, perkampungan dan pekarangan, serta sungai dan danau untuk perikanan. Hak milik atas tanah menurut adat Dayak dikenal sebagai “hak milik adat turun temurun” yang mencakup hak mengelola dan mengusahakan segala sesuatu baik yang berada di dalam maupun di atasnya.

Sebagaimana pada suku Minangkabau, di masyarakat Dayak juga dikenal pola penguasaan yang berjenjang yang hampir sama persis. Adat Dayak mengakui kepemilikan tanah adat yang terdiri atas2:
(1) kepemilikan “seko menyeko” atau kepemilikan perseorangan,
(2) kepemilikan parene’ant, yang merupakan tanah warisan yang dengan segala isinya menjadi milik dari beberapa keluarga dalam satu garis keturunan,
(3) kepemilikan saradangan, merupakan kepemilikan oleh suatu kampung, dan
(4) kepemilikan binua, yaitu kepemilikan atas tanah oleh beberapa kampung satuan wilayah hukum adat Ketemanggungan.

Konsep “tanah adat” pada Dayak Kanayatn disebut dengan Palasar Palaya, yang memadukan tanah dengan fungsi-fungsinya bagi kehidupan manusia. Ada batas-batas teritorial pengelolaan sumberdaya alam pada satu kampung (ampu sakampongan). Berbagai fungsi yang dikenal adalah tanah keramat (panyugu, padagi, pantulak, dll), tempat berburu dan tempat berladang (balubutatu, bawas), tanah bersawah (tawakng, bancah), perkebunan rakyat (kabon gatah, kampokng buah), dan cagar budaya (timawakng). Selain itu, juga ada tanah colap tornat pusaka (tanah yang dingin), yaitu tanah perjanjian adat yang turun temurun harus tetap diabadikan (pusaka). Tanah ini ada di setiap kampung. Suku Baduy juga mengenal “tanah larangan” yaitu daerah yang dilindungi dan tidak sembarang orang dapat masuk dan berbuat sekehendaknya (Permana, 2003).

Konsep tanah komunal, selain yang dikuasai secara pribadi, juga dikenal di Bali yang disebut dengan “tanah duwe” yang merupakan milik “desa pakraman” atau desa adat di Bali. Juga dikenal “tanah pelaba pura”, yang merupakan tanah untuk membiayai keberlanjutan tempat suci pura (Sedjati et al., 2002). Demikian pula di Papua, dimana tanah diibaratkan sebagai “ibu kandung”. Sebagai ibu, tanah memberi kehidupan kepada anak-anaknya. Selain nilai ekonomi, tanah juga memiliki nilai kultural-spritual, dengan sistem kepemilikan yang berbentuk komunal. Kepemilikan tanah di Papua berkaitan dengan keberadaan serta penguasaan suatu etnik atas wilayah tertentu (Anonimous, 2006a).

Pengertian hak ulayat menurut hukum adat

Menurut Rizal (2003), hak ulayat yang disebut juga dengan hak persekutuan adalah daerah dimana sekelompok masyarakat hukum adat bertempat tinggal mempertahankan hidup tempat berlindung yang sifatnya magis-religius. Masyarakat yang hidup di dalam hak ulayat berhak mengerjakan tanah itu, dimana setiap anggota masyarakat dapat memperoleh bagian tanah dengan batasan-batasan tertentu. Menurut Van Vollenhoven (dalam Bushar, 1988) ciri-ciri hak ulayat itu adalah sebagai berikut:

a. Tiap anggota dalam persekutuan hukum (etnik, sub etnik, atau fam) mempunyai wewenang dengan bebas untuk mengerjakan tanah yang belum digarap, misalnya dengan membuka tanah untuk mendirikan tempat tinggal baru.
b. Bagi orang di luar anggota persekutuan hukum, untuk mengerjakan tanah harus dengan izin persekutuan hukum (=dewan pimpinan adat).
c. Anggota-anggota persekutuan hukum dalam mengerjakan tanah ulayat itu mempunyai hak yang sama, tapi untuk bukan anggota selalu diwajibkan membayar suatu retribusi (uang adat, sewa lunas, sewa hutang, bunga pasir dan lain-lain) ataupun menyampaikan suatu persembahan (ulutaon, pemohon).
d. Persekutuan hukum sedikit banyak masih mempunyai campur tangan dalam hal tanah yang sudah dibuka dan ditanami oleh seseorang.
e. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam ulayatnya.
f. Persekutuan hukum tidak dapat memindah tangankan hak penguasaan kepada orang lain.
g. Hak ulayat menurut hukum adat ada di tangan suku/masyarakat hukum/desa.

Hampir sama dengan di atas, berlakunya hak ulayat ini menurut sistematika Ter Haar (1985) adalah sebagai berikut:
1. Anggota masyarakat hukum bersama-sama dapat mengambil manfaat atas tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di atasnya.
2. Anggota masyarakat hukum untuk keperluan sendiri berhak berburu, mengumpulkan hasil hutan yang kemudian dimiliki dengan hak milik bahkan berhak memiliki beberapa pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu dipelihara olehnya.
3. Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan kepala suku atau kepala masyarakat hukum. Hubungan hukum antara orang yang membuka tanah dengan tanah tersebut makin lama makin kuat, apabila tanah tersebut terus menerus dipelihara/digarap dan akhirnya dapat menjadi hak milik si pembuka. Sekalipun demikian, hak ulayat masyarakat hukum tetap ada walaupun melemah. Sebaliknya apabila tanah yang dibuka itu tidak diurus atau diterlantarkan, maka tanah akan kembali menjadi tanah masyarakat hukum. Selain itu, transaksi-transaksi penting mengenai tanah harus dengan persetujuan kepala suku.
4. Berdasarkan kesepakatan masyarakat hukum setempat, dapat ditetapkan bagianbagian wilayah yang dapat digunakan untuk tempat permukiman, makam, pengembalaan umum, dan lain-lain.
5. Anggota suku lain tidak boleh mengambil manfaat daerah hak ulayat, kecuali dengan seizin pimpinan suku atau masyarakat hukum, dan dengan memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) terlebih dahulu. Izin tersebut bersifat sementara, misalnya untuk selama musim panen, namun suku lain tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah tersebut. Sifat istimewa hak ulayat terletak pada daya berlakunya secara timbal balik hak-hak itu terhadap orang lain. Karena pengelolaan tanah makin memperkuat hubungan perseorangan dengan sebidang tanah. Bila hubungan perorangan atas tanah itu berkurang atau bila hubungan itu diabaikan terus menerus, maka pulihlah hak masyarakat hukum atas tanah itu dan tanah tersebut kembali menjadi hak ulayat.
6. Apabila ada anggota suku bangsa lain ditemukan meninggal dunia atau dibunuh di suatu wilayah yang dikuasai satu suku bangsa, maka suku atau masyarakat hukum di wilayah bersangkutan bertanggung jawab untuk mencari siapa pembunuhnya atau membayar denda.

Pengertian “ulayat” di Minangkabau, lebih kuat ke arah pengertian sebagai tanah milik komunal seluruh suku Minangkabau. Tanah ulayat adalah pusaka yang diwariskan turuntemurun, yang haknya berada pada perempuan, namun sebagai pemegang hak atas tanah ulayat adalah mamak kepala waris. Penguasaan dan pengelolaan tanah ulayat dimaksudkan untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan serta keberadaan masyarakat (eksistensi kultural), menciptakan tata kehidupan, termasuk produksi dan distribusi sumber daya agraria yang berkeadilan sosial. Selain itu, tanah ulayat juga mengandung unsur religi, kesejarahan dan bahkan unsur magis serta bertujuan memakmurkan rakyat di dalamnya.

Tanah ulayat adalah tanah milik komunal yang tidak boleh dan tidak dapat didaftarkan atas nama satu atau beberapa pihak saja. Penelitian Jamal et al. (2001) mendapatkan bahwa seluruh tanah di wilayah Minangkabau, yang persis berhimpit dengan areal administratif propinsi Sumatera Barat, merupakan ”tanah ulayat” dengan prinsip kepemilikan komunal, yang penggunaan dan pendistribusian penggunaannya tunduk kepada pengaturan menurut hukum adat.

Karakteristik hak penguasaan tanah menurut hukum adat

Secara umum, setidaknya ada empat karakteristik pokok bentuk penguasaan tanah menurut hukum adat, yaitu tidak adanya kepemilikan mutlak, penguasaan yang bersifat inklusif, larangan untuk memperjual belikan tanah (meskipun untuk tanah yang sudah dikuasai secara pribadi), serta lebih dihargainya manusia dan kerjanya dibanding tanah.

Keempat sifat ini saling mengkait, yang dilandasi oleh paradigma pokok bahwa sesungguhnya tanah adalah sumberdaya yang khas tidak sebagai mana sumberdaya ekonomi lain. Karena jumlahnya yang terbatas, maka tanah harus digunakan secara adil, dan harus mampu memberi kesejahteraan bagi seluruh orang di muka bumi. Untuk itu, tanah jangan dijadikan sebagai komoditas pasar yang bebas.

(1) Sifat pertama, tanah tidak dapat dikuasai secara mutlak.

Sifat khas penguasaan tanah menurut hukum adat yang menyatakan bahwa tanah tidak dapat dimiliki secara mutlak ditemukan dalam beberapa literatur. Dalam sistem hukum Minangkabau sebagai contoh, dipisahkan antara ”tanah” dan ”ulayat” dengan azas terpisah horizontal. Artinya, tanah secara fisik adalah tetap milik komunal dan tidak boleh berpindah tangan kepemilikannya; sedangkat pengaturan ulayat (atau pemanfaatannya) berada di bawah kewenangan penghulu (Nurullah, 1999).

Dalam banyak suku di Indoensia, diatur sampai dimana hak perseorangan dibatasi. Setiap anggota suku (persekutuan) diberi hak untuk mengerjakan tanah adat (atau tanah ulayat) di wilayahnya dengan diberi izin yang disebut dengan hak ”wenang pilih”. Jika sebidang tanah di wilayah persekutuan itu telah dikerjakan oleh seseorang warganya secara terus menerus, maka hubungannya dengan tanah itu semakin kuat. Namun apabila suatu waktu tanah itu ditinggalkannya, maka hubungannya semakin renggang dengan tanah tersebut. Sebaliknya, hubungan antara tanah itu dengan persekutuan menjadi semakin erat kembali. Lebih jauh, jika tanah yang telah digarap tersebut ditinggalkan menjadi semak belukar, maka tanah itu dianggap telah diterlantarkan, maka putuslah hubungan seseorang dengan tanah tersebut. Terlihat disini bahwa seseorang tidak pernah benar-benar menguasai sebidang tanah secara mutlak.

Meskipun sebidang tanah telah dibuka dan dikerjakan oleh seseorang, namun campur tangan persekutuan hukum terhadap tanah yang bersangkutan tidak lenyap seluruhnya. Campur tangan ini menjadi besar kalau hak individu menipis. Sebaliknya, campur tangan ini menipis secara proporsional dengan membesarnya hak individu (Kaban, 2004).

Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hak ulayat itu sebenarnya adalah hak dari pada persekutuan hukum atas wilayahnya, termasuk segala sesuatu (kekayaan) yang ada di atasnya. Hal ini dijaga oleh seluruh anggota masyarakat persekutuan dengan cara mentaati aturan-aturan. Demikian juga tentang pemanfaatannya. Dari hak ulayat ini pula hak perorangan berasal, tentunya juga dengan segala pengaturannya. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa hak ulayat memagari, meresapi dan memayungi hak-hak yang ada, yang timbul dan berkembang di tengah-tengah anggota persekutuan yang menyangkut tentang tanah.

Sebagai contoh, sifat dari hak ulayat dalam masyarakat hukum adat Minangkabau adalah (Umar, 1978): (1) berada pada masyarakat, tidak pada orang tertentu, (2) tidak dapat dipindahtangankan selamanya, serta (3) hanya dapat dilepaskan untuk sementara jika ada alasan-alasan yang diakui oleh adat yang biasanya merupakan alasan mendesak (untuk membayar hutang yang besar, menyelenggarakan pemakaman anggota keluarga yang meninggal, dan melangsungkan pesta pernikahan anggota keluarga).

Kedaulatan atas tanah tersusun atas garis keturunan ibu (matrilineal), namun pendistribusiannya dimusyawarahkan dengan dipimpin seorang laki-laki tertua yang disebut mamak kepala waris atau “tungganai”. Ia berwenang dalam pengawasan pemanfaatan tanah pusaka tinggi tersebut. Ini termasuk untuk tanah ulayat suku, kaum, dan keluarga saparuik. Sementara untuk tanah yang tergolong sebagai tanah ulayat nagari, penguasaannya oleh penghulu yang berada dalam lembaga KAN (Kerapatan Adat Nagari). Bahwa tanah dan apa yang di atasnya tidaklah benar-benar dikuasai secara ekslusif oleh seseorang, terlihat pula dari tanah “kompokng” pada suku Dayak yang dikuasai oleh keluarga-keluarga dan individu, namun semua buah yang jatuh di tanah tersebut dapat diambil oleh siapa saja.

Paradigama ini juga ditemukan dalam konsep penguasaan tanah menurut ketentuan Islam. Dalam dasar-dasar Ekonomi Islam, sumberdaya alam sebagai sumber kesejahteraan dan perannya merupakan aspek penting yang ditekankan dalam Islam. Semua yang ada di alam, baik matahari, bulan, udara dan lain-lain; diciptakan untuk menuju kesejahteraan manusia. Semua diciptakan oleh Allah, dan tak ada seseorang yang dapat memonopolinya. Salah satu alam tersebut adalah permukaan bumi (surface of the earth), dimana tanah merupakan komponen yang paling bernilai (Afzalurrahman, 2000). Pada prinispnya, konsep penguasaan tanah dalam Islam berakar dari konsep bumi (earth), dimana bumi dipandang sebagai satu sumber daya yang paling bernilai untuk menuju kesejahteraan hidup.

Pada prinsipnya, kata “milik” menunjukkan bahwa ada relasi antara satu benda dengan seseorang, sebagai dasar sehingga ia punya hak untuk menggunakannya (right to use it), untuk mengusainya untuk menggunakannya (to keep it for his use), untuk menjualnya (to sell it), atau meminjamkannya (to lend it) kepada orang lain dan menerima sewa. Kepemilikan terhadap buku misalnya, ia berhak memindahkannya ke tempat lain. Secara teoritis, kita mengenal setidaknya tiga bentuk kepemilikan, yaitu: (1) kepemilikan mutlak (absolute ownership), (2) kepemilikan secara bersama (public ownership), dan (3) kepemilikan individual (private ownership).

Dalam kepemilikan mutlak, si pemilik dapat melakukan apapun yang dia mau tanpa batasan (restriction) atau pengekangan (restraint). Dalam konsep Islam, kepemilikan mutlak hanyalah milik Allah. Hanya Allah yang dapat melakukan apapun terhadap apapun yang ada di bumi. Hanya dia, bukan manusia, yang dapat mengadakan atau meniadakan, mengambil atau membuang, dan seterusnya. Dalam Alquran disebutkan: "Apapun yang berada di surga dan di bumi adalah milik Allah " (Al Quran, Surah al-Najm: 31).

Menurut ketentuan Islam, baik negara maupun masyarakat tidak dapat mengklaim sebidang tanah bila keduanya mengabaikan tanah tersebut melewati batas waktu 3 tahun. Pemanfaatan atas tanah dalam Islam bukan pada kemampuan seseorang untuk menguasainya tetapi atas dasar pemanfaatannya. Sehingga fungsi tanah dalam Islam adalah sebagai hak pengelolaan bukan pada penguasaan. Pemilikan pribadi (private ownership) hanya jika seseorang pergi ke sungai dan memancing ikan atau menjaringnya, maka itulah milik pribadi (personal property). Sebelum ditangkap, maka semua orang dapat menangkapnya; namun ketika sudah ditangkap, tak ada orang lain yang dapat mengklaimnya.

Islam menghargai personal property dalam batasan tertentu. Dasarnya adalah penghargaan terhadap aspirasi untuk berusaha secara bebas. Islam ingin memberi insentif kepada setiap orang untuk bekerja dan mendorong dirinya sesuai kemampuannya yang terbaik, dan berharap memperoleh sesuatu dari tenaga yang telah dikeluarkannya. Meskipun ingin setiap orang dapat memproduktifkan orang lain, namun tidak membolehkan untuk mendominasi tenaga kerja.

Di luar kepemilikan individu yang terbatas tersebut, Islam mengenal kepemilikan publik. Dalam kepemilikan secara publik (public ownership) menurut hukum ekonomi islam, semua sumberdaya alam di atas tanah, di laut, maupun di udara adalah milik publik. Tidak ada satu pun orang yang secara pribadi memilikinya.

(2) Sifat kedua, penguasaan tanah bersifat inklusif

Tidak adanya kepemilikan mutlak, dapat dimaknai sebagai suatu sifat inklusifitas dalam penguasaan. Dalam pengertian ini, selain seluruh tanah suku dapat dikuasai oleh seluruh anggota suku, tentunya dengan prosedur tertentu; bahkan orang-orang yang datang dari luar suku pun dapat memanfaatkannya. Artinya, orang yang berasal dari satu etnis berkesempatan mengerjakan tanah yang jelas-jelas berada di wilayah suku lain. Hak tersebut tentunya dengan terlebih dahulu memenuhi kewajiban tertentu, misalnya berupa pemberian sejumlah uang maupun upeti dan hadiah. Inti dari kewajiban ini sesunggunya bukan kepada nilai ekonomi dari pemberian itu, tapi semata merupakan bentuk pengakuan hukum belaka, bahwa seseorang mengajukan diri untuk mengolah sebidang tanah yang merupakan ulayat dari satu komunitas suku tertentu.

Di suku Karo misalnya, hal semacam inipun dijumpai, dimana para pendatang yang tidak semarga dengan marga tanah selaku pendiri desa, juga diberi lahan oleh marga tanah tersebut untuk dimanfaatkan (Kaban, 2004). Karena para pendatang ini secara terus menerus memanfaatkan sebidang lahan tertentu, pada akhirnya tanah-tanah tersebut menjadi ”hak milik” dari pendatang yang biasanya terdiri dari berbagai marga. Tiap-tiap kelompok marga inipun telah mempunyai tempat atau memiliki tanah sendiri yang lazim disebut dengan Taneh kesain marga Sembiring, Taneh kesain marga Ginting dan lain sebagainya. Tanah kesain ini meliputi tanah untuk perumahan berikut pekarangannya, serta hutan tempat mengambil hasil hutan bagi masing-masing kelompok marga.

Terhadap orang asing yang ingin menggunakan tanah adat harus dengan izin persekutuan hukum dengan membayar bunga tanah. Selain meminta izin untuk menggarap, para pendatang dapat pula dengan cara mengawini salah satu keluarga marga tanah atau turunannya. Dengan posisi sebagai anak beru (menantu) dari marga tanah tersebut, maka ia dapat memiliki atau menggunakan tanah di desa tersebut. Hukum Adat dalam masyarakat Adat Karo pada dasarnya tidak membedakan hak antara warga masyarakatnya dengan warga luar sehubungan dengan pemilikan dan penguasaan atas tanah ulayat (Kaban, 2004).

Hukum ini juga dijumpai di suku Minangkabau, dimana seseorang dari luar suku Minangkabau dapat mengolah tanah ulayat dengan memenuhi persyaratan dan etika tertentu. Bagi mereka yang berasal dari luar suku, maka harus menyampaikan permohonannya secara terbuka di hadapan ninik mamak, dan selanjutnya harus memenuhi peraturan dan kebiasaan yang berlaku di suku tersebut, sehingga ia seolah telah menjadi warga setempat (Yakub, 1995).

Contoh lain terjadi di Suku Dayak dan Melayu di Kalbar. Pendatang etnik China yang mulai datang di wilayah Kalimantan Barat semenjak tahun 1745, dapat mengolah tanah Suku Dayak dan Melayu dengan meminta izin menggarap. Sebagian dari mereka ada yang memperoleh hak penggarapan dengan meminjam (mungkin tanah saradangan dan binua), namun sering juga diberikan kepada pendatang secara cuma-cuma (Jamal et al., 2001). Hak kepemilikan (right of property) dalam ketentuan Islam adalah satu bentuk yang khas (special form), dalam upaya menghindarkan bahaya (the evil effects) dari kepemilikan dengan pola kapitalis, dan sekaligus mampu memberi insentif dalam usaha ekonomi. Ada tiga kondisi dasar untuk tegaknya hak kepemilikan dalam ketentuan Islamm, yaitu (Anonim, 2006b): (1) Kepemilikan tidak bertentangan dengan hukum Islam; (2) Tidak memberikan kerusakan atau kerugian kepada orang yang lain; dan (3) pemilikan tidak tumpang tindih dengan orang lain. Dalam Surat Al-Hasyr ayat 7 disebutkan bahwa untuk kesempurnaan hidup masyarakat, selain hukum yang harus dilaksanakan, begitu pula tentang upaya memfaedahkan benda-benda yang dibutuhkan, tetapi sangat ditekankan agar tidak jatuh pada kekuasaan beberapa orang saja yang dengan kesempatan yang ada padanya lalu mempersempit gerak perekonomian orang banyak. Anjuran ini sesuai dengan semangat dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

(3) Sifat ketiga, tanah tidak boleh diperjual belikan

Dalam penelitian Kaban (2004), ”tanah kesain” yang dimiliki pada suku Karo tidak boleh diperjual belikan kecuali bangunan yang berada di atasnya. Sehingga, jika salah seorang dari warga persekutuan tidak membutuhkan lagi tanah tersebut, maka tanah itu kembali jatuh kepada desa. Ketika seseorang menguasai sebidang tanah, ia dapat secara bebas mengolah dan mengelolanya. Namun apabila ditelantarkan, maka tanah tersebut akan kembali menjadi tanah milik persekutuan hukum, dan tidak dapat dijual kepada pihak lain. Kepala persekutuan hukum, yang disebut pemangku adat atau Pengulu Desa, selanjutnya akan mengatur pendayagunaannya atau memberikannya kepada warga yang lain yang membutuhkan.

Di dalam hak ulayat diakui pula adanya hak atas tanah perseorangan. Wewenang penggunaan tanah selalu disertai dengan kewajiban, sehingga pemanfaatan tanah tersebut tidak hanya berguna bagi individu tetapi juga memberi manfaat bagi warga persekutuan. Di Minangkabau, aturan adat terhadap tanah ulayat dapat dikatakan sangat ”keras” dan ”tegas”, karena tanah tidak boleh diperjualbelikan ataupun digadaikan (Pakpahan et al., 1998). Jika sudah pernah tergadai maka wajib ditebus, dan bila pernah terjual wajib mengganti bayarannya. Hal ini dinyatakan dengan (Yakub, 1995): ”Dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando. Gadai batabuih, juga batauri” (= Dijual tidak bisa, digadai tidak boleh. Apabila tergadai harus ditebus, bila terjual harus diganti uangnya).

Di Suku Dayak di Kalimantan Barat, diakui oleh berbagai nara sumber bahwa memang tanah sesungguhnya tidak dapat diperjual belikan, meskipun hal ini tidak lagi dipatuhi secara baik (Jamal et al., 2001). Bahkan, jika sebagian besar anggota keluarga telah meninggalkan kampung, maka salah seorang (biasanya anak tertua) bertanggung jawab untuk mengelola dan menjaga seluruh tanah keluarga tersebut, namun tidak dapat menjualnya ke pihak lain.

Dalam penelitian penulis di Suku Kaili di Sulawesi Tengah (Syahyuti, 2002), jika seseorang ingin mengambil alih pengelolaan sebidang tanah yang telah dibuka oleh orang sebelumnya, maka ia hanya membayar “uang mata kapak”. Artinya, ia hanya membayar jasa kepada orang yang telah membersihkan lahan tersebut, namun tidak membeli tanah tersebut secara mutlak.

Jika disandingkan dengan hukum Islam, penguasaan tanah (ownership of land) terbagi atas tiga bentuk, yaitu: (1) tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat (lands owned by society), (2) tanah-tanah yang dikuasai oleh negara (lands owned by state), serta (3) tanah-tanah yang dikuasai secara individual (lands owned by private individuals). Tanah yang dikuasai oleh masyarakat tidak dapat dijual (not salable), bahkan negara sekalipun tidak berhak menjualnya.
Tanah ini dikembangkan dan ditanami, tanpa seorangpun boleh membeli maupun menjualnya semeter persegi pun. Lahan di Mesopotamia (yang berlokasi antara dua sungai, sungai Tigris dan Euphrates) di Irak misalnya berada di bawah kategori ini. Seluruh tanah yang tidak ditanami (undeveloped fallow lands) dan hutan yang tidak boleh ditanami (uncultivated forests) serta padang gembalaan (pastures) adalah milik negara. Negara menjaganya untuk kebutuhan sekarang dan generasi mendatang. Pemberian hak garap kepada individual, kelompok masyarakat, maupun perusahaan dapat saja dilakukan dalam bentuk sewa, jika itu merupakan bentuk penguasaan yang terbaik. Negara dapat saja memberikan hak secara pribadi kepada warganya. Namun dalam sistem ekonomi Islam kepemilikan personal ini sangat terbatas secara prinsip. Dengan kata lain, kepemilikan pribadi bukan merupakan sumber kesejahteraan yang utama.

(4) Manusia dan hasil kerjanya lebih bernilai daripada tanah

Secara tidak langsung, ketiga sifat penguasaan di atas berimplikasi kepada sifat bahwa sesungguhnya aspek manusia serta kerja dan hasil kerja manusia tersebut, merupakan hal yang jauh lebih bernilai dibandingkan persoalahan tanah. Hal ini terlihat dari tingginya penghargaan kepada kerja yang diberikan oleh manusia pada sebidang tanah. Di bagian sebelumnya sudah dijelaskan bahwa dalam beberapa hukum adat disebutkan secara jelas, bahwa seseorang dapat menguasai tanah sepanjang ia masih mengusahakannya secara produktif. Apabila ia meninggalkannya, maka tanah tersebut lepas darinya, dan kembali menjadi tanah komunal.

Jika hukum ini dianut, maka kita tidak akan menemukan yang namanya “tuan tanah” yang tidak bekerja dan seringkali juga tidak ada share modal apapun, namun selalu memperoleh bagian dari tanah-tanah yang diusahakan orang lain. Sering kali pula, bagian tuan tanah lebih besar dari bagian si penggarap. Dalam hal sewa-menyewa tanah dalam Islam, digunakan prinsip keadilan dan kebajikan. Ditetapkan suatu peraturan bahwa uang sewa hendaknya hanya dipungut apabila telah menghasilkan lebih dari yang dibutuhkan oleh si penggarap. Jadi, sewa diambil setelah biaya dan kebutuhan hidup pengolah dikeluarkan (Afzalurrahman, 2000).

Sebagaimana dalam hukum adat di Indonesia, dalam Islam, orang yang menggarap tanah terlantar (giving life to the dead land) memiliki hak khusus (special claim). Orang yang telah menghidupkan sepetak lahan yang mati menjadi pemilik tanah tersebut. Ketentuan-ketentuan dasarnya dalam Islam adalah: pertama, siapa yang telah mengusahakan lahan memiliki hak untuk menguasai (right of ownership). Kedua, orang yang tidak menanami atau membuatnya produktif, maka ia tidak dapat mengklaim tanah tersebut. Ketiga, tanda-tanda belaka (superficial occupation and marking) tidak cukup untuk mengklaim kepemilikan, karena mereka harus membuat tanah tersebut produktif dengan bekerja di atasnya. Keempat, seseorang yang telah mengkalim sepetak lahan, hanya berhak sepanjang ia mengusahakan tanah tersebut secara ekonomi (bukan untuk menjualnya). Menurut suatu hadits, barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia paling berhak atasnya (Afzalurrahman, 2000).

Islam sangat menghargai jasa orang lain. Sebagai contoh, untuk air dikenal dua bentuk, yaitu air yang secara alamiah tersedia (naturally accessible) sehingga bebas digunakan siapa saja yang berada di sungai dan laut, serta air yang tidak tersedia secara alamiah (not naturally accessible) karena membutuhkan usaha tertentu unruk mendatangkannya, dengan pompa ataupun saluran irigasi.

Prinsip dasar ekonomi Islam adalah bahwa tidak ada sesuatu yang boleh diperoleh secara gratis. Bahkan, seseorang juga tidak berhak hidup di atas kerja orang lain. Allah membenci sumber daya yang ditelantarkan, dan juga orang pemalas. Orang yang telah bekerja keras untuk hidup, di mata Islam sama baiknya dengan jihad berjuang di jalan Allah. Pewarisan (inheritance) adalah satu contoh utama dalam mentransfer satu penguasaan dari satu orang ke orang lain. Motif utamaya adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Pola ini sangat alamiah, dan merupakan motif yang umum.

Produksi berarti diciptakannya manfaat, produksi tidak diartikan sebagai menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada, karena tidak seorang pun dapat menciptakan benda. Yang dapat dilakukan oleh manusia hanyalah membuat barang-barang menjadi berguna. Dapat disimpulkan bahwa sistem produktif dalam negara Islam harus dikendalikan dengan kriteria objektif maupun subjektif. Kriteria objektif diukur dengan kesejahteraan material, seangkan kriteria subjektif harus tercermin dalam kesejahteraan yang harus dinilai dari segi etika ekonomi Islam.

Dalam Islam, faktor produksi tidak hanya tunduk kepada tujuan penguangan (monetization), tetapi juga pada kerangka moral dan etika abadi sebagaimana tertulis dalam syariat. Tanah tidak dianggap sebagai hak kuno istimewa dari negara dan kekuasaan, tetapi dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan produksi yang digunakan demi kesejahteraan individu dan masyarakat.

Hanya golongan masyarakat yang menguasai tanah itu lah yang sebenarnya dianggap produktif karena dia menghasilkan sesuatu. Pedagang disebut kelas steril, karena tidak mempunyai produksi apapun. Tanah kosong juga dibebankan membayar zakat, adalah untuk memotivasi pemiliknya agar tanah tersebut tidak ditelantarkan. Dalam Hadist disebutkan bahwa: “hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahan lah tanahnya”.

PENGUASAAN TANAH MENURUT HUKUM NEGARA DI INDONESIA

Di zaman Belanda, dikenal dua jenis tanah berdasarkan bentuk penguasaan, yaitu tanah-tanah yang tunduk kepada hukum negara dan yang tunduk pada hukum adat. Sesuai dengan asas domein negara, maka keadaan tanah di Indonesia saat itu terbagi atas apa yang dinamakan dengan tanah domein negara yang bebas dan tanah domein negara yang tidak bebas. Tanah domein negara bebas, adalah tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Belanda seperti pelabuhan, pasar-pasar, tanah-tanah instansi dan lain sebagainya. Sedangkan, tanah domein negara yang tidak bebas adalah tanah adat. Menurut ketetapan Domein Verklaring Belanda, yang dicantumkan dalam Agrarischewet dengan Stb. 1870 No. 55, dengan asas pokoknya adalah domein negara; semua tanah yang tidak dapat dibuktikan ada hak eigendom di atasnya, maka tanah tersebut merupakan domein negara (milik negara). Sementara tanah yang dikuasai oleh rakyat pribumi (tanah adat) tidak pernah mendapat hak eigendom yang sah.

Jadi, tanah negara ialah semua tanah yang seseorang itu tidak dapat membuktikan bahwa tanah tersebut adalah hak miliknya. Sebaliknya tanah adat adalah tanah yang tidak tunduk kepada aturan-aturan “eigendom” (hak milik) atau dengan kata lain tanah adat adalah tanah yang tidak dimiliki oleh seseorang dengan hak “eigendom”.

Negara dapat mencabut kepemilikan seseorang. Ini berasal atas dua dasar hukum yaitu hak eigendom yang tertuang dalam Pasal 570 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang merupakan warisan UU Agraria 1870 (Agrarische Wet), serta UUPA 1960 Pasal 6, 18 dan 27. Pasal 18 menyatakan "untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang". Isi dari hak eigendom hampir sama dengan pasal ini.

Sistem hukum negara di Indonesia ini tampak berada di tengah antara dua ekstrim, yaitu hukum adat dan Islam di satu sisi, dan hukum barat (kapitalis) di sisi ekstrim lainnya. Menurut hukum tanah barat, tanah dapat dimiliki secara bebas. Ini bersumber dari Burgerlijk Wetboek Belanda yang disusun berdasar Code Civil Perancis. Dasar filosofi Code Civil Perancis menganut konsep individualistik-liberal yang merupakan sebuah landasan masyarakat borjuasi Eropa abad XIX. (Bahari, 2005).

Hukum tanah Indonesia, menurut Bahari (2005), dimana tanah memiliki fungsi sosial, sebetulnya merupakan antitesa hukum tanah Barat. Implikasinya, tanah tidak dimiliki secara bebas tanpa intervensi negara. Karena jika individu diberi kebebasan dalam pemilikan dan penguasaan tanah tanpa ada intervensi negara, akan terjadi praktik akumulasi tanah tanpa batas yang berkembang menjadi monopoli penguasaan tanah pada segelintir orang dan ketidakmerataan penguasaan dan pemanfaatan tanah. Unsur sosial tersebut berupaya agar tidak terjadi akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir orang. Caranya adalah dengan dimasukkannya unsur masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaan. Kebebasan individu dikurangi dan dimasukkan unsur kebersamaan ke dalam hak individu. Jadi, dalam hak individu ada hak kebersamaan. Inilah yang disebut sebagai ”tanah mempunyai fungsi sosial”.

Jadi, negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, karena itu lahirlah peraturan land reform (UU No. 56 tahun 1960), misalnya orang tidak boleh punya tanah lebih dari lima hektar (di Jawa) atau tanah absente. Tugas negara yang mewakili kepentingan bersama menjadi lebih luas dalam mengusahakan peningkatan kemakmuran yang adil dan merata atau disebut sebagai welfare state (Harsono, 2002).

Persoalan paradigma menjadi hal yang penting berkenaan dengan pemaknaan yang terbagi menjadi dua kubu, yaitu paradigma hak menguasai negara atas sumber daya agraria sebagai pengertian dari Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 . Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 mengandung pemaknaan paradigma yang dubius yaitu: "dikuasai oleh negara" yang dapat diartikan "state based agrarian resource management" yang berarti manajemen pengelolaan sumber daya agraria yang berbasis pada negara.

Konsekuensi negara dalam hal ini pemerintah secara sentralistik, birokratik memiliki kewenangan untuk mengatur segala sesuatu yang bersangkut paut dengan pengelolaan agraria. Orde Baru yang mengedepankan ekonomi, mendorong investasi modal dengan konsekuensi kemudahan untuk aktivitas perolehan tanah. Praktik pembebasan tanah mendorong terjadinya akumulasi secara timpang penguasaan tanah secara besar-besaran.

Jika dicermati, maksud pasal 33 UUD 1945 memiliki kesesuaian dengan ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran. Menurut UUD 1945 Pasal 33, dimana pada pasal 1 yang menyebutkan bahwa perekonomiam disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Pasal 2, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pasal 3, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Khusus untuk Pasal 3, terbaca bahwa bumi dikuasai oleh negara. Bumi yaitu planet serta permukaanya yang terdiri dari lautan, daratan, dan udara yang melingkupi, semuanya harus dikuasai atau menurut ketentuan hukum negara yang sesungguhnya terdiri dari orang banyak pada lingkungan daerah tertentu, didirikan menurut kehendak dan kebutuhan orang banyak itu. Artinya, hak milik pribadi atas tanah permukaan bumi bahkan hak pakainya juga harus patuh pada kekuasaan dan keizinan negara. Tegasnya, UUD 1945 itu tadi tidak mengakui adanya hak milik orang seorang atas sebidang tanah pun di muka bumi ini. Semua tanah harus dipergunakan untuk kesempurnaan rakyat banyak menurut program atas sistim perekonomian demokrasi yang dilaksanakan pemerintah sebagai petugas negara.

Hal ini tentu tidak sejalan dengan banyaknya jual beli tanah, sewa menyewa, dan sertifikat tanah privat. Semua ini membuktikan adanya pengakuan pemerintah atas tanah pribadi, bukan hanya berupa hak pakai namun sekaligus bertantangan dengan maksud Pasal 33 ayat 3 UUD1945.

Sebagai akibat dari hak milik pribadi atas tanah yang diakui pemerintah, maka terjadi ketimpangan. Semua tanah ada pemiliknya yang tidak mengizinkan dipakai oleh orang lain walaupun tanah itu tertinggal kosong jadi semak belukar. Sementara itu, ada pula para pemilik tanah luas yang mempersewakan sebagian tanahnya untuk dipakai sebagai tempat perumahan atau pabrik. Mereka hidup dari hasil menyewakan tanah tanpa bekerja apa-apa. Konsep penguasaan tanah menurut UUPA No 5 tahun 1960 Membicarakan bentuk-bentuk penguasaan tanah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari UUPA No 5 tahun 1960, meskipun sesungguhnya bentuk-bentuk penguasaan yang berjalan tidak seluruhnya mengikuti UUPA tersebut. Strategi atau politik agraria dalam UUPA menganut politik agraria populis, yaitu menentang strategi kapitalis yang dapat menyebabkan penghisapan manusia atas manusia (exploitation de l’homme par l’homme) dan menentang strategi sosialis karena dianggap menegasikan hak-hak individual atas tanah. Artinya, jika negara menerapkan ini, maka terdapat perbedaan penguasaan atas lahan dibandingkan dengan negara-negara lain.

Beberapa perbedaan penguasaan atas lahan tersebut adalah:
(1) Hak bangsa Indonesia atas tanah airnya bersifat abadi (pasal 1 ayat 3 UUPA), yang berarti sepanjang bangsa Indonesia masih ada dan wilayah Indonesia masih ada, tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memutuskan hubungan hak bangsa Indonesia atas tanah airnya. Hubungan ini memungkinkan adanya hak milik, hak pakai, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan hak-hak atas tanah lain yang dapat dipegang oleh perorangan ataupun badan hukum.
(2) Hanya warga negara Indonesia saja yang dapat memiliki hak atas tanah atas dasar hak milik (pasal 21 ayat 1 UUPA), sedangkan warga negara asing tidak (pasal 26 ayat 6 UUPA).

Dalam UUPA, asas domein (hak milik mutlak negara atas tanah) dihapuskan dan diganti dengan hak menguasai dari negara, yang digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 2 ayat 3 UUPA). Hak menguasai ini dapat didelegasikan kepada daerah-daerah swatantra (propinsi, kabupaten/ kota, kecamatan dan desa) dan bahkan pada suatu komunitas adat.

Sebagaimana prinsip dalam hukum adat dan Islam, dalam UUPA juga disebutkan bahwa tanah mengandung fungsi sosial (pasal 6 UUPA). Menurut Fauzi (1999), prinsip tanah berfungsi sosial ini berarti bahwa setiap hak atas tanah yang ada pada seseorang (kelompok) tidak dibenarkan semata-mata demi kepentingan pribadi (kelompok), apalagi sampai merugikan masyarakat. Dengan kata lain, penggunaannya harus bermanfaat bagi kepentingan umum.

UUPA bermaksud memperkuat dan memperluas hak milik tanah bagi setiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privat bezit, hak milik sebagai hak yang terkuat bersifat perseorangan dan turun temurun. UUPA juga bermaksud mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan pengusaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas dengan menyelenggarakan batas maksimum dan minimum untuk setiap keluarga.

Memang diakui, bahwa UUPA sendiri telah tegas menyebutkan hukum agraria bersandar pada hukum adat. Selain daripada itu, hak ulayatpun tetap diakui keberadaannya. Namun pengakuan terhadap hak ulayat dalam UUPA tersebut bertolak pangkal pada pengakuan bahwa hak ulayat tersebut masih ada dalam kenyataan di masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengakuan ini tidak hanya demi kepentingan masyarakat hukum adat semata-mata melainkan karena hak ulayat tersebut masih relevan bagi mereka dan loyal kepada kepentingan bangsa dan negara tanpa diskriminasi.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas terlihat adanya kesejajaran antara sifat penguasaan menurut hukum adat di Imdonesia dengan hukum Islam, yang bersebarangan dengan bentuk penguasaan menurut sistem ekonomi kapitalis. Sementara, UUPA sesungguhnya berupaya menjembatani antara konsep penguasaan kapitalis dengan hukum adat, namun karena tidak diimplementasikan, maka penguasaan tanah yang akhirnya berlaku di Indonesia saat ini lebih kuat mengadopsi hukum kapitalis yang diwadahi melalui hukum tanah oleh pemerintah.

Masuknya bentuk penguasaan secara individual mutlak ke Indonesia diawali dari keluarnya UU Agraria tahun 1870 yang bertujuan menghilangkan hak-hak masyarakat adat dengan menetapkan bahwa setiap tanah di Hindia Belanda yang tidak dibebani milik pihak lain adalah tanah negara.

Karena kuatnya tekanan hukum formal negara, dan dibarengi dengan kuatnya intervensi nilai-nilai kapitalisme melalui globalisasi; maka bentuk penguasaan yang akhirnya belaku di Indonesia semakin jauh meninggalkan hukum adat dan Islam, yang sesungguhnya akan lebih mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan. Setidaknya ada empat ciri penguasaan tanah menurut hukum adat di Indonesia yaitu: tidak mengenal kepemilikan mutlak, bersifat inklusif, larangan memperjual belikan tanah, serta lebih dihargainya manusia dan kerjanya dibanding sumberdaya tanah. Keempat sifat ini juga ditemukan dalam hukum Islam.

Sesungguhnya penguasaan menurut hukum adat dan Islam akan lebih tepat untuk kesejahteraan masayarakat, karena menghindari tanah yang terlantar dan juga bagi hasil yang lebih adil. Dalam dokumen RPPK disebutkan bahwa lahan terlantar yang saat ini ada di Indonesia mencapai luas 9,7 juta ha, yaitu lahan yang telah dikuasai oleh satu pihak namun belum dimanfaatkan. Jika merujuk kepada hukum adat dan Islam, maka lahan-lahan tersebut harus dibagikan dan digarap oleh yang membutuhkan, tanpa perlu membayar kewajiban apapun.

Daftar Pustaka

Achyar, Eldine. 2005. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. (http://www.uikabogor. ac.id/jur07.htm, 25 Oktober 2005).
Afzalurrahman. 2000. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (Muhammad as Trader). Penerbit Yayasan Swarna Bhumy, Jakarta.
Anonimous. 2006a. Membangun Papua, Bukan Membangun di Papua. (www.pu.go.id/balitbang/puslitbangsebranmas, 25 April 2006).
Ananimous. 2006b. Guidelines of Islamic Economy. (http://www.alislam. org/philosophyofislam/17.htm, 12 Mei 2006).
Bahari, Syaiful. 2005. Negara dan Hak Rakyat atas Tanah. Kompas, 13 Mei 2005.
Bushar, Muhammad. 1988. Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta.
Djuweng, Stefanus. 1996. Kalimantan: Dulu, Sekarang, dan Masa Depan. Oktober, 1996. Institut Dayakologi.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar.
Gamal, Merza. 2006. Model Dinamika Sosial Ekonomi Islami: Solusi Pembangunan Kesejahteraan Berkeseimbangan dan Berkeadilan. Badan Penerbit Universitas Riau (Unri Press), Pekanbaru.
Harsono, Boedi. 2002. Menuju penyempurnaan hukum tanah nasiona dalam hubungannya dengan Tap MPR RI Nomor IX tahun 2001, makalah pad seminar nasional pertanahan 2002 “pembaruan agraria”. STPN Yogyakarta, tanggal 16 Juli 2002.
Heilbroner, Robert L. 1986. Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi. UI Press.
Jamal, Erizal; Tri Pranadji; Aten M. Hurun; Adi Setyanto; Roosgandha E. Manurung; dan Yusuf Nopirin. 2001. Struktur dan dinamika penguasaan lahan pada komunitas lokal. Laporan Penelitian PSE no. 526, Bogor.
Kaban, Maria. 2004. Keberadaan Hak Masyarakat Adat Atas Tanah Di Tanah Karo. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Nurullah. 1999. ..........
Pakpahan, MD. et al. 1998. Traditional Community Land Occupancy Pattern and Land Registration Problem: Case Studies in West Sumatera, Central Kalimantan, and West Nusa Tenggara. Study Report volume I December 1998. Center for Societal Development Studies in Cooperation with The National Land Agency. Jakarta.
Permana, Cecep Eka. 2003. Religi dalam Tradisi Bercocok Tanam Sederhana. Jurusan ArkeologiFIBUI. (http://www.arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_news=45, 10 Mei 2006).
Purbacaraka, Purnadi dan Ridwan Halim. 1993. Sendi-Sendi Hukum Agraria. Penerbit Ghalia Indonesia.
Rizal, Syamsul. 2003. Kebijaksanaan Agraria Sebelum dan Sesudah Keluarnya UUPA. Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Sedjati, Wahyuning.K; Tri Pranadji; Syahyuti; Budi Wiryono; dan Herlina Tarigan. 2002. Strategi Keorganisasian Petani untuk Pengembangan Kemandirian Perekonomian Pedesaan, di Bali, Kalimantan Selatan, dan DIY. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Syahyuti. 2002. Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan. Tesis pada Jurusan Sosiologi Pedesaan. IPB, Bogor.
Ter Haar. 1985. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Sumur Batu, Bandung.
Thalib, Sajuti. 1985. Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau. Bina Aksara, Jakarta.
Umar, Ali. 1978. Hukum Adat dan Lembaga-Lemabag Hukum Adat daerah Sumatera Barat. Laporan Penelitian, Kerjasama BPN dengan FH Unand, Padang.
Yakub, B. Nurdin. 1995. Hukum Kekerabatan Minangkabau. CV Pustaka Indonesia, Jakarta.
Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. (Hal 290-1). Dalam S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (eds). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta.
Wiradi, Gunawan. 1996. Jangan Perlakukan Tanah sebagai Komoditi. Jurnal “Analisis Sosial. Edisi 3 Juli 1996.


*****

Tidak ada komentar: