Rabu, 04 Mei 2011

KEBIJAKAN PERTANAHAN DI ERA OTONOMI DAERAH

Oleh: Syahyuti
@ 2005

Kemenangan kaum reformasi dan keruntuhan pemerintahan Orde Baru membawa perubahan yang cukup fundamental dalam berbagai bidang, termasuk permasalahan agraria. Perubahan stuktur pemerintahan dengan memberi lebih banyak kewenangan kepada pemerintah daerah melalui prinsip desentralisasi, telah menimbulkan perdebatan dan sekaligus tarik ulur, tentang bagaimana bentuk dan posisi politik agraria semestinya. Terjadinya perbedaan pendapat antar pihak disebabkan latar belakang paradigma berpikir, ideologi, serta diwarnai pula oleh kepentingan-kepentinan praktis ekonomi. Peluang untuk menciptakan pendapatan dengan menguasai sumber daya (termasuk tanah) seringkali dibungkus dengan jargon-jargon ideologi keberpihakan dan keadilan bagi rakyat lokal yang terkesan sangat humanistis.

Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 11 ayat 1 dan 2, disebutkan bahwa tugas pertanahan merupakan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota. Artinya, pertanahan bersama-sama dengan banyak kewenangan pusat lain telah diserahkan ke pemerintah daerah. Aturan ini merupakan implementasi dari Pasal 2 UUPA No. 5 tahun 1960 yaitu “hak menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat”.

Namun demikian, aturan ini belum secara tegas menjelaskan batasan sejauh mana kewenangan daerah dalam urusan pertanahan yang berada di wilayahnya. Menurut Harsono (2002), pemerintah pusat perlu menetapkan kebijakan umum dan pembatasan bagi kewenangan otonomi tersebut, disertai pemberian pembinaan dan pengawasan secara teratur dan terus-menerus dalam pelaksanaan hukum tanah nasional itu, termasuk penyediaan dan pembinaan sumber daya manusia pelaksananya. Masih belum tegasnya tata aturan ini menimbulkan multitafsir bagi berbagai pihak, yang cenderung berpendapatan sesuai dengan kepentingan poitik institusinya masing-masing.

Sebagai payung kebijakan untuk memandu menyelesaikan persoalan ini, kita dapat menggunakan GBHN 1999-2004. Dalam GBHN tersebut tertulis bahwa arah kebijakan pembangunan pertanahan selama lima tahun, dari tahun 1999 sampai 2004 adalah: “mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan, dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang”. Penggunaan kata dalam kalimat ini menunjukkan bentuk ideal kebijakan yang sudah mengabsorpsi kepentingan-kepentingan lembaga non-pemerintah, namun tetap dalam koridor menuju pengembangan ekonomi nasional. Kondisi yang ingin dicapai dari kebijakan ini di antaranya adalah: makin kuatnya jaminan kepastian dan perlindungan hukum, keberpihakan dan perlindungan hukum kepada golongan ekonomi lemah, serta terciptanya iklim investasi yang semakin kondusif. Bagi sektor pertanian, kebijakan ini semestinya cukup memadai bagi pengembangan usaha pertanian, khususnya bagi usaha-usaha pertanian berskala besar (perkebunan).

Di tengah kegembiraan pemerintah daerah dengan pelimpahan kewenangan tersebut, lahir Keppres No. 103 tahun 2001 yang memberi kesan sebaliknya, karena menyatakan bahwa sampai dengan Bulan Mei 2003 tugas pertanahan masih merupakan tugas pemerintahan yang dilakukan oleh BPN sebagai instansi vertikal. Artinya, maslaah pertanahan masih menjadi kewenangan pemerintahan pusat. Keluarnya aturan ini membangkitkan kebingungan tentang pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Pihak Badan Pertanahan Nasional berkelit dengan menyatakan bahwa, bukan berarti BPN anti tehadap otonomi daerah, namun ini merupakan suatu “sikap yang berhati-hati”. Pemberian kewenangan secara bertahap merupakan langkah terbaik karena pertanahan memiliki muatan politis yang sangat besar.

Dalam upaya memposisikan peran pusat dan daerah ini, sebaiknya pemerintah pusat lebih memfokuskan kepada kebijakan tentang Hukum Tanah Nasional, pemerintahan propinsi pada kewenangan yang bersifat lintas kabupaten, sedangkan pemerintahan kabupatenkota akan menitikberatkan kepada pelayanan di bidang agrarianya. Menurut Herman Soesangobeng (dalam Sitorus, 2002) bidang yang dapat dipindahkan ke pemerintah daerah seyogyanya hanyalah dalam “urusan agraria”, yaitu sebagai bentuk dan cara mengusahakan atau mengolah unsur-unsur tanah, seperti usaha pertanian, kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Sementara, soal hak kepemilikan tanah yang mencerminkan makna tanah sebagai simbol kesatuan bangsa dan negara tidak dapat didelegasikan ataupun diserahkan menjadi urusan daerah.

Pendapat ini pun didukung Hussen (2002), bahwa urusan pertanahan tidak harus seluruhnya (100 persen) berada di pemerintahan kabupaten/kota. Wewenang yang berada di kabupaten/kota mengenai pertanahan sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak bersifat nasional. Daerah tingkat II semestinya hanya berwenang dalam penetapan spatial planning, izin lokasi, dan izin prinsip.

Dengan telah diberikannnya wewenang untuk memberikan izin lokasi dan izin prinsip kepada pemerintahan tingkat II, maka telah mulai pula terdengar berbagai keluhan dari investor, khususnya pengusaha perkebunan, sebagaimana ditemukan dalam penelitian di Kabupaten Sukabumi. Disebabkan dorongan untuk menghasilkan pendapatan asli daerah sebesar-besarnya, maka bupati telah mengeluarkan berbagai bentuk pungutan, baik bagi investor baru maupun yang lama, yang cenderung memberatkan bagi pengusaha . Sebaliknya, ketika izin lokasi dulu masih berada di pemerintah pusat, pemerintah daerah mengeluh bahwa mereka tidak memperoleh keuntungan apapun meski di wilayahnya banyak usaha perkebunan besar swasta.

Merujuk kepada Keputusan Penteri Pertanian No. 375/KPTS/HK.350/2002 tetang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, tampak bahwa gubernur dan bupati/walikota berwenang memberikan izin Usah Perkebunan (IUP), khususnya untuk luasan usaha di atas 25 ha per satu perusahaan atau grup perusahaan. Artinya, aturan ini mendukung pemberian wewenang kepada pemda sebagai pihak yang berwenang dalam hal urusan agraria. Lagi pula, meskipun izin lokasi sudah dimiliki dari pemerintah daerah, namun seorang pengusaha masih tetap menyelesaikan persoalan “hak atas tanah” yang masih tetap mengikuti hukum nasional. Seorang pengusaha belum bisa memulai usahanya apabila ia belum memiliki Hak Guna Usaha misalnya, pada tanah yang bertatus tanah milik pribadi, tanah negara, maupun tanah ulayat milik masyarakat adat tersebut.

Bacaan:

Harsono, Boedi. 2002. Menuju penyempurnaan hukum tanah nasiona dalam hubungannya dengan Tap MPR RI Nomor IX tahun 2001, makalah pad seminar nasional pertanahan 2002 “pembaruan agraria”. STPN Yogyakarta, tanggal 16 Juli 2002.

Sitorus, Oloan. 2002. Pembagian Kewenangan usat, Propinsi, dan Daerah di Bidang
Pertanahan. Diskusi Pengembangan Kebijakan Pertanahan dalam Era Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan Kepada Masyarakat. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Deputi Otonomi daerah dan Pengembangan Regional, Bappenas. Jakarta, 12 September 2002.

Hussein, Benyamin. 2002. Kelembagaan Pertanahan dalam Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Diskusi Pengembangan Kebijakan Pertanahan dalam Era Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan Kepada Masyarakat. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Deputi Otonomi daerah dan Pengembangan Regional, Bappenas. Jakarta, 12 September 2002.

*****

Tidak ada komentar: