Kamis, 23 Desember 2010

Perbaikan sistem BAGI HASIL sebagai bentuk POSSIBLE AGRARIAN REFORM

Pendahuluan

Reforma Agraria mendapat semangat baru dengan keluarnya Tap MPR Nomor IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Namun, sampai saat ini, bagaimana wujud pelaksanaan reforma agraria tersebut masih belum terkonstruksi dengan jelas. Agraria merupakan masalah yang kompleks yang melibatkan semua pihak. Artinya, pihak manapun saat ini dapat memberikan “usulan” tentang bagaimana reforma agraria di Indonesia semestinya.

Terdapat tarik ulur berbagai konsep dalam wacana reforma agraria, misalnya antara yang menginginkan reforma agraria secara revolusioner atau yang lebih lunak secara gradual, pembagian peran pemerintah pusat dan daerah, serta apakah mesti mengimplementasikan landreform atau tidak. Dalam tarik ulur antara pusat dan daerah, menurut Soesangobeng (dalam Sitorus, 2002) bidang yang dapat dipindahkan ke pemerintah daerah seyogyanya hanyalah dalam “urusan agraria”, yaitu sebagai bentuk dan cara mengusahakan atau mengolah unsur-unsur tanah, seperti usaha pertanian, kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Sementara, soal hak kepemilikan tanah yang mencerminkan makna tanah sebagai simbol kesatuan bangsa dan negara tidak dapat didelegasikan ataupun diserahkan menjadi urusan daerah. Maksudnya, landreform berupa penataan ulang pemilikan dan penguasaan, biarlah tetap menjadi wacana pusat, namun aspek-aspek land tenure dapat diperankan oleh daerah mulai sekarang.

Selain empat masalah agraria di Indonesia sebagaimana disampaikan dalam ketetapan tersebut, yaitu: pemilikan tanah yang sempit dan timpang, konflik pertanahan, inkosistensi hukum, serta kerusakan sumber daya alam; salah satu permasalahan lain adalah kesulitan dalam memberantas berkembangnya rent seeking activity. Aktifitas yang tergolong dalam kategori ini utamanya adalah para makelar tanah, yaitu mereka yang membeli tanah untuk nanti dijual lagi ketika harga sudah tinggi. Tanah dibeli tidak untuk digunakan, sehingga tanah diperlakukan sebagai komoditas. Dalam kadar yang lebih ringan, para pemilik tanah yang menyakapkan tanahnya kepada petani lain dengan pembagian yang tidak adil, dapat pula dipandang sebagai suatu bentuk penghisapan, yang pada prinsipnya adalah juga bentuk dari sikap menjadikan tanah sebagai komoditas. Perilaku ini jelas jauh dari konsep ideal landreform “land to tillers”.

Dalam tulisan ini ingin disampaikan bahwa penataan sistem bagi hasil yang lebih adil di Indonesia adalah masalah yang perlu diperhatikan. Bagi hasil adalah salah satu komponen yang cukup penting dalam konteks reforma agraria. Lebih jauh dari itu, ketika penataan ulang penguasaan dan pemilikan (landreform) masih sulit dilakukan sebagaimana diamanatkan dalam UU nomor 56 tahun 1960, maka penataan bagi hasil adalah salah satu bentuk reforma agraria yang mungkin dilaksanakan (possible agrarian reform). Dalam konteks kebijakan, tulisan ini juga menyinggung eksistensi UU nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang disyahkan tanggal 7 Januari 1960, serta beberapa permasalahannya selama ini.

Reforma Agraria, Tanah dan Pertanian

Pembaruan agraria umumnya sering hanya dimaknai sebagai landreform, dengan bentuk lebih sempit lagi, menjadi semata-mata hanya “redistribusi tanah”. Untuk memahami reforma agraria dengan baik, maka perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan agraria dan landreform. Dalam Pasal 1 ayat 2 dan pasal 2 ayat 1 UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang dimaksud dengan agraria adalah: “Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya....”. Pengertian ini sejalan dengan yang tercantum pada Tap MPR no. IX tahun 2001, pada bagian “Menimbang” butir (a), yaitu: “Bahwa sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.

Meskipun tanah hanyalah salah satu objek agraria, namun tanah merupakan objek yang pokok. Dalam UUPA No. 5 tahun 1960, pada bagian “Berpendapat” butir (d) disebutkan: “ ..... mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat...”. Esensialnya permasalahan “tanah” juga ditemui dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 pasal 5 butir (b) yaitu: “Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat...”.

Pentingnya posisi “tanah” dalam pengertian agraria tersebut secara tidak langsung memberi makna bahwa kegiatan pertanian merupakan bentuk aktifitas masyarakat yang paling erat kaitannya dengan apa yang dibicarakan dalam agraria, termasuk ketika membicarakan reforma agraria. Hal ini disebabkan karena pertanian lah sektor yang paling banyak bersentuhan dengan pengolahan tanah, bukan kehutanan dan pertambangan misalnya.

Secara konseptual, batasan pengertian mengenai tanah (land) tidak hanya mencakup tanah dalam pengertian fisik (soil), tetapi mencakup juga air, vegetasi, lansekap (landscape), dan komponen-komponen iklim mikro suatu ekosistem . Implikasinya, konsep pengelolaan sumberdaya lahan harus mengakomodasikan konstelasi nilai dari keseluruhan komponen tersebut. Bahkan sering pula konsep tersebut berkembang lebih luas, terkait dengan konteks permasalahan sosial-ekonomi yang dikaji. Sebagai ilustrasi, dalam "International Convention to Combat Desertification" yang diselenggarakan oleh UNO memasukkan pula populasi binatang dan pola hunian manusia sebagai komponen yang harus diperhitungkan dalam mendefinisikan pengertian "land" (Scherr and Yadav, 1996).

Landreform dan Agrarian Reform diberi pengertian yang berbeda-beda oleh para ahli. Namun, dapat disimpulkan bahwa landreform adalah salah satu bagian dari agrarian reform (lihat misalnya Wiradi, 1984). Menurut Cohen (1978), landreform adalah “... change in land tenure, especially the distribution of land-ownership, thereby achieving the objective of more equality”.Land tenure” dalam kalimat ini dimaknai secara luas, tidak hanya apa yang kita kenal sebagai “penyakapan”, tapi mencakup seluruh bentuk hubungan sosial yang terjadi dengan tanah. Sebagian kalangan menyebutnya dengan “sosio-agraria”.

Reforma agraria dapat pula berbentuk konsolidasi lahan, konsolidasi usaha, dan penataan hubungan sewa-menyewa dan bagi hasil. Konsolidasi lahan lewat program pemerintah dapat berupa program transmigrasi, pembatasan luas minimal pemilikan tanah, program kerjasama antara masyarakat petani dengan perusahaan pertanian, dan program penataan perumahan. Sementara, konsolidasi usaha pertanian berupa penyatuan usaha yang kecil-kecil ke dalam satu manajemen sehingga lebih efisien (misalnya berupa corporate farming).

Secara umum, reforma agraria mencakup dua tujuan pokok yaitu bagaimana mencapai produksi yang lebih tinggi, dan bagaimana agar lebih dicapai keadilan (Cohen, 1978). Dalam konteks reforma agraria, peningkatan produksi tidak akan mampu dicapai secara optimal apabila tidak didahului oleh landreform. Sementara, keadilan juga tidak mungkin dapat dicapai tanpa landreform. Jadi, landreform tetaplah menjadi langkah dasar yang menjadi basis pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun demikian, persoalan yang riel di Indonesia saat ini dengan kondisi politik yang belum tertata dengan baik ini adalah, bahwa landreform adalah hal yang peluangnya paling kecil dibanding aspek-aspek lain reforma agraria.

Mekipun tidak mampu melakukan landreform, namun aktifitas reforma agraria tidak boleh berhenti, karena masih banyak hal lain yang dapat dilakukan. Program-program peningkatan produksi dan produktifitas, pengembangan kredit untuk pertanian, perbaikan pajak lahan, hubungan penyakapan, regulasi upah buruh tani, dan konsolidasi tanah; adalah contoh-contoh aktifitas yang masih mungkin dilakukan.

Dengan kata lain, ada dua agenda reforma yang harus dilakukan dalam reforma agraria, yaitu land tenure reform (hubungan pemilik-penyakap) dan land operation reform (perubahan luas, pola budidaya, hukum penguasaan, dan lain-lain). Sebagaimana dinyatakan dalam Fauzi (2002), land reform jangan hanya dimaknai secara sempit sebagai redistribusi tanah. Land reform dapat berbentuk koperasi atau kolektivitas untuk mencapai skala ekonomi tertentu yang memungkinkan perimbangan antar faktor-faktor produksi (terutama modal versus tenaga kerja) menjadi lebih baik. Penataan kembali hubungan sewa dan atau bagi hasil yang dapat memberikan kepastian penguasaan garapan bagi penggarapnya juga termasuk dalam cakupan pengertian land reform.

Dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 pasal 2 disebutkan: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bagi hasil jelas suatu komponen yang dapat menyumbang kepada kemakmuran, asalkan ada perlindungan hukum dan menjunjung azas keadilan antar pelakunya.

Luasnya batasan reforma agraria juga didukung oleh Wiradi (1984), yang menyatakan bahwa reforma agraria adalah modifikasi berbagai persyaratan yang dapat mempengaruhi sektor pertanian misalnya berupa kredit, kebijakan harga, penelitian dan penyuluhan, pengadaan input, koperasi dan lain-lain. Reforma agraria dapat memilih dua pola, yaitu dengan titik berat kepada pembangunan ekonomi dan menganggap redistribusi tanah tidak penting, dan dengan titik berat kepada perombakan struktur sosial dengan mengutamakan redistribusi tanah. Indonesia selama ini telah memilih jalan pertama, namun hasilnya adalah terbatasnya pertumbuhan ditambah dengan meluasnya ketimpangan. Bagi hasil yang adil dapat memperkecil dampak tersebut, sebagai the second best choice ketika redistribusi tanah belum dapat dilakukan.

Berbagai Hambatan Melakukan Landreform

Inti dari kegiatan landreform adalah redistribusi tanah. Tak dapat disangkal lagi, landreform memang merupakan langkah yang tak terpisahkan dalam pembangunan pertanian sebagaimana telah dibuktikan oleh Jepang, Taiwan, RRC dan Vietnam. Landreform di Indonesia pernah diimplementasikan dalam kurun waktu 1961 sampai 1965, namun kurang berhasil (Rajagukguk, 1995).

Pembaruan agraria secara umum mensyaratkan dua hal pokok, dalam posisi ibarat dua sisi mata uang, yaitu komitmen politik pemerintah yang kuat di satu sisi, dan tersedianya modal sosial (social capital) misalnya berkembangnya civil society yang memadai. Dapat dikatakan, keduanya saat ini masih dalam kondisi tidak siap. Civil society di Indonesia masih merupakan ide baru, yang masih mencari-cari bentuk yang cocok, mengingat masyarakat Indonesia yang multikultural.

Hambatan lain datang dari intervensi yang tak terbantahkan dari ideologi kapitalisme, khususnya melalui instrumen pasar global, yang telah menembus seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal sistem agraria suatu negara. Jika selama ini, pemerintah yang menjadi penguasa terhadap petani dengan menggunakan tanah sebagai alat politiknya, terutama dalam era “Tanam Paksa”; maka di era pasar bebas ketika komoditas ditentukan oleh kehendak pasar, maka pasarlah yang menjadi penguasa. Dengan kata lain, bagaimana sistem agraria yang akan berjalan di suatu negara, baik penguasaan, pemilikan, dan penggunaan; akan lebih ditentukan oleh pasar dengan ideologinya sendiri misalnya dengan penerapan prinsip-prinsip efisisensi.

Dalam Pasal 6 Tap MPR RI Nomor IX tahun 2001, disebutkan bahwa beberapa hal yang menjadi agenda pembaruan agraria adalah: melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan; melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform); menyelenggarakan pendataan pertanahan; menyelesaikan konflik-konflik; memperkuat kelembagaan; serta mengupayakan pembiayaan. Ada empat aspek penting yang diperlukan untuk terselenggaranya pembaruan agraria, yaitu kemauan politik dari pemerintah, data yang lengkap dan teliti mengenai keagrariaan, organisasi petani yang kuat, dan anggaran yang cukup. Keempat aspek ini dapat dikatakan masih sangat lemah kondisinya, sehingga tetap menjadi kendala yang sulit diatasi.

Bagi Hasil dalam Konsep Reforma Agraria

Pembaruan agraria, atau adakalanya disebut dengan “Reforma Agraria”, dari asal kata Agrarian Reform, didefinisikan sebagai “Suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfatan sumber daya agraria ...” (Psl 2 Tap MPR IX/2001). Dalam kalimat tersebut terlihat bahwa reforma agraria terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring.

Reforma agraria dapat menempuh dua jalan, yaitu secara serentak, cepat, dan menyeluruh; atau secara gradual namun berkelanjutan. Jalan pertama banyak didukung oleh kalangan pemerhati agraria, terutama dari golongan LSM, dimana aspek landreform merupakan fokus utamanya. Sementara, jalan yang kedua yang terkesan lebih “soft”, dapat didukung oleh kalangan birokrasi terutama departemen-departemen teknis, misalnya Deptan. Reforma agraria yang dilakukan secara gradual dan pada skala terbatas tampaknya lebih realistis, mengingat kondisi sosial-ekonomi-politik Indonesia yang masih belum stabil.

Untuk mengimplimentasikan jalan pertama, syarat yang dibutuhkan lebih berat. Mengingat sulitnya memenuhi kebutuhan tersebut, sementara kebutuhan semakin mendesak, maka jalan kedua menjadi solusi yang lebih realistis, misalnya dengan penekanan kepada usaha untuk mengoptimalkan pengusahaan tanah yang tersedia. Salah satu bentuk kelembagaan pendukung untuk pengelolaan yang optimal adalah dengan memperbaiki sistem penyakapan.

Permasalahan yang mendasar yang berkembang saat ini, sebagai langkah berikutnya adalah: bagaimana bentuk pembaruan agraria tersebut akan dijalankan? Dengan kata lain, jalan mana yang akan ditempuh Indonesia untuk mencapainya? Dari berbagai pendapat, terdapat dua jalan utama yang bisa digunakan, yang secara konseptual saling berseberangan. Jalan pertama adalah melakukan penataan kembali sistem kepemilikan lahan (land reform) sebagai sebuah aksi sosial yang serentak namun membutuhkan biaya ekonomi dan politik yang besar. Sementara jalan kedua adalah menyerahkannya kepada mekanisme pasar (market friendly agrarian reform). Penataan bagi hasil berada di antara kedua titik ekstrim tersebut, bukan berupa redistribusi (kepemilikan), tapi juga tidak membiarkan mekanisme pasar menguasai sepenuhnya. Regulasi sistem bagi hasil dari pemerintah merupakan intervensi terhadap pasar ketenagakerjaan di pedesaan, dengan tujuan memberikan perlindungan kepada penyakap dan pemilik tanah sekaligus.

Bagi hasil yang berlaku pasa suatu wilayah merupakan sebuah bentuk kelembagaan yang telah diakui dan diterima secara sosial. Dalam penelitian Jamal et al. (2001) dan Saptana et al. (2002) berkenaan dengan penguasaan lahan dan penatagunaan lahan pertanian, ditekankan bahwa eksistensi kelembagaan lokal yang ada di masyarakat perlu dijadikan titik tolak dalam pembaruan keagrariaan. Kelembagaan tersebut akan mempengaruhi efektivitas dan efisiensi petani dalam penatagunaan lahan di tingkat mikro. Sehingga program-program penatagunaan lahan pertanian haruslah memperhitungkan dan mendayagunakan kelembagaan yang telah eksis di pedesaan.

Performa Sistem Bagi Hasil di Indonesia dan Peluang Perbaikannya

Secara umum, bagi hasil didefnisikan sebagai bentuk perjanjian antara dua pihak yaitu pemilik tanah dengan penggarap yang bersepakat untuk melakukan pembagian hasil secara natura. Bagi hasil dalam bahasa Belanda yang disebut ”deelbouw”, merupakan bentuk tertua dalam pengusahaan tanah di dunia, yang bahkan telah ditemukan pada lebih kurang 2300 SM (Scheltema, 1985). Bagi hasil di pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana pembagian hasil terhadap dua unsur produksi, modal dan kerja, dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto (kotor) dalam bentuk natura. Berbeda dengan perjanjian “sewa”, maka si pemilik tanah masih tetap memegang kontrol usaha.

Dalam literatur berbahasa Inggris, dikenal istilah “tenancy”, yaitu seluruh bentuk penggunaan tanah yang buan milik si penggarap. Dalam konteks ini tercakup sewa dan bagi hasil. Orangnya disebut dengan “tenant” atau “share cropper”. Sementara istilah “owner crooper” adalah untuk petani yang sekaligus menggarap tanahnya sendiri, atau disebut “petani penggarap”. Khusus di AS dikenal istilah cash tenant untuk sewa dan share tenant untuk bagi hasil. Di Indonesia, bagi hasil dikenal di seluruh daerah (Scheltema, 1985). Bagi hasil di Aceh disebut dengan meudua laba untuk bagi dua; di Sumatera Barat dikenal sebutan mampaduokan, mampatigoi, dan seterusnya; di Sulawesi Selatan misalnya disebut thesang-tawadua untuk bagi dua; di Bali dikenal nandu, telon, negmepat-empat, dan ngelima-lima; sedangkan di Jawa dikenal maro, mertelu, mrapat, dan seterusnya.

Pemerintah telah cukup memberikan perhatian terhadap pentingnya bagi hasil di tengah masyarakat tani. Hal ini terlihat dengan telah dikeluarkannya dua Undang-Undang tentang bagi hasil, yaitu UU no. 2 tahun 1960 untuk bagi hasil di pertanian, dan UU No. 16 tahun 1964 untuk bagi hasil di sektor perikanan. Namun demikian, penerapan peraturan ini sangat lemah karena berbagai alasan.

Bagi hasil yang berlaku semenjak dahulu di masyarakat membagi terhadap hasil kotor (bahasa Belanda: deelbouw), namun dalam semangat landreform menginginkan yang dibagi adalah hasil bersih (deelwinning). Pembagian dari hasil kotor mengandung rasa sosial dan kebersamaan, dan lebih adil karena penyakap dengan investasi kerja dan pemilik dengan investasi berupa tanah sama-sama mengandung resiko. Namun, pada pola kedua resiko penyakap menjadi lebih besar dibandingkan pemilik. Bagi hasil kotor terlihat lebih adil bagi penggarap ketika sarana produksi yang dibeli sangat rendah. Namun ketika nilai sarana produksi menjadi cukup penting, ditemukan berbagai pola. Pada sebagian wilayah ada yang sarana produksi ditanggung secara bersama, namun pada wilayah dimana kedudukan penyakap semakin terdesak, sarana produksi hanya ditanggung oleh si penyakap.

Dapat dipaparkan beberapa karakteristik sistem bagi hasil yang saat ini hidup di Indonesia, yang secara tidak langsung telah membuat pihak luar kurang memperhatikan fenomena dan potensinya dalam reforma agraria. Karakteristik tersebut adalah: Pertama, sudah menjadi pendangan yang kuat pada seluruh pihak, bahwa perjanjian bagi hasil antara seorang pemilik tanah dengan si penyakap merupakan wilayah privat yang bersifat personal, bukan masalah publik. Dengan kata lain, pihak luar, baik pengurus kelompok tani, aparat pemerintahan desa, apalagi pemerintah daerah merasa tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi bentuk perjanjian bagi hasil yang berlangsung.

Kedua, hubungan tersebut bersandar kepada bentuk hubungan patron klien (patron-client relationship). Secara definisi, hubungan patron klien adalah hubungan diadik antara dua pihak yang bersifat sangat personal, intim, dan cenderung tidak seimbang (Scott, 1993). Arus jasa yang tidak seimbang, dimana jasa yang diberikan klien kepada patron lebih banyak dibanding sebaliknya, sudah dianggap sebagai takdir. Karena itulah, pembagian bagi hasil yang lebih menguntungkan pemilik, sudah dianggap sebagai hal yang lumrah oleh si penyakap.

Apalagi jika dicermati, bahwa bagi hasil terjadi bukan karena si pemilik tidak punya waktu mengerajakan sendiri tanahnya, tapi lebih karena sikap sosial pemilik karena permintaan penyakap yang membutuhkan lahan garapan. Pada penelitian awal Tim Penelitian “Studi Prospek dan Kendala Penerapan Reforma Agraria di Sektor Pertanian” tahun 2004 ini di Kabupatren Pinrang Sulawesi Selatan, dimana penulis terlibat; sangat jarang pemilik tanah yang memiliki sampai lebih dari dua hektar. Artinya, jika pun tidak ada penyakap mereka masih sanggup menggarap sendiri. Jadi, sedari awal, posisi penyakap yang subordinat tersebut, telah menempatkan mereka kepada situasi yang tidak sejajar secara politis dalam menegosiasikan pola pembagian hasil panen.

Namun demikian, dalam konteks ini, bupati sesungguhnya telah diberikan kewenangan untuk mengatur bagi hasil di wilayah sebagaimana tercantum dalam UU No. 2 tahun 1960 pasal 7: “Besarnya bagian hasil-tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap Daerah Swatantra tingkat II ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah ....”.

Ketiga, sistem bagi hasil yang terjadi sangat beragam. Keberagaman tersebut juga didukung oleh UU No. 2 tahun 1960 pada bagian Penjelasan butir (2), yaitu: “Mengenai besarnya bagian yang menjadi hak masing-masing fihak tidak ada keseragaman, karena hal itu tergantung pada jumlahnya tanah yang tersedia, banyaknya penggarap yang menginginkannya, keadaan kesuburan tanah, kekuatan kedudukan pemilik dalam masyarakat setempat/sedaerah dan lain-lainnya......”. Membolehkan keberagaman tersebut artinya menyulitkan dalam pengaturannya, dan ini berpeluang untuk membuat hukum yang kurang tegas.

Keempat, dalam kondisi tekanan penduduk yang tinggi terhadap tanah, maka sistem bagi hasil lebih dipersepsikan sebagai suatu sikap altruis pemilik yang besar kepada penyakap. Bagaimanapun tidak imbangnya pola pembagian, tidak dianggap sebagai suatu hubungan yang eksploitatif. Padahal secara kasat mata terlihat bahwa tingkat kehidupan para penyakap tidak pernah lepas dari garis batas subsistensinya, meskipun di wilayah tersebut selalu terjadi peningkatan produksi dan produktifitas komoditas yang diusahakan. Sikap konformitas penyakap seperti ini juga ditemukan dalam hubungan antara nelayan pandega dengan pemilik kapal pada masyarakat nelayan (Syahyuti, 1995).

Untuk permasalahan ini, maka perlu pendidikan untuk memberi kesadaran kepada para penyakap bahwa mereka adalah pelaku ekonomi aktif dalam kerjasama usaha, sehingga sudah sepantasnya lebih dihargai secara ekonomi. Meskipun mereka tidak memiliki tanah yang digarapnya, namun dalam konteks “fungsi sosial” dari tanah, maka sesungguhnya merekalah yang selayaknya lebih ditinggikan posisinya. Ketidakmampuan negara menyediakan tanah kepada para penyakap tersebut, sebagai petani dalam arti sesungguhnya, sudah sepantasnya ditebus dengan berbagai dukungan, baik berupa sarana produksi yang terjangkau dan kredit, termasuk perolehan bagi hasil yang lebih baik.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Bagi hasil merupakan salah satu komponen dalam kerangka Pembaruan Agraria yang sesungguhnya memiliki peranan yang cukup penting dalam upaya memperbaiki kesejahteraan masyarakat pertanian, namun selama ini hampir tidak diperhatikan. Bagi hasil luput dari pembicaraan tentang Pembaruan Agraria yang masih berkutat kepada ide-ide yang lebih besar, terutama tentang landreform yang kenyataannya sangat sulit diimpementasikan. Dengan menyadari beratnya tantangan yang dihadapi untuk melaksanakan landreform, maka sudah selayaknya sistem bagi hasil mendapat perhatian seluruh pihak dengan melakukan penataan yang lebih baik dan adil.

Di sisi lain, sistem bagi hasil juga merupakan konsep yang terbuka untuk diaplikasikan dan dikembangkan lebih jauh, baik pada usaha pertanian tanaman pangan, pekerbunan, maupun peternakan. Pengelolaan usaha perkebunan dengan menerapkan sistem bagi hasil antara pemilik usaha dengan buruh dan karyawan serta masyarakat sekitar pemilik lahan misalnya, adalah solusi yang dapat mengurangi berbagai konflik agraria yang sering terjadi selama ini.

Salah satu agenda Pembaruan Agraria sebagaimana diamanatkan dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 adalah penataan kembali sistem hukum dan perundang-undangan. Untuk itu, perlu dicatat oleh semua pihak, bahwa sistem hukum dan perundang-undangan untuk sistem bagi hasil yang lebih baik dan adil perlu pula menjadi perhatian.

Daftar Bacaan:

Cohen, Suleiman I. 1978. Agrarian Structures and Agrarian Reform: Exercise in Development Theory and Policy. Martinus Nijhoff Social Sciences Division, Leiden and Boston, USA

Fauzi, Noer. 2002. Land reform sebagai Variabel Sosial: Perkiraan tentang Rintangan Politik dan Finansial Pelaksanaan Land Reform. Seminar “mengkaji Kembali Land Reform d Indonesia. BPN, Land Law Initiative (LLI) dan Rural Development Institute (RDI), Jakarta 8 Mei 2002.

Jamal, Erizal; Tri Pranadji; Aten M. Hurun; Adi Setyanto; Roosgandha E. Manurung; dan Yusuf Nopirin. 2001. Struktur dan dinamika penguasaan lahan pada komunitas lokal. Laporan Penelitian PSE no. 526, Bogor.

Harsono, Boedi. 2002. Menuju penyempurnaan hukum tanah nasiona dalam hubungannya dengan Tap MPR RI Nomor IX tahun 2001, makalah pad seminar nasional pertanahan 2002 “pembaruan agraria”. STPN Yogyakarta, tanggal 16 Juli 2002.

Hussein, Benyamin. 2002. Kelembagaan Pertanahan dalam Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Diskusi Pengembangan Kebijakan Pertanahan dalam Era Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan Kepada Masyarakat. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Deputi Otonomi daerah dan Pengembangan Regional, Bappenas. Jakarta, 12 September 2002.

Rajagukguk, Erman. 1995. Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup. Chandra Pratama, Jakarta. 220 hal.

Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil di Hindia Belanda. Yayasan Obor Indonesia.

Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Sitorus, Oloan. 2002. Pembagian Kewenangan usat, Propinsi, dan Daerah di Bidang Pertanahan. Diskusi Pengembangan Kebijakan Pertanahan dalam Era Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan Kepada Masyarakat.

Syahyuti. 1995. Keterasingan Sosial dan Ekploitasi Terhadap Buruh Nelayan. Majalah Forum Agro Ekonomi Vol. 13 No. 2 Desember 1995. Puslit Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. Hal. 286-328. Dalam: SMP Tjondronegoro dan G. Wiradi. Eds. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah. PT Gramedia, Jakarta.

*****

Nilai-Nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah menurut Hukum Adat di Indonesia

(Terbit di majalah Forum Agro Ekonomi No1. tahun 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor).

Abstract

Aspect of land ownership is shares very esensial in all system of agraria applying, because will determine the level and distribution of prosperity of society in it. That way also for agricultural sector, because factor land ownership become determinant of activity of farming activities and also including distribution of the result among its perpetrator. Height phenomenon land convertion and farm unemployed in Indonesia is impact of domination system of according to state law which is very respect the ownership of person (privat ownership) of because economic capitalist system. This article studied the concept of land ownership which relative differ, that is domination form of according to customary law at some proven tribes in Indonesia have many equalities of with form of land ownership according to Islam law. Some its characteristics is prima facie is that land are unique economic resorce, where doing not know absolute domination form, existence of the nature of inclusiveness, and also the prohibition order for sell land in meaning as market commodity. Land ownership of according to customary law and Islam seems have higher level wisdom, truthfully will be more can realize prosperity of society with justice.

Keyword: land ownership, customary law, Islam law, state law.

Abstrak

Aspek penguasaan tanah merupakan bagian yang sangat esensial dalam keseluruhan sistem agraria yang berlaku, karena akan menentukan tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Demikian pula untuk sektor pertanian, karena faktor penguasaan tanah menjadi penentu kegiatan usahatani serta termasuk distribusi hasilnya di antara pelakunya. Fenomena tingginya alih fungsi lahan dan lahan terlantar di Indonesia merupakan dampak dari sistem penguasaan menurut hukum negara yang sangat menjunjung tinggi kepemilikan pribadi (privat) karena dijiwai sistem ekonomi kapitalis. Dalam tulisan ini dipelajari konsep penguasaan terhadap tanah yang relatif berbeda, yaitu bentuk penguasaan menurut hukum adat pada beberapa suku bangsa di Indonesia yang terbukti memiliki banyak kesamaan dengan bentuk penguasaan tanah menurut hukum Islam. Beberapa cirinya yang utama adalah bahwa tanah merupakan sumberdaya ekonomi yang unik, dimana tidak mengenal bentuk penguasaan yang mutlak, adanya sifat inklusifitas, larangan untuk memperjual belikan tanah dalam arti sebagai komoditas pasar, serta lebih diharganinya manusia dan kerja dibandingkan tanah. Penguasaan tanah menurut hukum adat dan Islam tampaknya memiliki kearifan yang lebih tinggi, yang sesungguhnya akan lebih mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.
Kata kunci: penguasaan tanah, hukum adat, hukum Islam, hukum negara.

PENDAHULUAN

Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan” dan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”. Hal ini terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang menyebutkan bahwa: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”. Aspek “penguasaan/pemilikan” jelas berbeda dengan aspek “penggunaan/pemanfaatan”, karena yang pertama berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua membicarakan bagaimana tanah (dan sumberdaya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan.

Hak penguasaan merupakan hal yang paling pokok yang terdapat dalam sistem agraria di satu negara maupun di satu kelompok masyarakat. Penguasaan terhadap tanah merupakan permasalahan penting dalam keagrariaan. Dari titik inilah akan ditentukan bagaimana struktur agraria yang akan terbangun, yang akan berkaitan erat dengan struktur masyarakatnya (Wiradi, 1984). Di Indonesia, UUPA No. 5 tahun 1960, menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari aspek penggunaan. Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus (Bab II) dan mendominasi seluruh isi UUPA, yaitu dari pasal 16 sampai dengan pasal 51; padahal batang tubuh UUPA hanya berisi 58 pasal. Selain jumlah yang lebih dominan, juga terbaca dengan mudah bahwa “aspek penggunaan” tanah diatur setelah hak penguasaan dimiliki (seseorang, pemerintah, ataupun badan swasta). Hal ini dapat dilihat pada pasal 2 ayat 2, pasal 4 ayat 2, dan pasal 14 ayat 1. Hal ini dapat dimengerti karena UUPA lahir pada saat permasalahan penguasaan tanah menjadi sangat penting, yaitu bagaimana “merebut” tanah-tanah yang dikuasi pengusaha asing dan pemerintahan kolonial.

Bentuk penguasaan tanah pada satu negara mengikuti ideologi ekonomi yang dianut negara tersebut. Kita mengenal setidaknya lima ideologi sistem ekonomi, yaitu kapitalisme, sosialisme, komunisme, fasisme, dan ekonomi Islam (Achyar, 2005). Secara umum, hak kepemilikan (property rights) yang berlaku dalam sistem ekonomi kapitalis adalah kepemilikan yang tanpa batas. Bentuk kepemilikan tanpa batas ini berlaku untuk benda apa saja termasuk tanah. Si pemilik (owner) dapat menggunakan dan menguasai miliknya sebagaimana ia sukai. Konsep dasar sistem ekonomi kapitalis adalah kebebasan tanpa batas untuk menciptakan pendapatan pribadi dan membelanjakannnya sesuai dengan kemauannya (personal propensities) (Heilbroner, 1986). Motif kepentingan individu yang didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas, yang pada akhirnya melahirkan ekonomi kapitalis. Dalam konteks ini, menurut Wiradi (1996), pemilikan tanah yang disamakan dengan sumber daya ekonomi lain sehingga tanah menjadi ”komoditas”, merupakan akar terjadinya berbagai krisis ekonomi di tingkat dunia selama ini.

Sisi ekstrim yang lain adalah kepemilikan tanah di negara sosialis, dimana kepemilikan pribadi hampir seluruhnya telah dicabut dan dialihkan ke negara. Pemerintah bertindak sebagai pihak yang dipercayai oleh seluruh warga masyarakat. Pada akhirnya, sosialisme melibatkan pemilikan semua alat-alat produksi, termasuk di dalamnya tanah-tanah pertanian oleh negara dan menghilangkan milik swasta. Dalam masyarakat sosialis, hal yang menonjol adalah kolektivisme atau rasa kerbersamaan, dimana alokasi produksi dan cara pendistribusian semua sumber-sumber ekonomi diatur oleh negara (Achyar, 2005).

Selanjutnya, komunisme lebih bersifat gerakan ideologis yang juga mencoba mendobrak sistem kapitalisme. Komunisme adalah bentuk paling ekstrem dari sosialisme. Sementara dalam fasisme, asosiasi-asosiasi yang mencakup seluruh industri atau sindikat-sindikat pekerja mengoperasikan kegiatan produksi, pemerintah melakukan pengendalian dalam bidang produksi, sedangkan kekayaan dimiliki oleh pihak swasta.

Dalam konsep ekonomi Islam, manusia tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber daya semaunya sendiri. Ada pembatasan yang serius berdasarkan ketetapan kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa. Tidak seorang pun lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk. Dalam konteks ini, manusia tidak hanya makhluk sosial namun sekaligus juga makhluk religius. Menurut Gamal (2006), ilmu Ekonomi Islam sesungguhnya menjadi dasar bagi ilmu-ilmu ekonomi yang berkembang saat ini.

Tulisan ini mengkaji satu bentuk penguasaan yang sangat berbeda dengan bentukbentuk pemilikan ekonomi kapitalis, yaitu pada kearifan hukum adat yang tampaknya memiliki banyak kesejajaran dengan penguasaan tanah dalam agama Islam, dimana tanah “tidak dimiliki secara mutlak”. Apa yang dapat disebut dengan suatu ”kearifan Timur” ini tampak lebih berkeadilan dan mengedepankan fungsi sosial dari tanah. Permasalahan ini cukup penting bagi dunia pertanian, karena dengan menerapkan pola pemilikan menurut hukum adat dan Islam misalnya, maka struktur pendapatan dan kesejahteraan petani akan lebih seimbang, karena adanya perbaikan sistem bagi hasil menjadi lebih adil.

Pemaparan akan dimulai dengan deskripsi tentang konsep penguasaan menurut berbagai hukum adat di Indonesia yang tampaknya memiliki satu “benang merah” yang k has. Konsep penguasaan tanah menurut hukum adat perlu diungkap, karena secara ideologis hukum adat menjadi pertimbangan pokok dalam menyusun ketentuan penguasaan tanah menurut hukum negara. Dalam tulisan ini diperlihatkan bahwa idealisme yang dimiliki hukum-hukum adat (yang sebagian besar tampaknya justeru tidak mengenal Islam), memiliki kearifan yang sama dengan hukum Islam tentang tanah sebagai sumberdaya ekonomi yang khas. Pada bagian terakhir, dipaparkan hukum negara Indonesia saat ini dalam hal pertanahan. Hukum negara saat ini bukanlah sebagaimana ada dalam UUPA, namun lebih dipengaruhi hukum barat yang liberal-kapitalis.

HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH MENURUT HUKUM ADAT DI
INDONESIA

Bentuk hukum penguasaan tanah pada masyarakat adat dikenal dengan ”hak ulayat”. Ini merupakan istilah yang digunakan secara formal, walaupun sesungguhnya pada setiap etnik istilah yang digunakan berbeda-beda. Dalam bahasa hukum maupun ilmiah, istilah ”tanah ulayat” selalu digunakan untuk menyebut tanah-tanah yang dikuasai menurut hukum adat pada suatu etnik tertentu.

Jenis-Jenis Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat

Secara umum, menurut Purbacaraka dan Halim (1993), hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indoensia dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu: ”hak ulayat” dan ”hak pakai”. Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal ini, pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut. Untuk sementara waktu, seseorang berhak mengolah serta menguasai sebidang tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai. sebidang tanah bagi kepentingannya, biasanya terhadap tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama.

Sementara Van Dijk (dalam Kaban, 2004) membagi tiga bentuk hak-hak atas tanah adat yaitu: hak persekutuan atau pertuanan, hak perorangan, dan hak memungut hasil tanah. Perbedaannya adalah sebagai berikut:

1. Hak persekutuan atau hak pertuanan mempunyai akibat keluar dan kedalam. Akibat ke dalam antara lain memperbolehkan anggota persekutuan (etnik, sub etnik, atau fam) untuk menarik keuntungan dari tanah dengan segala yang ada di atasnya, misalnya mendirikan rumah, berburu, maupun menggembalakan ternak. Izin hanya sekedar dipergunakan untuk keperluan hidup keluarga dan diri sendiri, bukan untuk diperdagangkan. Akibat keluar ialah larangan terhadap orang luar untuk menarik keuntungan dari tanah ulayat, kecuali setelah mendapat izin dan sesudah membayar uang pengakuan (recognitie), serta larangan pembatasan atau berbagai peraturan yang mengikat terhadap orang-orang untuk mendapatkan hak-hak perorangan atas tanah pertanian.

2. Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari hak milik adat (inland bezitrecht), dimana yang bersangkutan tenaga dan usahanya telah terus menerus diinvestasikan pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan diakui oleh anggota lainnya. Kekuasaan kaum atau persekutuan semakin menipis sementara kekuasaan perorangan semakin kuat. Hak milik ini dapat dibatalkan bila tidak diusahakan lagi, pemiliknya pergi meninggalkan tanah tersebut, atau karena tidak dipenuhi kewajibankewajiban yang dibebankan.

3. Hak memungut hasil tanah (genotrecht) dan hak menarik hasil. Tanah ini secara prinsip adalah milik komunal kesatuan etnik, namun setiap orang dapat memungut hasil atau mengambil apapun yang dihasilkan tanaman di atas tanah tersebut.

Di suku Minangkabau, tanah ulayat terbagi menjadi tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, dan tanah ulayat kaum (Thalib, 1985). Ketiga jenis tanah ini disebut sebagai ”tanah pusaka tinggi”. Di luar itu dikenal ”tanah pusako rendah”, yaitu tanah-tanah yang diperoleh seseorang dari pemberian, hibah, atau karena membuka lahan sendiri (menaruko). Tanah ulayat nagari adalah tanah-tanah dimana terdapat di dalamnya hak penduduk satu kesatuan ”nagari”, yang pengelolaannya atau pendistribusiannya dikuasakan kepada penghulu nagari yaitu Kerapatan Adat Nagari (KAN). Tanah ini ada yang berbentuk fasilitas umum, juga ada yang masih berupa rimba sebagai cadangan lahan untuk dibuka suatu saat, ketika penduduk nagari sudah membutuhkan.

Tanah ulayat suku adalah tanah-tanah yang dikuasai dan dikelola oleh suatu suku secara turun temurun, yang pengaturannya juga dikuasasi oleh penghulu suku bersangkutan. Selanjutnya tanah ulayat suku, dalam perkembangannya dapat menjadi tanah ulayat kaum, yang penggunaannya terbagi dalam keluarga-keluarga separuik yang lingkupnya lebih kecil lagi. Bentuk hak penguasaan yang berlaku sesungguhnya didasari oleh satu tujuan yang luhur. Di masyarakat Dayak misalnya, tanah tidak hanya berfungsi sebagai benda ekonomis belaka, tetapi merupakan basis politik, sosial, budaya dan spritual. Pada sub suku Dayak Kanayatn, tanah kesatuan hukum adat disebut sebagai “Binua”. Konsep “kabinuaan” merupakan konsep geo-politik, yang didalamnya terdapat rakyat yang memiliki seperangkat aturan (hukum) dan individu-individu yang diangkat oleh rakyat untuk menegakkan aturan tersebut.

Penataan ruang binua merupakan suatu land use management yang diadaptasikan terhadap sistem pertanian asli terpadu (indigenous integrated farming system). Di dalamnya sekurangnya terdapat tujuh komponen (Djuweng, 1996), di antaranya adalah: kawasan hutan untuk cadangan masa depan, tanah yang ditanami pohon buah-buahan (tembawang), tanah yang ditanami tanaman keras, tanah pertanian (yang sedang dikerjakan dan sedang diistirahatkan), tanah pekuburan dan keramat, perkampungan dan pekarangan, serta sungai dan danau untuk perikanan. Hak milik atas tanah menurut adat Dayak dikenal sebagai “hak milik adat turun temurun” yang mencakup hak mengelola dan mengusahakan segala sesuatu baik yang berada di dalam maupun di atasnya.

Sebagaimana pada suku Minangkabau, di masyarakat Dayak juga dikenal pola penguasaan yang berjenjang yang hampir sama persis. Adat Dayak mengakui kepemilikan tanah adat yang terdiri atas2:
(1) kepemilikan “seko menyeko” atau kepemilikan perseorangan,
(2) kepemilikan parene’ant, yang merupakan tanah warisan yang dengan segala isinya menjadi milik dari beberapa keluarga dalam satu garis keturunan,
(3) kepemilikan saradangan, merupakan kepemilikan oleh suatu kampung, dan
(4) kepemilikan binua, yaitu kepemilikan atas tanah oleh beberapa kampung satuan wilayah hukum adat Ketemanggungan.

Konsep “tanah adat” pada Dayak Kanayatn disebut dengan Palasar Palaya, yang memadukan tanah dengan fungsi-fungsinya bagi kehidupan manusia. Ada batas-batas teritorial pengelolaan sumberdaya alam pada satu kampung (ampu sakampongan). Berbagai fungsi yang dikenal adalah tanah keramat (panyugu, padagi, pantulak, dll), tempat berburu dan tempat berladang (balubutatu, bawas), tanah bersawah (tawakng, bancah), perkebunan rakyat (kabon gatah, kampokng buah), dan cagar budaya (timawakng). Selain itu, juga ada tanah colap tornat pusaka (tanah yang dingin), yaitu tanah perjanjian adat yang turun temurun harus tetap diabadikan (pusaka). Tanah ini ada di setiap kampung. Suku Baduy juga mengenal “tanah larangan” yaitu daerah yang dilindungi dan tidak sembarang orang dapat masuk dan berbuat sekehendaknya (Permana, 2003).

Konsep tanah komunal, selain yang dikuasai secara pribadi, juga dikenal di Bali yang disebut dengan “tanah duwe” yang merupakan milik “desa pakraman” atau desa adat di Bali. Juga dikenal “tanah pelaba pura”, yang merupakan tanah untuk membiayai keberlanjutan tempat suci pura (Sedjati et al., 2002). Demikian pula di Papua, dimana tanah diibaratkan sebagai “ibu kandung”. Sebagai ibu, tanah memberi kehidupan kepada anak-anaknya. Selain nilai ekonomi, tanah juga memiliki nilai kultural-spritual, dengan sistem kepemilikan yang berbentuk komunal. Kepemilikan tanah di Papua berkaitan dengan keberadaan serta penguasaan suatu etnik atas wilayah tertentu (Anonimous, 2006a).

Pengertian hak ulayat menurut hukum adat

Menurut Rizal (2003), hak ulayat yang disebut juga dengan hak persekutuan adalah daerah dimana sekelompok masyarakat hukum adat bertempat tinggal mempertahankan hidup tempat berlindung yang sifatnya magis-religius. Masyarakat yang hidup di dalam hak ulayat berhak mengerjakan tanah itu, dimana setiap anggota masyarakat dapat memperoleh bagian tanah dengan batasan-batasan tertentu. Menurut Van Vollenhoven (dalam Bushar, 1988) ciri-ciri hak ulayat itu adalah sebagai berikut:

a. Tiap anggota dalam persekutuan hukum (etnik, sub etnik, atau fam) mempunyai wewenang dengan bebas untuk mengerjakan tanah yang belum digarap, misalnya dengan membuka tanah untuk mendirikan tempat tinggal baru.
b. Bagi orang di luar anggota persekutuan hukum, untuk mengerjakan tanah harus dengan izin persekutuan hukum (=dewan pimpinan adat).
c. Anggota-anggota persekutuan hukum dalam mengerjakan tanah ulayat itu mempunyai hak yang sama, tapi untuk bukan anggota selalu diwajibkan membayar suatu retribusi (uang adat, sewa lunas, sewa hutang, bunga pasir dan lain-lain) ataupun menyampaikan suatu persembahan (ulutaon, pemohon).
d. Persekutuan hukum sedikit banyak masih mempunyai campur tangan dalam hal tanah yang sudah dibuka dan ditanami oleh seseorang.
e. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam ulayatnya.
f. Persekutuan hukum tidak dapat memindah tangankan hak penguasaan kepada orang lain.
g. Hak ulayat menurut hukum adat ada di tangan suku/masyarakat hukum/desa.

Hampir sama dengan di atas, berlakunya hak ulayat ini menurut sistematika Ter Haar (1985) adalah sebagai berikut:
1. Anggota masyarakat hukum bersama-sama dapat mengambil manfaat atas tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di atasnya.
2. Anggota masyarakat hukum untuk keperluan sendiri berhak berburu, mengumpulkan hasil hutan yang kemudian dimiliki dengan hak milik bahkan berhak memiliki beberapa pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu dipelihara olehnya.
3. Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan kepala suku atau kepala masyarakat hukum. Hubungan hukum antara orang yang membuka tanah dengan tanah tersebut makin lama makin kuat, apabila tanah tersebut terus menerus dipelihara/digarap dan akhirnya dapat menjadi hak milik si pembuka. Sekalipun demikian, hak ulayat masyarakat hukum tetap ada walaupun melemah. Sebaliknya apabila tanah yang dibuka itu tidak diurus atau diterlantarkan, maka tanah akan kembali menjadi tanah masyarakat hukum. Selain itu, transaksi-transaksi penting mengenai tanah harus dengan persetujuan kepala suku.
4. Berdasarkan kesepakatan masyarakat hukum setempat, dapat ditetapkan bagianbagian wilayah yang dapat digunakan untuk tempat permukiman, makam, pengembalaan umum, dan lain-lain.
5. Anggota suku lain tidak boleh mengambil manfaat daerah hak ulayat, kecuali dengan seizin pimpinan suku atau masyarakat hukum, dan dengan memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) terlebih dahulu. Izin tersebut bersifat sementara, misalnya untuk selama musim panen, namun suku lain tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah tersebut. Sifat istimewa hak ulayat terletak pada daya berlakunya secara timbal balik hak-hak itu terhadap orang lain. Karena pengelolaan tanah makin memperkuat hubungan perseorangan dengan sebidang tanah. Bila hubungan perorangan atas tanah itu berkurang atau bila hubungan itu diabaikan terus menerus, maka pulihlah hak masyarakat hukum atas tanah itu dan tanah tersebut kembali menjadi hak ulayat.
6. Apabila ada anggota suku bangsa lain ditemukan meninggal dunia atau dibunuh di suatu wilayah yang dikuasai satu suku bangsa, maka suku atau masyarakat hukum di wilayah bersangkutan bertanggung jawab untuk mencari siapa pembunuhnya atau membayar denda.

Pengertian “ulayat” di Minangkabau, lebih kuat ke arah pengertian sebagai tanah milik komunal seluruh suku Minangkabau. Tanah ulayat adalah pusaka yang diwariskan turuntemurun, yang haknya berada pada perempuan, namun sebagai pemegang hak atas tanah ulayat adalah mamak kepala waris. Penguasaan dan pengelolaan tanah ulayat dimaksudkan untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan serta keberadaan masyarakat (eksistensi kultural), menciptakan tata kehidupan, termasuk produksi dan distribusi sumber daya agraria yang berkeadilan sosial. Selain itu, tanah ulayat juga mengandung unsur religi, kesejarahan dan bahkan unsur magis serta bertujuan memakmurkan rakyat di dalamnya.

Tanah ulayat adalah tanah milik komunal yang tidak boleh dan tidak dapat didaftarkan atas nama satu atau beberapa pihak saja. Penelitian Jamal et al. (2001) mendapatkan bahwa seluruh tanah di wilayah Minangkabau, yang persis berhimpit dengan areal administratif propinsi Sumatera Barat, merupakan ”tanah ulayat” dengan prinsip kepemilikan komunal, yang penggunaan dan pendistribusian penggunaannya tunduk kepada pengaturan menurut hukum adat.

Karakteristik hak penguasaan tanah menurut hukum adat

Secara umum, setidaknya ada empat karakteristik pokok bentuk penguasaan tanah menurut hukum adat, yaitu tidak adanya kepemilikan mutlak, penguasaan yang bersifat inklusif, larangan untuk memperjual belikan tanah (meskipun untuk tanah yang sudah dikuasai secara pribadi), serta lebih dihargainya manusia dan kerjanya dibanding tanah.

Keempat sifat ini saling mengkait, yang dilandasi oleh paradigma pokok bahwa sesungguhnya tanah adalah sumberdaya yang khas tidak sebagai mana sumberdaya ekonomi lain. Karena jumlahnya yang terbatas, maka tanah harus digunakan secara adil, dan harus mampu memberi kesejahteraan bagi seluruh orang di muka bumi. Untuk itu, tanah jangan dijadikan sebagai komoditas pasar yang bebas.

(1) Sifat pertama, tanah tidak dapat dikuasai secara mutlak.

Sifat khas penguasaan tanah menurut hukum adat yang menyatakan bahwa tanah tidak dapat dimiliki secara mutlak ditemukan dalam beberapa literatur. Dalam sistem hukum Minangkabau sebagai contoh, dipisahkan antara ”tanah” dan ”ulayat” dengan azas terpisah horizontal. Artinya, tanah secara fisik adalah tetap milik komunal dan tidak boleh berpindah tangan kepemilikannya; sedangkat pengaturan ulayat (atau pemanfaatannya) berada di bawah kewenangan penghulu (Nurullah, 1999).

Dalam banyak suku di Indoensia, diatur sampai dimana hak perseorangan dibatasi. Setiap anggota suku (persekutuan) diberi hak untuk mengerjakan tanah adat (atau tanah ulayat) di wilayahnya dengan diberi izin yang disebut dengan hak ”wenang pilih”. Jika sebidang tanah di wilayah persekutuan itu telah dikerjakan oleh seseorang warganya secara terus menerus, maka hubungannya dengan tanah itu semakin kuat. Namun apabila suatu waktu tanah itu ditinggalkannya, maka hubungannya semakin renggang dengan tanah tersebut. Sebaliknya, hubungan antara tanah itu dengan persekutuan menjadi semakin erat kembali. Lebih jauh, jika tanah yang telah digarap tersebut ditinggalkan menjadi semak belukar, maka tanah itu dianggap telah diterlantarkan, maka putuslah hubungan seseorang dengan tanah tersebut. Terlihat disini bahwa seseorang tidak pernah benar-benar menguasai sebidang tanah secara mutlak.

Meskipun sebidang tanah telah dibuka dan dikerjakan oleh seseorang, namun campur tangan persekutuan hukum terhadap tanah yang bersangkutan tidak lenyap seluruhnya. Campur tangan ini menjadi besar kalau hak individu menipis. Sebaliknya, campur tangan ini menipis secara proporsional dengan membesarnya hak individu (Kaban, 2004).

Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hak ulayat itu sebenarnya adalah hak dari pada persekutuan hukum atas wilayahnya, termasuk segala sesuatu (kekayaan) yang ada di atasnya. Hal ini dijaga oleh seluruh anggota masyarakat persekutuan dengan cara mentaati aturan-aturan. Demikian juga tentang pemanfaatannya. Dari hak ulayat ini pula hak perorangan berasal, tentunya juga dengan segala pengaturannya. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa hak ulayat memagari, meresapi dan memayungi hak-hak yang ada, yang timbul dan berkembang di tengah-tengah anggota persekutuan yang menyangkut tentang tanah.

Sebagai contoh, sifat dari hak ulayat dalam masyarakat hukum adat Minangkabau adalah (Umar, 1978): (1) berada pada masyarakat, tidak pada orang tertentu, (2) tidak dapat dipindahtangankan selamanya, serta (3) hanya dapat dilepaskan untuk sementara jika ada alasan-alasan yang diakui oleh adat yang biasanya merupakan alasan mendesak (untuk membayar hutang yang besar, menyelenggarakan pemakaman anggota keluarga yang meninggal, dan melangsungkan pesta pernikahan anggota keluarga).

Kedaulatan atas tanah tersusun atas garis keturunan ibu (matrilineal), namun pendistribusiannya dimusyawarahkan dengan dipimpin seorang laki-laki tertua yang disebut mamak kepala waris atau “tungganai”. Ia berwenang dalam pengawasan pemanfaatan tanah pusaka tinggi tersebut. Ini termasuk untuk tanah ulayat suku, kaum, dan keluarga saparuik. Sementara untuk tanah yang tergolong sebagai tanah ulayat nagari, penguasaannya oleh penghulu yang berada dalam lembaga KAN (Kerapatan Adat Nagari). Bahwa tanah dan apa yang di atasnya tidaklah benar-benar dikuasai secara ekslusif oleh seseorang, terlihat pula dari tanah “kompokng” pada suku Dayak yang dikuasai oleh keluarga-keluarga dan individu, namun semua buah yang jatuh di tanah tersebut dapat diambil oleh siapa saja.

Paradigama ini juga ditemukan dalam konsep penguasaan tanah menurut ketentuan Islam. Dalam dasar-dasar Ekonomi Islam, sumberdaya alam sebagai sumber kesejahteraan dan perannya merupakan aspek penting yang ditekankan dalam Islam. Semua yang ada di alam, baik matahari, bulan, udara dan lain-lain; diciptakan untuk menuju kesejahteraan manusia. Semua diciptakan oleh Allah, dan tak ada seseorang yang dapat memonopolinya. Salah satu alam tersebut adalah permukaan bumi (surface of the earth), dimana tanah merupakan komponen yang paling bernilai (Afzalurrahman, 2000). Pada prinispnya, konsep penguasaan tanah dalam Islam berakar dari konsep bumi (earth), dimana bumi dipandang sebagai satu sumber daya yang paling bernilai untuk menuju kesejahteraan hidup.

Pada prinsipnya, kata “milik” menunjukkan bahwa ada relasi antara satu benda dengan seseorang, sebagai dasar sehingga ia punya hak untuk menggunakannya (right to use it), untuk mengusainya untuk menggunakannya (to keep it for his use), untuk menjualnya (to sell it), atau meminjamkannya (to lend it) kepada orang lain dan menerima sewa. Kepemilikan terhadap buku misalnya, ia berhak memindahkannya ke tempat lain. Secara teoritis, kita mengenal setidaknya tiga bentuk kepemilikan, yaitu: (1) kepemilikan mutlak (absolute ownership), (2) kepemilikan secara bersama (public ownership), dan (3) kepemilikan individual (private ownership).

Dalam kepemilikan mutlak, si pemilik dapat melakukan apapun yang dia mau tanpa batasan (restriction) atau pengekangan (restraint). Dalam konsep Islam, kepemilikan mutlak hanyalah milik Allah. Hanya Allah yang dapat melakukan apapun terhadap apapun yang ada di bumi. Hanya dia, bukan manusia, yang dapat mengadakan atau meniadakan, mengambil atau membuang, dan seterusnya. Dalam Alquran disebutkan: "Apapun yang berada di surga dan di bumi adalah milik Allah " (Al Quran, Surah al-Najm: 31).

Menurut ketentuan Islam, baik negara maupun masyarakat tidak dapat mengklaim sebidang tanah bila keduanya mengabaikan tanah tersebut melewati batas waktu 3 tahun. Pemanfaatan atas tanah dalam Islam bukan pada kemampuan seseorang untuk menguasainya tetapi atas dasar pemanfaatannya. Sehingga fungsi tanah dalam Islam adalah sebagai hak pengelolaan bukan pada penguasaan. Pemilikan pribadi (private ownership) hanya jika seseorang pergi ke sungai dan memancing ikan atau menjaringnya, maka itulah milik pribadi (personal property). Sebelum ditangkap, maka semua orang dapat menangkapnya; namun ketika sudah ditangkap, tak ada orang lain yang dapat mengklaimnya.

Islam menghargai personal property dalam batasan tertentu. Dasarnya adalah penghargaan terhadap aspirasi untuk berusaha secara bebas. Islam ingin memberi insentif kepada setiap orang untuk bekerja dan mendorong dirinya sesuai kemampuannya yang terbaik, dan berharap memperoleh sesuatu dari tenaga yang telah dikeluarkannya. Meskipun ingin setiap orang dapat memproduktifkan orang lain, namun tidak membolehkan untuk mendominasi tenaga kerja.

Di luar kepemilikan individu yang terbatas tersebut, Islam mengenal kepemilikan publik. Dalam kepemilikan secara publik (public ownership) menurut hukum ekonomi islam, semua sumberdaya alam di atas tanah, di laut, maupun di udara adalah milik publik. Tidak ada satu pun orang yang secara pribadi memilikinya.

(2) Sifat kedua, penguasaan tanah bersifat inklusif

Tidak adanya kepemilikan mutlak, dapat dimaknai sebagai suatu sifat inklusifitas dalam penguasaan. Dalam pengertian ini, selain seluruh tanah suku dapat dikuasai oleh seluruh anggota suku, tentunya dengan prosedur tertentu; bahkan orang-orang yang datang dari luar suku pun dapat memanfaatkannya. Artinya, orang yang berasal dari satu etnis berkesempatan mengerjakan tanah yang jelas-jelas berada di wilayah suku lain. Hak tersebut tentunya dengan terlebih dahulu memenuhi kewajiban tertentu, misalnya berupa pemberian sejumlah uang maupun upeti dan hadiah. Inti dari kewajiban ini sesunggunya bukan kepada nilai ekonomi dari pemberian itu, tapi semata merupakan bentuk pengakuan hukum belaka, bahwa seseorang mengajukan diri untuk mengolah sebidang tanah yang merupakan ulayat dari satu komunitas suku tertentu.

Di suku Karo misalnya, hal semacam inipun dijumpai, dimana para pendatang yang tidak semarga dengan marga tanah selaku pendiri desa, juga diberi lahan oleh marga tanah tersebut untuk dimanfaatkan (Kaban, 2004). Karena para pendatang ini secara terus menerus memanfaatkan sebidang lahan tertentu, pada akhirnya tanah-tanah tersebut menjadi ”hak milik” dari pendatang yang biasanya terdiri dari berbagai marga. Tiap-tiap kelompok marga inipun telah mempunyai tempat atau memiliki tanah sendiri yang lazim disebut dengan Taneh kesain marga Sembiring, Taneh kesain marga Ginting dan lain sebagainya. Tanah kesain ini meliputi tanah untuk perumahan berikut pekarangannya, serta hutan tempat mengambil hasil hutan bagi masing-masing kelompok marga.

Terhadap orang asing yang ingin menggunakan tanah adat harus dengan izin persekutuan hukum dengan membayar bunga tanah. Selain meminta izin untuk menggarap, para pendatang dapat pula dengan cara mengawini salah satu keluarga marga tanah atau turunannya. Dengan posisi sebagai anak beru (menantu) dari marga tanah tersebut, maka ia dapat memiliki atau menggunakan tanah di desa tersebut. Hukum Adat dalam masyarakat Adat Karo pada dasarnya tidak membedakan hak antara warga masyarakatnya dengan warga luar sehubungan dengan pemilikan dan penguasaan atas tanah ulayat (Kaban, 2004).

Hukum ini juga dijumpai di suku Minangkabau, dimana seseorang dari luar suku Minangkabau dapat mengolah tanah ulayat dengan memenuhi persyaratan dan etika tertentu. Bagi mereka yang berasal dari luar suku, maka harus menyampaikan permohonannya secara terbuka di hadapan ninik mamak, dan selanjutnya harus memenuhi peraturan dan kebiasaan yang berlaku di suku tersebut, sehingga ia seolah telah menjadi warga setempat (Yakub, 1995).

Contoh lain terjadi di Suku Dayak dan Melayu di Kalbar. Pendatang etnik China yang mulai datang di wilayah Kalimantan Barat semenjak tahun 1745, dapat mengolah tanah Suku Dayak dan Melayu dengan meminta izin menggarap. Sebagian dari mereka ada yang memperoleh hak penggarapan dengan meminjam (mungkin tanah saradangan dan binua), namun sering juga diberikan kepada pendatang secara cuma-cuma (Jamal et al., 2001). Hak kepemilikan (right of property) dalam ketentuan Islam adalah satu bentuk yang khas (special form), dalam upaya menghindarkan bahaya (the evil effects) dari kepemilikan dengan pola kapitalis, dan sekaligus mampu memberi insentif dalam usaha ekonomi. Ada tiga kondisi dasar untuk tegaknya hak kepemilikan dalam ketentuan Islamm, yaitu (Anonim, 2006b): (1) Kepemilikan tidak bertentangan dengan hukum Islam; (2) Tidak memberikan kerusakan atau kerugian kepada orang yang lain; dan (3) pemilikan tidak tumpang tindih dengan orang lain. Dalam Surat Al-Hasyr ayat 7 disebutkan bahwa untuk kesempurnaan hidup masyarakat, selain hukum yang harus dilaksanakan, begitu pula tentang upaya memfaedahkan benda-benda yang dibutuhkan, tetapi sangat ditekankan agar tidak jatuh pada kekuasaan beberapa orang saja yang dengan kesempatan yang ada padanya lalu mempersempit gerak perekonomian orang banyak. Anjuran ini sesuai dengan semangat dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

(3) Sifat ketiga, tanah tidak boleh diperjual belikan

Dalam penelitian Kaban (2004), ”tanah kesain” yang dimiliki pada suku Karo tidak boleh diperjual belikan kecuali bangunan yang berada di atasnya. Sehingga, jika salah seorang dari warga persekutuan tidak membutuhkan lagi tanah tersebut, maka tanah itu kembali jatuh kepada desa. Ketika seseorang menguasai sebidang tanah, ia dapat secara bebas mengolah dan mengelolanya. Namun apabila ditelantarkan, maka tanah tersebut akan kembali menjadi tanah milik persekutuan hukum, dan tidak dapat dijual kepada pihak lain. Kepala persekutuan hukum, yang disebut pemangku adat atau Pengulu Desa, selanjutnya akan mengatur pendayagunaannya atau memberikannya kepada warga yang lain yang membutuhkan.

Di dalam hak ulayat diakui pula adanya hak atas tanah perseorangan. Wewenang penggunaan tanah selalu disertai dengan kewajiban, sehingga pemanfaatan tanah tersebut tidak hanya berguna bagi individu tetapi juga memberi manfaat bagi warga persekutuan. Di Minangkabau, aturan adat terhadap tanah ulayat dapat dikatakan sangat ”keras” dan ”tegas”, karena tanah tidak boleh diperjualbelikan ataupun digadaikan (Pakpahan et al., 1998). Jika sudah pernah tergadai maka wajib ditebus, dan bila pernah terjual wajib mengganti bayarannya. Hal ini dinyatakan dengan (Yakub, 1995): ”Dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando. Gadai batabuih, juga batauri” (= Dijual tidak bisa, digadai tidak boleh. Apabila tergadai harus ditebus, bila terjual harus diganti uangnya).

Di Suku Dayak di Kalimantan Barat, diakui oleh berbagai nara sumber bahwa memang tanah sesungguhnya tidak dapat diperjual belikan, meskipun hal ini tidak lagi dipatuhi secara baik (Jamal et al., 2001). Bahkan, jika sebagian besar anggota keluarga telah meninggalkan kampung, maka salah seorang (biasanya anak tertua) bertanggung jawab untuk mengelola dan menjaga seluruh tanah keluarga tersebut, namun tidak dapat menjualnya ke pihak lain.

Dalam penelitian penulis di Suku Kaili di Sulawesi Tengah (Syahyuti, 2002), jika seseorang ingin mengambil alih pengelolaan sebidang tanah yang telah dibuka oleh orang sebelumnya, maka ia hanya membayar “uang mata kapak”. Artinya, ia hanya membayar jasa kepada orang yang telah membersihkan lahan tersebut, namun tidak membeli tanah tersebut secara mutlak.

Jika disandingkan dengan hukum Islam, penguasaan tanah (ownership of land) terbagi atas tiga bentuk, yaitu: (1) tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat (lands owned by society), (2) tanah-tanah yang dikuasai oleh negara (lands owned by state), serta (3) tanah-tanah yang dikuasai secara individual (lands owned by private individuals). Tanah yang dikuasai oleh masyarakat tidak dapat dijual (not salable), bahkan negara sekalipun tidak berhak menjualnya.
Tanah ini dikembangkan dan ditanami, tanpa seorangpun boleh membeli maupun menjualnya semeter persegi pun. Lahan di Mesopotamia (yang berlokasi antara dua sungai, sungai Tigris dan Euphrates) di Irak misalnya berada di bawah kategori ini. Seluruh tanah yang tidak ditanami (undeveloped fallow lands) dan hutan yang tidak boleh ditanami (uncultivated forests) serta padang gembalaan (pastures) adalah milik negara. Negara menjaganya untuk kebutuhan sekarang dan generasi mendatang. Pemberian hak garap kepada individual, kelompok masyarakat, maupun perusahaan dapat saja dilakukan dalam bentuk sewa, jika itu merupakan bentuk penguasaan yang terbaik. Negara dapat saja memberikan hak secara pribadi kepada warganya. Namun dalam sistem ekonomi Islam kepemilikan personal ini sangat terbatas secara prinsip. Dengan kata lain, kepemilikan pribadi bukan merupakan sumber kesejahteraan yang utama.

(4) Manusia dan hasil kerjanya lebih bernilai daripada tanah

Secara tidak langsung, ketiga sifat penguasaan di atas berimplikasi kepada sifat bahwa sesungguhnya aspek manusia serta kerja dan hasil kerja manusia tersebut, merupakan hal yang jauh lebih bernilai dibandingkan persoalahan tanah. Hal ini terlihat dari tingginya penghargaan kepada kerja yang diberikan oleh manusia pada sebidang tanah. Di bagian sebelumnya sudah dijelaskan bahwa dalam beberapa hukum adat disebutkan secara jelas, bahwa seseorang dapat menguasai tanah sepanjang ia masih mengusahakannya secara produktif. Apabila ia meninggalkannya, maka tanah tersebut lepas darinya, dan kembali menjadi tanah komunal.

Jika hukum ini dianut, maka kita tidak akan menemukan yang namanya “tuan tanah” yang tidak bekerja dan seringkali juga tidak ada share modal apapun, namun selalu memperoleh bagian dari tanah-tanah yang diusahakan orang lain. Sering kali pula, bagian tuan tanah lebih besar dari bagian si penggarap. Dalam hal sewa-menyewa tanah dalam Islam, digunakan prinsip keadilan dan kebajikan. Ditetapkan suatu peraturan bahwa uang sewa hendaknya hanya dipungut apabila telah menghasilkan lebih dari yang dibutuhkan oleh si penggarap. Jadi, sewa diambil setelah biaya dan kebutuhan hidup pengolah dikeluarkan (Afzalurrahman, 2000).

Sebagaimana dalam hukum adat di Indonesia, dalam Islam, orang yang menggarap tanah terlantar (giving life to the dead land) memiliki hak khusus (special claim). Orang yang telah menghidupkan sepetak lahan yang mati menjadi pemilik tanah tersebut. Ketentuan-ketentuan dasarnya dalam Islam adalah: pertama, siapa yang telah mengusahakan lahan memiliki hak untuk menguasai (right of ownership). Kedua, orang yang tidak menanami atau membuatnya produktif, maka ia tidak dapat mengklaim tanah tersebut. Ketiga, tanda-tanda belaka (superficial occupation and marking) tidak cukup untuk mengklaim kepemilikan, karena mereka harus membuat tanah tersebut produktif dengan bekerja di atasnya. Keempat, seseorang yang telah mengkalim sepetak lahan, hanya berhak sepanjang ia mengusahakan tanah tersebut secara ekonomi (bukan untuk menjualnya). Menurut suatu hadits, barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia paling berhak atasnya (Afzalurrahman, 2000).

Islam sangat menghargai jasa orang lain. Sebagai contoh, untuk air dikenal dua bentuk, yaitu air yang secara alamiah tersedia (naturally accessible) sehingga bebas digunakan siapa saja yang berada di sungai dan laut, serta air yang tidak tersedia secara alamiah (not naturally accessible) karena membutuhkan usaha tertentu unruk mendatangkannya, dengan pompa ataupun saluran irigasi.

Prinsip dasar ekonomi Islam adalah bahwa tidak ada sesuatu yang boleh diperoleh secara gratis. Bahkan, seseorang juga tidak berhak hidup di atas kerja orang lain. Allah membenci sumber daya yang ditelantarkan, dan juga orang pemalas. Orang yang telah bekerja keras untuk hidup, di mata Islam sama baiknya dengan jihad berjuang di jalan Allah. Pewarisan (inheritance) adalah satu contoh utama dalam mentransfer satu penguasaan dari satu orang ke orang lain. Motif utamaya adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Pola ini sangat alamiah, dan merupakan motif yang umum.

Produksi berarti diciptakannya manfaat, produksi tidak diartikan sebagai menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada, karena tidak seorang pun dapat menciptakan benda. Yang dapat dilakukan oleh manusia hanyalah membuat barang-barang menjadi berguna. Dapat disimpulkan bahwa sistem produktif dalam negara Islam harus dikendalikan dengan kriteria objektif maupun subjektif. Kriteria objektif diukur dengan kesejahteraan material, seangkan kriteria subjektif harus tercermin dalam kesejahteraan yang harus dinilai dari segi etika ekonomi Islam.

Dalam Islam, faktor produksi tidak hanya tunduk kepada tujuan penguangan (monetization), tetapi juga pada kerangka moral dan etika abadi sebagaimana tertulis dalam syariat. Tanah tidak dianggap sebagai hak kuno istimewa dari negara dan kekuasaan, tetapi dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan produksi yang digunakan demi kesejahteraan individu dan masyarakat.

Hanya golongan masyarakat yang menguasai tanah itu lah yang sebenarnya dianggap produktif karena dia menghasilkan sesuatu. Pedagang disebut kelas steril, karena tidak mempunyai produksi apapun. Tanah kosong juga dibebankan membayar zakat, adalah untuk memotivasi pemiliknya agar tanah tersebut tidak ditelantarkan. Dalam Hadist disebutkan bahwa: “hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahan lah tanahnya”.

PENGUASAAN TANAH MENURUT HUKUM NEGARA DI INDONESIA

Di zaman Belanda, dikenal dua jenis tanah berdasarkan bentuk penguasaan, yaitu tanah-tanah yang tunduk kepada hukum negara dan yang tunduk pada hukum adat. Sesuai dengan asas domein negara, maka keadaan tanah di Indonesia saat itu terbagi atas apa yang dinamakan dengan tanah domein negara yang bebas dan tanah domein negara yang tidak bebas. Tanah domein negara bebas, adalah tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Belanda seperti pelabuhan, pasar-pasar, tanah-tanah instansi dan lain sebagainya. Sedangkan, tanah domein negara yang tidak bebas adalah tanah adat. Menurut ketetapan Domein Verklaring Belanda, yang dicantumkan dalam Agrarischewet dengan Stb. 1870 No. 55, dengan asas pokoknya adalah domein negara; semua tanah yang tidak dapat dibuktikan ada hak eigendom di atasnya, maka tanah tersebut merupakan domein negara (milik negara). Sementara tanah yang dikuasai oleh rakyat pribumi (tanah adat) tidak pernah mendapat hak eigendom yang sah.

Jadi, tanah negara ialah semua tanah yang seseorang itu tidak dapat membuktikan bahwa tanah tersebut adalah hak miliknya. Sebaliknya tanah adat adalah tanah yang tidak tunduk kepada aturan-aturan “eigendom” (hak milik) atau dengan kata lain tanah adat adalah tanah yang tidak dimiliki oleh seseorang dengan hak “eigendom”.

Negara dapat mencabut kepemilikan seseorang. Ini berasal atas dua dasar hukum yaitu hak eigendom yang tertuang dalam Pasal 570 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang merupakan warisan UU Agraria 1870 (Agrarische Wet), serta UUPA 1960 Pasal 6, 18 dan 27. Pasal 18 menyatakan "untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang". Isi dari hak eigendom hampir sama dengan pasal ini.

Sistem hukum negara di Indonesia ini tampak berada di tengah antara dua ekstrim, yaitu hukum adat dan Islam di satu sisi, dan hukum barat (kapitalis) di sisi ekstrim lainnya. Menurut hukum tanah barat, tanah dapat dimiliki secara bebas. Ini bersumber dari Burgerlijk Wetboek Belanda yang disusun berdasar Code Civil Perancis. Dasar filosofi Code Civil Perancis menganut konsep individualistik-liberal yang merupakan sebuah landasan masyarakat borjuasi Eropa abad XIX. (Bahari, 2005).

Hukum tanah Indonesia, menurut Bahari (2005), dimana tanah memiliki fungsi sosial, sebetulnya merupakan antitesa hukum tanah Barat. Implikasinya, tanah tidak dimiliki secara bebas tanpa intervensi negara. Karena jika individu diberi kebebasan dalam pemilikan dan penguasaan tanah tanpa ada intervensi negara, akan terjadi praktik akumulasi tanah tanpa batas yang berkembang menjadi monopoli penguasaan tanah pada segelintir orang dan ketidakmerataan penguasaan dan pemanfaatan tanah. Unsur sosial tersebut berupaya agar tidak terjadi akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir orang. Caranya adalah dengan dimasukkannya unsur masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaan. Kebebasan individu dikurangi dan dimasukkan unsur kebersamaan ke dalam hak individu. Jadi, dalam hak individu ada hak kebersamaan. Inilah yang disebut sebagai ”tanah mempunyai fungsi sosial”.

Jadi, negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, karena itu lahirlah peraturan land reform (UU No. 56 tahun 1960), misalnya orang tidak boleh punya tanah lebih dari lima hektar (di Jawa) atau tanah absente. Tugas negara yang mewakili kepentingan bersama menjadi lebih luas dalam mengusahakan peningkatan kemakmuran yang adil dan merata atau disebut sebagai welfare state (Harsono, 2002).

Persoalan paradigma menjadi hal yang penting berkenaan dengan pemaknaan yang terbagi menjadi dua kubu, yaitu paradigma hak menguasai negara atas sumber daya agraria sebagai pengertian dari Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 . Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 mengandung pemaknaan paradigma yang dubius yaitu: "dikuasai oleh negara" yang dapat diartikan "state based agrarian resource management" yang berarti manajemen pengelolaan sumber daya agraria yang berbasis pada negara.

Konsekuensi negara dalam hal ini pemerintah secara sentralistik, birokratik memiliki kewenangan untuk mengatur segala sesuatu yang bersangkut paut dengan pengelolaan agraria. Orde Baru yang mengedepankan ekonomi, mendorong investasi modal dengan konsekuensi kemudahan untuk aktivitas perolehan tanah. Praktik pembebasan tanah mendorong terjadinya akumulasi secara timpang penguasaan tanah secara besar-besaran.

Jika dicermati, maksud pasal 33 UUD 1945 memiliki kesesuaian dengan ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran. Menurut UUD 1945 Pasal 33, dimana pada pasal 1 yang menyebutkan bahwa perekonomiam disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Pasal 2, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pasal 3, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Khusus untuk Pasal 3, terbaca bahwa bumi dikuasai oleh negara. Bumi yaitu planet serta permukaanya yang terdiri dari lautan, daratan, dan udara yang melingkupi, semuanya harus dikuasai atau menurut ketentuan hukum negara yang sesungguhnya terdiri dari orang banyak pada lingkungan daerah tertentu, didirikan menurut kehendak dan kebutuhan orang banyak itu. Artinya, hak milik pribadi atas tanah permukaan bumi bahkan hak pakainya juga harus patuh pada kekuasaan dan keizinan negara. Tegasnya, UUD 1945 itu tadi tidak mengakui adanya hak milik orang seorang atas sebidang tanah pun di muka bumi ini. Semua tanah harus dipergunakan untuk kesempurnaan rakyat banyak menurut program atas sistim perekonomian demokrasi yang dilaksanakan pemerintah sebagai petugas negara.

Hal ini tentu tidak sejalan dengan banyaknya jual beli tanah, sewa menyewa, dan sertifikat tanah privat. Semua ini membuktikan adanya pengakuan pemerintah atas tanah pribadi, bukan hanya berupa hak pakai namun sekaligus bertantangan dengan maksud Pasal 33 ayat 3 UUD1945.

Sebagai akibat dari hak milik pribadi atas tanah yang diakui pemerintah, maka terjadi ketimpangan. Semua tanah ada pemiliknya yang tidak mengizinkan dipakai oleh orang lain walaupun tanah itu tertinggal kosong jadi semak belukar. Sementara itu, ada pula para pemilik tanah luas yang mempersewakan sebagian tanahnya untuk dipakai sebagai tempat perumahan atau pabrik. Mereka hidup dari hasil menyewakan tanah tanpa bekerja apa-apa. Konsep penguasaan tanah menurut UUPA No 5 tahun 1960 Membicarakan bentuk-bentuk penguasaan tanah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari UUPA No 5 tahun 1960, meskipun sesungguhnya bentuk-bentuk penguasaan yang berjalan tidak seluruhnya mengikuti UUPA tersebut. Strategi atau politik agraria dalam UUPA menganut politik agraria populis, yaitu menentang strategi kapitalis yang dapat menyebabkan penghisapan manusia atas manusia (exploitation de l’homme par l’homme) dan menentang strategi sosialis karena dianggap menegasikan hak-hak individual atas tanah. Artinya, jika negara menerapkan ini, maka terdapat perbedaan penguasaan atas lahan dibandingkan dengan negara-negara lain.

Beberapa perbedaan penguasaan atas lahan tersebut adalah:
(1) Hak bangsa Indonesia atas tanah airnya bersifat abadi (pasal 1 ayat 3 UUPA), yang berarti sepanjang bangsa Indonesia masih ada dan wilayah Indonesia masih ada, tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memutuskan hubungan hak bangsa Indonesia atas tanah airnya. Hubungan ini memungkinkan adanya hak milik, hak pakai, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan hak-hak atas tanah lain yang dapat dipegang oleh perorangan ataupun badan hukum.
(2) Hanya warga negara Indonesia saja yang dapat memiliki hak atas tanah atas dasar hak milik (pasal 21 ayat 1 UUPA), sedangkan warga negara asing tidak (pasal 26 ayat 6 UUPA).

Dalam UUPA, asas domein (hak milik mutlak negara atas tanah) dihapuskan dan diganti dengan hak menguasai dari negara, yang digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 2 ayat 3 UUPA). Hak menguasai ini dapat didelegasikan kepada daerah-daerah swatantra (propinsi, kabupaten/ kota, kecamatan dan desa) dan bahkan pada suatu komunitas adat.

Sebagaimana prinsip dalam hukum adat dan Islam, dalam UUPA juga disebutkan bahwa tanah mengandung fungsi sosial (pasal 6 UUPA). Menurut Fauzi (1999), prinsip tanah berfungsi sosial ini berarti bahwa setiap hak atas tanah yang ada pada seseorang (kelompok) tidak dibenarkan semata-mata demi kepentingan pribadi (kelompok), apalagi sampai merugikan masyarakat. Dengan kata lain, penggunaannya harus bermanfaat bagi kepentingan umum.

UUPA bermaksud memperkuat dan memperluas hak milik tanah bagi setiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privat bezit, hak milik sebagai hak yang terkuat bersifat perseorangan dan turun temurun. UUPA juga bermaksud mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan pengusaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas dengan menyelenggarakan batas maksimum dan minimum untuk setiap keluarga.

Memang diakui, bahwa UUPA sendiri telah tegas menyebutkan hukum agraria bersandar pada hukum adat. Selain daripada itu, hak ulayatpun tetap diakui keberadaannya. Namun pengakuan terhadap hak ulayat dalam UUPA tersebut bertolak pangkal pada pengakuan bahwa hak ulayat tersebut masih ada dalam kenyataan di masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengakuan ini tidak hanya demi kepentingan masyarakat hukum adat semata-mata melainkan karena hak ulayat tersebut masih relevan bagi mereka dan loyal kepada kepentingan bangsa dan negara tanpa diskriminasi.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas terlihat adanya kesejajaran antara sifat penguasaan menurut hukum adat di Imdonesia dengan hukum Islam, yang bersebarangan dengan bentuk penguasaan menurut sistem ekonomi kapitalis. Sementara, UUPA sesungguhnya berupaya menjembatani antara konsep penguasaan kapitalis dengan hukum adat, namun karena tidak diimplementasikan, maka penguasaan tanah yang akhirnya berlaku di Indonesia saat ini lebih kuat mengadopsi hukum kapitalis yang diwadahi melalui hukum tanah oleh pemerintah.

Masuknya bentuk penguasaan secara individual mutlak ke Indonesia diawali dari keluarnya UU Agraria tahun 1870 yang bertujuan menghilangkan hak-hak masyarakat adat dengan menetapkan bahwa setiap tanah di Hindia Belanda yang tidak dibebani milik pihak lain adalah tanah negara.

Karena kuatnya tekanan hukum formal negara, dan dibarengi dengan kuatnya intervensi nilai-nilai kapitalisme melalui globalisasi; maka bentuk penguasaan yang akhirnya belaku di Indonesia semakin jauh meninggalkan hukum adat dan Islam, yang sesungguhnya akan lebih mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan. Setidaknya ada empat ciri penguasaan tanah menurut hukum adat di Indonesia yaitu: tidak mengenal kepemilikan mutlak, bersifat inklusif, larangan memperjual belikan tanah, serta lebih dihargainya manusia dan kerjanya dibanding sumberdaya tanah. Keempat sifat ini juga ditemukan dalam hukum Islam.

Sesungguhnya penguasaan menurut hukum adat dan Islam akan lebih tepat untuk kesejahteraan masayarakat, karena menghindari tanah yang terlantar dan juga bagi hasil yang lebih adil. Dalam dokumen RPPK disebutkan bahwa lahan terlantar yang saat ini ada di Indonesia mencapai luas 9,7 juta ha, yaitu lahan yang telah dikuasai oleh satu pihak namun belum dimanfaatkan. Jika merujuk kepada hukum adat dan Islam, maka lahan-lahan tersebut harus dibagikan dan digarap oleh yang membutuhkan, tanpa perlu membayar kewajiban apapun.

Daftar Pustaka

Achyar, Eldine. 2005. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. (http://www.uikabogor. ac.id/jur07.htm, 25 Oktober 2005).
Afzalurrahman. 2000. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (Muhammad as Trader). Penerbit Yayasan Swarna Bhumy, Jakarta.
Anonimous. 2006a. Membangun Papua, Bukan Membangun di Papua. (www.pu.go.id/balitbang/puslitbangsebranmas, 25 April 2006).
Ananimous. 2006b. Guidelines of Islamic Economy. (http://www.alislam. org/philosophyofislam/17.htm, 12 Mei 2006).
Bahari, Syaiful. 2005. Negara dan Hak Rakyat atas Tanah. Kompas, 13 Mei 2005.
Bushar, Muhammad. 1988. Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta.
Djuweng, Stefanus. 1996. Kalimantan: Dulu, Sekarang, dan Masa Depan. Oktober, 1996. Institut Dayakologi.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar.
Gamal, Merza. 2006. Model Dinamika Sosial Ekonomi Islami: Solusi Pembangunan Kesejahteraan Berkeseimbangan dan Berkeadilan. Badan Penerbit Universitas Riau (Unri Press), Pekanbaru.
Harsono, Boedi. 2002. Menuju penyempurnaan hukum tanah nasiona dalam hubungannya dengan Tap MPR RI Nomor IX tahun 2001, makalah pad seminar nasional pertanahan 2002 “pembaruan agraria”. STPN Yogyakarta, tanggal 16 Juli 2002.
Heilbroner, Robert L. 1986. Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi. UI Press.
Jamal, Erizal; Tri Pranadji; Aten M. Hurun; Adi Setyanto; Roosgandha E. Manurung; dan Yusuf Nopirin. 2001. Struktur dan dinamika penguasaan lahan pada komunitas lokal. Laporan Penelitian PSE no. 526, Bogor.
Kaban, Maria. 2004. Keberadaan Hak Masyarakat Adat Atas Tanah Di Tanah Karo. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Nurullah. 1999. ..........
Pakpahan, MD. et al. 1998. Traditional Community Land Occupancy Pattern and Land Registration Problem: Case Studies in West Sumatera, Central Kalimantan, and West Nusa Tenggara. Study Report volume I December 1998. Center for Societal Development Studies in Cooperation with The National Land Agency. Jakarta.
Permana, Cecep Eka. 2003. Religi dalam Tradisi Bercocok Tanam Sederhana. Jurusan ArkeologiFIBUI. (http://www.arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_news=45, 10 Mei 2006).
Purbacaraka, Purnadi dan Ridwan Halim. 1993. Sendi-Sendi Hukum Agraria. Penerbit Ghalia Indonesia.
Rizal, Syamsul. 2003. Kebijaksanaan Agraria Sebelum dan Sesudah Keluarnya UUPA. Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Sedjati, Wahyuning.K; Tri Pranadji; Syahyuti; Budi Wiryono; dan Herlina Tarigan. 2002. Strategi Keorganisasian Petani untuk Pengembangan Kemandirian Perekonomian Pedesaan, di Bali, Kalimantan Selatan, dan DIY. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Syahyuti. 2002. Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan. Tesis pada Jurusan Sosiologi Pedesaan. IPB, Bogor.
Ter Haar. 1985. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Sumur Batu, Bandung.
Thalib, Sajuti. 1985. Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau. Bina Aksara, Jakarta.
Umar, Ali. 1978. Hukum Adat dan Lembaga-Lemabag Hukum Adat daerah Sumatera Barat. Laporan Penelitian, Kerjasama BPN dengan FH Unand, Padang.
Yakub, B. Nurdin. 1995. Hukum Kekerabatan Minangkabau. CV Pustaka Indonesia, Jakarta.
Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. (Hal 290-1). Dalam S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (eds). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta.
Wiradi, Gunawan. 1996. Jangan Perlakukan Tanah sebagai Komoditi. Jurnal “Analisis Sosial. Edisi 3 Juli 1996.


*****

PERUMUSAN KONSEP DAN STRATEGI PEMBARUAN AGRARIA YANG SOLUTIF UNTUK MENGIMPLEMENTASIKAN REVITALISASI PERTANIAN

Abstrak

Perjuangan pembaruan agraria di Indonesia saat ini menghadapi kondisi dan lingkungan yang sangat berbeda dengan ketika konsep dan strategi pembaruan agraria dibangun dulu. Karena itu perlu perusmusan konsep baru, dimana perlu dibedakan antara ”aspek landreform” dan ”aspek non-landreform”. Selama ini, masing-masing aspek diperhatikan oleh pihak yang berbeda, dimana aspek landreform banyak menjadi perhatian kalangan LSM dan aspek non landrefom menjadi objek perhatian departemen-departemen teknis misalnya Departemen Pertanian. Kebijakan tentang Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan tahun 2005, perlu menitikberatkan pada upaya memadukan kedua aspek tersebut dalam pembaruan agraria yang lebih operasional, serta perlu pula memperhatikan berbagai opsi strategi yang solutif misalnya dengan perbaikan sistem bagi hasil di pertanian.

Kata kunci: pembaruan agraria, aspek landreform, aspek non-landreform, revitalisasi pertanian, sistem bagi hasil


Pendahuluan

Secara konseptual, pembaruan agraria atau adakalanya disebut dengan “Reforma Agraria”, dari asal kata Agrarian Reform, terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring. Namun sayangnya, masing-masing aspek diperhatikan oleh pihak yang berbeda. Sebagian besar pihak, terutama kalangan LSM misalnya, lebih banyak yang tertarik kepada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan pemilikan” (aspek landreform). Di sisi lain, Deptan sebagai departemen teknis misalnya, lebih memperhatikan kepada aspek “penggunaan dan pemanfaatan”, yaitu bagaimana menghasilkan produktifitas yang setinggi-tingginya pada satu bidang tanah dengan merekayasa segala bentuk input produksi, mulai dari teknologi, kredit usaha, keterampilan petani, dan lain-lain (aspek non-landreform).

Kesenjangan perhatian menjadi salah satu permasalahan yang mendasar dalam perjuangan pembaruan agraria di Indonesia selama ini. Selain kesenjangan dalam cakupan bidang perhatian, juga ditemukan kesenjangan dalam skala dan lingkup permasalahan, dimana ada kalangan tertentu yang cenderung berpikir secara mikro dan teknis, sebaliknya pihak lain berfikir secara makro dan konseptual. Ketidaklengkapan perhatian terhadap konsep pembaruan agraria telah memberikan hasil yang kurang memuaskan. Buktinya adalah, program Revolusi Hijau (aspek non-landreform) yang tidak didahului oleh program landreform, hanya mampu mencapai peningkatan produksi dan swasembada, namun tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi petaninya.

Redefinisi Konsep “Pembaruan Agraria”

Dalam konteks agraria, maka dua konsep penting yang paling sering menjadi perhatian adalah “Reforma Agraria” dan “landreform”. “Reforma agraria”, atau pembaruan agraria, berasal dari kata “agrarian reform”. Dalam salah satu bukunya Wiradi (1984) menyatakan: ”Ada yang mengatakan bahwa land reform adalah sebagian dari agrarian reform, ada yang mengatakan sebaliknya, dan ada yang berpendapat bahwa kedua istilah itu sama saja”. Di Indonesia, tampaknya yang dianut adalah bahwa landreform merupakan bagian dari agrarian reform. Artinya, landreform dipakai untuk sekitar redistribusi tanah, sedangkan agrarian reform kepada pengertian yang lebih luas dan komprehensif, menyangkut berbagai persyaratan yang dapat mempengaruhi sektor pertanian.

Dalam Pasal 2 Tap MPR IX/2001, Pembaruan Agraria didefnisikan sebagai “Suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfatan sumber daya agraria ...”. Terlihat bahwa, dari empat point tersebut, pembaruan agraria terdiri atas dua sisi, yaitu: (1) sisi penguasaan dan pemilikan, dan (2) sisi penggunaan dan pemanfaatan. Kedua sisi ini jelas berbeda. Yang pertama berbicara tentang hubungan hukum antara manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua tentang bagaimana tanah dimanfaatkan secara fisik. Dengan kata lain, reforma agraria terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring.

Sisi pertama dapat disebut dengan “aspek landreform” dan sisi kedua menjadi “aspek non-landreform”. “Landreform” adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, “non-landreform” adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah, introduksi teknologi baru, perbaikan infrastruktur, bantuan kredit, dukungan penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain. Jadi, semestinya reforma agraria tidaklah semata-mata hanya memperbaiki struktur landreform, namun landreform yang dilengkapi dengan berbagai hal lain sehingga penataan dan pendistribusian tanah tersebut menjadi lebih bermanfaat, yaitu dengan bantuan bagaimana penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut sebaik-baiknya. Dengan kata lain, pembaruan agraria adalah perbaikan pada “aspek landreform” ditambah dengan “aspek non-lendreform”.

Redefinisi konsep ini ini sangat penting, karena Deptan misalnya hanya memiliki otoritas pada aspek non-landreform. Karena itu, ketika landreform masih tinggal menjadi wacana, Deptan sulit untuk dituntut melakukan pembaruan agraria secara utuh. Artinya, Deptan menjalankan “pembaruan agraria tanpa landreform”. Sebaliknya, ketika landreform berhasil diimplementasikan, maka aspek-aspek non-landreform pun harus disiapkan. Distribusi tanah akan menjadi program yang sia-sia jika infrastruktur dan kelembagaan pendukung pertanian tidak disediakan. Hal ini ditemukan di Sukabumi, dimana banyak petani yang memperoleh lahan dari kebun-kebun swasta yang sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar, malah menjualnya kepada orang kota karena mereka tidak mampu mengusahakannya; baik karena infrastruktur yang lemah, ketiadaan modal, maupun karena mental berusahatani yang lemah (Sumaryanto et al., 2002).

“Aspek landreform” dapat dimaknai sebagai penataan ulang penguasaan dan pemilikan tanah, dimana faktor pembentuknya adalah masalah hukum (negara dan adat), tekanan demografis, serta struktur ekonomi setempat misalnya ketersediaan lapangan kerja non-pertanian. Masalah yang dihadapi pada aspek ini adalah konflik penguasaan/pemilikan secara vertikal dan horizontal, inkosistensi hukum (misalnya antara UUPA dan “turunannya”), ketimpangan penguasaan dan pemilikan, penguasaan yang sempit oleh petani sehingga tidak ekonomis, serta ketidaklengkapan dan inkosistensi data. Aktifitas reforma agraria yang relevan pada aspek landreform ini misalnya adalah penetapan objek tanah landreform, penetapan petani penerima, penetapan harga tanah dan cara pembayaran, pendistribusian tanah kepada penerima, perbaikan penguasaan (misalnya perbaikan sistem penyakapan), serta penertiban tanah guntay (absentee).

Sementara pada “aspek non-landreform” yang didefinisikan sebagai penataan ulang penggunaan dan pemanfaatan tanah, faktor-faktor pembentuknya adalah faktor geografi, topografi tanah, kesuburan tanah, ketersediaan infrastruktur, kondisi ekonomi lokal dan global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan modal usahatani, serta insentif dari usaha pertanian. Permasalahan yang dihadapi sekarang dari sisi aspek ini di antaranya adalah kesuburan lahan yang rendah, degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebihan atau karena ketidaktepatan secara teknis, dan konflik penggunaan/pemanfaatan secara vertikal dan horizontal. Aktifitas pembaruan agrarian yang relevan adalah berbagai bentuk pengelolaan dan pengusahaan tanah secara tepat dan efisien, pembangunan infrastruktur, peningkatan produktifitas tanah dengan penerapan teknologi, perbaikan sistem pajak tanah, pemberian kredit usahatani, penyuluhan, penyediaan pasar komoditas pertanian, serta pengembangan keorganisasian petani.

Revitalisasi Pertanian dan Kebutuhan terhadap Lahan Pertanian

Untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk Indonesia, yang berjumlah lebih dari 220 juta jiwa, setiap tahunnya Indonesia harus mengimpor beras yang jumlahnya sekitar 9 persen dari konsumsi nasional. Demikian pula untuk jagung, kedelai, gula, dan daging sapi yang masing-masing diimpor sebesar 11,23 persen; 64,86 persen; 37,48 persen dan 29,09 persen dari kebutuhan konsumsi nasional. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, namun yang utama adalah karena ketidakmampuan memproduksi kebutuhan sendiri. Dari segi keagrariaan, permasalahan yang dihadapi sektor pertanian antara lain adalah sempitnya lahan pertanian per pertani, makin banyaknya petani gurem, konversi lahan pertanian ke non-pertanian, serta tidak amannya status penguasaan lahan (land tenure security).

Bertolak dari permasalahan tersebut, pemerintah baru saja menggulirkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh Presiden tanggal 11 Juni 2005. Kebijakan ini mengamanatkan bangsa ini perlu membangun ketahahanan pangan yang mantap dengan memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan strategis, yaitu padi, jagung, kedelai, tebu dan daging sapi.
Selanjutnya, dalam dokumen ”Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010” yang sejalan dengan RPPK, termuat arah pengembangan dan sasaran lima komoditas pangan tersebut, yaitu mempertahankan swasembada padi berkelanjutan, serta mencapai swasembada untuk komoditas jagung (tahun 2007), kedelai (tahun 2015), gula (tahun 2009) dan daging sapi (tahun 2010). Seluruh komoditas ini tergolong tinggi ketergantungannya kepada kebutuhan lahan, atau disebut sebagai land based agricultural. Untuk kondisi saat ini, keempat komoditas membutuhkan lahan lebih dari 32,76 juta ha.

Secara umum, data tentang ketersediaan dan tata guna tanah saat ini tidak akurat dan konsisten, demikian pula dengan data tentang potensi tanah untuk pertanian. Menurut data di Badan Pertanahan Nasional (Kepala BPN, 2001), berdasarkan zone ekonomi eksklusif, Indonesia mencakup teritorial seluas 800 juta ha. Dari luasan ini sebagian terbesar yaitu 609 juta ha (76%) merupakan perairan dan sisanya 191 juta ha (24%) berupa daratan. Sementara menurut Puslitbangtanak (2002), luas daratan Indonesia lebih rendah sedikit dari itu, yaitu hanya 188,2 juta ha.

Sesuai dengan kaidah kepatutan penggunaan tanah (Rencana Tata Ruang Wilayah), dari 191 juta ha daratan, 67 juta ha (35%) harus digunakan sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 123 juta ha (65%) dapat digunakan untuk areal budidaya. Namun, hasil rekapitulasi oleh BPN menunjukkan bahwa, dari 67 juta ha kawasan lindung, 12 juta ha (18%) telah digunakan berupa bukan hutan terutama di Wilayah Jawa dan Bali. Sebaliknya pada kawasan budidaya, 71 juta ha (58%) masih berupa hutan, terutama di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Wilayah inilah yang dapat dijadikan areal pertanian.

Berbeda dengan data BPN, menurut Puslitbangtanak (2002), berdasarkan kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), lahan yang sesuai untuk pertanian bukan 123,0 namun hanya seluas 100,7 juta ha. Hal ini relatif sama dengan dokuemn RPPK, dimana luas lahan yang dapat dijadikan pertanian adalah seluas 100,8 juta ha.

Dari seluruh lahan ini, 24,5 juta ha di antaranya sesuai untuk lahan basah (sawah); 25,3 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman semusim; dan 50,9 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan. Jika dihubungkan dengan kebutuhan lahan sawah untuk ditanami padi, maka areal seluas 24,5 juta ha sudah memadai untuk berswasembada, karena yang diperlukan lebih kurang hanya 10 juta ha, apalagi jika teknologi usahatani dapat diperbaiki.
Total areal pertanian di Indonesia saat ini adalah 36,3 juta ha, mencakup mulai dari sawah, tegalan, pekarangan, maupun perkebunan (rakyat dan swasta besar). Jika disandingkan dengan kawasan yang dapat dijadikan sebagai pertanian (123,4 juta ha), maka masih ada 87,1 juta ha yang areal yang saat ini belum dijadikan wilayah pertanian.

Dalam dokumen tersebut juga didapati bahwa kita masih memiliki potensi lahan untuk pertanian sebesar 100,8 juta hektar. Dari luasan ini, telah dimanfaatkan 68,8 juta hektar, sehingga lahan yang belum dimanfaatkan sekitar 32 juta hektar. Selain itu, terdapat potensi lahan untuk usaha pertanian berupa lahan terlantar 11,5 juta hektar serta pekarangan 5,4 juta hektar.
Khusus untuk Jawa, pemanfaatan lahan sudah melampui ketersediaannya (over utilization). Selain over utilization, lahan di Jawa mengalami pengurangan akibat konversi ke penggunaan non pertanian dengan laju yang makin tinggi. Pada periode tahun 1981-1999 terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian seluas 1.627.514 hektar; dan sekitar 1 juta hektar di antaranya terjadi di Jawa. Kondisi lahan di Jawa semakin memprihatinkan karena penguasaan lahan oleh petani yang sempit tidak mampu mencapai skala usaha yang ekonomis, sehingga usaha pertanian di Jawa menghadapi ancaman stagnasi. Luas areal yang masih berupa hutan di Jawa saat ini hanya bersisa 3,3 juta ha. Di sisi lain, terdapat lahan kritis yang sangat memprihatinkan, yaitu 10,7 juta ha atau 84,2 persen dari luas wilayahnya (Kompas, 2003).

Strategi Pembaruan Agraria yang Lebih Solutif dan Aplikatif

Sesuai dengan permasalahan dan potensi lahan yang dimiliki, maka pembaruan agraria hanya akan dapat disusun jika kita telah memiliki sebuah strategi nasional yang mampu mencakup seluruh aspek dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, demografi, politik, sosial budaya, serta kondisi dan potensi lahan yang kita miliki. Pembaruan agraria tidak akan dapat disusun jika kita tidak memiliki perencanaan, misalnya seberapa besar sektor pertanian akan dikembangkan, sehingga kita tahu berapa banyak petani dibutuhkan. Kondisi dan kecenderungan pasar global juga harus menjadi perhatian, sehingga strategi kemandirian pangan dapat pula disusun.

Ada banyak bentuk solusi pembaruan agraria yang dapat dipilih. Pembaruan agraria misalnya dapat berbentuk konsolidasi lahan, konsolidasi usaha, dan penataan hubungan sewa-menyewa dan bagi hasil sebagaimana diamanatkan UU No. 2 tahun 1960. Konsolidasi lahan lewat program pemerintah dapat berupa program transmigrasi, pembatasan luas minimal pemilikan tanah, program kerjasama antara masyarakat petani dengan perusahaan pertanian, dan program penataan perumahan. Sementara, konsolidasi usaha pertanian dapat berupa penyatuan usaha yang kecil-kecil ke dalam satu manajemen sehingga lebih efisien.
Secara umum, berbagai hal yang dapat dilakukan untuk pembaruan agraria telah dinyatakan dalam Pasal 6 Tap MPR RI Nomor IX/MPR/2001, yaitu: melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan; melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform); menyelenggarakan pendataan pertanahan; menyelesaikan konflik-konflik; memperkuat kelembagaan; serta mengupayakan pembiayaan.

Revitalisasi Pertanian dan Upaya Perbaikan Penguasaan Lahan Ditingkat Petani

Revitalisasi pertanian sudah disepakati menjadi salah satu upaya yang sistematis untuk memperbaiki kehidupan petani di pedesaan. Walupun sudah diluncurkan sebagai suatu program nasional, namun karena kelemahan data dasar yang digunakan, maka ditemukan beberapa kelemahan mendasar dalam penetapan target, terutama berkaitan dengan luas penguasaan minimal dan jumlah total petani.

Kedua target ini terlihat bertolak belakang, terutama tentang penguasaan lahan dan jumlah petani yang bekerja di pertanian. Dalam RPPK terlihat lemahnya dasar penetapan berbagai target yang akan dicapainya. Salah satu dari target yang perlu dikritisi menyangkut tentang rencana pencanangan lahan abadi 30 juta hektar dan pemilikan lahan pertanian di Jawa dan Bali minimal 1 hektar per KK dan luar Jawa/Bali 2,5 hektar per KK (Bab IV tentang Manajemen Pelaksanaan RPKK, dalam buku RPPK, 2005). Tidak begitu jelas pola dan cara yang akan ditempuh dalam mencapai target tersebut. Selain itu perlu juga ada kejelasan petani mana yang menjadi target dari program tersebut, apakah seluruh petani dalam arti luas, termasuk petani tidak berlahan yang jumlahnya makin dominan akhir-akhir ini, atau hanya petani yang mengusahakan lahan. Rumah tangga petani yang mengusahakan tanaman padi di Jawa menurut data BPS pada sensus pertanian 2003, jumlahnya ada 8.457.724 KK, sementara lahan sawah di Jawa cuma tersedia 3.334.627 hektar, sehingga dengan cara perhitungan sederhanapun tidak mungkin setiap rumah tangga dapat mengusahakan lahan sawah minimal satu hektar.
Selain menargetkan penguasaan lahan di Jawa dan Bali minimal 1,0 hektar per KK dan luar Jawa/Bali 2,5 hektar per KK; jumlah tenaga kerja yang bekerja di pertanian justru diharapkan meningkat dari 41,2 juta orang tahun 2005 menjadi 44,5 juta orang tahun 2009. Krisnamurthi (2004) menyatakan bahwa jumlah petani yang terlibat dalam kegiatan budidaya memang harus berkurang, namun jumlah kesempatan kerja dalam ‘sistem industri beras’ yang harus meningkat. Konsep ini akan sangat sulit direalisasikan, terutama karena terbatasnya pengembangan yang bisa dilakukan untuk industri berbasis padi atau beras.

Kita sudah lama tahu, bahwa salah satu yang menghambat percepatan pembangunan pertanian di Indonesia, dibandingkan dengan beberapa negara di Asia, adalah karena lambatnya pengurangan orang yang bekerja di pertanian dibandingkan pengurangan Produk Domestik Bruto(PDB) pertanian (Pakpahan et al., 2004). Setiap penurunan 1 persen pangsa PDB pertanian di Korea Selatan misalnya, diikuti oleh 1,56 persen pengurangan tenaga kerja pertanian. Sementara itu di Indonesia, setiap penurunan 1 persen PDB pertanian hanya diikuti penurunan pangsa tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 0,43 persen.
Sektor pertanian di Indonesia menanggung beban tenaga kerja yang terlalu berat dibandingkan negara lain di Asia. Salah satu solusi untuk meningkatkan rata-rata penguasaan lahan, adalah dengan mengurangi tenaga kerja yang bekerja di pertanian. Senada dengan pemikiran di atas, Simatupang et. al. (1990) sejak lima belas tahun yang lalu, telah menyarankan perlunya digalakkan upaya mengurangi pekerja di sektor pertanian dan ini merupakan titik kunci bagi peningkatan pendapatan petani. Solusinya adalah pengembangan agroindustri dan industri-industri lain, yaitu pengembangan usaha yang tidak berbasis lahan di pedesaan.

Revitalisasi pedesaan dapat berupa pengembangan kegiatan non-pertanian di pedesaan, atau upaya peningkatan sumberdaya manusia di pedesaan yang dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja terampil di perkotaan atau pasar tenaga kerja di pasaran global. Hal senada disampaikan oleh Hayami dan Kikuchi (1981) dalam menganalisis keberhasilan Taiwan dan Jepang dalam memperbaiki distribusi penguasaan lahan petaninya. Menurutnya, dukungan yang kuat dari pemerintah, ketersediaan data lahan yang akurat, dan cepatnya ekspansi sektor non-pertanian dalam menyerap tenaga kerja pertanian sehingga tekanan terhadap lahan menjadi menurun dan upah di sektor pertanian meningkat. Menurut Pincus (1996), dengan berdasarkan penguasaan lahan, penggunaan buruh tani dalam usahatani, serta partisipasi dalam kegiatan berburuh tani, yang riil petani hanya sekitar 20-25 dari seluruh penduduk desa.

Luas rata-rata kepemilikan lahan sawah di Jawa dan Bali hanya 0,34 ha per rumah tangga petani. Secara nasional jumlah petani gurem (petani dengan luas lahan garapan < 0,5 ha) meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga petani pada tahun 2003, dengan rata-rata peningkatan 2,4 persen per tahun (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2005). Tingginya persaingan dalam mendapatkan pekerjaan menyebabkan tingkat upah tertekan. Penelitian Hayami and Kikuchi (1981), Wiradi and Makali (1984), Pincus (1996), dan Jamal (2005) menunjukkan bahwa tingkat upah petani yang berupa bawon di salah satu desa di Subang, Jawa Barat, terus menunjukan penurunan dari waktu ke waktu. Dengan terbatasnya peluang usaha yang tersedia di pedesaan, penurunan upah riil ini akan berdampak besar pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Secara teoritis, upaya perbaikan distribusi penguasaan lahan di tingkat petani dapat dilakukan melalui pendekatan struktural maupun sporadis. Melalui pendekatan struktural penataan penguasaan dilakukan by design melalui suatu aturan kebijakan pemerintah. Salah satu bentuk utama dari pendekatan ini adalah penataan pemilikan dan penguasaan melalui land reform. Pendekatan kedua yang bersifat teknokratis intinya adalah bahwa struktur penguasaan lahan tidak harus by design, karena struktur penguasaan lahan bersifat dinamis dan surplus ekonomi tanah (land rent) akan menjadi penentu dalam pola alokasi antar sektor maupun antar individu dalam masyarakat.

Bila menyerahkan mekanisme penataan pemilikan dan penguasaan lahan kepada mekanisme pasar, maka sektor pertanian akan banyak mengalami kesulitan. Hasil analisis ekonomi sewa lahan (land rent economics) menunjukkan bahwa rasio land rent pengusahaan lahan untuk usahatani padi dibandingkan dengan penggunaan untuk perumahan dan industri adalah 1 berbanding 622 dan 500 (Nasoetion dan Winoto, 1996). Sehingga tanpa campur tangan pemerintah, lahan-lahan pertanian potensial akan semakin berkurang dan secara rata-rata penguasaan lahan oleh petani akan semakin mengecil.

Dalam kondisi seperti ini, salah satu peluang yang dapat digunakan untuk memperbaiki penguasaan lahan di tingkat petani, terutama di Jawa, adalah melalui land tenure reform. Ini merupakan upaya pragmatis yang mungkin dilakukan yaitu dengan menata sistem penguasaan lahan di tingkat petani, dengan memberikan penekaanan pada upaya bagi hasil. Penataan diharapkan tidak saja memperbaiki luasan lahan yang dapat diusahakan petani, tetapi juga meningkatkan effisiensi usahatani dan membuka peluang pengembangan usaha lain yang terkait dengan usaha tani.

Langkah Pragmatis yang dapat dilakukan untuk land tenure reform.

Konsolidasi lahan di tingkat mikro diindikasikan oleh adanya pergeseran proporsi rumah tangga dengan status lahan garapan sakap, sewa dan gadai (Rusastra et al., 2000). Persoalannya sekarang, bagaimana kita menata semua pergeseran yang ada, sehingga upaya ini tidak saja dapat meningkatkan rata-rata pengusaan lahan di tingkat petani, namun juga meningkatkan effisiensi usahatani, melalui perbaikan dalam fragmentasi pemilikan, fragmentasi fisik hamparan, dan jarak antar persil. Selain itu upaya ini juga diharapkan dapat menunjang upaya pengembangan usaha lain yang terkait dengan usaha tani yang ada. Ini menjadi penting mengingat persoalan ketersedian lapangan kerja di pedesaan tetap masih belum terpecahkan sampai saat ini.

Secara umum bagi petani kaya di pedesaan Jawa akumulasi lahan melalui sistem sewa dan gadai lebih dominan dibandingkan bagi hasil. Sementara itu bagi petani tidak berlahan atau berlahan sempit, bagi hasil merupakan pilihan utama, karena mereka tidak harus menyediakan dana tunai pada awal kegiatan usaha (Tabel 1). Jamal (2004), mengindikasikan bahwa upaya konsolidasi lahan, terutama yang dapat dilakukan pada areal yang sama dan berdekatan serta menjadi mata pencaharian utama petani, akan makin meningkatkan effisiensi usaha tani. Bila dilihat factor payment dari input yang digunakan, termasuk lahan dan curahan waktu penggarap, secara rata-rata bagian penggarap untuk bagi hasil relatif lebih baik dibandingkan sewa. Pada sistem sewa penggarap menanggung biaya untuk lahan relatif lebih tinggi dibandingkan sistem lainnya. Pada sistem gadai, penerima gadai cenderung menikmati bagian hasil yang lebih baik, hal ini disebabkan petani yang menggadai umunya adalah petani yang terdesak untuk mendapatkan uang tunai dan posisinya sangat lemah dalam proses transaksi.
Dari gambaran ini, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam memperbaiki penguasaan lahan di pedesaan, terutama pada petani berlahan sempit dan tak berlahan, adalah melalui penyempurnaan sistem bagi hasil yang ada. Penyempurnaan yang dibutuhkan adalah dalam kepastian lamanya waktu garap bagi penggarap dan bila jumlah persil yang digarap itu lebih dari satu, maka kemungkinan bagi penggarap untuk mendapatkan lahan garapan pada hamparan yang sama dan dengan lusan minimal tertentu layak untuk diupayakan. Secara umum pola ini diharapkan dapt menginisiasi pola konsolidasi lahan lanjutan sebagaimana yang dikonsepkan dalam coorporate farming misalnya, tapi tentunya bukan dalam arti menghilangkan kepastian batas kepemilikan lahan petani.

Table 4. Factor paymentsa and factor sharesb per hektar dalam usahatani padi pada berbagai sistem penguasaan lahan di Jawa Barat, 2004

Konsolidasi lahan dalam satu hamparan tidak saja akan memudahkan dalam pengelolaannya, tetapi juga akan membuka berbagai kemungkinan pengembangan kegitan pendukung, seperti pengembangan usahatani terpadu dengan ternak dan lainnya. Upaya ini diharapkan dapat membuka peluang usaha baru dan peluang kerja baru bagi penduduk pedesaan.

Penutup

Dalam tulisan ini telah diupayakan untuk memaparkan berbagai persoalan yang perlu menjadi perhatian dalam merancang pembaruan agraria khususnya untuk mendukung Revitalisasi Pertanian. Pembaruan agraria perlu memperhatikan sekaligus kedua sisinya, yaitu “aspek landreform” dan “aspek non-landreform”, meskipun setiap sisi diperankan oleh pihak-pihak yang berbeda. Menghadapi lemahnya ketersediaan data dan informasi yang cenderung tidak akurat dan konsisten, yang menyulitkan untuk menyusun perencanaan pembaruan agraria secara makro nasional, namun perbaikan land tenure system di tingkat lokal masih dapat diupayakan misalnya memperbaiki struktur dan sistem bagi hasil pertanian.

Lemahnya dasar-dasar dukungan kebijakan hukum RPPK merupakan salah satu permasalahan yang akan menjadi kendala ke depan. Lebih luas dari, itu sesungguhnya sektor pertanian membutuhkan sebuah dasar kebijakan yang kokoh setingkat undang-undang, sehingga permasalahan berikut tidak perlu terjadi, misalnya konversi lahan pertanian, rendahnya ketersediaan modal pertanian, serta mudahnya seorang penyuluh dialihtugaskan menjadi non penyuluh. “Undang-Undang Pertanian” merupakan kebutuhan yang sangat rasional pada negara dimana lebih dari 40 persen warganya bekerja di pertanian. Dengan adanya UU Pertanian, maka misalnya dapat pula diperjuangkan anggaran yang memadai untuk pembangunan sektor pertanian, yang selama ini hanya sedikit di atas satu persen dari APBN.

Daftar Pustaka

Anonim1. “Tahun 2025 Penduduk Indonesia 273,7 Juta: Lansia, Pengangguran, dan Penduduk Miskin Bertambah”. http://www.embassyofindonesia.org/ beritaUTama/05/Agustus/3%20-%20Penduduk%20Indonesia.htm, 2 januari 2006.

Badan Litbang Pertanian. 2005. e-Files Buku Komoditas Pertanian dan Rencana Aksi Ketahanan Pangan 2005-2010. http://www.litbang.deptan.go.id/b1lahan.php, 5 januari 2006.

Badan Litbang Deptan. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis:Tinjauan aspek kesesuaian lahan. Badan Litbang Deptan. Jakarta.

BPS. 2004. Sensus pertanian 2003 hasil pendaftaran rumah tangga. BPS. Jakarta.

Hayami and M. Kikuchi. 1981. Asian village economy at the crossroads. Japan: University of Tokyo Press. 275 p.

Jamal, Erizal. 2005. Efficiency of Land Tenure Contracts in West Java, Indonesia. Dissertation at University of Philippines Los Banos. Los Banos.

Husodo, Sisiwono Y. 2005. Penataan Keagrariaan dan Pertanahan Wujud Kesinambungan Pertanian. Dalam: Endang Suhendar dkk. (eds) 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Yayasan AKATIGA, Bandung.

Husodo, Siswono Y. (Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). 2005. Kebijakan Pangan yang Menyejahterakan Petani. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0305/26/ekonomi/330983.htm, 5 Januari 2006.

Kepala BPN. 2001. “Pertanahan Indonesia: Suatu Retrospeksi”. Paper: disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional dihadapan Ibu Wakil Presiden Republik Indonesia di Istana Wakil Presiden RI, tanggal 12 Februari 2001.

Kompas. 2003. Derita Sepanjang Masa Rakyat Jawa. 9 Februari 2003. Hal 25.

Kompas. 2005 Konsumsi Masih Tinggi: Produksi Beras Tetap Menjadi Masalah Besar di Masa Depan. Kompas. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/05/ekonomi/1949849.htm

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Indonesia 2005, untuk rakyat, tanah air dan generasi Indonesia mendatang. Kantor Menko Bidang Perekonomian. Jakarta.

Krisnamurthi, B. 2004. Arti penting pertanian: Masa lalu dan masa depan.Agro-Ekonomika, Nomor 2. Tahun XXXIV.Oktober 2004. PERHEPI.Jakarta.

Menteri Pertanian. 2005. Produktivitas Benih Padi Tak Cukupi Kebutuhan Pangan 2025. Business & Economy. JAKARTA, investorindonesia.com. Selasa, 09 Agustus 2005, 17:34 WIB. http://www.investorindonesia.com/news.html?id=1123585496, 20 Desember 2005.

Moniaga, S. 1993. Toward community-based forestry and recognition of adat property rights in the Outer Islands of Indonesia. Pp. 131-150 In: Fox, J. (Ed). Legal frameworks for forest management in Asia: Case studies of community/state relations. Honolulu: East West Center Program on Environment.

Nasoetion, L. I. dan J. Winoto. 1996. Masalah alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap keberlanjutan swasembada pangan dalam prosiding Lokakarya Persainagn dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Kerjasama Puslit Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation. Bogor.

Pakpahan, A., H. Kartodihardjo, R. Wibowo, H. Nataatmadja, S. Sadjad, E. Haris dan H. Wijaya. 2005. Membangun pertanian Indonesia: Bekerja, bermartabat dan sejahtera. Himpunan alumni IPB Bogor. Cetakan II, Maret 2005.207 halaman.

Pincus, J. 1996. Class power and agrarian change. Land and labor in rural West Java. Great Britain: MacMillan Press LTD. 248 p.

Rusastra, I. W., S.K. Darmoredjo, Wahida dan A. Setiyanto. 2001. Konsolidasi Lahan untuk mendukung pengembangan agribisnis. Dalam Rusastra et. al. (eds). Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke depan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Simatupang, P., S. H. Susilowati dan Markos. 1990. Pengganda tenaga kerja dan pendapatan agro-industri di Indonesia. Dalam Simatupang, P. et. al. Agro Industri Faktor Penunjang Pembangunan Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor.

Sumaryanto; Syahyuti, Saptana, Bambang Irawan, dan Aten M. Hurun. 2002. Kajian pembaruan agraria dalam mendukung pengembangan usaha dan sistem agribisnis. Laporan Penelitian PSE no. 561, Bogor.

Tempo Interaktif. ”30 Juta Hektar Lahan Abadi Pertanian”.
Selasa, 11 Oktober 2005. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional /2005/10/11/brk,20051011-67816,id.html, 20 desember 2005.

Wiradi, G and Makali. 1984.Penguasaan tanah dan kelembagaan. Dalam Kasryno, F. Prospek pembangunan ekonomi pedesaan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Hal 43-130.

Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. (Hal 290-1). Dalam S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (eds). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta.

*****