Kamis, 23 Desember 2010

Perbaikan sistem BAGI HASIL sebagai bentuk POSSIBLE AGRARIAN REFORM

Pendahuluan

Reforma Agraria mendapat semangat baru dengan keluarnya Tap MPR Nomor IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Namun, sampai saat ini, bagaimana wujud pelaksanaan reforma agraria tersebut masih belum terkonstruksi dengan jelas. Agraria merupakan masalah yang kompleks yang melibatkan semua pihak. Artinya, pihak manapun saat ini dapat memberikan “usulan” tentang bagaimana reforma agraria di Indonesia semestinya.

Terdapat tarik ulur berbagai konsep dalam wacana reforma agraria, misalnya antara yang menginginkan reforma agraria secara revolusioner atau yang lebih lunak secara gradual, pembagian peran pemerintah pusat dan daerah, serta apakah mesti mengimplementasikan landreform atau tidak. Dalam tarik ulur antara pusat dan daerah, menurut Soesangobeng (dalam Sitorus, 2002) bidang yang dapat dipindahkan ke pemerintah daerah seyogyanya hanyalah dalam “urusan agraria”, yaitu sebagai bentuk dan cara mengusahakan atau mengolah unsur-unsur tanah, seperti usaha pertanian, kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Sementara, soal hak kepemilikan tanah yang mencerminkan makna tanah sebagai simbol kesatuan bangsa dan negara tidak dapat didelegasikan ataupun diserahkan menjadi urusan daerah. Maksudnya, landreform berupa penataan ulang pemilikan dan penguasaan, biarlah tetap menjadi wacana pusat, namun aspek-aspek land tenure dapat diperankan oleh daerah mulai sekarang.

Selain empat masalah agraria di Indonesia sebagaimana disampaikan dalam ketetapan tersebut, yaitu: pemilikan tanah yang sempit dan timpang, konflik pertanahan, inkosistensi hukum, serta kerusakan sumber daya alam; salah satu permasalahan lain adalah kesulitan dalam memberantas berkembangnya rent seeking activity. Aktifitas yang tergolong dalam kategori ini utamanya adalah para makelar tanah, yaitu mereka yang membeli tanah untuk nanti dijual lagi ketika harga sudah tinggi. Tanah dibeli tidak untuk digunakan, sehingga tanah diperlakukan sebagai komoditas. Dalam kadar yang lebih ringan, para pemilik tanah yang menyakapkan tanahnya kepada petani lain dengan pembagian yang tidak adil, dapat pula dipandang sebagai suatu bentuk penghisapan, yang pada prinsipnya adalah juga bentuk dari sikap menjadikan tanah sebagai komoditas. Perilaku ini jelas jauh dari konsep ideal landreform “land to tillers”.

Dalam tulisan ini ingin disampaikan bahwa penataan sistem bagi hasil yang lebih adil di Indonesia adalah masalah yang perlu diperhatikan. Bagi hasil adalah salah satu komponen yang cukup penting dalam konteks reforma agraria. Lebih jauh dari itu, ketika penataan ulang penguasaan dan pemilikan (landreform) masih sulit dilakukan sebagaimana diamanatkan dalam UU nomor 56 tahun 1960, maka penataan bagi hasil adalah salah satu bentuk reforma agraria yang mungkin dilaksanakan (possible agrarian reform). Dalam konteks kebijakan, tulisan ini juga menyinggung eksistensi UU nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang disyahkan tanggal 7 Januari 1960, serta beberapa permasalahannya selama ini.

Reforma Agraria, Tanah dan Pertanian

Pembaruan agraria umumnya sering hanya dimaknai sebagai landreform, dengan bentuk lebih sempit lagi, menjadi semata-mata hanya “redistribusi tanah”. Untuk memahami reforma agraria dengan baik, maka perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan agraria dan landreform. Dalam Pasal 1 ayat 2 dan pasal 2 ayat 1 UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang dimaksud dengan agraria adalah: “Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya....”. Pengertian ini sejalan dengan yang tercantum pada Tap MPR no. IX tahun 2001, pada bagian “Menimbang” butir (a), yaitu: “Bahwa sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.

Meskipun tanah hanyalah salah satu objek agraria, namun tanah merupakan objek yang pokok. Dalam UUPA No. 5 tahun 1960, pada bagian “Berpendapat” butir (d) disebutkan: “ ..... mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat...”. Esensialnya permasalahan “tanah” juga ditemui dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 pasal 5 butir (b) yaitu: “Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat...”.

Pentingnya posisi “tanah” dalam pengertian agraria tersebut secara tidak langsung memberi makna bahwa kegiatan pertanian merupakan bentuk aktifitas masyarakat yang paling erat kaitannya dengan apa yang dibicarakan dalam agraria, termasuk ketika membicarakan reforma agraria. Hal ini disebabkan karena pertanian lah sektor yang paling banyak bersentuhan dengan pengolahan tanah, bukan kehutanan dan pertambangan misalnya.

Secara konseptual, batasan pengertian mengenai tanah (land) tidak hanya mencakup tanah dalam pengertian fisik (soil), tetapi mencakup juga air, vegetasi, lansekap (landscape), dan komponen-komponen iklim mikro suatu ekosistem . Implikasinya, konsep pengelolaan sumberdaya lahan harus mengakomodasikan konstelasi nilai dari keseluruhan komponen tersebut. Bahkan sering pula konsep tersebut berkembang lebih luas, terkait dengan konteks permasalahan sosial-ekonomi yang dikaji. Sebagai ilustrasi, dalam "International Convention to Combat Desertification" yang diselenggarakan oleh UNO memasukkan pula populasi binatang dan pola hunian manusia sebagai komponen yang harus diperhitungkan dalam mendefinisikan pengertian "land" (Scherr and Yadav, 1996).

Landreform dan Agrarian Reform diberi pengertian yang berbeda-beda oleh para ahli. Namun, dapat disimpulkan bahwa landreform adalah salah satu bagian dari agrarian reform (lihat misalnya Wiradi, 1984). Menurut Cohen (1978), landreform adalah “... change in land tenure, especially the distribution of land-ownership, thereby achieving the objective of more equality”.Land tenure” dalam kalimat ini dimaknai secara luas, tidak hanya apa yang kita kenal sebagai “penyakapan”, tapi mencakup seluruh bentuk hubungan sosial yang terjadi dengan tanah. Sebagian kalangan menyebutnya dengan “sosio-agraria”.

Reforma agraria dapat pula berbentuk konsolidasi lahan, konsolidasi usaha, dan penataan hubungan sewa-menyewa dan bagi hasil. Konsolidasi lahan lewat program pemerintah dapat berupa program transmigrasi, pembatasan luas minimal pemilikan tanah, program kerjasama antara masyarakat petani dengan perusahaan pertanian, dan program penataan perumahan. Sementara, konsolidasi usaha pertanian berupa penyatuan usaha yang kecil-kecil ke dalam satu manajemen sehingga lebih efisien (misalnya berupa corporate farming).

Secara umum, reforma agraria mencakup dua tujuan pokok yaitu bagaimana mencapai produksi yang lebih tinggi, dan bagaimana agar lebih dicapai keadilan (Cohen, 1978). Dalam konteks reforma agraria, peningkatan produksi tidak akan mampu dicapai secara optimal apabila tidak didahului oleh landreform. Sementara, keadilan juga tidak mungkin dapat dicapai tanpa landreform. Jadi, landreform tetaplah menjadi langkah dasar yang menjadi basis pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun demikian, persoalan yang riel di Indonesia saat ini dengan kondisi politik yang belum tertata dengan baik ini adalah, bahwa landreform adalah hal yang peluangnya paling kecil dibanding aspek-aspek lain reforma agraria.

Mekipun tidak mampu melakukan landreform, namun aktifitas reforma agraria tidak boleh berhenti, karena masih banyak hal lain yang dapat dilakukan. Program-program peningkatan produksi dan produktifitas, pengembangan kredit untuk pertanian, perbaikan pajak lahan, hubungan penyakapan, regulasi upah buruh tani, dan konsolidasi tanah; adalah contoh-contoh aktifitas yang masih mungkin dilakukan.

Dengan kata lain, ada dua agenda reforma yang harus dilakukan dalam reforma agraria, yaitu land tenure reform (hubungan pemilik-penyakap) dan land operation reform (perubahan luas, pola budidaya, hukum penguasaan, dan lain-lain). Sebagaimana dinyatakan dalam Fauzi (2002), land reform jangan hanya dimaknai secara sempit sebagai redistribusi tanah. Land reform dapat berbentuk koperasi atau kolektivitas untuk mencapai skala ekonomi tertentu yang memungkinkan perimbangan antar faktor-faktor produksi (terutama modal versus tenaga kerja) menjadi lebih baik. Penataan kembali hubungan sewa dan atau bagi hasil yang dapat memberikan kepastian penguasaan garapan bagi penggarapnya juga termasuk dalam cakupan pengertian land reform.

Dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 pasal 2 disebutkan: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bagi hasil jelas suatu komponen yang dapat menyumbang kepada kemakmuran, asalkan ada perlindungan hukum dan menjunjung azas keadilan antar pelakunya.

Luasnya batasan reforma agraria juga didukung oleh Wiradi (1984), yang menyatakan bahwa reforma agraria adalah modifikasi berbagai persyaratan yang dapat mempengaruhi sektor pertanian misalnya berupa kredit, kebijakan harga, penelitian dan penyuluhan, pengadaan input, koperasi dan lain-lain. Reforma agraria dapat memilih dua pola, yaitu dengan titik berat kepada pembangunan ekonomi dan menganggap redistribusi tanah tidak penting, dan dengan titik berat kepada perombakan struktur sosial dengan mengutamakan redistribusi tanah. Indonesia selama ini telah memilih jalan pertama, namun hasilnya adalah terbatasnya pertumbuhan ditambah dengan meluasnya ketimpangan. Bagi hasil yang adil dapat memperkecil dampak tersebut, sebagai the second best choice ketika redistribusi tanah belum dapat dilakukan.

Berbagai Hambatan Melakukan Landreform

Inti dari kegiatan landreform adalah redistribusi tanah. Tak dapat disangkal lagi, landreform memang merupakan langkah yang tak terpisahkan dalam pembangunan pertanian sebagaimana telah dibuktikan oleh Jepang, Taiwan, RRC dan Vietnam. Landreform di Indonesia pernah diimplementasikan dalam kurun waktu 1961 sampai 1965, namun kurang berhasil (Rajagukguk, 1995).

Pembaruan agraria secara umum mensyaratkan dua hal pokok, dalam posisi ibarat dua sisi mata uang, yaitu komitmen politik pemerintah yang kuat di satu sisi, dan tersedianya modal sosial (social capital) misalnya berkembangnya civil society yang memadai. Dapat dikatakan, keduanya saat ini masih dalam kondisi tidak siap. Civil society di Indonesia masih merupakan ide baru, yang masih mencari-cari bentuk yang cocok, mengingat masyarakat Indonesia yang multikultural.

Hambatan lain datang dari intervensi yang tak terbantahkan dari ideologi kapitalisme, khususnya melalui instrumen pasar global, yang telah menembus seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal sistem agraria suatu negara. Jika selama ini, pemerintah yang menjadi penguasa terhadap petani dengan menggunakan tanah sebagai alat politiknya, terutama dalam era “Tanam Paksa”; maka di era pasar bebas ketika komoditas ditentukan oleh kehendak pasar, maka pasarlah yang menjadi penguasa. Dengan kata lain, bagaimana sistem agraria yang akan berjalan di suatu negara, baik penguasaan, pemilikan, dan penggunaan; akan lebih ditentukan oleh pasar dengan ideologinya sendiri misalnya dengan penerapan prinsip-prinsip efisisensi.

Dalam Pasal 6 Tap MPR RI Nomor IX tahun 2001, disebutkan bahwa beberapa hal yang menjadi agenda pembaruan agraria adalah: melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan; melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform); menyelenggarakan pendataan pertanahan; menyelesaikan konflik-konflik; memperkuat kelembagaan; serta mengupayakan pembiayaan. Ada empat aspek penting yang diperlukan untuk terselenggaranya pembaruan agraria, yaitu kemauan politik dari pemerintah, data yang lengkap dan teliti mengenai keagrariaan, organisasi petani yang kuat, dan anggaran yang cukup. Keempat aspek ini dapat dikatakan masih sangat lemah kondisinya, sehingga tetap menjadi kendala yang sulit diatasi.

Bagi Hasil dalam Konsep Reforma Agraria

Pembaruan agraria, atau adakalanya disebut dengan “Reforma Agraria”, dari asal kata Agrarian Reform, didefinisikan sebagai “Suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfatan sumber daya agraria ...” (Psl 2 Tap MPR IX/2001). Dalam kalimat tersebut terlihat bahwa reforma agraria terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring.

Reforma agraria dapat menempuh dua jalan, yaitu secara serentak, cepat, dan menyeluruh; atau secara gradual namun berkelanjutan. Jalan pertama banyak didukung oleh kalangan pemerhati agraria, terutama dari golongan LSM, dimana aspek landreform merupakan fokus utamanya. Sementara, jalan yang kedua yang terkesan lebih “soft”, dapat didukung oleh kalangan birokrasi terutama departemen-departemen teknis, misalnya Deptan. Reforma agraria yang dilakukan secara gradual dan pada skala terbatas tampaknya lebih realistis, mengingat kondisi sosial-ekonomi-politik Indonesia yang masih belum stabil.

Untuk mengimplimentasikan jalan pertama, syarat yang dibutuhkan lebih berat. Mengingat sulitnya memenuhi kebutuhan tersebut, sementara kebutuhan semakin mendesak, maka jalan kedua menjadi solusi yang lebih realistis, misalnya dengan penekanan kepada usaha untuk mengoptimalkan pengusahaan tanah yang tersedia. Salah satu bentuk kelembagaan pendukung untuk pengelolaan yang optimal adalah dengan memperbaiki sistem penyakapan.

Permasalahan yang mendasar yang berkembang saat ini, sebagai langkah berikutnya adalah: bagaimana bentuk pembaruan agraria tersebut akan dijalankan? Dengan kata lain, jalan mana yang akan ditempuh Indonesia untuk mencapainya? Dari berbagai pendapat, terdapat dua jalan utama yang bisa digunakan, yang secara konseptual saling berseberangan. Jalan pertama adalah melakukan penataan kembali sistem kepemilikan lahan (land reform) sebagai sebuah aksi sosial yang serentak namun membutuhkan biaya ekonomi dan politik yang besar. Sementara jalan kedua adalah menyerahkannya kepada mekanisme pasar (market friendly agrarian reform). Penataan bagi hasil berada di antara kedua titik ekstrim tersebut, bukan berupa redistribusi (kepemilikan), tapi juga tidak membiarkan mekanisme pasar menguasai sepenuhnya. Regulasi sistem bagi hasil dari pemerintah merupakan intervensi terhadap pasar ketenagakerjaan di pedesaan, dengan tujuan memberikan perlindungan kepada penyakap dan pemilik tanah sekaligus.

Bagi hasil yang berlaku pasa suatu wilayah merupakan sebuah bentuk kelembagaan yang telah diakui dan diterima secara sosial. Dalam penelitian Jamal et al. (2001) dan Saptana et al. (2002) berkenaan dengan penguasaan lahan dan penatagunaan lahan pertanian, ditekankan bahwa eksistensi kelembagaan lokal yang ada di masyarakat perlu dijadikan titik tolak dalam pembaruan keagrariaan. Kelembagaan tersebut akan mempengaruhi efektivitas dan efisiensi petani dalam penatagunaan lahan di tingkat mikro. Sehingga program-program penatagunaan lahan pertanian haruslah memperhitungkan dan mendayagunakan kelembagaan yang telah eksis di pedesaan.

Performa Sistem Bagi Hasil di Indonesia dan Peluang Perbaikannya

Secara umum, bagi hasil didefnisikan sebagai bentuk perjanjian antara dua pihak yaitu pemilik tanah dengan penggarap yang bersepakat untuk melakukan pembagian hasil secara natura. Bagi hasil dalam bahasa Belanda yang disebut ”deelbouw”, merupakan bentuk tertua dalam pengusahaan tanah di dunia, yang bahkan telah ditemukan pada lebih kurang 2300 SM (Scheltema, 1985). Bagi hasil di pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana pembagian hasil terhadap dua unsur produksi, modal dan kerja, dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto (kotor) dalam bentuk natura. Berbeda dengan perjanjian “sewa”, maka si pemilik tanah masih tetap memegang kontrol usaha.

Dalam literatur berbahasa Inggris, dikenal istilah “tenancy”, yaitu seluruh bentuk penggunaan tanah yang buan milik si penggarap. Dalam konteks ini tercakup sewa dan bagi hasil. Orangnya disebut dengan “tenant” atau “share cropper”. Sementara istilah “owner crooper” adalah untuk petani yang sekaligus menggarap tanahnya sendiri, atau disebut “petani penggarap”. Khusus di AS dikenal istilah cash tenant untuk sewa dan share tenant untuk bagi hasil. Di Indonesia, bagi hasil dikenal di seluruh daerah (Scheltema, 1985). Bagi hasil di Aceh disebut dengan meudua laba untuk bagi dua; di Sumatera Barat dikenal sebutan mampaduokan, mampatigoi, dan seterusnya; di Sulawesi Selatan misalnya disebut thesang-tawadua untuk bagi dua; di Bali dikenal nandu, telon, negmepat-empat, dan ngelima-lima; sedangkan di Jawa dikenal maro, mertelu, mrapat, dan seterusnya.

Pemerintah telah cukup memberikan perhatian terhadap pentingnya bagi hasil di tengah masyarakat tani. Hal ini terlihat dengan telah dikeluarkannya dua Undang-Undang tentang bagi hasil, yaitu UU no. 2 tahun 1960 untuk bagi hasil di pertanian, dan UU No. 16 tahun 1964 untuk bagi hasil di sektor perikanan. Namun demikian, penerapan peraturan ini sangat lemah karena berbagai alasan.

Bagi hasil yang berlaku semenjak dahulu di masyarakat membagi terhadap hasil kotor (bahasa Belanda: deelbouw), namun dalam semangat landreform menginginkan yang dibagi adalah hasil bersih (deelwinning). Pembagian dari hasil kotor mengandung rasa sosial dan kebersamaan, dan lebih adil karena penyakap dengan investasi kerja dan pemilik dengan investasi berupa tanah sama-sama mengandung resiko. Namun, pada pola kedua resiko penyakap menjadi lebih besar dibandingkan pemilik. Bagi hasil kotor terlihat lebih adil bagi penggarap ketika sarana produksi yang dibeli sangat rendah. Namun ketika nilai sarana produksi menjadi cukup penting, ditemukan berbagai pola. Pada sebagian wilayah ada yang sarana produksi ditanggung secara bersama, namun pada wilayah dimana kedudukan penyakap semakin terdesak, sarana produksi hanya ditanggung oleh si penyakap.

Dapat dipaparkan beberapa karakteristik sistem bagi hasil yang saat ini hidup di Indonesia, yang secara tidak langsung telah membuat pihak luar kurang memperhatikan fenomena dan potensinya dalam reforma agraria. Karakteristik tersebut adalah: Pertama, sudah menjadi pendangan yang kuat pada seluruh pihak, bahwa perjanjian bagi hasil antara seorang pemilik tanah dengan si penyakap merupakan wilayah privat yang bersifat personal, bukan masalah publik. Dengan kata lain, pihak luar, baik pengurus kelompok tani, aparat pemerintahan desa, apalagi pemerintah daerah merasa tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi bentuk perjanjian bagi hasil yang berlangsung.

Kedua, hubungan tersebut bersandar kepada bentuk hubungan patron klien (patron-client relationship). Secara definisi, hubungan patron klien adalah hubungan diadik antara dua pihak yang bersifat sangat personal, intim, dan cenderung tidak seimbang (Scott, 1993). Arus jasa yang tidak seimbang, dimana jasa yang diberikan klien kepada patron lebih banyak dibanding sebaliknya, sudah dianggap sebagai takdir. Karena itulah, pembagian bagi hasil yang lebih menguntungkan pemilik, sudah dianggap sebagai hal yang lumrah oleh si penyakap.

Apalagi jika dicermati, bahwa bagi hasil terjadi bukan karena si pemilik tidak punya waktu mengerajakan sendiri tanahnya, tapi lebih karena sikap sosial pemilik karena permintaan penyakap yang membutuhkan lahan garapan. Pada penelitian awal Tim Penelitian “Studi Prospek dan Kendala Penerapan Reforma Agraria di Sektor Pertanian” tahun 2004 ini di Kabupatren Pinrang Sulawesi Selatan, dimana penulis terlibat; sangat jarang pemilik tanah yang memiliki sampai lebih dari dua hektar. Artinya, jika pun tidak ada penyakap mereka masih sanggup menggarap sendiri. Jadi, sedari awal, posisi penyakap yang subordinat tersebut, telah menempatkan mereka kepada situasi yang tidak sejajar secara politis dalam menegosiasikan pola pembagian hasil panen.

Namun demikian, dalam konteks ini, bupati sesungguhnya telah diberikan kewenangan untuk mengatur bagi hasil di wilayah sebagaimana tercantum dalam UU No. 2 tahun 1960 pasal 7: “Besarnya bagian hasil-tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap Daerah Swatantra tingkat II ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah ....”.

Ketiga, sistem bagi hasil yang terjadi sangat beragam. Keberagaman tersebut juga didukung oleh UU No. 2 tahun 1960 pada bagian Penjelasan butir (2), yaitu: “Mengenai besarnya bagian yang menjadi hak masing-masing fihak tidak ada keseragaman, karena hal itu tergantung pada jumlahnya tanah yang tersedia, banyaknya penggarap yang menginginkannya, keadaan kesuburan tanah, kekuatan kedudukan pemilik dalam masyarakat setempat/sedaerah dan lain-lainnya......”. Membolehkan keberagaman tersebut artinya menyulitkan dalam pengaturannya, dan ini berpeluang untuk membuat hukum yang kurang tegas.

Keempat, dalam kondisi tekanan penduduk yang tinggi terhadap tanah, maka sistem bagi hasil lebih dipersepsikan sebagai suatu sikap altruis pemilik yang besar kepada penyakap. Bagaimanapun tidak imbangnya pola pembagian, tidak dianggap sebagai suatu hubungan yang eksploitatif. Padahal secara kasat mata terlihat bahwa tingkat kehidupan para penyakap tidak pernah lepas dari garis batas subsistensinya, meskipun di wilayah tersebut selalu terjadi peningkatan produksi dan produktifitas komoditas yang diusahakan. Sikap konformitas penyakap seperti ini juga ditemukan dalam hubungan antara nelayan pandega dengan pemilik kapal pada masyarakat nelayan (Syahyuti, 1995).

Untuk permasalahan ini, maka perlu pendidikan untuk memberi kesadaran kepada para penyakap bahwa mereka adalah pelaku ekonomi aktif dalam kerjasama usaha, sehingga sudah sepantasnya lebih dihargai secara ekonomi. Meskipun mereka tidak memiliki tanah yang digarapnya, namun dalam konteks “fungsi sosial” dari tanah, maka sesungguhnya merekalah yang selayaknya lebih ditinggikan posisinya. Ketidakmampuan negara menyediakan tanah kepada para penyakap tersebut, sebagai petani dalam arti sesungguhnya, sudah sepantasnya ditebus dengan berbagai dukungan, baik berupa sarana produksi yang terjangkau dan kredit, termasuk perolehan bagi hasil yang lebih baik.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Bagi hasil merupakan salah satu komponen dalam kerangka Pembaruan Agraria yang sesungguhnya memiliki peranan yang cukup penting dalam upaya memperbaiki kesejahteraan masyarakat pertanian, namun selama ini hampir tidak diperhatikan. Bagi hasil luput dari pembicaraan tentang Pembaruan Agraria yang masih berkutat kepada ide-ide yang lebih besar, terutama tentang landreform yang kenyataannya sangat sulit diimpementasikan. Dengan menyadari beratnya tantangan yang dihadapi untuk melaksanakan landreform, maka sudah selayaknya sistem bagi hasil mendapat perhatian seluruh pihak dengan melakukan penataan yang lebih baik dan adil.

Di sisi lain, sistem bagi hasil juga merupakan konsep yang terbuka untuk diaplikasikan dan dikembangkan lebih jauh, baik pada usaha pertanian tanaman pangan, pekerbunan, maupun peternakan. Pengelolaan usaha perkebunan dengan menerapkan sistem bagi hasil antara pemilik usaha dengan buruh dan karyawan serta masyarakat sekitar pemilik lahan misalnya, adalah solusi yang dapat mengurangi berbagai konflik agraria yang sering terjadi selama ini.

Salah satu agenda Pembaruan Agraria sebagaimana diamanatkan dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 adalah penataan kembali sistem hukum dan perundang-undangan. Untuk itu, perlu dicatat oleh semua pihak, bahwa sistem hukum dan perundang-undangan untuk sistem bagi hasil yang lebih baik dan adil perlu pula menjadi perhatian.

Daftar Bacaan:

Cohen, Suleiman I. 1978. Agrarian Structures and Agrarian Reform: Exercise in Development Theory and Policy. Martinus Nijhoff Social Sciences Division, Leiden and Boston, USA

Fauzi, Noer. 2002. Land reform sebagai Variabel Sosial: Perkiraan tentang Rintangan Politik dan Finansial Pelaksanaan Land Reform. Seminar “mengkaji Kembali Land Reform d Indonesia. BPN, Land Law Initiative (LLI) dan Rural Development Institute (RDI), Jakarta 8 Mei 2002.

Jamal, Erizal; Tri Pranadji; Aten M. Hurun; Adi Setyanto; Roosgandha E. Manurung; dan Yusuf Nopirin. 2001. Struktur dan dinamika penguasaan lahan pada komunitas lokal. Laporan Penelitian PSE no. 526, Bogor.

Harsono, Boedi. 2002. Menuju penyempurnaan hukum tanah nasiona dalam hubungannya dengan Tap MPR RI Nomor IX tahun 2001, makalah pad seminar nasional pertanahan 2002 “pembaruan agraria”. STPN Yogyakarta, tanggal 16 Juli 2002.

Hussein, Benyamin. 2002. Kelembagaan Pertanahan dalam Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Diskusi Pengembangan Kebijakan Pertanahan dalam Era Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan Kepada Masyarakat. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Deputi Otonomi daerah dan Pengembangan Regional, Bappenas. Jakarta, 12 September 2002.

Rajagukguk, Erman. 1995. Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup. Chandra Pratama, Jakarta. 220 hal.

Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil di Hindia Belanda. Yayasan Obor Indonesia.

Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Sitorus, Oloan. 2002. Pembagian Kewenangan usat, Propinsi, dan Daerah di Bidang Pertanahan. Diskusi Pengembangan Kebijakan Pertanahan dalam Era Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan Kepada Masyarakat.

Syahyuti. 1995. Keterasingan Sosial dan Ekploitasi Terhadap Buruh Nelayan. Majalah Forum Agro Ekonomi Vol. 13 No. 2 Desember 1995. Puslit Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. Hal. 286-328. Dalam: SMP Tjondronegoro dan G. Wiradi. Eds. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah. PT Gramedia, Jakarta.

*****

Tidak ada komentar: