Rabu, 19 November 2008

KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN (Sajogyo)

Dari: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_14/artikel_5.htm

Suatu diskusi panel bertopik “Isyu dan Agenda Kebijakan Publik dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan” telah diadakan di Bogor, tanggal 13 Februari 2003 lalu, atas kerjasama UNSFIR, Jakarta (United Nations Support Facility for Indonesia Recovery) dan Pusat Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Panel itu menampilkan dua orang ekonom, Dr. Hermanto Siregar dari Fak. Pertanian dan Prof. Dr. Tridoyo dari Fak. Perikanan/Kelautan, dan seorang pakar Hama/Penyakit Pertanian, Dr. Damayanti Buchori yang punya pengalaman dalam bekerjasama dengan LSM dalam mendampingi petani.

Isyu yang dibahas oleh ekonom tersebut pertama adalah hal “nilai tukar pertanian” berdasar data BPS dalam masa 1981-2000 disimpulkan bahwa nilai tukar pertanian (secara keseluruhan) menunjukkan garis menurun. Sempat dirujuk data yang membanding Indonesia bagian Barat (menurun) dibanding dengan Indonesia bagian Timur (khususnya Sulawesi dan Kalimantan) yang mengalami peningkatan, dimana diduga petani punya akses ekspor yang sedang membaik. Dalam pada itu nilai tukar “net barter” bagi petani (proxy pengukur tingkat kesejahteraan petani) umumnya tak menunjukkan perkembangan negatif. Agenda yang dianjurkan: perlu suatu program pembangunan sistematis, tak cukup suatu program “bantuan darurat” jangka pendek. Dari model yang dipakai, jelas bahwa ekspor pertanian Indonesia ditentukan oleh “supply”, dimana upaya mengatasi kendala dalam “supply” itu (mencakup peningkatan tehnologi) yang dapat menurunkan biaya produksi mesti diusahakan. Ada lagi suatu pengamatan bahwa nilai tukar nyata (real) Rupiah yang cenderung stabil lebih berpengaruh “baik” bagi kesejahteraan petani; sebaliknya jika terjadi depresiasi dalam nilai Rupiah itu.

Analisa data berdasar model yang dipilih mengisi sebagian besar makalah, tapi ada rujukan singkat yang menarik data dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia (SNSE atau SAM “social accounting matriks” merujuk terbitan BPS, data tahun 1995 dibanding 1999) karena mengandung pengertian lebih mendalam untuk pembaca yang mengartikan “kesejahteraan” petani dan lain golongan penduduk, mencakup hal sebaliknya yaitu “ke-tidak-sejahteraan” atau “kemiskinan”! Apa lagi membanding SNSE tahun 1995 dan 1999 berarti membanding kondisi “sebelum” dan “sesudah” Krismon! SNSE adalah suatu “konstruk” yang dibuat ekonom untuk meneropong perkembangan pola pencarian nafkah antar golongan (satuan rumahtangga) yaitu:

(a) dalam pertanian dibedakan antara buruhtani, petani gurem (kurang 0,5 ha), petani (0,5-1,0 ha) dan petani lebih 1,0 ha.

(b) di luar pertanian dibedakan antara rumahtangga pedesaan (dibagi atas “penghasilan rendah”, penghasilan “tinggi” dan “bukan pencari nafkah” (‘non-labor force”). Rumahtangga kota dibagi atas tiga sub-golongan serupa. (Catatan: dalam acuan yang lebih rinci, golongan “luar pertanian” dibagi sesuai sistematika golongan “pencari nafkah”, mengikuti model rujukan PBB).

Apa yang terungkap dari membanding data SNSE tahun 1995 dan 1999? Kami kutip saja dari makalah Dr. H. Siregar, mencakup satu tabel.

The negative trend in the terms of trade after the crisis may manifest in changes in distribution of the number of farm households by land ownerships. As can be seen from Teble 2, the number of landless farm households increased from around 5.1 million in 1995 to 7.1 million in 1999. In terms of percentage to the total number of households, this means an increase from 11,1% to 14,1% during those years. Likewise, the number of farm households with less than 0,5 ha of land went up from 8.0 million (17.6%) to 10.1 million (20.0% of the total number of households) through the same years.

The increases in the figures above may originate from: (a) natural growth (i.e. new households emerge from within the class), on which no data are available, (b) farm downsizing, as implied by the decreases in the number of farm households owning 0.5-1.0 ha of land from around 3.1 million in 1995 to 2.9 million in 1999, and (c) flow back of some of the-crisis-induced unemployment from urban to rural areas. Although there is no published data on unemployment, figures in Teble 2 may support this conjecture. The numbers of households classified as farm labourer and as those owning<0.5>11,12 Each of these is much higher than the respective figure for the total number of households, i.e. 10.6%, which may be grossly assumed as the natural growth. There is a possibility that the unemployment entered non-agricultural activities in rural areas. This possibility is, however, quite small because the number of households involved in these activites, especially those earning low income, only increased by 6.8% (i.e.from 6.8 million in 1995 to 7.3 million in 1999). This may provide evidence that, with regard to the Asian crisis, agriculture has served as an employment sink for the economy.

ii The growth is not of annual but total between 1995 and 1999.

12 The total number of wealthier farm households (own 0.5-1.0 and >1.0 ha of land) tended to be unchanged, i.e. around 5.3 million (Table 2). In 1999, these households gained average annual per capita disposable income of between Rp 2.65 and Rp 3.42 millions, which are considerably higher than those earned by tha labourers and the households with less than 0.5 ha farm land (i.e. between Rp 1.63 and 1.68 millions). The closeness of the latter pair of figures is more than proportional to the corresponding figures in 1995, i.e.Rp 0.62 and Rp 0.93 millions. This may occur because, among the farm labourers in 1999, the new entrants use their saving that was obtained from working in urban sectors.

(Catatan ini dilengkapi juga lampiran 4 tabel, appendix pada makalah tersebut: sajian “tantangan” bagi pembaca berupa angka-nagka dalam tabel. Silahkan bertanya pada rekan ekonom yang biasa membaca isi SNSE, terbitan BPS lima tahun sekali, sambil menguji sampai mana SNSE mampu menyoroti kondisi ekonomi rakyat dengan baik).

Apa yang terungkap dari membanding data SNSE tahun 1995 dan 1999? Kami kutip saja dari makalah Dr. H. Siregar, mencakup satu tabel.

Makalah kedua juga dari seorang ekonom (Prof. Dr. Trodoyo) yang mendambakan kita mampu membuat suatu “blueprint” Kebijakan Nasional Kelautan (“Ocean Policy”) dalam pembangunan ekonomi Indonesia.

Indonesia merupakan negara kepulauan (arsipel) terbesar di dunia: 75% luas Indonesia adalah lautan. Arti pentingnya sektor kelautan di dalam perekonomian Indonesia meningkat dan merupakan dasar bagi pertumbuhan dan pengembangan sektor-sektor terkait kelautan (perikanan, pariwisata lingkungan, pertambangan (a.l. minyak dan gas), serta industri transportasi, konstruksi dan jasa-jasa kelautan. Sektor seluas itu menyumbang 20.06% (tahun 1998) GDP Indonesia dan diramalkan dapat mencapai 24.18% GDP. Masalahnya: kebijakan untuk menata dan mengembangkan perekonomian berbasis kelautan kita tidak mendapat perhatian dan dukungan yang kuat. Tidak ada “payung” berupa suatu kebijakan nasional kelautan (ocean policy); koordinasi sektoral dan antar-sektor dan masalah manajemen telah menghasilkan tumpang-tindih jurisdiksi, konflik antar beragam jenis pemanfaatan SDA, duplikasi tindakan, pembangunan strategi tak-berfokus sedangkan dijumpai permasalahan lingkungan yang berat dalam ekosistem pantai dan laut kita.

Penting kita membangun kebijakan kelautan yang kuat dalam pemulihan perekonomian Indonesia, serta memperbaiki kesejahteraan masyarakat pedesaan pantai dalam beragam pola pembangunan berkelanjutan di wilayah itu.

Makalah itu diakhiri dengan seruan: “Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia harus memiliki Ocean Policy yang kuat yang dijabarkan dalam visi Ocean Economics (“Oceanomics”) dan dilaksanakan dengan Ocean Governance yang baik dan diharapkan dapat bersinergi dalam pembangunan dunia guna mencapai kesejahteraan ummat manusia, khususnya bangsa Indonesia”.

Ilmu ekonomi memang punya potensi untuk “memimpin” dalam membantu menyiapkan “blueprint” pembangunan potensi lingkungan kelautan kita, yang termasuk kedaulatan nasional. Pakar yang memperjuangkan segi-segi hukum dalam memperoleh pengakuan internasional atas kedaulatan kita atas wilayah kelautan itu (Prof. Muchtar Kusumaatmadja) sudah kita akui jasa-jasanya. Tapi mengisi “kedaulatan rakyat” atas wilayah dan lingkungan dan sumberdaya kelautan itu, mengapa dari segi politik ekonomi masih belum juga terjangkau? Tak lain itu cerminan daya LPG (liberalisasi, privatisasi dalam globalisasi) dimana kelembagaan permodalan besar yang mampu mempersiapkan kakitangan bisnis yang tak kenal batas-batas sesuatu negara. Misal: dibanding dengan ikatan dalam Uni Eropa yang mampu mengatur kepentingan bersama (atas sepakat) diantara negara-negara anggotanya, di lingkungan ASEAN terjadi perebutan bebas atas potensi sumberdaya lingkungan, baik di lautan maupun di daratan (contoh: kekayaan hutan tropik kita). Dalam kasus potensi SDA (hutan alami) bukankah negara juga yang membuka pintu bagi perusahaan dan modal asing? (sejak 1967: undang-undang kehutanan).

Jika selama ini mitra di IPB (salah satu contoh mitra kampus) sudah lama pusing dalam upaya mempertemukan para pembuat kebijakan di tataran Pertanian/Perkebunan/Perhutanan/Perikanan, penghasil pangan dan bahan baku industri. Tantangan keterkaitan saling-dukung sekian banyak mitra-punya-kepentingan berbeda (“stakeholders”) pemain di wilayah kelautan, yang diharapkan sudi bergotong-royong oleh Prof. Tridoyo demi kebijakan kelautan untuk sebesar kemakmuran rakyat kita lebih berat lagi tantangannya.

Di pihak birokrasi pemerintahan, misalnya, di dalam satu Kabinet Presiden bagaimana para menteri mencapai sepakat atas kebijakan sama? Tambahan pula di zaman Otonomi Daerah, ada tatanan baru dalam membagi tanggungjawab antara Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota dan terakhir (tak kalah penting:) satuan komunitas Desa. Mitra-kepentingan di pihak modal-dan-bisnis punya jajaran yang kokoh, termasuk jajaran mitra di negara lain. Sama halnya negara punya sumber pinjaman modal (bagi budget negara) dan berupa bantuan tahniknya, tak bebas dari LPG itu. Dalam keadaan struktur “kekuasaan/pengaruh” global-antara-negara/antara swasta sampai mana ada tempat bagi pencari nafkah lapisan bawah mayoritas di pedesaan kita?

Panelis ketiga, Dr. Damayanti memperkenalkan pendekatan baru mengenai proses pembuatan kebijakan publik (dalam pembangunan pertanian dan pedesaan) yang dikaitkan dengan upaya menjamin keberlanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya alam. (“Sustainable intensification”): pakar yang punya pengalaman dalam mengatasi ekses revolusi hijau (padi sawah khususnya, di satu pihak menghadapi tantangan lingkungan alam yang direkayasa orang (demi produksi dan pangan) dan dilain pihak dalam upaya membuka peluang bagi petani untuk ikut berupaya mengelola usaha budidaya padi sawah, atas dasar belajar bersama petani lain. (“Sekolah Lapangan” PHT). Sebagai contoh cerminan peluang partisipasi petani dirujuk olehnya laporan dari Andhra Pradesh di India: satu eksperimen yang melibatkan wakil-wakil petani dari lapisan miskin (termasuk petani wanita) di dalam menilai mana “skenario” pembangunan pertanian lokal yang sebaik-baiknya bagi masa depan mereka, berdasar pengalaman mereka di masa lalu.

Dari tiga “skenario” yang dinilai (dibuat oleh pihak-pihak dari “luar desa”) kelompok penilai (“jury”) petani kecil itu terbukti mampu menyatakan pola pilihan mereka sendiri, sebaliknya tak setuju atas 2 visi lain yang dibuat “Orang Luar”. Inilah kutipan berupa satu Box dari makalah itu,

Box.1. Prajateerpu : Masa Depan Pangan di (negara bagian) Andhra Pradesh, India

Prajateerpu adalah bahasa India yang berarti putusan rakyat, adalah sebuah proses citizen jury untuk menentukan skenario pangan dan pertanian masa depan di negara Andhra Pradesh (AP). Proses ini merupakan sebuah experimen demokrasi deliberatif yang melibatkan petani miskin dan marginal dari daerah di AP. Citizen Jury dipilih dari perwakilan petani miskin dan marginal, pedagang kecil, pemilik mesin pengolah pertanian dan konsumen. Jury dipilih oleh tim independen, dengan syarat merupakan masyarakat miskin dan marginal, dan tidak ada keterkaitan dengan pemerintah, NGO atau partai politik. Prajateerpu dilakukan atas kerjasama International Institute for Enviroment and Development (IIRD) bekerjasama dengan AP Coalition in Defence of Diversity, University of Hyderabad dan India National Biodiversity Strategy and Action Plan. Jury juga melibatkan masyarakat tradisional Adivasi dan wanita. Kepada Jury melalui video dipresentasikan tiga skenario pangan dan pertanian masa depan yang berbeda, dilengkapi dengan penjelasan logis hal-hal dibalik skenario tersebut. Beberapa saksi terlibat untuk menjaga akuntabilitas proses, dari perwakilan akademisi, perusahaan transnasional (Syngeta), pemerintah daerah, NGO dan organisasi masyarakat. Mereka menjadi saksi bahwa proses benar-benar fair, tidak ada prasangka buruk dan memiliki akuntabilitas.

Jury diminta memilih satu dari tiga skenario pangan dan pertanian 2020, yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan sumber-sumber penghidupan, ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan.

Skenario tersebut adalah:

Vision 1. Vision 2020. Skenario ini merupakan program pemerintah Andhra Pradesh yang didukung oleh Bank Dunia. Skenario ini mengusulkan konsolidasi lahan petani kecil dan mendorong peningkatan mekanisasi dan modernisasi pertanian. Produksi akan dipacu dengan penggunaan rekayasa genetika (GMO) untuk produksi dan pengolahan pangan dan mengurangi jumlah tenaga kerja pertanian dari 70% menjadi 49% pada tahun 2020.

Vision 2. An export-based cash crop model of organic production. Visi ini berbasis pada proposal dari Internasional Forum for Organic Agriculture (IFO-AM) dan International Trade Centre (UNCTAD/WTO) untuk pengembangan pertanian berwawasan lingkungan pada skala nasional dan internasional. Visi ini menekankan pada respon atas tingginya permintaan dari supermarket di pasaran negara-negara Utara untuk mendapatkan supply produk organik dengan harga murah dan dilengkapi dengan standard ecolabeling.

Visi 3. Localised Food System. Skenario masa depan yang berdasarkan pada swasembada masyarakat pedesaan, pertanian dengan input luar rendah, reorientasi menuju sistem pangan, pasar dan ekonomi lokal, dimana perdagangan barang keluar dilakukan hanya jika ada surplus atau tidak diproduksi lokal.

Kesimpulan yang didapatkan oleh Jury (-visi dari Jury-) adalah mereka setuju:

  • Pangan dan pertanian untuk swasembada/keswadayaan dan kontrol masyarakat atas semua sumberdaya yang ada.
  • Memelihara kesuburan tanah, keragaman tanaman, pohon dan ternak, dan membangun indegenous knowledge, ketrampilan praktis dan institusi lokal

Mereka tidak setuju dengan:

  • Tujuan untuk mengurangi tenaga kerja pertanian yang membuat mereka bisa hidup, dari 70% menjadi 40% pada sampai tahun 2020
  • Konsolidasi lahan dan pemarginalan masyarakat pedesaan
  • Kontrak farming
  • Penggantian tenaga menusia menjadi mekanisasi
  • GM Crops-termasuk padi dengan Vitamin A dan kapas Bt
  • Kehilangan kontrol terhadap tanaman obat termasuk eksportnya

Prajateerpu menunjukkan bahwa masyarakat miskin dan marginal dapat terlibat dalam perumusan kebijakan. Hasil dari Jury tersebut merupakan bentuk partisipasi publik dalam pembangunan pertanian dan landasan bagi kebijakan pangan dan pertanian di Andhra Pradesh, sebagai faktor penting menuju democratic and participatory governance. (Sumber: Pimbert, M.P and Wakeford, T (2002) : Prajateerpu: A Citizen Jury/Scenario Workshop on Food and Farming Futures for Andhra Pradesh, India., IIED, London, Sussex)

Sebagai eksperimen, jika itu dinilai berhasil (“ternyata rakyat lebih tahu apa yang baik bagi dirinya”), memang mengandung satu pelajaran penting bagi kita yang condong memihak pada rakyat banyak. Tapi bagaimana di dalam “kondisi pedesaan kita, peluang itu terbuka dalam praktek demokrasi kita jika pemuka lokal (umumnya dari lapisan atas, 30% penduduk di aras lokal itu) yang lebih menentukan.

Dalam rangka ini membantu agar orang/rumahtangga di lapisan bawah (termasuk golongan perempuan) mampu berjuang bersama dalam kelompok masing-masing (belajar berorganisasi) bertujuan agar golongan itu tak mudah diabaikan dalam politik lokal (desa/antar-Desa). Catatan ini dimaksud sebagai peringatan agar kita (“Orang Luar” yang bermaksud membantu dalam proses pemberdayaan diri “orang kecil” tidak mengabaikan adanya kontradiksi internal di desa. Yang ideal adalah jika kita berhasil meyakinkan golongan lapisan atas (Pemuka) di desa, bahwa membantu penduduk miskin, akan lebih menguntungkan bagi mereka dalam jangka panjang.

Karena pola budaya lokal di pedesaan Indonesia beragam, maka peluang reformasi di aras lokal desa juga beragam. Diperlukan sumbangan pemikiran dari para ilmuwan politik/sosiologi/antropologi/hukum (dan juga pemikir kebudayaan) dalam hal ini. Majalah JER terbuka untuk diskusi itu!

UNSFIR, Jakarta (sponsor seminar tanggal 13 Februari 2003 di Bogor) mengajak untuk bergabung dalam lingkaran diskusi yang disebut JAJAKI (Jaringan Kerjasama Kebijakan Publik Indonesia). Pihak tuan rumah, PSP-IPB, Bogor, pada penutup seminar juga berjanji akan mengajak lain-lain pusat kajian di berbagai kampus, agar proses pematangan pemikiran hal kebijakan publik lebih jauh berkembang.

catatan: beberapa tabel missing.

******

Tidak ada komentar: