Rabu, 14 Mei 2025

Apakah tepat menarik Penyuluh Pertanian ke Pusat ?

 I. PENDAHULUAN

 

Latar Belakang

Indonesia saat ini memasuki periode pembangunan jangka menengah yang baru, yakni periode 2025-2029. Bersamaa dengan itu, pemerintah juga sedang menghadapi masa transisi menuju kabinet baru dengan target dan program baru.

Dalam konteks ini, pemerintah sedang melakukan penyusunan berbagai perencanaan pembangunan dengan berlandaskan kepada situasi dan perkembangan yang dihadapi, dan lesson learned dari pencapaian selama ini. Demikian pula dengan perencanaan pembangunan nasional, dimana unsur penyuluhan pertanian merupakan komponen penting di dalam nya, yang akan mengkomunikasikan dan menggerakkan seluruh SDM pertanian dari pusat sampai ke daerah dan sebaliknya.

Metode dan Tujuan

Paper ini merupakan kajian singkat tentang penyuluhan pertanian dalam konteks mendukung program pembangunan pertanian, utamanya pencapaian ketahanan pangan nasional. Perubahan kondisi dan tantangan baru membutuhkan penyesuaian manajemen penyuluhan pertanian yang dituntut untuk menyesuaikan diri pada lingkungan dinamis tersebut.

Kajian cepat ini disusun dalam upaya menemukan strategi dan langkah-langkah operasional dalam mengoptimalkan kinerja penyuluhan pertanian untuk mendukung pencapaian program pertanian nasional. Lingkup analisis melibatkan aspek regulasi, teknis, dan manajemen sumber daya manusia.

KONDISI FAKTUAL YANG DIHADAPI PEMBANGUNAN PERTANIAN INDONESIA

  

Indonesia menghadapi darurat pangan,

perubahan iklim, kekeringan,

dan konversi lahan

Indonesia menghadapi “darurat pangan”, akibat perubahan iklim, kekeringan, penurunan kesuburan lahan, dan konversi lahan pertanian. Pada tahun 2023, produksi beras di Indonesia hanya mencapai 31,10 juta ton, turun sebanyak 440 ribu ton atau 1,39 persen dibandingkan dengan tahun 2022. Lalu, Kememtan  menargetkan produksi beras dalam negeri mencapai 55,42 juta ton pada 2024, naik dibandingkan target 2023 yang sejumlah 54,5 juta ton. Namun demikian, banyak pengamat memperkirakan produksi beras akan susut 3,8 sampai 4,0 juta ton di tahun 2024 ini.

Produksi yang turun terlihat dengan naiknya impor. Total impor beras tahun 2023 sebesar 3,06 juta ton (tertinggi dalam 5 tahun terakhir), dan kuota tahun 2024 sebesar 3,6 juta ton (atau 51,7 juta ton ?). Bapanas menjelaskan kebijakan impor ini merupakan alternatif pahit yang harus ditempuh dalam kondisi produksi padi nasional yang tengah mengalami penurunan. Penurunan produksi tersebut mengakibatkan terjadinya defisit bulanan neraca beras. Sesuai penugasan Bapanas kepada Bulog, stok aman Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang ada di Perum Bulog minimal harus di angka 1 juta ton. Untuk itu, beras yang berasal dari impor dijadikan sebagai penguatan stok CBP.

Terjadi penurunan produktivitas komoditas pertanian, karena kurangnya dukungan inovasi dan diseminasi yang tidak efektif. Penurunan produktivitas ditunjukkan oleh pertumbuhan pertanian yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Ekonomi nasional meningkat, namun pangsa pertanian turun, yang bermakna turunnya produktivitas pertanian. Untuk beberapa komoditas, bahkan pertumbuhan produktivitas negatif, demikian pula total productivity komoditas beras kecil bahkan menurun. Penyebabnya misalnya adalah karena penggunaan benih padi varietas lama yang keunggulan genetikanya sudah tidak sesuai.

Salah satu penyebabnya adalah dukungan pemerintah daerah kepada penyelenggaraan penyuluhan pertanian rendah, karena pertanian hanya merupakan “urusan pilihan” (sesuai UU 23 tahun 2014). Dalam kondisi ini, mobilisasi tenaga penyuluh pertanian tidak efektif dilakukan dalam mendukung program Kementan, karena merupakan aparat pemerintah daerah. UU No 23 tahun 2014 tentang Pemda telah melemahkan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan pertanian, dalam seluruh aspek penyuluhan (kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana dan prasarana, serta anggaran).

Bersamaan dengan itu, terjadi gap antara penyuluh pertanian dalam hal kapasitas (pengetahuan, pengalaman, dll), karena terbatasnya anggaran daerah dan hanya mengandalkan dana / program pusat. Dukungan hasil-hasil penelitian juga menurun, semenjak beralihnya kegiatan penelitian ke BRIN. Sarana dan prasarana penelitian banyak terbuang.

Sebagai contoh terkait perbenihan. Lahirnya UU No 11 tahun 2019 tentang Sisnas Iptek yang lalu diikuti Perpres yang menyatukan para peneliti ke BRIN, maka sebagian besar para pemulia padi telah beralih ke BRIN. Ini melahirkan banyak masalah, karena perpindahan fungsional peneliti tidak diikuti perpindahan sarana pendukung kegiatan (laboratorium, kebun percobaan, unit pengelola benih, dll). Akibat lebih jauh, kegiatan perakitan VUB padi misalnya menjadi mandek, termasuk pula proses produksi dan distribusi benih. Akibat lebih jauh, adopsi benih padi unggul oleh petani menurun.

 

.III. OPTIMALISASI PENYULUHAN PERTANIAN

 

Penarikan penyuluhan ke pusat

 bukan solusi yang tepat

 

Bagian ini berisi apa yang sudah dilakukan, apa yang akan dapat dilakukan ke depan, serta mitigasi resiko setiap opsi yang ditawarkan.

 

Satu, Upaya terkait regulasi yang telah dan perlu dilakukan

 

Dukungan regulasi yang sudah dimiliki


Sesungguhnya, penyelenggaraan penyuluhan pertanian tetap dapat dijalankan dengan optimal. Kuncinya adalah dengan menjalankan Perpres No 35 tahun 2022 tentang Penguatan Fungsi Penyuluhan Pertanian, utamanya tentang dukungan pendanaan bagi sarana prasarana dan  biaya operasional penyuluh pertanian. Meskipun sudah berumur dua tahun, Perpres ini belum afektif karena kendala anggaran yang kurang memadai. Pemerintah Pusat dapat mengalokasi anggaran untuk mendukung penyelenggaraan penyuluhan di daerah.

Perubahan / penambahan regulasi yang perlu dilakukan

Untuk penyempurnaan institusi penyuluhan pertanian nasional ke depan yang lebih konstruktif membutuhkan beberapa upaya regulasi lain, yakni: Satu, amandemen UU 23 tahun 2014, dimana sebelumnya “pertanian sebagai urusan pilihan “,  menjadi “pertanian dan pangan menjadi urusan wajib”. Perubahan diusulkan pada dua pasal sbb.:


Perubahan pada

Sebelumnya

Usulan perubahan

Pasal 12 ayat 2

 

(merubah menjadi “c. pertanian dan pangan”)

Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11

ayat (2) meliputi:

a. tenaga kerja;

b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;

c. pangan;

d. ……. dst

Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11

ayat (2) meliputi:

a. tenaga kerja;

b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;

c. pertanian dan pangan;

d. ……. dst

Pasal 12 ayat 3

 

(menghapus “c. pertanian”)

Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi: a. kelautan dan perikanan;

b. pariwisata;

c. pertanian;

d. kehutanan;

e. energi dan sumber daya mineral;

f. perdagangan;

g. perindustrian; dan

h. transmigrasi.

Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi: a. kelautan dan perikanan;

b. pariwisata;

c. kehutanan;

d. energi dan sumber daya mineral;

e. perdagangan;

f. perindustrian; dan

g. transmigrasi.



Dua, Menyusun dan mengusulkan Perpres baru tentang penguatan fungsi kongkuren penyuluhan pertanian. Peraturan Presiden tentang Urusan Pemerintahan Konkuren Tambahan Bidang Pertanian Suburusan Penyuluhan Pertanian. Pengaturan urusan pemerintahan konkuren tambahan ini diperlukan dalam rangka memperkuat Penyelengaraan penyuluhan pertanian secara sistemik dan terkendali oleh Pemerintah untuk mendukung pembangunan pertanian nasional guna mewujudkan ketahanan pangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam lampiran Undang-Undang dimaksud, diatur dalam Peraturan Presiden ini. Sistem penyuluhan pertanian saat ini tidak berjalan optimal karena subsistem penyuluhan pertanian yang mencakup kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana dan prasarana dan pembiayaan tidak memadai. Keterbatasan sistem penyuluhan pertanian menyebabkan pemberdayaan dan pendampingan terhadap petani menjadi tidak optimal sehingga terjadi penurunan produksi dan produktivitas pertanian.

Peraturan Presiden ini bertujuan untuk memperkuat sistem penyuluhan pertanian dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian guna mewujudkan ketahanan pangan nasional. Perpres ini akan memberikan kepastian hukum bagi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang efektif, terkendali, dan produktif. Penambahan sub urusan penyuluhan pertanian pada urusan pertanian, yakni dengan menambahkan baris ke 8 pada lampiran AA UU 23-2014.

Lebih jauh, agar distribusi anggaran konsisten digunakan sesuai target  oleh Pemda, dapat menggunakan skema “DAK Program” (bukan “DAK regular”), Dekon (untuk pelatihan), dan DAK fisik (bangunan BPP). Di samping itu, anggaran kegiatan penyuluhan juga bisa “dititipkan” di luar Badan SDMP. Yakni kegiatan yang menjadikan kegiatan penyuluhan sebagai komponen dalam kegiatan tersebut, dan dapat digunakan oleh penyuluh (misalnya penyuluh sebagai pendamping kegiatan SLPTT).

 

Dua, manajemen penyelenggaraan: sentralisasi vs desentralisasi

Wacana penyuluhan dikembalikan ke pusat selalu berulang, utamanya setiap pergantian kepempimpinan nasional. Perhatian Pemda yang rendah selalu dijadikan alasan. Namun, berkali-kali pula ide ini sulit diimplementasikan, karena berbagai sebab.

Penarikan ke pusat memiliki implikasi pada perubahan regulasinya membutuhkan waktu yang lama, dan menguras tenaga. Dibutuhkan amandemen sejumlah UU, Perpres, dll; sehingga kebijakan ini memperoleh landasan regulasi yang konsisten. Selain itu, secara teknis, ini akan berimplikasi kepada beban administrasi dan pembiayaan operasionalisasi nya terlalu besar. Hal ini jelas akan sangat membebani Kementan.

Selain itu, span of control terhadap penyuluh di lapangan terlalu jauh, sehingga manajemen kurang efisien. Di atas ini semua, dengan semangat otonomi daerah, maka hal ini bertentangan secara regulasi dan juga konsep sistem penyuluhan pertanian modern yakni prinsip desentralisasi, partisipatif, dan demokratis. Seluruh prinsip ini telah tertulis dengan gamblang dalam dalam UU 16 tahun 2006 tentang SP3.

Pengalaman negara di dunia,  masih banyak negara dimana peran pemerintah pusat masih kuat, namun secara bertahap semakin partisipatif desentralistis. Penyuluhan pertanian di seluruh dunia telah mengalami perubahan besar selama dua dekade terakhir. Penyuluhan yang diawal tahun 1970-an fokus pada tugas mendampingi petani untuk peningkatan produksi, saat ini telah bergeser pada requirement of multiple problem solving, yaitu tuntutan untuk melayani kebutuhan petani yang lebih dari sekedar peningkatan produksi belaka.

Praktek penyuluhan di negara berkembang masih mengandalkan peran pemerintah pusat. Di Pakistan, peran pemerintah masih besar. Namun secara bertahap, Berorientasi pada sektor publik, termasuk perusahaan swasta yang menyediakan layanan penyuluhan berbasis komoditas khusus. Sementera di Kamboja, Departemen penyuluhan bertanggung jawab atas penyuluhan di lingkungan Direktorat Jenderal Pertanian.

Demikian pula di Vietnam, dimana  Kementerian pertanian dan pembangunan pedesaan memimpin semua kegiatan departemen pertanian dan pembangunan pedesaan dan pusat penyuluhan nasional untuk membimbing pusat penyuluhan provinsi dan komite rakyat tingkat kabupaten, yang mengelola stasiun penyuluhan tingkat kecamatan, staf penyuluhan, dan kolaborator penyuluhan desa.

Norwegia dan Jerman, meskipun tergolong negara maju, peran pemerintah masih besar. Mereka mengiegrasikan struktur penyuluhan: beberapa kegiatan penyuluhan dibiayai pemerintah, sebagian dibiayai oleh pemerintah, dan sebagian secara mandiri. Bolivia dan Kolumbia merupakan contoh dimana peran negara masih sangat besar. Penyuluhan dijalankan dengan sistem komando dengan dukungan subsidi (GFRAS (2014), IFGRI (2020).

Laporan GFRAS (2014) dan IFPRI (2020) menyampaikan bahwa banyak penyuluhan dijalankan sebagai kolaborasi penyuluh pemerintah dengan penyuluh swasta. Model penyuluhan pluralisme ini disebabkan karena menurunnya anggaran pemerintah untuk penyuluhan, tuntutan profesionalitas penyuluh, serta bermunculannya berbagai asosiasi dan organisasi yang juga memberikan pelayanan informasi dan pendampingan kepada petani.

Perjalanan penyuluhan pertanian di masing-masing negara di dunia tidak selalu sama, karena dilatarbelakangi dengan kebijakan pembangunan pertanian yang berbeda pula. Pergeseran paradigma penyuluhan dari introduksi ilmu dan keterampilan teknik budidaya (on-farm) menuju sistem usaha agribisnis, telah mengubah sistem kelembagaan penyuluhan dari pendekatan agribisnis dan partisipatif yang tadinya hanya terdiri dari subsistem petani, penyuluh dan kelembagaan struktural; menjadi subsistem petani, penyuluh, pelaku agribisnis lainnya, lembaga penelitian dan pelatihan.

Hasil penelitian GFRAS (2014) terhadap 81 negara lintas benua menunjukkan, persentase jumlah penyuluh dalam lembaga organisasi publik tidak jauh berbeda dengan di lembaga swasta, yaitu masing-masing sebesar 53% dan 47%. Selain itu, penyuluhan semakin berorientasi pasar (market orientation). Market-oriented extension dapat pula berupa kemitraan dan subsidi layanan penyuluhan (Rivera et al., 2001: 38).

Bentuk aktivitas desentralisasi penyuluhan dijalankan antara lain di Indonesia, Bolivia, dan beberapa negara lain. Menurunnya pendanaan penyuluhan dari pemerintah sehingga bergantung kepada  pendanaan donor terjadi di Afrika dan Asia Tengah. Namun di Rwanda dan Ethiopia, meskipun bergantung kepada NGO, perencanaan kegiatan penyuluhan sepenuhnya dirancang oleh pemerintah.

Dalam implementasinya, ada juga negara-negara yang menerapkan lebih dari satu mode of pluralism extension. Rivera et al. (2001) menyebut ini sebagai complex of extension providers, dimana berbagai organisasi menyediakan fungsi penyuluhan secara bersamaan. Secara umum, di negara-negara Asia, sebagian besar penyuluhan masih dijalankan oleh kementerian sektor publik atau pemerintah, namun LSM dan swasta mulai terlibat. Sementara di negara-negara Afrika, berlangsung integrasi penyuluhan publik dan swasta, yakni kerjasama antara pemerintah lokal, organisasi nonpemerintah, dan universitas.

India juga menerapkan penyuluhan pluralistik. India memiliki Sistem Riset Pertanian Nasional (NARS) yang solid, yang terdiri dari Dewan Riset Pertanian India (ICAR) dan universitas pertanian negara bagian (SAU). ICAR adalah badan tertinggi untuk penelitian dan pendidikan pertanian di negara ini (Desai et al., 2011).

 

Sementara di Brazil, penyuluhan harus dilakukan dengan menggunakan metodologi partisipatif, mempertimbangkan azas agroekologi, dan pertanian keluarga (family farming) sebagai penerima manfaat utama (Brazil et al., 2004). Pemerintah mengembangkan jaringan penyuluhan yang merupakan perwakilan di tingkat daerah yang berwenang menyusun kebijakan penyuluhan yang berkelanjutan. Umpan balik pelaksanaan penyuluhan diidentifikasi oleh jaringan penyuluhan sebagai bahan masukan kebijakan di tingkat nasional.

Demikian pula di Belanda, yang dijalankan melalui relasi antara penyuluhan dan organisasi R&D lainnya, seperti pendirian lembaga penelitian terapan, dan kolaborasi atau co-creation inovasi antara berbagai aktor (petani, penyuluh, serikat petani, lembaga penelitian terapan, dan stakeholder lainnya) (Leeuwis dan van den Ban, 2004).

 

Tiga, Gerakan Penyuluhan Pertanian Selektif (hanya pada sentra pangan)

Dengan anggaran pembangunan yang terbatas, maka agar lebih efektif, gerakan penyuluhan (intensif dan massif) dapat dilakukan secara selektif, yakni hanya pada propinsi dan kabupaten sentra produksi pangan saja, bukan seluruh Indonesia. Kebijakan yang seragam merupakan kekeliruan mengingat pertanian Indonesia yang bersifat maritim (maritime agricultue), dimana variabilitas pada setiap wilayah sangat tinggi baik tentang sub iklim, geografis, serta sosial ekonomi masyarakat dan ketersediaan sarana prasana pertaniannya.

Pada hakekatnya, optimalisasi sistem penyuluhan pertanian di daerah telah memiliki landasan hukum yang cukup yakni Perpres 35 tahun 2022. Untuk menjalankan ini, Kementan akan melakukan pengangkatan formasi penyuluh pertanian sebanyak 28.399 orang untuk tingkat propinsi dan kabupaten / kota yang akan diaangkat paling lambat 2 (tahun) ke depan.

Gerakan penyuluhan pertanian selektif akan dijalankan pada sentra produksi pangan di Indonesia yakni pada 10 propinsi saja. Jika diurut dari yang lahan sawahnya paling luas adalah: prpoinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Banten.

Selain untuk padi, kesepuluh propinsi ini juga merupakan penyumbang produksi jagung dan kedelai nasional. Tabel 1berikut memperlihatkan bahwa 10 propinsi sentra pangan menyumbang 81,41 % dari total produksi padi, 76,11% produksi jagung, dan 72,37 % produksi kedelai secara nasional. Dengan kata lain, intensifikasi pada sepuluh propinsi ini saja akan mampu menyumbangkan pencapaian swasembada pangan nasional.

Tabel 1. Luas panen padi, jagung, dan kedelai di propinsi sentra pangan Indonesia (tahun  2022 dan 2023)



Secara lebih khusus, tabel 2 menyampaikan luas panen, IP dan produktivitas padi. Peningkatan produksi dapat dicapai melalui dua pendekatan, yakni: peningkatan indeks pertanaman dan peningkatan produktivitas.

Peningkatan IP:

Saat ini (tahun 2023), IP padi rata-rata adalah 1,48. Jika ditingkat menjadi 2,0, maka pertambahan produksi padi yang dicapai dari 10 propinsi ini adalah: kenaik IP 0,52 x  luas baku sawah 5.601.188 ha x produktivitas 53,89 ku/ha = 15.696.097 ton padi atau setara 8,4 juta ton beras.

Peningkatan produktivitas:

Produktivitas rata-rata tahun 2023 adalah 53,89 ku/ha. Jika ditingkatkan menjadi 60,0 ku/ha, maka peningkatan produksi padi yang dicapai adalah: peningkatan produktivitas  6,11 ku/ha x luas panen 8.311.902 ha = 5.078.572 ton padi atau setara 2,9 juta ton beras.

 


Lokasi sentra padi juga tidak merata di wilayah tiap propinsi. Untuk Jawa Timur misalnya wilayah sentra padi ada di kabupaten Jember, Kediri, Tulungagung, Blitar dan Lamongan. Sedangkan di Jawa Tengah ada di Grobogan dan Blora; Sumut ada di Kabupaten Karo, Simalungun, Langkat, Dairi dan Deli Serdang; sedangkan di Sulsel adalah di kabupaten Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, Bone, Janeponto, Wajo dan Pinrang. Kegiatan optimalisasi lahan (peningkatan IP) dan intensifikasi (adopsi teknologi) dapat difokuskan di wilayah tersebut.

Jika penyuluhan pertanian difokuskan pada 10 propinsi ini, maka jumlah BPP yang menjadi target program adalah sebanyak 3.258 unit dan 26.332 orang penyuluh pertanian. Dengan kalkulasi sederhana, maka anggaran kegiatan penyuluhan yang dibutuhkan adalah:

1.     Biaya operasional BPP yang dibutuhkan: 3.258 unit x Rp 50 juta / tahun = Rp 162,9 M per tahun.

2.     Biaya operasional PPL adalah: 26.332 orang x Rp 1,5 juta/bulan x 12 bulan = Rp 474 M per tahun

 

Tabel 3. Jumlah BPP dan tenaga penyuluh pertanian pada propinsi sentra pangan (tahun 2024)

Propinsi

Jumlah BPP (unit)

Jumlah Penyuluh ASN

P3K

THL

Total Penyuluh

1.     Jawa Tengah

551

1592

1840

148

3580

2.     Jawa Timur

589

1684

1959

139

3782

3.     Jawa Barat

517

1486

1362

800

3648

4.     Sulawesi Selatan

288

1660

488

784

2932

5.     Sumatera Selatan

196

943

459

1906

3308

6.     Lampung

211

663

555

217

1435

7.     Sumatera Utara

356

1155

921

820

2896

8.     Aceh

277

1592

851

397

2840

9.     Sumatera Barat

165

638

444

192

1274

10.  Banten

108

350

253

34

637

Total 10 prop

3258

11763

9132

5437

26332

Total INDONESIA

 

24.900

12.340

1.590

38.830

%

 

       47,24

        74,00

      …

            67,81


Empat, meningkatkan kinerja penyuluh: antara obligation dan motivation

Karena seluruh penyuluh pertanian pemerintah (ASN, P3K dan THL TBPP) adalah aparat pemerintah, maka konsep yang lebih tepat untuk memobilisasi nya adalah “kewajiban” (obligation), bukan “motivasi” (motivation). Obligation dan motivation adalah dua konsep yang berbeda dalam konteks tindakan dan perilaku manusia.

Secara sederhana, obligation adalah sesuatu yang harus dilakukan karena faktor eksternal, sedangkan motivation adalah dorongan internal untuk mencapai sesuatu. Secara definisi, obligation adalah sesuatu yang harus dilakukan karena adanya aturan, hukum, atau moralitas. Ini merupakan tanggung jawab yang harus dipenuhi. Sedangkan motivation adalah dorongan atau alasan yang membuat seseorang melakukan sesuatu. Ini lebih bersifat internal dan berkaitan dengan keinginan atau tujuan pribadi.

Namun demikian, untuk meningkatkan semangat kerja, motivasi penyuluh pertanian sangat penting untuk memastikan mereka tetap bersemangat dan efektif dalam mendampingi petani. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah pelatihan, pengakuan dan penghargaan, penyediaan fasilitas dan sumberdaya,  partisipatif (terlibat dalam perencanaan dll), serta pendekatan personal. Di atas ini semua, penyuluh membutuhkan lingkungan Kerja yang mendukung.  

Satu, Kerja penyuluh sebagai kewajiban (obligation)

Berkenaan dengan kewajiban (obligation), dalam status sebagai pegawai negeri, maka penyuluh adalah karyawan dalam hubungan layanan publik pemerintah. Pegawai negeri menjalankan kekuasaan publik yang berarti bahwa mereka harus benar-benar mematuhi hukum dan bertindak secara netral, independen, dan tidak memihak. Pegawai negeri tunduk pada tanggung jawab atas tindakan saat menjabat, yang berarti bahwa mereka tunduk pada tanggung jawab hukum yang lebih ketat dan lebih luas atas tindakan mereka sebagai pegawai negeri dan konsekuensi dari tindakan tersebut. Jika pegawai negeri mengabaikan tugas resmi mereka atau bertindak melanggarnya, mereka dapat dianggap bertanggung jawab secara hukum. Pegawai negeri tidak boleh menyalahgunakan wewenang mereka. Lebih jauh, mereka tidak boleh menerima manfaat ekonomi yang dapat berdampak negatif pada independensi mereka sebagai pejabat.

Dua, Bagaimana cara memotivasi penyuluh?

Teori McClelland menekankan pentingnya kebutuhan akan prestasi, karena kebutuhan akan prestasi merupakan cadangan energi potensial yang sangat besar dan orang yang berhasil dalam bisnis dan industri adalah orang yang berhasil menyelesaikan sesuatu. Teori ini berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya mempunyai kemampuan untuk berprestasi di atas kemampuan orang lain. Seseorang dianggap mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya yang berprestasi lebih baik dari prestasi karya orang lain (Thoha, 2009).

Kebutuhan yang relevan untuk penyuluh adalah kebutuhan untuk berprestasi dan berafiliasi.

Kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement). Secara naluri setiap orang mempunyai kebutuhan untuk mengerjakan atau melakukan kegiatannya lebih baik dari sebelumnya, dan bila mungkin lebih baik dari orang lain. Kebutuhan berprestasi ini tampak dari antara lain berani mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatan-perbuatannya, selalu mencari umpan balik terhadap keputusan atau tindakan-tindakannya yang berkaitan dengan tugas-tugasnya, selalu berusaha melaksanakan pekerjaannya atau tugasnya dengan cara-cara baru atau inovatif dan kreatif, serta senantiasa belum puas terhadap setiap pencapaian kerja atau tugasnya.

Kebutuhan akan prestasi merupakan keinginan untuk berprestasi lebih baik atau menganggap berprestasi lebih baik itu adalah penting. Ciri-ciri tingkah laku orangnya sebagai berikut:

  1. Bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatan-perbuatannya.
  2. Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru.
  3. Mencari hasil penilaian dari apa yang telah dikerjakannya.
  4. Memilih resiko yang sedang didalam perbuatannya. 

Kebutuhan untuk berafiliasi (need for affliation). Kebutuhan untuk berafiliasi sebagai suatu ketertarikan pada orang lain yang bertujuan untuk meyakinkan perasaan bahwa dirinya dapat diterima oleh mereka. Orang yang kebutuhan untuk berafiliasinya tinggi memperlihatkan ciri-ciri tingkah laku sebagai berikut:

  1. Lebih suka bersama orang lain dari pada sendirian.
  2. Sering berhubungan dengan orang lain, misalnya bercakap-cakap lewat telepon.
  3. Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi dalam pekerjaan daripada segi tugas-tugas yang ada pada pekerjaan itu.
  4. Melakukan pekerjaannya lebih giat apabila bekerja bersama-sama dengan orang lain.

 

IV. KESIMPULAN dan SARAN

Pertanian Indonesia menghadapi tantangan yang berat ke depan, sehingga sistem penyuluhan harus dapat dimobilisasi secara efektif, utamanya untuk peningkatan adopsi teknologi untuk mencapai swasembada pangan. Untuk itu, dibutuhkan berbagai terobosan yang tidak biasa, salah satunya adalah pengusulan Perpres baru tentang konkurensi Sub Urusan Penyuluh Pertanian di bawah Urusan Pembangunan Pertanian.

Bersamaan dengan itu, perlu segera dijalankan “gerakan penyuluh pertanian”. Namun, mengingat keterbatasan anggaran dan demi efisiensi kegiatan, maka gerakan penyuluhan pertanian secara intensif akan dijalankan secara selektif hanya pada 10 propinsi sentra pangan nasional. Dengan mengoptimalkan kegiatan penyuluhan pada wilayah terpilih ini, maka pencapaian produksi pangan utama (padi, jagung, dan kedelai) akan dapat dicapai.

Penyelenggaraan penyuluhan di wilayah ini dilakukan secara intensif dan massif dengan dukungan anggaran pusat dan dukungan kelembagaan yang terstruktur, dengan melibatkan pemerintah dari pusat sampai daerah, serta swasta dan perguruan tinggi. Dalam rancangan ini, BPP menjadi titik sentra gerakan yang didukung penuh dari sisi sarana prasaran, SDM dan anggaran.

 

Daftar Pustaka

 

Babu SC, Joshi PK, Sulaiman VR. 2019. Agricultural extension reforms: lessons from India. In: Agricultural extension reform in South Asia. p: 41-60. England (UK): Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-818752-4.00003-5

Bergamasco SMPP, Borsatto Rs, Thomson CR. 2016. Evaluation of extension reforms in Brazil. Final Report presented to IFPRI. Washington DC (US): IFPRI. 

Bergamasco et al. 2020. In: Davis K, Babu SC, Ragasa C. ed. 2020. Agricultural extension: global status and performance in selected countries. Washington DC (US): International Food Policy Research Institute.

Correa da Silva HB. 2011. Innovations in extension and advisory services for alleviating poverty and hunger: Lesson from Brazil. Paper at the International Conference Innovations in Extension and Advisory Services, Nairobi Kenya, November 15-17. 

Diesel V, Mina Dias M. 2016. The Brazilian experience with agroecological extension: a critical analysis of reform in a pluralistic extension system. Journal of Agricultural Education and Extension 22: 415-433.

Davis K, Alex G. 2020. In: Davis K, Babu SC, Ragasa C. ed. 2020. Agricultural extension: global status and performance in selected countries. Washington DC (US): International Food Policy Research Institute.

Davis K, Babu SC, Ragasa C. ed. 2020. Agricultural extension: global status and performance in selected countries. Washington DC (US): International Food Policy Research Institute.

Hoffmann V, Lamers J, Kidd AD. 2000. Reforming the organization of agricultural extension in Germany: what lessons for other countries? AgREN Network Paper No. 98. London (UK):  ODI Agricultural Research and Extension Network.

Labarte P. 2009. Extension services and multifunctional agriculture: lesson learnt from the French and Dutch. J of Env Manag 90: 5193-5202.

Leeuwis C, van den Ban A. 2004. Communication for rural innovation: rethinking agricultural extension. Oxford (UK): Blackwell Sciences.

Leeuwis C. 2000. Learning to be sustainable: does the Dutch agrarian knowledge market fail? Journal of Agricultural Education and Extension 7(2): 79-92.

Qamar K. 2005. Modernizing national agricultural extension systems: a practical guide for policy-makers of developing countries. Rome (IT): FAO.

Reddy MN, Swanson B. 2006. Strategy for up scalling the ATMA model in India. In: Vreyens JR. ed. Proceddings of the Association for International Agricultural and Extension Education, AIAEE 22nd Annual Conference,  Clearwater Beach, FL, 14 May 2006. 

Rivera WM, Qamar MK, van Crowder L. 2001. Agricultural and rural extension worldwide: option for institutional reform in the developing countries. Rome (IT): FAO.

Singh KM, Meena MS, Swanson BE. 2013. Extension in India by public sector institutions: an overview. Indian Council for Agricultural Research.

Singh KM, Swanson B. 2006. Developing market driven extension system. In: Paper presented at the 22nd Annual Meeting of the Association for International Agricultural and Extension Education, Clearwater Beach, FL, 14 May 2006. 

Swanson BE, Davis K. 2014. Status of agricultural extension and rural advisory services worldwide: Summary Report. Switzerland: Global Forum for Rural Advisory Services (GFRAS).

Yuwono dan Ibnu Khajar, 2005, Analisis Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Pegawai Kejaksaan Tinggi di Yogyakarta, JRBI Vol. 1 No. 1 Januari 2005.

Anggoro, Toha. 2009. Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Terbuka.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2009. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Walandouw, C.H. dkk. (1988). Materi pokok psikologi industri. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka.

Husaini, Usman. 2010. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Edisi 3. Jakarta: PT Bumi Aksara.

 

 

 

******