I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia saat ini memasuki periode pembangunan jangka menengah yang baru, yakni periode 2025-2029. Bersamaa dengan itu, pemerintah juga sedang menghadapi masa transisi menuju kabinet baru dengan target dan program baru.
Dalam konteks ini, pemerintah sedang melakukan penyusunan berbagai perencanaan pembangunan dengan berlandaskan kepada situasi dan perkembangan yang dihadapi, dan lesson learned dari pencapaian selama ini. Demikian pula dengan perencanaan pembangunan nasional, dimana unsur penyuluhan pertanian merupakan komponen penting di dalam nya, yang akan mengkomunikasikan dan menggerakkan seluruh SDM pertanian dari pusat sampai ke daerah dan sebaliknya.
Metode dan Tujuan
Paper ini merupakan kajian singkat tentang penyuluhan pertanian dalam konteks mendukung program pembangunan pertanian, utamanya pencapaian ketahanan pangan nasional. Perubahan kondisi dan tantangan baru membutuhkan penyesuaian manajemen penyuluhan pertanian yang dituntut untuk menyesuaikan diri pada lingkungan dinamis tersebut.
Kajian cepat ini disusun dalam upaya menemukan strategi dan langkah-langkah operasional dalam mengoptimalkan kinerja penyuluhan pertanian untuk mendukung pencapaian program pertanian nasional. Lingkup analisis melibatkan aspek regulasi, teknis, dan manajemen sumber daya manusia.
KONDISI FAKTUAL YANG DIHADAPI PEMBANGUNAN PERTANIAN INDONESIA
Indonesia menghadapi
darurat pangan,
perubahan iklim,
kekeringan,
dan konversi lahan
Indonesia menghadapi “darurat pangan”, akibat perubahan iklim, kekeringan, penurunan kesuburan lahan, dan konversi lahan pertanian. Pada tahun 2023, produksi beras di Indonesia hanya mencapai 31,10 juta ton, turun sebanyak 440 ribu ton atau 1,39 persen dibandingkan dengan tahun 2022. Lalu, Kememtan menargetkan produksi beras dalam negeri mencapai 55,42 juta ton pada 2024, naik dibandingkan target 2023 yang sejumlah 54,5 juta ton. Namun demikian, banyak pengamat memperkirakan produksi beras akan susut 3,8 sampai 4,0 juta ton di tahun 2024 ini.
Produksi yang turun terlihat dengan naiknya impor. Total impor beras tahun 2023 sebesar 3,06 juta ton (tertinggi dalam 5 tahun terakhir), dan kuota tahun 2024 sebesar 3,6 juta ton (atau 51,7 juta ton ?). Bapanas menjelaskan kebijakan impor ini merupakan alternatif pahit yang harus ditempuh dalam kondisi produksi padi nasional yang tengah mengalami penurunan. Penurunan produksi tersebut mengakibatkan terjadinya defisit bulanan neraca beras. Sesuai penugasan Bapanas kepada Bulog, stok aman Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang ada di Perum Bulog minimal harus di angka 1 juta ton. Untuk itu, beras yang berasal dari impor dijadikan sebagai penguatan stok CBP.
Terjadi penurunan produktivitas komoditas pertanian, karena kurangnya dukungan inovasi dan diseminasi yang tidak efektif. Penurunan produktivitas ditunjukkan oleh pertumbuhan pertanian yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Ekonomi nasional meningkat, namun pangsa pertanian turun, yang bermakna turunnya produktivitas pertanian. Untuk beberapa komoditas, bahkan pertumbuhan produktivitas negatif, demikian pula total productivity komoditas beras kecil bahkan menurun. Penyebabnya misalnya adalah karena penggunaan benih padi varietas lama yang keunggulan genetikanya sudah tidak sesuai.
Salah satu penyebabnya adalah dukungan pemerintah daerah kepada penyelenggaraan penyuluhan pertanian rendah, karena pertanian hanya merupakan “urusan pilihan” (sesuai UU 23 tahun 2014). Dalam kondisi ini, mobilisasi tenaga penyuluh pertanian tidak efektif dilakukan dalam mendukung program Kementan, karena merupakan aparat pemerintah daerah. UU No 23 tahun 2014 tentang Pemda telah melemahkan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan pertanian, dalam seluruh aspek penyuluhan (kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana dan prasarana, serta anggaran).
Bersamaan dengan itu, terjadi gap antara penyuluh pertanian dalam hal kapasitas (pengetahuan, pengalaman, dll), karena terbatasnya anggaran daerah dan hanya mengandalkan dana / program pusat. Dukungan hasil-hasil penelitian juga menurun, semenjak beralihnya kegiatan penelitian ke BRIN. Sarana dan prasarana penelitian banyak terbuang.
Sebagai contoh terkait perbenihan. Lahirnya UU No 11 tahun 2019 tentang Sisnas Iptek yang lalu diikuti Perpres yang menyatukan para peneliti ke BRIN, maka sebagian besar para pemulia padi telah beralih ke BRIN. Ini melahirkan banyak masalah, karena perpindahan fungsional peneliti tidak diikuti perpindahan sarana pendukung kegiatan (laboratorium, kebun percobaan, unit pengelola benih, dll). Akibat lebih jauh, kegiatan perakitan VUB padi misalnya menjadi mandek, termasuk pula proses produksi dan distribusi benih. Akibat lebih jauh, adopsi benih padi unggul oleh petani menurun.
.III. OPTIMALISASI PENYULUHAN PERTANIAN
Penarikan
penyuluhan ke pusat
bukan solusi yang tepat
Bagian ini berisi apa yang sudah dilakukan, apa yang akan
dapat dilakukan ke depan, serta mitigasi resiko setiap opsi yang ditawarkan.
Satu, Upaya terkait regulasi yang telah
dan perlu dilakukan
Dukungan regulasi yang sudah dimiliki
Sesungguhnya, penyelenggaraan penyuluhan pertanian tetap dapat dijalankan dengan optimal. Kuncinya adalah dengan menjalankan Perpres No 35 tahun 2022 tentang Penguatan Fungsi Penyuluhan Pertanian, utamanya tentang dukungan pendanaan bagi sarana prasarana dan biaya operasional penyuluh pertanian. Meskipun sudah berumur dua tahun, Perpres ini belum afektif karena kendala anggaran yang kurang memadai. Pemerintah Pusat dapat mengalokasi anggaran untuk mendukung penyelenggaraan penyuluhan di daerah.
Perubahan / penambahan regulasi yang perlu dilakukan
Untuk penyempurnaan institusi penyuluhan pertanian nasional ke depan yang lebih konstruktif membutuhkan beberapa upaya regulasi lain, yakni: Satu, amandemen UU 23 tahun 2014, dimana sebelumnya “pertanian sebagai urusan pilihan “, menjadi “pertanian dan pangan menjadi urusan wajib”. Perubahan diusulkan pada dua pasal sbb.:
Perubahan pada |
Sebelumnya |
Usulan perubahan |
Pasal 12 ayat 2
(merubah menjadi “c. pertanian dan pangan”) |
Urusan Pemerintahan
Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) meliputi: a. tenaga kerja; b. pemberdayaan
perempuan dan pelindungan anak; c. pangan; d. ……. dst |
Urusan Pemerintahan
Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) meliputi: a. tenaga kerja; b. pemberdayaan
perempuan dan pelindungan anak; c. pertanian dan
pangan; d. ……. dst |
Pasal 12 ayat 3
(menghapus “c. pertanian”) |
Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi: a. kelautan dan perikanan; b. pariwisata; c. pertanian; d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f. perdagangan; g. perindustrian; dan h. transmigrasi. |
Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi: a. kelautan dan perikanan; b. pariwisata; c. kehutanan; d. energi dan sumber daya mineral; e. perdagangan; f. perindustrian; dan g. transmigrasi. |
Dua, Menyusun dan mengusulkan Perpres baru
tentang penguatan fungsi kongkuren penyuluhan pertanian. Peraturan
Presiden tentang Urusan Pemerintahan Konkuren Tambahan Bidang Pertanian
Suburusan Penyuluhan Pertanian. Pengaturan urusan pemerintahan konkuren
tambahan ini diperlukan dalam rangka memperkuat Penyelengaraan penyuluhan
pertanian secara sistemik dan terkendali oleh Pemerintah untuk mendukung
pembangunan pertanian nasional guna mewujudkan ketahanan pangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam lampiran Undang-Undang dimaksud, diatur dalam Peraturan Presiden ini. Sistem penyuluhan pertanian saat ini tidak berjalan optimal karena subsistem penyuluhan pertanian yang mencakup kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana dan prasarana dan pembiayaan tidak memadai. Keterbatasan sistem penyuluhan pertanian menyebabkan pemberdayaan dan pendampingan terhadap petani menjadi tidak optimal sehingga terjadi penurunan produksi dan produktivitas pertanian.
Peraturan Presiden ini bertujuan untuk memperkuat sistem penyuluhan pertanian dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian guna mewujudkan ketahanan pangan nasional. Perpres ini akan memberikan kepastian hukum bagi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang efektif, terkendali, dan produktif. Penambahan sub urusan penyuluhan pertanian pada urusan pertanian, yakni dengan menambahkan baris ke 8 pada lampiran AA UU 23-2014.
Lebih jauh, agar distribusi anggaran konsisten digunakan sesuai target oleh Pemda, dapat menggunakan skema “DAK Program” (bukan “DAK regular”), Dekon (untuk pelatihan), dan DAK fisik (bangunan BPP). Di samping itu, anggaran kegiatan penyuluhan juga bisa “dititipkan” di luar Badan SDMP. Yakni kegiatan yang menjadikan kegiatan penyuluhan sebagai komponen dalam kegiatan tersebut, dan dapat digunakan oleh penyuluh (misalnya penyuluh sebagai pendamping kegiatan SLPTT).
Dua, manajemen penyelenggaraan: sentralisasi vs desentralisasi
Wacana penyuluhan dikembalikan ke pusat selalu berulang, utamanya setiap pergantian kepempimpinan nasional. Perhatian Pemda yang rendah selalu dijadikan alasan. Namun, berkali-kali pula ide ini sulit diimplementasikan, karena berbagai sebab.
Penarikan ke pusat memiliki implikasi pada perubahan regulasinya membutuhkan waktu yang lama, dan menguras tenaga. Dibutuhkan amandemen sejumlah UU, Perpres, dll; sehingga kebijakan ini memperoleh landasan regulasi yang konsisten. Selain itu, secara teknis, ini akan berimplikasi kepada beban administrasi dan pembiayaan operasionalisasi nya terlalu besar. Hal ini jelas akan sangat membebani Kementan.
Selain itu, span of control terhadap penyuluh di lapangan terlalu jauh, sehingga manajemen kurang efisien. Di atas ini semua, dengan semangat otonomi daerah, maka hal ini bertentangan secara regulasi dan juga konsep sistem penyuluhan pertanian modern yakni prinsip desentralisasi, partisipatif, dan demokratis. Seluruh prinsip ini telah tertulis dengan gamblang dalam dalam UU 16 tahun 2006 tentang SP3.
Pengalaman negara di dunia, masih banyak negara dimana peran pemerintah pusat masih kuat, namun secara bertahap semakin partisipatif desentralistis. Penyuluhan pertanian di seluruh dunia telah mengalami perubahan besar selama dua dekade terakhir. Penyuluhan yang diawal tahun 1970-an fokus pada tugas mendampingi petani untuk peningkatan produksi, saat ini telah bergeser pada requirement of multiple problem solving, yaitu tuntutan untuk melayani kebutuhan petani yang lebih dari sekedar peningkatan produksi belaka.
Praktek penyuluhan di negara berkembang masih mengandalkan peran pemerintah pusat. Di Pakistan, peran pemerintah masih besar. Namun secara bertahap, Berorientasi pada sektor publik, termasuk perusahaan swasta yang menyediakan layanan penyuluhan berbasis komoditas khusus. Sementera di Kamboja, Departemen penyuluhan bertanggung jawab atas penyuluhan di lingkungan Direktorat Jenderal Pertanian.
Demikian pula di Vietnam, dimana Kementerian pertanian dan pembangunan pedesaan memimpin semua kegiatan departemen pertanian dan pembangunan pedesaan dan pusat penyuluhan nasional untuk membimbing pusat penyuluhan provinsi dan komite rakyat tingkat kabupaten, yang mengelola stasiun penyuluhan tingkat kecamatan, staf penyuluhan, dan kolaborator penyuluhan desa.
Norwegia dan Jerman, meskipun tergolong negara maju, peran pemerintah masih besar. Mereka mengiegrasikan struktur penyuluhan: beberapa kegiatan penyuluhan dibiayai pemerintah, sebagian dibiayai oleh pemerintah, dan sebagian secara mandiri. Bolivia dan Kolumbia merupakan contoh dimana peran negara masih sangat besar. Penyuluhan dijalankan dengan sistem komando dengan dukungan subsidi (GFRAS (2014), IFGRI (2020).
Laporan GFRAS (2014) dan IFPRI (2020) menyampaikan bahwa banyak penyuluhan dijalankan sebagai kolaborasi penyuluh pemerintah dengan penyuluh swasta. Model penyuluhan pluralisme ini disebabkan karena menurunnya anggaran pemerintah untuk penyuluhan, tuntutan profesionalitas penyuluh, serta bermunculannya berbagai asosiasi dan organisasi yang juga memberikan pelayanan informasi dan pendampingan kepada petani.
Perjalanan penyuluhan pertanian di masing-masing negara di dunia tidak selalu sama, karena dilatarbelakangi dengan kebijakan pembangunan pertanian yang berbeda pula. Pergeseran paradigma penyuluhan dari introduksi ilmu dan keterampilan teknik budidaya (on-farm) menuju sistem usaha agribisnis, telah mengubah sistem kelembagaan penyuluhan dari pendekatan agribisnis dan partisipatif yang tadinya hanya terdiri dari subsistem petani, penyuluh dan kelembagaan struktural; menjadi subsistem petani, penyuluh, pelaku agribisnis lainnya, lembaga penelitian dan pelatihan.
Hasil penelitian GFRAS (2014) terhadap 81 negara lintas benua menunjukkan, persentase jumlah penyuluh dalam lembaga organisasi publik tidak jauh berbeda dengan di lembaga swasta, yaitu masing-masing sebesar 53% dan 47%. Selain itu, penyuluhan semakin berorientasi pasar (market orientation). Market-oriented extension dapat pula berupa kemitraan dan subsidi layanan penyuluhan (Rivera et al., 2001: 38).
Bentuk aktivitas desentralisasi penyuluhan dijalankan antara lain di Indonesia, Bolivia, dan beberapa negara lain. Menurunnya pendanaan penyuluhan dari pemerintah sehingga bergantung kepada pendanaan donor terjadi di Afrika dan Asia Tengah. Namun di Rwanda dan Ethiopia, meskipun bergantung kepada NGO, perencanaan kegiatan penyuluhan sepenuhnya dirancang oleh pemerintah.
Dalam implementasinya, ada juga negara-negara yang menerapkan lebih dari satu mode of pluralism extension. Rivera et al. (2001) menyebut ini sebagai complex of extension providers, dimana berbagai organisasi menyediakan fungsi penyuluhan secara bersamaan. Secara umum, di negara-negara Asia, sebagian besar penyuluhan masih dijalankan oleh kementerian sektor publik atau pemerintah, namun LSM dan swasta mulai terlibat. Sementara di negara-negara Afrika, berlangsung integrasi penyuluhan publik dan swasta, yakni kerjasama antara pemerintah lokal, organisasi nonpemerintah, dan universitas.
India juga menerapkan penyuluhan pluralistik. India memiliki Sistem Riset Pertanian Nasional (NARS) yang solid, yang terdiri dari Dewan Riset Pertanian India (ICAR) dan universitas pertanian negara bagian (SAU). ICAR adalah badan tertinggi untuk penelitian dan pendidikan pertanian di negara ini (Desai et al., 2011).
Sementara di Brazil, penyuluhan harus dilakukan dengan menggunakan metodologi
partisipatif, mempertimbangkan azas agroekologi, dan
pertanian keluarga (family farming)
sebagai penerima manfaat utama (Brazil et
al., 2004). Pemerintah mengembangkan jaringan
penyuluhan yang merupakan perwakilan di tingkat daerah
yang berwenang menyusun kebijakan penyuluhan yang berkelanjutan. Umpan balik
pelaksanaan penyuluhan diidentifikasi oleh jaringan penyuluhan sebagai bahan
masukan kebijakan di tingkat nasional.
Demikian pula di Belanda, yang
dijalankan melalui relasi antara penyuluhan dan organisasi R&D lainnya,
seperti pendirian lembaga penelitian terapan, dan kolaborasi atau co-creation
inovasi antara berbagai aktor (petani, penyuluh, serikat petani, lembaga
penelitian terapan, dan stakeholder lainnya) (Leeuwis dan van den Ban, 2004).
Tiga, Gerakan
Penyuluhan Pertanian Selektif (hanya pada sentra pangan)
Dengan anggaran pembangunan yang terbatas, maka agar lebih efektif, gerakan penyuluhan (intensif dan massif) dapat dilakukan secara selektif, yakni hanya pada propinsi dan kabupaten sentra produksi pangan saja, bukan seluruh Indonesia. Kebijakan yang seragam merupakan kekeliruan mengingat pertanian Indonesia yang bersifat maritim (maritime agricultue), dimana variabilitas pada setiap wilayah sangat tinggi baik tentang sub iklim, geografis, serta sosial ekonomi masyarakat dan ketersediaan sarana prasana pertaniannya.
Pada hakekatnya, optimalisasi sistem penyuluhan pertanian di daerah telah memiliki landasan hukum yang cukup yakni Perpres 35 tahun 2022. Untuk menjalankan ini, Kementan akan melakukan pengangkatan formasi penyuluh pertanian sebanyak 28.399 orang untuk tingkat propinsi dan kabupaten / kota yang akan diaangkat paling lambat 2 (tahun) ke depan.
Gerakan penyuluhan pertanian selektif akan dijalankan pada sentra produksi pangan di Indonesia yakni pada 10 propinsi saja. Jika diurut dari yang lahan sawahnya paling luas adalah: prpoinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Banten.
Selain untuk padi, kesepuluh propinsi ini juga merupakan penyumbang produksi jagung dan kedelai nasional. Tabel 1berikut memperlihatkan bahwa 10 propinsi sentra pangan menyumbang 81,41 % dari total produksi padi, 76,11% produksi jagung, dan 72,37 % produksi kedelai secara nasional. Dengan kata lain, intensifikasi pada sepuluh propinsi ini saja akan mampu menyumbangkan pencapaian swasembada pangan nasional.
Secara lebih khusus, tabel
2 menyampaikan luas panen, IP dan produktivitas padi. Peningkatan produksi
dapat dicapai melalui dua pendekatan, yakni: peningkatan indeks pertanaman dan
peningkatan produktivitas.
Peningkatan IP:
Saat ini (tahun 2023), IP padi rata-rata adalah 1,48. Jika ditingkat menjadi 2,0, maka pertambahan produksi padi yang dicapai dari 10 propinsi ini adalah: kenaik IP 0,52 x luas baku sawah 5.601.188 ha x produktivitas 53,89 ku/ha = 15.696.097 ton padi atau setara 8,4 juta ton beras.
Peningkatan produktivitas:
Produktivitas rata-rata tahun 2023 adalah 53,89 ku/ha. Jika ditingkatkan menjadi 60,0 ku/ha, maka peningkatan produksi padi yang dicapai adalah: peningkatan produktivitas 6,11 ku/ha x luas panen 8.311.902 ha = 5.078.572 ton padi atau setara 2,9 juta ton beras.
Lokasi sentra padi juga tidak merata di wilayah
tiap propinsi. Untuk Jawa Timur misalnya wilayah sentra padi ada di kabupaten Jember,
Kediri, Tulungagung, Blitar dan Lamongan. Sedangkan di Jawa Tengah ada di Grobogan
dan Blora; Sumut ada di Kabupaten Karo, Simalungun, Langkat, Dairi dan Deli
Serdang; sedangkan di Sulsel adalah di kabupaten Gowa, Takalar, Bantaeng,
Bulukumba, Bone, Janeponto, Wajo dan Pinrang. Kegiatan optimalisasi lahan
(peningkatan IP) dan intensifikasi (adopsi teknologi) dapat difokuskan di
wilayah tersebut.
Jika penyuluhan pertanian difokuskan pada 10
propinsi ini, maka jumlah BPP yang menjadi target program adalah sebanyak 3.258
unit dan 26.332 orang penyuluh pertanian. Dengan kalkulasi sederhana, maka
anggaran kegiatan penyuluhan yang dibutuhkan adalah:
1. Biaya operasional BPP yang dibutuhkan: 3.258 unit x Rp 50 juta / tahun = Rp 162,9 M per tahun.
2. Biaya operasional PPL adalah: 26.332 orang x Rp 1,5 juta/bulan x 12 bulan = Rp 474 M per tahun
Tabel 3. Jumlah BPP dan tenaga penyuluh pertanian
pada propinsi sentra pangan (tahun 2024)
Propinsi |
Jumlah BPP
(unit) |
Jumlah
Penyuluh ASN |
P3K |
THL |
Total
Penyuluh |
1. Jawa
Tengah |
551 |
1592 |
1840 |
148 |
3580 |
2. Jawa
Timur |
589 |
1684 |
1959 |
139 |
3782 |
3. Jawa
Barat |
517 |
1486 |
1362 |
800 |
3648 |
4. Sulawesi
Selatan |
288 |
1660 |
488 |
784 |
2932 |
5. Sumatera
Selatan |
196 |
943 |
459 |
1906 |
3308 |
6. Lampung
|
211 |
663 |
555 |
217 |
1435 |
7. Sumatera
Utara |
356 |
1155 |
921 |
820 |
2896 |
8. Aceh
|
277 |
1592 |
851 |
397 |
2840 |
9. Sumatera
Barat |
165 |
638 |
444 |
192 |
1274 |
10. Banten |
108 |
350 |
253 |
34 |
637 |
Total 10 prop |
3258 |
11763 |
9132 |
5437 |
26332 |
Total INDONESIA |
|
24.900 |
12.340 |
1.590 |
38.830 |
% |
|
47,24 |
74,00 |
… |
67,81 |
Empat, meningkatkan kinerja penyuluh: antara obligation dan motivation
Karena seluruh penyuluh pertanian pemerintah (ASN, P3K dan THL TBPP) adalah aparat pemerintah, maka konsep yang lebih tepat untuk memobilisasi nya adalah “kewajiban” (obligation), bukan “motivasi” (motivation). Obligation dan motivation adalah dua konsep yang berbeda dalam konteks tindakan dan perilaku manusia.
Secara sederhana, obligation adalah sesuatu yang harus dilakukan karena faktor eksternal, sedangkan motivation adalah dorongan internal untuk mencapai sesuatu. Secara definisi, obligation adalah sesuatu yang harus dilakukan karena adanya aturan, hukum, atau moralitas. Ini merupakan tanggung jawab yang harus dipenuhi. Sedangkan motivation adalah dorongan atau alasan yang membuat seseorang melakukan sesuatu. Ini lebih bersifat internal dan berkaitan dengan keinginan atau tujuan pribadi.
Namun demikian, untuk meningkatkan semangat kerja, motivasi penyuluh pertanian sangat penting untuk memastikan mereka tetap bersemangat dan efektif dalam mendampingi petani. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah pelatihan, pengakuan dan penghargaan, penyediaan fasilitas dan sumberdaya, partisipatif (terlibat dalam perencanaan dll), serta pendekatan personal. Di atas ini semua, penyuluh membutuhkan lingkungan Kerja yang mendukung.
Satu, Kerja penyuluh sebagai kewajiban (obligation)
Berkenaan dengan kewajiban (obligation), dalam status sebagai pegawai negeri, maka penyuluh adalah karyawan dalam hubungan layanan publik pemerintah. Pegawai negeri menjalankan kekuasaan publik yang berarti bahwa mereka harus benar-benar mematuhi hukum dan bertindak secara netral, independen, dan tidak memihak. Pegawai negeri tunduk pada tanggung jawab atas tindakan saat menjabat, yang berarti bahwa mereka tunduk pada tanggung jawab hukum yang lebih ketat dan lebih luas atas tindakan mereka sebagai pegawai negeri dan konsekuensi dari tindakan tersebut. Jika pegawai negeri mengabaikan tugas resmi mereka atau bertindak melanggarnya, mereka dapat dianggap bertanggung jawab secara hukum. Pegawai negeri tidak boleh menyalahgunakan wewenang mereka. Lebih jauh, mereka tidak boleh menerima manfaat ekonomi yang dapat berdampak negatif pada independensi mereka sebagai pejabat.
Dua, Bagaimana cara memotivasi penyuluh?
Teori McClelland menekankan pentingnya kebutuhan akan prestasi, karena kebutuhan akan prestasi merupakan cadangan energi potensial yang sangat besar dan orang yang berhasil dalam bisnis dan industri adalah orang yang berhasil menyelesaikan sesuatu. Teori ini berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya mempunyai kemampuan untuk berprestasi di atas kemampuan orang lain. Seseorang dianggap mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya yang berprestasi lebih baik dari prestasi karya orang lain (Thoha, 2009).
Kebutuhan yang relevan untuk penyuluh adalah kebutuhan untuk berprestasi dan berafiliasi.
Kebutuhan untuk berprestasi (need for
achievement). Secara naluri setiap orang mempunyai kebutuhan
untuk mengerjakan atau melakukan kegiatannya lebih baik dari sebelumnya, dan
bila mungkin lebih baik dari orang lain. Kebutuhan berprestasi ini tampak dari antara
lain berani mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatan-perbuatannya,
selalu mencari umpan balik terhadap keputusan atau tindakan-tindakannya yang
berkaitan dengan tugas-tugasnya, selalu berusaha melaksanakan pekerjaannya atau
tugasnya dengan cara-cara baru atau inovatif dan kreatif, serta senantiasa
belum puas terhadap setiap pencapaian kerja atau tugasnya.
Kebutuhan akan prestasi merupakan keinginan untuk berprestasi lebih baik atau menganggap berprestasi lebih baik itu adalah penting. Ciri-ciri tingkah laku orangnya sebagai berikut:
- Bertanggung
jawab sepenuhnya atas perbuatan-perbuatannya.
- Berusaha
melakukan sesuatu dengan cara-cara baru.
- Mencari
hasil penilaian dari apa yang telah dikerjakannya.
- Memilih resiko yang sedang didalam perbuatannya.
Kebutuhan untuk berafiliasi (need for affliation).
Kebutuhan untuk berafiliasi sebagai suatu ketertarikan pada orang lain
yang bertujuan untuk meyakinkan perasaan bahwa dirinya dapat diterima oleh
mereka. Orang yang kebutuhan untuk berafiliasinya tinggi memperlihatkan
ciri-ciri tingkah laku sebagai berikut:
- Lebih
suka bersama orang lain dari pada sendirian.
- Sering
berhubungan dengan orang lain, misalnya bercakap-cakap lewat telepon.
- Lebih
memperhatikan segi hubungan pribadi dalam pekerjaan daripada segi
tugas-tugas yang ada pada pekerjaan itu.
- Melakukan
pekerjaannya lebih giat apabila bekerja bersama-sama dengan orang lain.
Pertanian Indonesia menghadapi tantangan yang berat ke depan, sehingga sistem penyuluhan harus dapat dimobilisasi secara efektif, utamanya untuk peningkatan adopsi teknologi untuk mencapai swasembada pangan. Untuk itu, dibutuhkan berbagai terobosan yang tidak biasa, salah satunya adalah pengusulan Perpres baru tentang konkurensi Sub Urusan Penyuluh Pertanian di bawah Urusan Pembangunan Pertanian.
Bersamaan dengan itu, perlu segera dijalankan “gerakan penyuluh pertanian”. Namun, mengingat keterbatasan anggaran dan demi efisiensi kegiatan, maka gerakan penyuluhan pertanian secara intensif akan dijalankan secara selektif hanya pada 10 propinsi sentra pangan nasional. Dengan mengoptimalkan kegiatan penyuluhan pada wilayah terpilih ini, maka pencapaian produksi pangan utama (padi, jagung, dan kedelai) akan dapat dicapai.
Penyelenggaraan penyuluhan di wilayah ini dilakukan secara intensif dan massif dengan dukungan anggaran pusat dan dukungan kelembagaan yang terstruktur, dengan melibatkan pemerintah dari pusat sampai daerah, serta swasta dan perguruan tinggi. Dalam rancangan ini, BPP menjadi titik sentra gerakan yang didukung penuh dari sisi sarana prasaran, SDM dan anggaran.
Daftar Pustaka
Babu SC, Joshi PK, Sulaiman VR. 2019.
Agricultural extension reforms: lessons from India. In: Agricultural extension
reform in South Asia. p: 41-60. England (UK): Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-818752-4.00003-5
Bergamasco SMPP, Borsatto Rs, Thomson
CR. 2016. Evaluation of extension reforms in Brazil. Final Report presented to
IFPRI. Washington DC (US): IFPRI.
Bergamasco et al. 2020. In: Davis K,
Babu SC, Ragasa C. ed. 2020. Agricultural extension: global status and
performance in selected countries. Washington DC (US): International Food
Policy Research Institute.
Correa da Silva HB. 2011. Innovations
in extension and advisory services for alleviating poverty and hunger: Lesson
from Brazil. Paper at the International Conference Innovations in Extension and
Advisory Services, Nairobi Kenya, November 15-17.
Diesel V, Mina Dias M. 2016. The
Brazilian experience with agroecological extension: a critical analysis of
reform in a pluralistic extension system. Journal of Agricultural Education and
Extension 22: 415-433.
Davis K, Alex G. 2020. In: Davis K,
Babu SC, Ragasa C. ed. 2020. Agricultural extension: global status and
performance in selected countries. Washington DC (US): International Food
Policy Research Institute.
Davis K, Babu SC, Ragasa C. ed. 2020.
Agricultural extension: global status and performance in selected countries.
Washington DC (US): International Food Policy Research Institute.
Hoffmann V, Lamers J, Kidd AD. 2000.
Reforming the organization of agricultural extension in Germany: what lessons
for other countries? AgREN Network Paper No. 98. London (UK): ODI Agricultural Research and Extension
Network.
Labarte P. 2009. Extension services and
multifunctional agriculture: lesson learnt from the French and Dutch. J of Env
Manag 90: 5193-5202.
Leeuwis C, van den Ban A. 2004.
Communication for rural innovation: rethinking agricultural extension. Oxford
(UK): Blackwell Sciences.
Leeuwis C.
2000.
Learning to be sustainable: does the Dutch agrarian knowledge market fail?
Journal of Agricultural Education and Extension 7(2): 79-92.
Qamar K. 2005. Modernizing national agricultural
extension systems: a practical guide for policy-makers of developing countries.
Rome (IT): FAO.
Reddy MN, Swanson B. 2006. Strategy for
up scalling the ATMA model in India. In: Vreyens JR. ed. Proceddings of the
Association for International Agricultural and Extension Education, AIAEE 22nd
Annual Conference, Clearwater Beach, FL,
14 May 2006.
Rivera WM, Qamar MK, van Crowder L.
2001. Agricultural and rural extension worldwide: option for institutional
reform in the developing countries. Rome (IT): FAO.
Singh KM, Meena MS, Swanson BE. 2013.
Extension in India by public sector institutions: an overview. Indian Council
for Agricultural Research.
Singh KM, Swanson B. 2006. Developing
market driven extension system. In: Paper presented at the 22nd
Annual Meeting of the Association for International Agricultural and Extension
Education, Clearwater Beach, FL, 14 May 2006.
Swanson BE, Davis K. 2014. Status of
agricultural extension and rural advisory services worldwide: Summary Report.
Switzerland: Global Forum for Rural Advisory Services (GFRAS).
Yuwono dan Ibnu Khajar, 2005, Analisis Beberapa
Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Pegawai Kejaksaan Tinggi di Yogyakarta,
JRBI Vol. 1 No. 1 Januari 2005.
Anggoro, Toha. 2009. Metode Penelitian. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2009. Pengembangan Sumber
Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Walandouw, C.H. dkk. (1988). Materi pokok psikologi
industri. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka.
Husaini, Usman. 2010. Manajemen Teori, Praktik, dan
Riset Pendidikan. Edisi 3. Jakarta: PT Bumi Aksara.
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar